
iseng. ada hujan. kopi dan narasi tentang garin. ada juga sepasang anak yang terperangkap.
Rocky Gerung
I
Indonesia hari-hari ini...
Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral. Ada anak muda memetik dawai mengelilingi dunia mengukir prestasi.
Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci tubuh. Ada pelajar menggondol medali biologi di pentas dunia berkali-kali.
Ada lumpur pebisnis dibersihkan negara dengan pajak rakyat. Ada perempuan desa menembus bukit menyalurkan air bersih dengan tangannya sendiri.
Ada koruptor diusung partai jadi pahlawan. Ada relawan bergegas ke medan bencana tanpa menyewa wartawan.
Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of Fear dan Republic of Hope. Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan Republic of Hope itu, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tetapi nampaknya, penguasa politik lebih memilih memelihara Republic of Fear, karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan. Kemajemukan hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker. Hak Asasi Manusia dipromosikan ke mancanegara, tetapi kejahatan kemanusiaan di dalam negeri, diputihkan untuk modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh rakyat, tetapi ketegasan tidak hendak dilaksanakan. Mengapung diatas bara sosial itu, sambil membayangkan siasat politik suksesi, adalah agenda harian elit politik hari-hari ini.
Politik tidak diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual. Di layar nasional, politik elit tampil dalam bentuknya yang paling dangkal: jual-beli di tempat! Tidak ada sedikitpun upaya "sofistikasi" untuk sekedar memperlihatkan sifat "elitis" dari percaloan politik itu. Dengan wajah standar, para koruptor menatap kamera, karena yakin bahwa putusan hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan, bila menolak ditukar saham. Dan sang hakim (juga jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional. Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan.
Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan sebagai urusan "uang tunai". Seorang calon kepala daerah sudah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia mencalonkan diri dalam Pilkada. Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Maka sangat mudah memahami bahwa "human development index" kita tetap rendah karena biaya renovasi kamar mandi bupati lebih didahulukan ketimbang membangun puskesmas. Bahkan antisipasi terhadap kemungkinan sang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, juga sudah dipikirkan. Maka berbondong-bondonglah para kepala daerah bermasalah itu hijrah dari partai asalnya, masuk ke partai penguasa. Tentu itu bukan transfer politik gratisan. Tadah-menadah politik sudah menjadi subkultur politik nasional. Sekali lagi: kepentingan bertemu kepentingan, kemauan bersua kebutuhan.
Dalam perjanjian konstitusional negara dengan warganegara, keadilan dan keamanan dijadikan agunan untuk menetapkan kewajiban timbal balik. Karena itu, bila saudara membayar pajak, maka saudara berhak memperoleh sistem politik yang memungkinkan keadilan itu diwujudkan. Bila saya patuh pada hukum, maka saya berhak menerima rasa aman dari negara. Tetapi urusan inilah yang kini amat jauh dari harapan publik. Para perusak hukum justeru dilindungi negara. Para pengemplang pajak, justeru dirangkul negara. Dan dalam urusan sistem politik, kita berhadapan dengan persekongkolan politik kartel yang memonopoli distribusi sumber daya politik dan ekonomi. Bahkan oligarki kekuasaan yang sesungguhnya, hanya melibatkan dua-tiga tokoh kunci yang saling menyogok, saling tergantung, dan saling mengintai. Politik menjadi kegiatan personal dari segelintir elit yang terjebak dalam skenario yang saling mengunci, karena masing-masing terlibat dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan pada waktu Pemilu.
Ketergantungan politik pada uang-lah yang menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan ideologi. Relasi itu tumbuh karena pelembagaan politik tidak berlangsung. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik parlemen. Bahwa seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat, itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat, tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular. Tanpa gagasan, minim pengetahuan, parlemen terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi tanpa peduli, minim etika, parlemen terus menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi dan arogansi.
Defisit akal di parlemen adalah sebab dari defisit etika. Arogansi kepejabatan digunakan untuk menutupi defisit akal. Maka berlangsunglah fenomena ini: sang politisi yang sebelumnya menjadi pengemis suara rakyat pada waktu Pemilu, kini menyatakan diri sebagai pemilik kedaulatan. Seperti anjing yang menggonggongi tuannya, politisi memutus hubungan historisnya dengan rakyat, dan mulai berpikir menjadi pengemis baru. Kali ini, bukan pada rakyat, tetapi pada kekuasaan eksekutif. Faktor inilah yang menerangkan mengapa oposisi tidak dapat bekerja dalam sistem politik kita. Tukar tambah kepentingan antara eksekutif dan legislatif bahkan berlangsung sampai urusan "titik dan koma" suatu rancangan undang-undang. Transaksi itu sering tidak ada kaitannya dengan soal-soal ideologis, karena memang motif koruptiflah yang bekerja di bawah meja-meja sidang.
Asal-usul politik koruptif ini terkait dengan tidak adanya kurikulum "kewarganegaraan" dalam semua jenjang pendidikan nasional. Sistem pendidikan kita tidak mengorientasikan murid pada kehidupan publik. Konsep "masyarakat" di dalam kurikulum sekolah tidak diajarkan sebagai "tanggung jawab merawat hidup bersama", tetapi lebih sebagai kumpulan ajaran moral komunal yang pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat. Konsep "etika publik" tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan "bermasyarakat".
Memang, amandemen konstitusi tentang tujuan pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan "akhlak" ketimbang "akal". Konsekwensinya terhadap kehidupan Republik sangatlah berbahaya, karena warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen. Sangatlah bertentangan misi pendidikan itu dengan imperatif konstitusi kita yang mewajibkan kita "melihat dunia" melalui "kecerdasan" dan "perdamaian". Sesungguhnya filsafat publik kita semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik, karena pertarungan kecerdasan di parlemen di dalam membela ide masyarakat bebas tidak dapat berlangsung. Pengetahuan dan pemahaman konseptual tentang ide Republik lebih banyak diucapkan dalam retorika "nasionalisme", dan karena itu kedudukan primer konsep "warganegara" tidak cukup dipahami.
"Kewarganegaraan" adalah ide tentang tanggung jawab warganegara lintas politik, lintas komunal. Realisasinya memerlukan pemahaman fundamental tentang etika parlementarian, yaitu bahwa "kedaulatan rakyat" tidak pernah diberikan pada "wakil rakyat". Yang diberikan hanyalah kepentingan rakyat tentang satu isu yang secara spesifik didelegasikan pada "si wakil", dan karena itu dapat ditarik kembali setiap lima tahun. Juga dalam tema ini kita pahami bahwa "kedaulatan rakyat" tidak sama dengan "mayoritarianisme". Kedaulatan rakyat justeru difungsikan untuk mencegah demokrasi menjadi permainan politik golongan mayoritas. Itulah sebabnya kedaulatan rakyat tidak boleh dikuantifikasi dalam statistik atau dalam hasil Pemilu.
Defisit politik warganegara juga adalah akibat dari surplus politik feodal. Hari-hari ini hegemoni kultur politik feodal itu masuk dalam politik publik melalui langgam perpolitikan istana, ketika "kesantunan" menyisihkan "kritisisme". Dan kultur itu terpancar penuh dari bahasa tubuh Presiden. Prinsip yang berlaku adalah: kritik politik tidak boleh membuat kuping Presiden menjadi merah.
Feodalisme adalah sistem kekuasaan. Kita tentu tidak menemukannya lagi dalam masyarakat modern. Tetapi seorang penguasa dapat terus mengimajinasikan dirinya sebagai "raja", "tuan", "pembesar" dan sejenisnya, dan dengan kekuasaan itu ia menyelenggarakan pemerintahan. Kita justeru merasakan itu dalam kepemimpinan politik hari-hari ini, dalam diskursus bahasa tubuh, dalam idiom-idiom tatakrama, dalam simbol-simbol mistik, bahkan dalam politik angka keramat.
Di dalam kultur feodalistik, percakapan politik tidak mungkin berlangsung demokratis. Bukan saja karena ada hirarki kebenaran di dalam diskursus, tetapi bahkan diskursus itu sendiri harus menyesuaikan diri dengan "aturan politik feodal", aturan yang tak terlihat namun berkekuasaan. Sangatlah aneh bila kita berupaya menyelenggarakan sebuah birokrasi yang rasional dan impersonal, tetapi mental politik yang mengalir dalam instalasi birokrasi kita masih mental feodal.
Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal oleh akumulasi kekuasaan. Enersi yang pernah kita himpun untuk menghentikan otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk menggerakkan perubahan. Sebagian disebabkan oleh sifat politik reformasi yang amat "toleran", sehingga memungkinkan seorang jenderal pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan seorang aktivis HAM, mengevaluasi kondisi demokrasi. Juga tidak aneh menyaksikan seorang tokoh terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah talkshow yang membahas arah pembangunan nasional. Transisi yang amat toleran itu telah meloloskan juga obsesi-obsesi politik komunalistik yang hendak mengatur ruang politik publik dengan hukum-hukum teokrasi. Di dalam keserbabolehan itulah kekuasaan politik hari-hari ini menarik keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi berdiri di atas politik uang dan politik ayat, kekuasaan itu kini tampak mulai kehilangan keseimbangan. Antara tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu tampak kelelahan untuk bertahan.
II
Tetapi Republik harus tetap berdiri...
