Ke Jakarta Aku kan kembali. Penduduknya selalu mengeluh, lebih tepatnya menuntut. Walau banyak mal (yang maligned) pedagangnya mengeluh kurang tempat usaha. Intelektualnya mengeluh tentang perpustakaan. Kelas atas (tepatnya yang memiliki mobil) mengeluh tentang anarki di jalan oleh gerombolan yang disebut pengendara motor. Ekspatriat mengeluh tentang kemunculan konvoi kendaraan orang yang pergi mengaji sambil membawa bendera (bukan Kitab). Pejalan kaki mengeluh kondisi trotoar. Pemerintahnya mengeluhkan anggaran. Orang-tua (manula) mengeluhkan tangga penyeberangan. Yang baru datang ke Jakarta mengeluhkan rasa aman. Pengendara di jalan mengeluhkan tanda acuan tempat dan rambu yang terhalang dedaunan. Rampok mengeluhkan kemacetan. Pemabuk mengeluhkan suara bajaj. Sopir angkot mengeluhkan rute dan anak sekolah. Pemilik toko mengeluhkan galian kabel. Pelacur mengeluhkan razia. Usahawan mengeluhkan demontrasi. Turis lokal mengeluhkan harga kaget di kaki lima. Anak sekolah mengeluhkan tempat main. Jakarta sebagai tempat seperti dikutuk untuk terus-menerus menerima keluhan. Sebagai ruang ia begitu merindukan seperti lagu Koes Plus di muka. Ke Jakarta Aku kan kembali, walau apapun yang kan terjadi.
Jakarta dan Banjir
Dulu ada misbar (gerimis bubar) yaitu bioskop layar tancap. Saya menontonnya di kuburan (Kober) sekitar Jatinegara tahun 1980-an. Sekarang misbar pindah ke kantor di koridor Sudirman-Thamrin-Kuningan, menjelang jam tiga sore sambil menatap jendela mereka bergumam: mending misbar deh daripada sampai rumah jam sebelas malam.
Jakarta dan Malaisme
Malaisme yang dimaksud adalah malaisme ekonomi, budaya, dan politik. Mereka berkelindan menjadi ‘apapun jadi’. Bagi orang miskin, sekarang ‘mainan China’ adalah cara termurah untuk membelikan mainan untuk anak. Harga yang sebanding dengan mutu atawa harga yang tidak pernah berbohong (itu dulu, ketika jaman merpati tidak pernah ingkar janji). Sekarang bohong jika ada harga yang murah, karena ada istilah spanyol-separoh nyolong, BM-untuk barang selundupan, dan Ori-untuk barang bajakan tapi Made In China (untuk membedakannya dengan buatan (bajakan) dalam negeri).
Karena malaisme juga Amerika melakukan kontrol khusus dan kuota untuk barang dari China. Negeri pragmatis dan liberal ini memang punya standar ganda untuk berbagai kepentingan. Indonesia seperti apa, mungkin ekonom yang bisa menjelaskannya. Tapi Jakarta tempat segala macam ada, utamanya barang, uang, ide, manusia dari berbagai tempat. Paling asik bicara narkoba, dimanapun di Jakarta terdapat kemudahan mendapatkan barang ini, membuat kita bangga akan hadirnya sejenis ‘pasar terang’, yang membawa berkah fantasi.
Kembali kepada malaisme, ada catatan bahwa Jakarta sudah lama terpengaruh oleh iklim investasi global karena bagian dari pusat sumberdaya dunia sejak masa kolonial, sehingga tidak heran selain artifak kolonial dalam bentuk arsitektur hukum, aparatur negara dan aparatur ideologi, Jakarta tidak bisa diutak-atik oleh sembarang orang. Karena akan mengurangi jatah tetesan. Sebenarnya ekonomi jugalah yang mendorong politik, dari politik di DPRD Jakarta sampai ke politik juru parkir. Sehingga soal kemacetan melulu dilihat dari aspek ekonomi, bukan dari tingkat stres atau udara yang lebih sehat dan bebas timbal berbahaya untuk generasi depan. Malaisme ini banyak dilawan oleh iklan: di spanduk, di baliho, baik oleh Partai maupun oleh perusahaan multinasional, iklan yang sesungguhnya ingin menyatakan pilih dan beli (bukan kami penyebab kemandulan). Budayakan beli dan teruslah mengkonsumsi lebih.
Berjalan di Jakarta bisa membuktikan hal-ihwal malaisme ekonomi, budaya, dan politik. Semua orang komplain tentang ketidakbahagiaan mereka. Beberapa komunitas muda dan tidak muda menerobos hal itu, I’m happy whatever I’am angry. Orang Jakarta seharusnya berani menyatakan Saya marah, sebab itu saya bahagia.
Jakarta dan Peta
Silahkan periksa peta Jakarta. Terlihat lebih banyak gang dibandingkan jalan. Silahkan keliling Jakarta, lebih banyak tempat tanpa peta, dengan gang-gang terpaksa, dibuat karena involusi permukiman. Selain peta dan kode pos, butuh kemahiran yang bukan amatiran untuk mencari tempat di Jakarta. Jakarta sesungguhnya bagus untuk orang yang memiliki niatan tersesat.
No comments:
Post a Comment