Republik adalah ide minimal untuk menyelenggarakan keadilan, kesetaraan dan kemajemukan. Normativitas ini menuntut pekerjaan politik, pada dua lapis. Pertama, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep "publik" pada kondisi sekulernya. Kedua, suatu perlawanan politik terhadap teokratisasi institusi-institusi publik. Artinya, ide republik hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik pada dataran duniawi, sosiologis dan historis. Usaha ini bukan dimaksudkan untuk meyakinkan kaum absolutis, melainkan untuk membantu mereka yang ragu-ragu karena kekurangan alat kalkulasi logis. Mereka yang "ragu-ragu" inilah sesungguhnya yang dapat "membiarkan" demokrasi dikuasai dan dikendalikan oleh politik absolutis. Golongan "ragu-ragu" ini bukan saja mengalami kecemasan di dalam membayangkan suatu masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda membayangkan suatu "keuntungan moral" di dalam suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat semacam inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh politik fundamentalisme untuk menebar hegemoni moral mayoritas.
Menerangkan politik sebagai urusan warganegara, sekaligus berarti mempertahankan argumen masyarakat sekuler. Di dalam Republik, status primer seseorang adalah sebagai warganegara (citizen). Ia tentu memiliki sejumlah status privat: agama, etnis, dll. Tetapi status privat tidak mungkin diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara misalnya, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan moral agama bukan urusan negara. Tetapi bila kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka negara menghukum atas dasar hukum publik, dan bukan melarang isi keyakinan itu. Batas itu harus dipegang secara teguh sebagai prinsip pendidikan politik publik. Dan prinsip itu harus diterangkan sejak dini pada murid sekolah, dipastikan dipahami oleh anggota partai politik, dan dijadikan diktum pejabat publik. Dengan cara itu kita tidak perlu lagi mendengar pejabat publik mengucapkan kebodohan karena memaksakan pandangan moral pribadinya terhadap soal publik. Di sini sekaligus perlu kita ingatkan bahwa para menteri adalah pembantu Presiden, dan bukan asisten Tuhan.
Keragu-raguan untuk menerima dan menjalankan konsekwensi politik dari ide Republik, terutama disebabkan oleh kepentingan politisasi kekuasaan terhadap kondisi antropologis bangsa ini. Bagaimanapun, simbol-simbol primordial tidak mungkin punah hanya oleh gerak ekonomi global, modernisasi dan kosmopolitanisme. Politik identitas telah menjadi reaksi logis dari kosmopolitanisme, tetapi pemanfaatan politiknyalah yang menjadi isu utama di negeri ini. Artinya, kondisi atropologis kita yang masih kuat berbasis pada paham-paham komunal, juteru dieksploitasi oleh kekuasaan untuk diperjualbelikan di dalam pasar politik. Maka sangatlah ironis ketika kita mengucapkan demokrasi sebagai pilihan sistem politik, pada saat yang sama kita sudah berencana memenangkan pemilu dengan peralatan-peralatan primordial, terutama agama.
Di dalam Republik, kita menyelenggarakan pluralisme. Artinya, kita bukan sekedar mengakui perbedaan pandangan hidup, tapi kita sendiri juga dapat berobah pandangan hidup. Dalam pluralisme, kita tidak menyebut kebenaran itu "relatif", melainkan "tentatif". Karena itu selalu terbuka kesempatan untuk berselisih pendapat, agar kita bisa bercakap-cakap.
Kewarganegaraan adalah percakapan diantara mereka yang tidak fanatik. Republik adalah lokasi politik yang menampung semua proposal sekuler. Di sini kita harus pahami ide Republik bukan semata-mata sebagai instalasi politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan etis. Di dalam Republik, "suasana" percakapan publiklah yang lebih utama ketimbang fasilitas-fasilitas politiknya (partai, pengadilan, birokrasi). Di dalam Republik-lah manusia menyelenggarakan dirinya sebagai "zoon politicon", merundingkan kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar. Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan. Itulah sifat publik dari politik. Dengan kata lain, intervensi nilai-nilai personal ke dalam ruang publik tidak boleh terjadi. Nilai personal, pandangan moral komunal, harus dikonversi ke dalam tata bahasa politik publik bila ingin diajukan sebagai proposal publik. Artinya, keterbukaan dan kesetaraan di dalam Republik hanya mengandalkan diskursus rasio publik. Dan sifat diskursus itu adalah falibilis, bukan absolutis.
Kemajemukan dan "suasana Republik", sesungguhnya telah kita miliki jauh sebelum Proklamasi diucapkan. Sumpah Pemuda adalah sumber enersi kemajemukan yang sesungguhnya. Pikiran politik di tahun 1928 itu menyadari sepenuhnya kondisi ideologis bangsa ini, kondisi yang potensial bagi konflik horisontal, dan karena itu para pemuda hanya bersepakat untuk tiga hal: satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Sumpah Pemuda tidak bersepakat demi soal-soal akhirat, tetapi demi urusan antar manusia di bumi, manusia yang beragam. Mereka bersumpah untuk sesuatu "yang sosiologis" (tanah, bangsa dan bahasa), karena paham bahwa "yang teologis" tidak mungkin dijadikan tali pengikat politik. Politik 1928, tidak terobsesi pada "sumpah keempat": beragama satu. Kecerdasan itulah yang sesungguhnya hilang dari percakapan politik kita hari-hari ini. Sumpah Pemuda kini hanya diingat dalam tema "kebangsaan" yang bahkan disempitkan menjadi "keberagaman dan keberagamaan" (dan karena itu perayaannya cuma diisi oleh petuah dan pesan-pesan agamis). Padahal moral dan filsafat politiknya telah mendahului menyelesaikan pertikaian politik agama dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.
Argumen ini harus kita ajukan untuk memastikan bahwa sumber kebudayaan modern dari ide republikanisme, sudah disediakan 17 tahun sebelum republik diproklamasikan. Artinya, ide republikanisme sudah dipelihara oleh "masyarakat sipil", jauh sebelum diformalkan oleh "masyarakat politik" melalui konstitusi 1945. Bahkan obsesi untuk memberi warna "agamis" pada penyelenggaraan negara (melalui debat panjang di Konstituante), juga dibatalkan oleh kecerdasan kebangsaan modern, yaitu bahwa di dalam Republik, rakyatlah yang berdaulat, bukan Tuhan atau Raja. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan itu: "Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat" .
Ide Kedaulatan Rakyat ini memberi kita batas yang tegas tentang wilayah politik. Yaitu bahwa politik adalah transaksi sekuler dengan ukuran-ukuran rasional, empiris, dan historis. Bahwa bahasa politik adalah bahasa yang dapat diperlihatkan konsekwensinya "di sini dan sekarang", bukan "nanti dan di sana". Bahwa ukuran-ukuran moral harus tumbuh dari pertarungan gagasan-gagasan historis, bukan dari doktrin-doktrin metafisis. Bahwa warga negara hanya terikat pada ayat-ayat konstitusi, dan bukan pada ayat-ayat suci. Bahwa fakta adanya golongan mayoritas (dalam agama misalnya), hanyalah petunjuk demografis, yaitu untuk keperluan administrasi kependudukan dan bukan untuk keunggulan kedudukan suatu kelompok terhadap yang lain. Di dalam demokrasi, identitas individu (agama, kelamin, pekerjaan), hanya dicatat sebagai data statistik, dan bukan alasan pembedaan warganegara.
Sangatlah berbahaya bila seseorang didefinisikan sebagai minoritas dalam agama atau preferensi seksual misalnya, karena sekaligus ia akan menjadi warganegara kelas dua. Diskriminasi inilah yang harus kita perangi, karena ia menyebabkan permusuhan sosial atas alasan-alasan irasional. Misalnya, apakah karena seseorang tidak beragama, maka ia akan dikucilkan dan dilecehkan, atau bahkan dianiaya? Di dalam demokrasi, agama adalah hak. Artinya, ia boleh dipakai, boleh tidak. Negara tidak berhak memaksakan kewajiban beragama, karena hal itu melanggar kebebasan hati nurani. Agama adalah wilayah hati nurani. Kesucian keyakinan dan kejujuran ketakwaan seseorang hanya menjadi rahasia antara dia dan Tuhannya. Kemuliaan itulah yang harus dipisahkan dari kehidupan politik sehari-hari, karena di dalam demokrasi kita tidak mungkin menghakimi seseorang berdasarkan ukuran moral orang lain. Sejauh preferensi moral dan religi seseorang tidak diterjemahkan menjadi tindakan kriminal, maka negara harus bertindak imparsial didalam melayani hak-hak sipil dan politiknya. Atas dasar itulah negara berkewajiban mengedarkan etika publik, yaitu pendidikan kewarganegaraan yang membiasakan warganegara hidup dalam politik kemajemukan.
Kedaulatan Rakyat berarti bahwa keputusan politik dipertengkarkan atas kebutuhan keadilan dan kesetaraan sosial warganegara, dan bukan atas ukuran-ukuran hirarki kesolehan dan kesucian sebuah umat. Asumsi kedaulatan rakyat adalah bahwa semua orang setara dalam kecerdasan dan kebebasan, dan karena itu keputusan politik harus diambil dalam ruang antisipasi kesalahan, dan bukan dalam ruang kebenaran doktrinal.
Di dalam republik, "kebenaran" disirkulasikan dengan pikiran, dan bukan dengan keyakinan. Itulah sebabnya "kebenaran" dapat dibatalkan dengan argumen, dan bukan dipertahankan dengan kekerasan. Spekulasi epistemologis bahwa "kebenaran" itu harus satu, dan karena itu politik harus menjadi absolut, pernah membawa politik kita ke dalam sistem otoriterisme. Dan bila sekarang "kebenaran" itu hendak dipaksakan kembali atas dasar spekulasi teologis, maka kita sungguh-sungguh sedang mengumpankan diri pada otoriterisme teokratis. Inilah cara pandang monolitik yang kini semakin meluas dalam kehidupan politik kita akhir-akhir ini, suatu paradoks di dalam sistem demokrasi yang kita pilih.
Cara pandang politik semacam itu sesungguhnya berakar di dalam antropologi komunalisme yang kian tumbuh justeru dalam kondisi globalisasi. Komunalisme adalah alam pikiran konservatif yang memandang individu sebagai subyek tanpa eksistensi, yang identitasnya tergantung pada identitas komunitas. Komunalisme hendak menetapkan bahwa di luar komunitas, tidak ada identitas. Tetapi hal yang paling konservatif dari alam pikiran ini adalah keyakinan bahwa keutuhan komunitas memerlukan pengaturan doktrinal. Konsekwensinya adalah: tidak boleh ada pikiran bebas individu. Pandangan kebudayaan inilah yang kini sedang diedarkan melalui bawah-sadar politik rakyat oleh partai-partai berbasis agama, yang mengeksklusifkan kehidupan publik mengikuti parameter-parameter komunal. Secara kongkrit, pandangan itu berwujud dalam perda-perda agama.
Secara gradual kita merasakan infiltrasi pikiran itu dalam berbagai aturan publik dengan memanfaatkan fasilitas demokrasi, yaitu kekuasaan parlemen membuat undang-undang. Politik adalah upaya menguasai ruang publik. Demokrasi memang toleran terhadap kontestasi pikiran. Tetapi politik komunalisme hendak menutup ruang publik itu dengan suatu diktum ontologi absolutis: hanya boleh ada satu Ada, dan karena itu, ada yang lain tidak boleh ada!
Dalam versi sekulernya, pandangan komunalisme ini pernah memayungi praktek penyelenggaraan konstitusi kita, yaitu melalui doktrin "negara integralistik", suatu pandangan feodalistik yang dijalankan dengan dukungan militer di masa Orde Baru, dalam konspirasinya dengan kekuatan kapital. Praktek politik ini hanya mungkin berlangsung karena akar-akar budaya feodal itu memang ada di dalam masyarakat kita.
Tetapi bentuk komunalisme hari-hari ini adalah suatu sikap eksklusivisme religius yang memanfaatkan keterbukaan demokrasi, sambil mengeksploitasi simbol-simbol agama yang memang kuat tertanam dalam antropologi politik bangsa ini. Anda mungkin terkejut mendengar seorang murid SD menunjukkan jalan kepada sopir taksi, sambil mengingatkan: "itu rumah orang kafir lho!" Dalam kasus semacam ini, kita tahu ada problem serius tentang kewarganegaraan, kemajemukan, dan pikiran terbuka. Ada problem serius tentang kehidupan di sekolah-sekolah, di dalam kurikulum dan organisasi-organisasi masyarakat. Acuan konsep-konsep publik yang seharusnya menimbulkan toleransi horisontal, telah diajarkan justeru dengan doktrinasi diskriminatif pada generasi yang baru tumbuh.
Politik kita hari-hari ini sedang menjalankan "crypto-politics". Elit menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal, untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Sekarang ini, memimpin atau sekedar menjadi bagian dari suatu komunitas religius merupakan kebutuhan politis elit untuk mencapai status-status publik. Kesolehan menjadi simbol kewarganegaraan. Tatakrama menjadi pembatas kritisisme. Diskursus demokrasi menjadi tempat nyaman untuk mengorganisir kekuasaan dengan memanfaatkan peralatan agama. Simbol-simbol privat kini merajai kehidupan publik. Mayoritarianisme mendikte paham kedaulatan rakyat. Bahkan Mahkamah Konstitusi bersikap sangat adaptif terhadap logika "mayoritarianisme" itu, dengan menerima argumen-argumen privat dalam memutuskan urusan publik.
Benar bahwa sistem demokrasi membuka ruang kebebasan bagi berbagai aspirasi. Tetapi apakah aspirasi kebencian, misoginis, intoleran dan bahkan kriminal harus dinilai sama dengan aspirasi keadilan, otonomi tubuh, dan kebebasan berpendapat?
Di dalam demokrasi, realitas selalu berarti "realitas sosial". Yaitu kondisi kehidupan yang selalu memungkinkan kebenaran dikoreksi melalui bahasa manusia. Dan koreksi itu adalah pekerjaan duniawi yang harus terus diaktifkan, karena apa yang ada di akhirat tidak mungkin dikoreksi. Inilah realitas yang harus disimulasikan terus menerus, untuk menggantikan psikologi obsesif yang menghendaki pemenuhan kebenaran akhirat di Republik manusia.
Ide Republik memberi kita pelajaran moral yang sangat mendasar, yaitu etika publik harus menjadi satu-satunya ikatan kultural di antara warganegara. Etika publik adalah hasil negosiasi keadilan, didalam upaya memelihara kehidupan bersama berdasarkan apa yang bisa didistribusikan di dunia, dan bukan apa yang akan diperoleh di akhirat.
Misalnya, obsesi untuk menyempurnakan keadilan harus kita hasilkan melalui sistem pajak, karena melalui pajaklah relasi warga negara disetarakan. Karena itu, sangatlah janggal bila pajak saudara untuk keadilan sosial di bumi, digunakan negara mensubsidi mereka yang ingin masuk surga.
III
Dan kita adalah warganegara Dunia...
Soal yang juga terus menimbulkan kemenduaan mental politik kita hari-hari ini adalah masalah globalisasi. Ketakutan untuk masuk dalam percakapan politik global telah menghasilkan reaksi atavistik yang memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik koruptif dan mental feodal bangsa ini. Nasionalisme menjadi semacam "mantra penangkal bala" setiap kali kita membaca laporan-laporan dunia tentang index korupsi kita yang masih tinggi. Nasionalisme kita pasang sebagai tameng setiap kali diperlukan evaluasi hak asasi manusia dan kebebasan pers oleh masyarakat internasional. Kita tidak memberi isi nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis, "in-the-making", tetapi kita menyimpannya sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat politik.
Nasionalisme adalah identitas publik yang seharusnya kita olah dengan akal untuk ditampilkan sebagai modal diplomasi politik dan ekonomi. Nasionalisme masa kini ada pada keunggulan "national brand", dan bukan ditampilkan sebagai psikosis pasca-kolonial.
Dan khusus menyangkut isu neoliberalisme, reaksi kita bahkan nyaris mistik. Kita memakai tameng-tameng tradisi untuk memusuhi suatu alam pikiran yang tidak pernah berwujud di belahan bumi manapun. Kita mengorganisir kemarahan publik untuk memusuhi sesuatu yang adanya hanya di buku-buku filsafat. Tetapi seandainya pun perlawanan itu harus diberikan, kita justeru menolak mengajukan marxisme sebagai lawan filosofi yang sepadan, dan malah menyiapkan ayat-ayat agama sebagai kontra moral baginya. Agaknya, hanya di negeri ini dua ideologi yang bermusuhan, kita musuhi sekaligus. Kita menolak dua-duanya dengan akibat kita tidak pernah paham logika sesungguhnya dari susunan-susunan pikiran itu. Karena itu, retorika dan hiruk-pikuk seputar isu "neolib" terasa lebih sebagai hasil refleks psikologi poskolonial yang dangkal ketimbang hasil refleksi intelektual yang dalam. Akibatnya, slogan neoliberal menjadi stempel politik baru bagi siapa saja yang dianggap mengedarkan kebebasan individu atau mengucapkan dalil-dalil ekonomi pasar. Kita tidak merasa perlu untuk mendalami filsafat itu karena kita lebih mengandalkan emosi yang panas ketimbang analisa yang dingin. Politik stigmatisasi semacam ini tidak mendidik rakyat untuk mengucapkan argumen, karena memang hanya dimaksudkan untuk meneriakkan sentimen.
Di sinilah kita perlu kembali pada akal sehat, yaitu memeriksa konsekwensi politik dari suatu debat palsu tentang ideologi ekonomi. Pada tingkat kebijakan, urgensi untuk memenuhi kebutuhan rakyat tidak lagi diukur berdasarkan sistem-sistem abstrak ideologi, melainkan oleh tuntutan keadilan di dalam politik distribusi. Pemerintah yang korup, di dalam sistem ideologi apapun, pasti menyengsarakan rakyat. Demikian juga, pasar yang efisien tidak dirancang dengan variabel nepotisme di dalamnya. Jadi, mendahului berbagai perselisihan ideologi, kita harus memastikan bahwa korupsi dan arogansi politik tidak boleh dipelihara dalam sistem politik kita. Dari sana, baru kita dapat menyusun kombinasi paling rasional antara peran pasar dan negara dalam melayani warganegara.
Obsesi kita tentang "ke-Indonesia-an" hari-hari ini, tidak cukup lagi merujuk pada dokumen-dokumen historis di masa lalu (Sumpah Pemuda, Proklamasi, dll), tetapi kita perlu memperluasnya pada kebutuhan politik masakini untuk mewadahi "kemajemukan baru", yaitu kemajemukan yang timbul oleh percakapan kebudayaan dan teknologi global. Percakapan kebudayaan itu lebih sering berlangsung di dalam ruang maya, dan nampaknya demokratisasi pikiran dan ide lebih dihargai di dalam kondisi digitalnya, ketimbang dalam pergaulan sosial nyata.
Perkembangan "ruang politik digital" itu, menandai suatu transisi peradaban politik baru. Imajinasi misalnya, akan meloloskan diri dari sensor institusi-institusi formal negara, dan karena itu, ukuran-ukuran moral lama sesungguhnya sudah memasuki masa kadaluwarsa. Kini, sangat mungkin juga orang mendirikan rumah-rumah ibadah digital, bukan sekedar untuk menghindar dari lemparan batu kaum fundamentalis, tapi untuk sungguh-sungguh memberi tahu mereka bahwa surga juga dapat dibayangkan secara teknologis, dan diselenggarakan secara ekonomis.
Tetapi politik adalah penyelenggaraan keadilan di dalam ruang sosial nyata. Ruang digital tidak boleh berubah menjadi tempat mencari suaka. Ruang digital hanya boleh menjadi ruang konsolidasi subversif, untuk membebaskan ruang sosial nyata dari hegemoni politik konservatif-fundamentalis.
Sesungguhnya, sama seperti ruang demokrasi, ruang digital itu juga dimanfaatkan oleh politik fundamentalis untuk menimbun dan menyebar kebencian, intoleransi dan permusuhan. Jelas bahwa ruang digital hanyalah sarana operasi politik, sementara markasnya tetap berada di dalam ruang sosial nyata: di ruang rapat partai, di kelas-kelas sekolah, di rumah-rumah ibadah.
Dalam konteks solidaritas global itu, kondisi kemanusiaan tidak mungkin lagi dipahami dalam definisi-definisi primordial. Kita tidak menjadi "manusia" hanya karena terikat pada kesamaan etnis dan keyakinan. Kita menjadi manusia karena kita terikat pada problem sosial yang sama, yaitu kemiskinan dan krisis energi global. Kita tidak mencari rasa aman pada aturan-aturan komunal, bila kita paham bahwa hukum hak asasi manusia telah menyelamatkan peradaban dari politik genosida di berbagai penjuru dunia. Kemanusiaan kita hari ini lebih diikat oleh kewajiban global untuk mengatasi bencana alam dan memberi perlindungan pada para pencari suaka. Kemanusiaan adalah solidaritas etis terhadap masalah masa kini, dan bukan perkelahian ideologis di jalan buntu.
Mengucapkan kemanusiaan sebagai "solidaritas etis" harus memungkinkan setiap orang keluar dari koordinat mentalitas komunalnya. Pertemuan di dalam ruang politik adalah pertemuan untuk mempercakapkan kemungkinan-kemungkinan sosiologis, dan bukan kepastian-kepastian teologis. Menerima politik sebagai "ruang antagonisme", berarti memahami peluang untuk suatu konfrontasi etis demi alasan-alasan keadilan. Karena itu politik mengandaikan resipkrokasi percakapan, dan itu berarti wacana publik hanya dapat diselenggarakan bila keadilan dikonsepsikan secara sekuler. Anda tentu tidak membayar pajak untuk memperoleh "pahala akhirat", melainkan untuk menjamin keadilan di bumi. Artinya, solidaritas etis harus dapat diukurkan langsung pada kesosialan manusia hari ini, agar kita tidak menunda keadilan sampai tibanya hari kiamat.
Tentu saja kita masih masih perlu memandang diri sendiri melalui cermin-cermin identitas yang dipasang mengelilingi hidup komunal kita. Cermin-cermin itu seperti memberi rasa aman primitif kepada identitas seseorang. Kita bahkan perlu menggosok cermin itu agar kilaunya menimbulkan rasa unggul primitif pada kelompok. Tetapi sekali kita melangkah ke luar rumah, narsisisme itu tidak lagi banyak gunanya. Di dunia nyata, yang kita temukan adalah berbagai masalah sosial yang tidak mungkin sekedar diatasi dengan doa, sesajen dan mantra. Politik kelas tidak dapat ditunggu penyelesaiannya di akhirat. Demikian juga kerusakan lingkungan tidak dapat ditangkal oleh komat-kamit sejumlah dukun. Kesetaraan gender, bahkan menuntut cermin-cermin itu dipecahkan!
So, do you speak Pluralism? Do you speak Environmentalism? Feminism?, Queer? Kita sedang berbicara tentang "politics of recognition". Dan itu berarti pemihakan pada mereka yang tersisih oleh kekuatan-kekuatan kekuasaan, kapital dan kebudayaan. Dasar etis dari "politik pengakuan" ini adalah bahwa suatu kelompok yang tersisih hanya karena kedudukannya yang "minoritas" dalam masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan istimewa dari negara. Itulah alasan misalnya bagi pengakuan atas hak "affirmative action" bagi politik perempuan. Itu juga alasannya keperluan kita membela hak-hak "queer", karena orientasi seksual adalah kondisi yang sangat individual. Negara tidak dapat diperalat untuk menjalankan moral mayoritas.
Didalam diktum yang paling keras, negara justeru diadakan untuk melindungi kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok mayoritas yang masih menuntut pengakuan, adalah kelompok yang sebetulnya bermental minoritas.
IV
Di Republic of Hope
Kita menyelenggarakan Republik bukan karena keunggulan teoretis dari konsep itu. Kita menyelenggarakan Republik juga bukan karena asal-usul kebudayaannya. Kita memilih Republik karena hanya sistem itu yang mampu memelihara kemajemukan kita. Kita menyebutnya Republik Indonesia, tanpa predikat tambahan, karena hanya itu bentuk maksimal dari persaudaraan warganegara. Indonesia hanya bersatu dalam nusa, bangsa dan bahasa. Kita tidak ingin bersatu dalam urusan agama, tatakrama dan busana. Kita menyelenggarakan Republik agar kita bisa berselisih dalam soal-soal dunia, dan bukan bertengkar untuk soal-soal akhirat.
Sesungguhnya, negara ini tidak berlokasi di dalam situs-situs purbakala. Dengan mengucapkan proklamasi kemerdekaan, kita sekaligus memutuskan untuk bergaul dalam peradaban dunia modern yang dinamis. Dalam pergaulan global itulah kita melatih akal sehat kita, agar kita tidak cuma sanggup mencerca tanpa arah, atau marah ke segala arah. Reaksi-reaksi primitif itu hanya akan menguras enersi mental kita, untuk akhirnya menyerah pada kecepatan pikiran dunia.
Di situlah suatu bangsa memerlukan kepemimpinan politik visioner. Kepemimpinan yang cerdas, yang mampu membangkitkan imajinasi rakyat. Kecanduan pada kekuasaan adalah hal yang biasa bagi seorang pemimpin. Tetapi kecanduan yang tidak menimbulkan imajinasi pada rakyat, adalah kecanduan seorang pemimpin medioker. Kekuasaan memerlukan kecerdasan agar arah peradaban bangsa dapat dibayangkan dalam suatu psikologi harapan. Tetapi kesempatan untuk memperoleh psikologi itu kini tidak lagi tersedia, karena dari kepemimpinan serba-tanggung tidak mungkin terbit gagasan serba agung. Bangsa ini sekarang kehilangan imajinasi tentang sebuah Republic of Hope, dan kekosongan itulah yang kini diisi oleh para ahli akhirat.
Pepatah Itali mengingatkan: "Bila akal sehat tertidur, maka para monsterlah yang menguasai malam". Kepemimpinan yang gagal mengaktifkan akal sehat, bertanggung jawab terhadap munculnya Republic of Fear. Ekonomi dapat bertumbuh tanpa kebijakan pemerintah, tetapi keamanan warganegara dan keadilan sosial menghendaki pemihakan negara. Tanpa pemihakan itu, Republic of Fear akan tumbuh melampaui Republic of Hope.
Kita memelihara Republik, karena hanya dalam ruang politik itulah pikiran individu memperoleh kesempatan untuk diperiksa secara publik. Pikiran yang tidak dapat diperiksa di depan publik, adalah pikiran yang membahayakan Republik. Kita memelihara Republik karena kita ingin hidup dalam kesetaraan, kemajemukan dan keadilan. Marilah merawat Republik dengan akal sehat, agar para monster tidak menguasai malam, agar kita dapat nyenyak sepanjang malam. Karena besok, ada tugas menanti di Republic of Hope.
Terima kasih.
I |
ni adalah awal dari semuanya. Bagi orang sekelas Muhammad Yunus kredit bagi kaum miskin adalah hak azasi manusia, sementara bagi Muhammad Amien Aziz pendiri berbagai jenis lembaga keuangan mikro di Indonesia, kredit adalah bagian dari hak kaum miskin, baik azasi atau konstruksi, kaum miskin bahkan secara tersurat dalam agama yang dianut M. Amin Aziz memiliki hak dalam setiap harta orang yang berpunya. Atas dasar inilah Baitul Maal wat Tamwil (BMT)[1] atau Rumah Harta dan Pinjaman/pembiayaan dalam bahasa Indonesia didirikan (Muttaqien, 1994).
Filosofi utama dari BMT adalah setiap orang (terutama miskin) memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Dan masyarakat dalam suatu lingkungan, kita sebut saja suatu komunitas (dalam dakwah BMT disebut sebagai jamaah) wajib (fardhu kifayah) mengamalkan surat Al Maun, yaitu menolong sesama, membantu fakir miskin, dan menyantuni anak yatim (piatu). Sehingga konstruksi ideal sebuah masyarakat Islam (dalam suatu komunitas) tidak pernah mengalami permasalahan kurang gizi, anak terlantar, anak tidak bersekolah atau putus sekolah, dan tidak memiliki usaha.
Dari filosofi di atas BMT memiliki dua fungsi utama, yaitu mengumpulkan dan menyalurkan. Fungsi pertama mengumpulkan dimanifestasikan lewat kegiatan pengumpulan zakat, infaq, shadaqoh dan tabungan. Sedangkan fungsi kedua dimanifestasikan lewat kegiatan distribusi harta (maal) lewat zakat, infaq, shadaqoh (ZIS) dan tabungan. Fungsi kedua yaitu distribusi terkait dengan fungsi pembiayaan, yaitu unit pinjaman yang dibagi menjadi pinjaman kebajikan atau qardhul hasan yaitu pinjaman dengan kewajiban minimal untuk mengembalikan, dimana yang berhak menerima ini adalah faqir miskin (bisa jadi lanjut usia, keluarga miskin atau orang cacad/difable yang tidak mungkin mencukupi kebutuhan hariannya, atau dalam kasus tertentu mualaf yang membutuhkan). Sedangkan fungsi pinjaman yang harus dikembalikan, kita sebut saja kredit mikro, merupakan pinjaman yang didistribusikan kepada siapa saja yang membutuhkan, terutama orang miskin, dengan jaminan berupa orang atau dalam dunia perbankan disebut sebagai collateral[2]. Jaminan berupa orang inilah yang memiliki fungsi utama dalam kegiatan BMT, yaitu sebagai mendahulukan solidaritas dan kepekaan sosial dibandingkan menjadikan uang atau harta sebagai jalan untuk akumulasi modal. Dalam filosofi BMT dengan demikian solidaritas sosial merupakan ‘faktor produksi’ yang perlu dimiliki oleh setiap orang untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Dalam perjalanannya BMT ini memiliki pasang-surut, terutama setelah ada gerakan nasional Seribu BMT. Pasang bagi BMT adalah ketika pemerintah seolah-olah berpihak kepada masyarakat miskin lewat kebijakan populis, dalam konteks perkembangan BMT dialami apa yang disebut proyek Seribu BMT, setiap daerah wajib memiliki BMT dengan pendanaan atau modal pertama dan utama dari luar komunitas itu sendiri. Modal tersebut merupakan modal ‘proyek’ yang kemudian diamanatkan untuk kaum miskin, lewat lembaga keuangan yang disebut BMT. Berbagai ‘proyek’ sejenis juga diinisiasi oleh pemerintah dengan nama lembaga yang berbeda tapi memiliki filosofi proyek yang sama. Namun sayang penyertaan modal masyarakat tidak terlalu dipentingkan (dalam konteks lembaga keuangan adalah tabungan, sedangkan dalam konteks aset jamaah adalah ZIS dan tabungan).
Akhirnya lahirlah BMT Bina Insan Kamil dengan dana awal 2.256.000,- rupiah. Uang tersebut sebagian berupa infaq dan sebagian lagi berupa modal atau saham yamg ditanam. BMT Bina Insan Kamil ini merupakan bagian dari Yayasan Lembaga Bina Insan Kamil (LBIK) dan bernaung dibawah program PHBK BI. Dan secara operasional berjalan sejak tanggal 1 September 1993. (Pada saat tulisan ini dibuat di pertengahan 1994, aset BMT Bina Insan Kamil telah mencapai 20jutaan atau naik sekitar 10 kali lipat).
Jika dilihat dari perspektif partisipasi, maka keberhasilan BMT ini disumbang dari pemahaman bahwa agama Islam memerintahkan partisipasi ummatnya utuk terlibat dalam ‘politik’, yaitu mempengaruhi keputusan dan bertindak untuk menyelesaikan permasalahan. Dimana doktrin mengubah dengan tangan, lebih baik dibandingkan mengubah dengan lisan atau mengubah dengan hati (mendoakan agar keadaan/seseorang berubah).
Perspektif partisipasi disini (didapatkan lewat metode wawancara mendalam) akan memperlihatkan bagaimana proses keyakinan dan dogma agama ternyata dapat mengubah keadaan jika diturunkan menjadi alat dan metode. Dalam hal ini adalah mengubah ‘praktek’ mendapatkan keuntungan yang di dapatkan pada praktek ribawi (bunga pinjaman) menjadi ‘praktek’ bagi hasil yang di dasarkan atas margin yang di dapatkan bukan pada pokok pinjaman.
Tafsir haram atas bunga bank didudukkan sebagai ‘landasan ontologis’ dimana sifat fenomena tentang bunga bank dihubungkan langsung dengan interaksi (relasi) sosial (baca: fenomena ketidakadilan dan kemiskinan). Keberadaan bunga bank dihubungkan dengan diskursus mengenai hal tersebut di ruang publik).
Yang membuat BMT Insan Kamil dengan sistem ekonomi syariahnya (mengacu pada hukum yang terdapat dalam Kitab Suci Al Qur’an) cepat berkembang adalah diskursus di kalangan ummat Islam dan uji coba (exercise) atas ‘praktek’ bagi hasil pada nasabah. Pengetahuan mengenai bagi-hasil disebarkan kepada nasabah. Dan partisipasi nasabah diwadahi dalam bentuk kegiatan yang mengacu pada peningkatan kapasitas sosial masyarakat untuk berbagi, bukan sekedar kegiatan untuk mengakumulasikan modal. Kegiatan tersebut adalah.
1. Mengadakan pembinaan kepada para anggota dalam bentuk pengajian bulanan dan penerangan pengembangan usaha kecil.
2. Mengadakan penyuluhan minimal dua pekan sekali kepada masyarakat umum dalam rangka merekrut nasabah, disamping mensosialisasikan produk-produk baru.
3. Mengintensifkan pengelolaan dana ZIS, untuk disalurkan kepada pembiayaan kebajikan dan bantuan-bantuan sosial.
4. Memprogramkan dan mempersiapkan pembentukan BMT dalam skala lembaga keuangan yang lebih besar seperti BPRS (scaling up) dengan uang nasabah, artinya nasabah diberikan pilihan untuk dijadikan investor langsung, bukan cuma sebagai ‘penabung-debitur’. Pendekatan melibatkan nasabah ini yang membedakan ‘praktek’ konvensional dalam perbankan ataupun koperasi simpan-pinjam.
Pendekatan partisipasi juga bisa dilihat dari aspek bagaimana menjangkau ‘komunitas’, termasuk di dalamnya adalah mengidealkan komunitas muslim sebagai komunitas terbaik, jika mereka mencari ‘jalan keselamatan’ melalui landasan teologis mereka. Pendekatan ke komunitas ini berhasil dilakukan karena terdapat banyak teks dalam Kitab Suci Al Qur’an yang mengedepankan ‘jamaah’ atau ‘komunitas’ untuk mengorganisasikan dirinya untuk melawan musuh. Dalam pandangan Islam musuh terbesar adalah ‘nafsu binatang’, yaitu nafsu yang berkaitan dengan libido, yang bersumber pada pemberhalaan benda (baca: dunia fana) atau dalam metafora perut dan bawah perut. Artinya ketika akal dan hati tidak digunakan maka manusia akan memakan manusia lainnya.
Partisipasi dalam pandangan Islam melekat hak dan kewajiban. Artinya, hak tersebut dapat tidak digunakan, sebagai contoh tidak menghadiri suatu musyawarah. Kewajiban artinya, setiap individu wajib terlibat dan menerima keputusan yang dibuat dalam musyawarah. Dalam konteks berjamaah kewajiban artinya wajib bertanggung jawab atas nasib kawan seiman (aqidah), terutama dalam lingkungan kebertetanggan. Dasar-dasar inilah yang menyebabkan mengapa pemberdayaan ekonomi dalam Islam dipusatkan pada ‘tempat’ yaitu masjid. Dimana ‘fungsi sosial’ masjid bukanlah sebagai tempat berdoa namun sebagai tempat untuk berinteraksi baik sosial, politik, ataupun ekonomi. Disini teks menemukan konteksnya.
Misalnya untuk skema pinjaman (pembiayaan) untuk orang yang paling miskin dibuatlah pembiayaan qardhul hasan yang diambil dari skema ZIS. dan pendekatan pembiayaan komersil dan produktif yang diambil dari tabungan anggota, terutama tabungan investasi (simpanan berjangka). Dalam pembiayaan kebajikan (qardhul hasan) nasabah tetap memiliki kewajiban membayar pokok pinjaman sesuai dengan kemampuan mereka, jika tidak sanggup maka tetap diwajibkan untuk berinfaq atau sedekah (yang menurut Islam dilakukan pada saat lapang (have) dan sempit (not have).
Pendekatan ini sangat manjur, karena pertolongan yang diberikan oleh BMT ternyata mendorong nasabah untuk tidak melupakan nasib orang yang berada dibawah nasibnya sendiri, sehingga secara mental nasabah dididik untuk berkorban, sekecil apapun. Dan ditanamkan rasa percaya bahwa dalam sedekah atau pengorbanan kita tidak kehilangan harta kita, namun justru menambah aset kita (khususnya dari sisi sosial), hal ini sekaligus membuktikan bahwa dalam mengatasi masalah sosial harus dilakukan dengan kolektivitas sosial.
Menurut manajer pada saat itu biasanya orang yang telah mendapat pinjaman kebajikan akan merasa malu jika terus dibantu, sehingga ia mulai mencoba meminjam dengan skema pembiayaan komersil, yang pada saat itu dimulai dari dua puluh ribu rupiah (dengan kurs dollar Amerika, kalau tidak salah, sekitar 1.250,- rupiah ekuivalen dengan satu dollar).
Sedangkan pada pembiayaan non orang miskin dibagi menjadi dua, yaitu skema produktif dan skema komersial. Skema dibagi menjadi: (a) pembiayaan investasi (untuk memulai usaha dan barang modal/investasi), dan (b) pembiayaan modal kerja (untuk menambah modal). Pembiayaan investasi memiliki jangka waktu sekitar 1 tahun, sedangkan untuk pembiayaan modal kerja memiliki jangka waktu mulai dari seminggu sampai tiga bulan.
Sedangkan pembiayaan komersial nasabah dibolehkan untuk meminjam dalam bentuk dibelikan barang. Misalnya nasabah ingin membeli motor (pada saat itu (1994) motor lebih banyak digunakan (berfungsi) sebagai kendaraan sehari-hari, bukan untuk ojek (alat produksi), maka BMTlah yang membeli motor tersebut, bukan nasabah. Sedangkan nasabah tinggal mencicil motor tersebut ke BMT (bukan ke dealer motor). Begitu juga bila nasabah berkeinginan untuk membeli buku, alat dapur, furnitur, rumah, kulkas, dan lain-lain. Pada skema pembiayaan komersil ini sesungguhnya masyarakat diajarkan untuk membeli sesuai dengan kebutuhan, karena tidak semua permohonan pembiayaan ini dikabulkan, hal ini terkait dengan permasalahan nilai-nilai mengenai konsumsi berlebih, fetisme komoditas, dan barang-barang yang diharamkan untuk dipertukarkan.
Mempersoalkan Pendekatan Partisipasi versi PRA
Dalam pendekatan partisipasi walaupun kental dengan nuansa emik, namun fasilitator terkadang tidak sabar untuk memahami latar ideologi ataupun apa yang sekarang disebut sebagai pengetahuan lokal. Dalam pendekatan partisipatif ideologi hampir pasti dijadikan lawan atau ortodoksi (karena mendominasi, terlebih jika itu adalah wahyu Tuhan). Padahal tafsiran emik adalah tafsir realitas partisipan atas dunia mereka. Dalam pemihakan terhadap yang ‘lokal’, ‘partisipan’, PRA dapat dan memiliki kecenderungan kuat untuk menjadi pendekatan etis ataupun positivis dimana setiap teori dapat dimasukkan ke dalam setiap ruang dan setiap waktu.
Pada pendekatan positivis seperti ini generalisasi teori dilakukan, sehingga intertekstualitas dalam hal ini berbagai macam sumber pengetahuan yang ada di kepala partisipan dan observer tidak lagi sebagai bahan untuk menafsirkan, mendiskripsikan, ataupun menarasikan partisipan, subyek atau keadaan (baca: gambaran budaya).
Jika dikaitkan dengan permasalahan penafsiran maka PRA juga dapat kehilangan daya tafsirnya atas truktur masyarakat yang diandaikan selalu beroposisi biner, kaya-miskin, penguasa-dikuasai, dll. Henkel dan Stiratt (2001) mengkritik Chambers dengan mengkaitkan simbol dengan kehidupan keseharian (everyday life). Turner (1967) dalam The Forest of Symbols memperlihatkan bahwa simbol memainkan peranan dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat Ndembu, simbol tersebut tertanam dalam ritual dan ide, dan nilai-nilai masyarakat Ndembu. Turner memberikan metodologi bagaimana simbol tersebut dapat digunakan untuk melihat struktur sosial, [1] Melihat tampilan lahirian dan detil karakteristik yang dapat diobservasi, [2] menterjemahkannya lewat sang ahli (specialist) dan orang awam, partisipan (laymen), [3] mengkomparasikan secara kontekstual (kebudayaan lain, di belahan dunia lain) [i]. Turner secara kritis mempertanyakan cara yang ia lakukan tidak luput dari pertanyaan, ’tafsir untuk siapa?’
Dalam rangka mendamaikan ’kekerasan’ yang dilakukan PRA, meminjam Geerzt yang memakai analisa bahasa dalam menjelaskan simbol. Sebagai fenomena bahasa maka simbol bersifat publik, karena makna merupakan suatu konsensus, sebagai sebuah kesepakatan, simbol juga berfungsi sebagai pembawa makna (vehicle of meanings) bagi pemakainya dan oleh sebab itu dapat berubah, Geerzt menyebutnya sebagai politik makna. Budaya dalam hal ini bukan lagi dipandang sebagai tradisi dan kebiasaan, namun struktur makna yang ditentukan melalui pengalaman individu, politik bukan lagi berbicara tentang kudeta atau konstitusi, namun sebagai arena (fields) dimana struktur (makna individu atas ’kata politik’) tersebut disingkapkan [ii].
Artinya, pendekatan partisipasi (PRA) selain bertugas untuk mengungkapkan ketimpangan dalam struktur sosial dan membuat alternatif tindakan, juga perlu ’mempersenjatai diri’ dengan melakukan translasi budaya dan kelembagaan yang bekerja di masyarakat. Sehingga tiga pilar yang diidamkan berjalan dalam pendekatan PRA, yaitu (1) berbagi dan kemitraan (sharing and partnership), (2) metodologi dan alat (methods and tools), dan (3) sikap (attitudes) dapat menemukan ‘ruhnya’ di dalam ‘komunitas’ atau subyek penelitian-yang saya maksudkan dengan menemukan ruh adalah apropriasi pendekatan terhadap budaya setempat.
[1] Pengertian BMT (Baitul Maal Wattamwil)
Baitul Maal Wattamwil mempunyai dua pengertian yaitu Baitul Maal dan Baitul Tamwil.
- Baitul Maal adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menerima dan menyalurkan dan umat Islam yang bersifat non komersial. Sumber dana Baitul Maal berasal dari zakat, infaq, shodaqoh, hibah, sumbangan lain.Adapun yang berhak menerimanya adalah fakir, miskin, mu’alaf, orang dalam perjalanan, hamba sahaya, amilin, dan orang yang berjuang dijalan Allah.
Ciri -ciri operasi Baitul Maal adalah :
1.Visi dan Misinya bersifat sosial
2. Berfungsi sebagai mediator antara pembayar zakat dan penerima.
3. Tidak mengambil profit dari operasinya.
4. Pembiayaan opeerasi diambil 12,5 % dari total zakat yang diterima.
- Baitul Tamwil
Adalah institusi keuangan Islam yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana dari pihak ketiga dan memberikan pembiayaan kepada usaha produktif.
Sumber dana Baitul Tamwil berasal dari simpanan, saham dan lain-lain. Alokasi dananya kepada pembiayaan - pembiayaan dan investasi. Ciri-ciri Operasional Baitul Tamwil adalah :
1. Visi dan Misi ekonomi/bisnis
2. Dijalankan berdasarkan prinsip ,ekonomi Islam.
3.Mempunyai fungsi sebagai mediator antara pemilik kelebihan dana (penabung) dengan pihak kekurangan dana (peminjam).
4. Pembiayaan Operasi beerasal dari asset sendiri atau dari keuntungan.
5. Merupakan wajib zakat.
[2] Masalah agunan dalam Institusi Keuangan Syariah (IKS, seperti BMT) merupakan salah satu bahasan. IKS juga mengenal agunan (rahn) dan personal guarantee. IKS juga mengenal lembaga penjamin kredit (insurance) bagi para penabung dan peminjam. Yang tidak tegas menjadi aturan main dalam sistem konvensional adalah penghapusan hutang. Dalam IKS dikenal dengan pinjaman qardhul hasan. Yaitu pinjaman untuk kebajikan. Pinjaman ini secara akuntansi dapat saja menjadi cadangan bila ada nasabah yang tidak mampu lagi membayar utangnya. Dan dalam IKS orang yang mendapat kesulitan seperti ini (terancam bangkrut) justru wajib ditolong (kecuali ada faktor penipuan) dengan memberikan kelapangan pembayaran pokoknya. Dalam sistem konvensional, yang terjadi adalah kebalikannya justru pokoknya dibiarkan dengan bunga yang bisa jadi terus berbunga (lihat praktek rentenir dan pembayarannya cicilan utang luar negeri kita!).
Rating: | ★★★ |
Category: | Other |
Ke Jakarta Aku kan kembali. Penduduknya selalu mengeluh, lebih tepatnya menuntut. Walau banyak mal (yang maligned) pedagangnya mengeluh kurang tempat usaha. Intelektualnya mengeluh tentang perpustakaan. Kelas atas (tepatnya yang memiliki mobil) mengeluh tentang anarki di jalan oleh gerombolan yang disebut pengendara motor. Ekspatriat mengeluh tentang kemunculan konvoi kendaraan orang yang pergi mengaji sambil membawa bendera (bukan Kitab). Pejalan kaki mengeluh kondisi trotoar. Pemerintahnya mengeluhkan anggaran. Orang-tua (manula) mengeluhkan tangga penyeberangan. Yang baru datang ke Jakarta mengeluhkan rasa aman. Pengendara di jalan mengeluhkan tanda acuan tempat dan rambu yang terhalang dedaunan. Rampok mengeluhkan kemacetan. Pemabuk mengeluhkan suara bajaj. Sopir angkot mengeluhkan rute dan anak sekolah. Pemilik toko mengeluhkan galian kabel. Pelacur mengeluhkan razia. Usahawan mengeluhkan demontrasi. Turis lokal mengeluhkan harga kaget di kaki lima. Anak sekolah mengeluhkan tempat main. Jakarta sebagai tempat seperti dikutuk untuk terus-menerus menerima keluhan. Sebagai ruang ia begitu merindukan seperti lagu Koes Plus di muka. Ke Jakarta Aku kan kembali, walau apapun yang kan terjadi.
Jakarta dan Banjir
Dulu ada misbar (gerimis bubar) yaitu bioskop layar tancap. Saya menontonnya di kuburan (Kober) sekitar Jatinegara tahun 1980-an. Sekarang misbar pindah ke kantor di koridor Sudirman-Thamrin-Kuningan, menjelang jam tiga sore sambil menatap jendela mereka bergumam: mending misbar deh daripada sampai rumah jam sebelas malam.
Jakarta dan Malaisme
Malaisme yang dimaksud adalah malaisme ekonomi, budaya, dan politik. Mereka berkelindan menjadi ‘apapun jadi’. Bagi orang miskin, sekarang ‘mainan China’ adalah cara termurah untuk membelikan mainan untuk anak. Harga yang sebanding dengan mutu atawa harga yang tidak pernah berbohong (itu dulu, ketika jaman merpati tidak pernah ingkar janji). Sekarang bohong jika ada harga yang murah, karena ada istilah spanyol-separoh nyolong, BM-untuk barang selundupan, dan Ori-untuk barang bajakan tapi Made In China (untuk membedakannya dengan buatan (bajakan) dalam negeri).
Karena malaisme juga Amerika melakukan kontrol khusus dan kuota untuk barang dari China. Negeri pragmatis dan liberal ini memang punya standar ganda untuk berbagai kepentingan. Indonesia seperti apa, mungkin ekonom yang bisa menjelaskannya. Tapi Jakarta tempat segala macam ada, utamanya barang, uang, ide, manusia dari berbagai tempat. Paling asik bicara narkoba, dimanapun di Jakarta terdapat kemudahan mendapatkan barang ini, membuat kita bangga akan hadirnya sejenis ‘pasar terang’, yang membawa berkah fantasi.
Kembali kepada malaisme, ada catatan bahwa Jakarta sudah lama terpengaruh oleh iklim investasi global karena bagian dari pusat sumberdaya dunia sejak masa kolonial, sehingga tidak heran selain artifak kolonial dalam bentuk arsitektur hukum, aparatur negara dan aparatur ideologi, Jakarta tidak bisa diutak-atik oleh sembarang orang. Karena akan mengurangi jatah tetesan. Sebenarnya ekonomi jugalah yang mendorong politik, dari politik di DPRD Jakarta sampai ke politik juru parkir. Sehingga soal kemacetan melulu dilihat dari aspek ekonomi, bukan dari tingkat stres atau udara yang lebih sehat dan bebas timbal berbahaya untuk generasi depan. Malaisme ini banyak dilawan oleh iklan: di spanduk, di baliho, baik oleh Partai maupun oleh perusahaan multinasional, iklan yang sesungguhnya ingin menyatakan pilih dan beli (bukan kami penyebab kemandulan). Budayakan beli dan teruslah mengkonsumsi lebih.
Berjalan di Jakarta bisa membuktikan hal-ihwal malaisme ekonomi, budaya, dan politik. Semua orang komplain tentang ketidakbahagiaan mereka. Beberapa komunitas muda dan tidak muda menerobos hal itu, I’m happy whatever I’am angry. Orang Jakarta seharusnya berani menyatakan Saya marah, sebab itu saya bahagia.
Jakarta dan Peta
Silahkan periksa peta Jakarta. Terlihat lebih banyak gang dibandingkan jalan. Silahkan keliling Jakarta, lebih banyak tempat tanpa peta, dengan gang-gang terpaksa, dibuat karena involusi permukiman. Selain peta dan kode pos, butuh kemahiran yang bukan amatiran untuk mencari tempat di Jakarta. Jakarta sesungguhnya bagus untuk orang yang memiliki niatan tersesat.
Rating: | ★★★ |
Category: | Other |
the cognition of the cities is linked to the deciphering of the dreamslike outlines of their images (Sigfried Kraucauer)
Hujan di Jakarta. Kota seperti terapung. Orang-orang yang saling bergegas seperti biasa saling jegal di jalan. Kita butuh Gubernur baru, mungkin Gubernur Jenderal seperti masa kolonial, dimana Jakarta ditata dengan indah, ada taman, jembatan melengkung, perumahan dengan kebun di halaman depan dan belakang, gedung pertunjukkan dan bioscoop, dan orang-orang pribumi yang ditempatkan di luar tembok kota. Orang pribumi yang tidak terdidik (walau kaya), hanya mengotori ruang kota, mengambil wilayah ruang publik dan tidak tahu tentang bagaimana menjadi urban-mereka hanya kaum migran, belum mengalami revolusi urban. Tidak ada hukum, tidak ada tata kewargaan. Tapi itu kata kaum kolonialis, mereka berpikir budaya mereka, adat istiadat, kesantunan, pengalaman mereka di Eropa dapat begitu saja diterapkan dalam mental orang pribumi. Tembok kota? Tanpa itupun Jakarta sekarang telah mengalami segregrasi sosial yang parah dan rumit, dan semua itu dimulai dari jalan. Jakarta sekarang dikuasai oleh kaum pribumi, dan inilah impian mereka.
Hasrat kota adalah daya untuk mengubah mental orang yang datang untuk tunduk pada imaji kota, sebuah utopia yang dimiliki setiap yang datang. Mimpi penghuni membumbung dari tempat-tempat yang jauh. Mimpi ini menghubungkan masa depan dan masa lalu. Jakarta, kota yang dirawat oleh mimpi: memiliki rumah, penghasilan yang tetap tanpa paceklik, kendaraan untuk bekerja. Kolektivitas ada di ruang masa lalu, di Jakarta hanya ada aku yang kemudian menjadi komunitas anomi, yang ada hanya hasrat untuk mencari dan mengumpulkan benda-benda untuk dibawa dan dipamerkan ke/di desa, hasrat kota adalah daya untuk mengubah mental orang yang datang untuk tunduk pada imaji kota.
Tembok dibangun, tembok pengaman dari kota yang dihantui teror dari cerita tentang Jakarta yang garang, cerita yang dibawa oleh pejabat asal daerah mana, sopir asal daerah mana, pembantu asal daerah mana, preman asal daerah mana. Bahkan iklan tentang orang bertanya, “Mas, aslinya mana?”, di fotocopy-an jawabannya. Pengalaman urban orang Jakarta adalah asumsi apriori, secara keseluruhan adalah fotocopian, Jakarta mesin fotocopy yang mengantarkan kesamaan imaji penghuninya tentang kota yang garang, tidak bersahabat, penuh celaka, penuh curiga, serba sibuk, serba halal, serba ada. Jakarta sebuah kota dengan imaji deduktif.
Hujan di Jakarta. Orang-orang merasakan kesepian luar biasa di tengah kebisingan dan kemacetan biasa. Orang mengamuk. Orang kehilangan. Orang takluk. Kali ini pengalaman di Jakarta yang perlu dibagikan ke masa lalu adalah: di Jakarta kita berjalan mengambang. Selalu berada di antara. Terkadang berada di situasi beku, seperti tidak ada alternatif jalan keluar. Suasana fotocopyan sangat terasa, debu karbon menghiasi langit imaji dari tempat-tempat penghuninya berasal. Orang-orang yang melompati tembok kota.
Jakarta dan masa lalu. How long have it’s been, since you have been here. Banjir di Jakarta kabarnya sudah ada sejak jaman pra sejarah, temuan arkeologi menyatakan sebagian Jakarta memang sering terendam air, sebagian lagi terendam terus-menerus, bahkan sebelum kota ini dibangun. Lanskap kuno Jakarta terdiri dari tanah aluvial[1] yang subur dan rawa, pemerintah kolonial kemudian mensiasatinya dengan membangun kota yang ramah terhadap banjir. Kanal, kali dan sungai dipelihara, konsep tata kota yang berkelanjutan diperkenalkan dengan visi yang jelas, membangun untuk selamanya. Pemerintah kolonial membangun dengan visi lebih dari 100 tahun. Meski begitu, banjir masih terus mendera Jakarta yang dulu disebut Ratu Dari Timur: Batavia. Visi lebih dari 100 tahun tidak membuat pemerintah kolonial menderita, dengan visi jangka panjang tersebut diharapkan tidak ada repetisi malapetaka. Sekarang Jakarta kehilangan tangan, kehilangan kaki, kehilangan mata, dan sangat mungkin kehilangan jiwa. Hasrat kota merubah mentalnya lewat pengalaman yang menyedihkan, Ratu Dari Timur, menjadi Jakarta yang mengalami schizophrenia [2]. Setiap penghuni mempersepsi realita dengan pendekatan deduksi dari pendahulunya, gagal mencipta pengalaman baru. Pikirannya ada di angan-angan, di impian yang rabun.
Hujan di Jakarta. Disumpahi penghuninya. Mereka bilang setan turun mengunjungi mereka. Air kata Hukum Archimedes mengisi ruang kosong dengan volume tetap. Di masa lalu hujan dicari, bahkan ada cerita tentang seorang sakti yang dijadikan wali Tuhan cuma karena berhasil menurunkan hujan, hujan yang diserap tanah, menghapus jejak debu karbon di udara, mengundang koor bariton kodok, mencipta guguran bunga jambu. Kini tidak banyak lagi nyanyian menyambut hujan. Di kepala hujan menjadi situasi pening dan sampah musim.
Di saat hujan tumpah ke dalam ingatan, tiba-tiba datang pertanyaan dari lagu lama Have You Ever Seen The Rain?[3] Hujan dengan nuansa folk yang kental, itukah masa lalu, hujan yang datang sebagai kenangan, mengolah alam bukan memusuhinya. Hujan yang mengisi ruang kolektif yang seharusnya ditanam dan disemai juga di masa kini dan masa depan dengan volume yang sama. Sudahkan kita benar-benar merasakan hujan mengalir di wajah dan tubuh kita. Mungkin saatnya kita berjalan (bukan berkendaraan) di bawah hujan, jika perlu telanjang, menari, let’s twist again, biarkan hujan menghapus lupa kita. Mungkin itu yang ingin diucapkan hujan.
[1] alluvium |əˈloōvēəm|
noun
a deposit of clay, silt, sand, and gravel left by flowing streams in a river valley or delta, typically producing fertile soil.
[2] schizophrenia |ˌskitsəˈfrēnēə; -ˈfrenēə|
noun
a long-term mental disorder of a type involving a breakdown in the relation between thought, emotion, and behavior, leading to faulty perception, inappropriate actions and feelings, withdrawal from reality and personal relationships into fantasy and delusion, and a sense of mental fragmentation.
• (in general use) a mentality or approach characterized by inconsistent or contradictory elements.
[3] Judul lagu dari kelompok Creedence Clearwater Revival (CCR)
Rating: | ★★★ |
Category: | Other |
Membaca film Backyardigan Episode Robot Rampage
Ada kejadian di Wasior. Ada peristiwa pembalakan hutan dimana-mana. Ada kejadian anak SD gantung diri. Ada peristiwa antrian jamaah haji sampai 2012. Ada yang mengharamkan film tentang kiamat 2012. Ada kejadian nenek-nenek dipenjara karena beberapa butir singkong. Ada peristiwa penangkapan orang yang diduga tersangka yang selalu berakhir dengan kematian. Ada kejadian jalan amblas. Ada peristiwa tender palsu setiap tahun. Ada peneliti gadungan pencipta energi baru dan padi super. Ada banyak peneliti kebingungan berbuat apa. Ada kejadian judul lagu dari pencipta debutan di tes masuk pegawai. Ada stanza Rendra yang tidak pernah masuk pelajaran sosial. Ada peristiwa demonstrasi mahasiswa. Ada kejadian satu batalyon menyerbu kampung. Ada peristiwa yang dipenuhi oknum. Ada institusi yang seluruhnya organnya layak disebut oknum. Ada peristiwa yang membutuhkan kambing hitam. Ada kejadian yang pelakunya anonim namun populer. Ada bencana yang menimbulkan kematian. Ada peristiwa yang menimbulkan kemiskinan. Ada kejadian yang jauh dari Pusat. Ada peristiwa di Pusat. Ada kegelisahan di pinggiran. Ada yang kegerahan di Pusat. Ada yang tidak peduli Pusat dan Pinggiran. Ada peristiwa yang tetap temporer. Ada peristiwa temporer yang temporer. Ada yang berubah dari situasi ke situasi lain. Ada yang bergerak dari kesempatan ke kesempatan lain. Ada kejadian yang diulang tayang. Ada kejadian yang dilarang tayang. Ada studi banding tentang etika. Ada peristiwa tentang penjelasan tak masuk akal. Ada kejadian masuk akal tak terjelaskan. Ada Laksamana Maeda. Ada Sjahril Johan. Ada Susno Duaji. Ada Soekarno. Ada Hatta. Ada Soeharto. Ada Pangkokamtib. Ada Densus 88. Ada Kartosuwirjo. Ada Semaun. Ada peristiwa makan malam korban G30S PKI dengan korban stigma G30S PKI. Ada Pablo. Ada Tyron. Ada Tan Malaka. Ada Sarimin. Ada Casmadi. Ada Minar. Ada Widhyanto. Ada Jong Ambon. Ada Jong Java. Ada Superman Is Dead. Ada Netral. Ada peristiwa proklamasi. Ada kejadian korupsi. Ada peristiwa Sumpah Pemuda. Ada kabar tentang Supersemar. Ada Bagong. Ada Tukul. Ada peristiwa sulap ilusi. Ada peristiwa sulap kecepatan tangan. Ada kejadian di buku sejarah. Ada buku mari belajar sulap untuk bukan pesulap. Ada buku resep untuk orang biasa. Ada maestro yang tidak pernah baca buku. Ada kejadian dalam gerak lambat. Ada kejadian pencopet dibakar massa. Ada peristiwa 4 tahun penjara untuk korupsi 6 trilyun dikurangi masa remisi. Ada kejadian di halaman belakang. Ada peristiwa di teras depan. Ada headline. Ada downline. Ada perbuatan baik yang artinya membayar upeti. Ada peristiwa buruh mogok. Ada peristiwa mantan majikan kembali memiliki Bank. Ada maling beraksi selama tiga generasi. Ada masa damai. Ada peristiwa khaos. Ada Aristoles. Ada BURT DPR RI. Ada jaringan yang diungkap melibatkan 40 juta orang diduga militan radikal. Ada jaringan yang berisi 10 orang yang diduga militan koruptor yang tidak bisa diungkap. Ada peristiwa sepakbola dengan skor 7-1. Ada peristiwa pemilihan idola. Ada rekor MURI untuk yang terpanjang, terbesar, dan teraneh. Ada museum yang kosong dengan artefak yang tak terbantah. Ada peritiwa petani kelebihan produksi. Ada kejadian beras impor menjadi produk beras miskin. Ada stasiun TV penuh dengan berita kontroversi. Ada stasiun TV cuma bicara kebaikan dan upaya sehat manusia mempertahankan kemanusiaannya. Ada peristiwa kematian berkali kali di film kartun Tom and Jerry. Ada kejadian tawuran pelajar. Ada peritiwa pelemparan batu kepada polisi dan disebut anarki. Ada kejadian pelemparan korek api di jalan tol dan tidak disebut pungli selama tidak jelas bukti dan saksi. Ada kejadian perambahan hutan untuk berladang seperempat hektare dengan rotasi 10 tahun. Ada bukit 100.000 hektare dibabat dalam satu tahun. Ada kejadian pembakaran hutan. Ada peristiwa kebakaran hutan tanpa kanopi. Ada kasur berenang sampai jauh ke kepulauan Seribu. Ada kejadian air tanah tercemar tinja. Ada banyak rumah tanpa tangki septik. Ada penggelontoran limbah industri setiap hari di kali Jakarta. Ada slogan serahkan pada yang ahli. Ada yang terburu kampanye bekerja untuk Jakarta. Ada peritiwa orang yang selalu bekerja dan bahagia. Ada kejadian orang yang selalu bekerja dan tidak bahagia. Ada perisiwa orang yang sedikit bekerja dan bahagia. Ada kejadian orang yang sama sekali tidak bekerja dan bahagia. Ada banyak penggangguran dan ada yang bahagia. Ada kejadian dalam statistik. Ada peristiwa di luar statistik yang disebut fakta. Ada orang yang masih setia menulis fiksi. Ada penyiar yang tidak bisa membedakan fakta dengan opini. Ada peristiwa orang yang kecanduan iklan. Ada tontonan anak yang lebih menarik dibandingkan film horor imbesil Scoby Doo. Ada tulisan di depan tambang dengan saham 100 persen asing: aset penting nasional. Ada peristiwa hasil ujian pelajaran bahasa Indonesia yang tidak pernah lebih baik dibandingkan dengan bahasa Inggris atau Korea. Ada bahasa yang susah dimengerti. Ada Bhinneka Tunggal Ika. Ada serat Centhini. Ada dokumen bercerita tentang keberadaan yang tidak ada. Ada peristiwa di setiap senja. Ada yang berlalu begitu saja. Ada sentuhan yang menjadi ingatan. Ada yang mustahil dilupakan. Ada banyak kejadian dan peristiwa yang saling berhubungan dan tidak saling berhubungan namun sama-sama menjelaskan satu masalah dan pertanyaan tentang mengapa.
Ada sekumpulan robot yang mengalami kerusakan program, hanya bisa berucap
All System Is A Ok!
Ada satu robot yang masih bekerja sesuai dengan program, memiliki kalimat pertama
All System Is A Ok!
Ada kejadian robot ingin menghentikan robot. Ada peristiwa selaksa robot dikalahkan satu robot.
Tidak ada robot yang berhasil melawan program.
rampage
verb |ˈramˌpāj| [ intrans. ]
(esp. of a large group of people) rush around in a violent and uncontrollable manner : several thousand demonstrators rampaged through the city.
noun |ˈramˌpāj| |ˈrømˈpeɪdʒ| |ramˈpeɪdʒ| |ˈrampeɪdʒ|
a period of violent and uncontrollable behavior, typically involving a large group of people : thugs went on a rampageand wrecked a classroom.