Sunday, 28 November 2010

Tafsir Partisipasi Atas Praktek Baitul Maal Wat Tamwil



I

ni adalah awal dari semuanya. Bagi orang sekelas Muhammad Yunus kredit bagi kaum miskin adalah hak azasi manusia, sementara bagi Muhammad Amien Aziz pendiri berbagai jenis lembaga keuangan mikro di Indonesia, kredit adalah bagian dari hak kaum miskin, baik azasi atau konstruksi, kaum miskin bahkan secara tersurat dalam agama yang dianut M. Amin Aziz memiliki hak dalam setiap harta orang yang berpunya. Atas dasar inilah Baitul Maal wat Tamwil (BMT)[1] atau Rumah Harta dan Pinjaman/pembiayaan dalam bahasa Indonesia didirikan (Muttaqien, 1994).

 

Filosofi utama dari BMT adalah setiap orang (terutama miskin) memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Dan masyarakat dalam suatu lingkungan, kita sebut saja suatu komunitas (dalam dakwah BMT disebut sebagai jamaah) wajib (fardhu kifayah) mengamalkan surat Al Maun, yaitu menolong sesama, membantu fakir miskin, dan menyantuni anak yatim (piatu). Sehingga konstruksi ideal sebuah masyarakat Islam (dalam suatu komunitas) tidak pernah mengalami permasalahan kurang gizi, anak terlantar, anak tidak bersekolah atau putus sekolah, dan tidak memiliki usaha.

 

Dari filosofi di atas BMT memiliki dua fungsi utama, yaitu mengumpulkan dan menyalurkan. Fungsi pertama mengumpulkan dimanifestasikan lewat kegiatan pengumpulan zakat, infaq, shadaqoh dan tabungan. Sedangkan fungsi kedua dimanifestasikan lewat kegiatan distribusi harta (maal) lewat zakat, infaq, shadaqoh (ZIS) dan tabungan. Fungsi kedua yaitu distribusi terkait dengan fungsi pembiayaan, yaitu unit pinjaman yang dibagi menjadi pinjaman kebajikan atau qardhul hasan yaitu pinjaman dengan kewajiban minimal untuk mengembalikan, dimana yang berhak menerima ini adalah faqir miskin (bisa jadi lanjut usia, keluarga miskin atau orang cacad/difable yang tidak mungkin mencukupi kebutuhan hariannya, atau dalam kasus tertentu mualaf yang membutuhkan). Sedangkan fungsi pinjaman yang harus dikembalikan, kita sebut saja kredit mikro, merupakan pinjaman yang  didistribusikan kepada siapa saja yang membutuhkan, terutama orang miskin, dengan jaminan berupa orang atau dalam dunia perbankan disebut sebagai collateral[2]. Jaminan berupa orang inilah yang memiliki fungsi utama dalam kegiatan BMT, yaitu sebagai mendahulukan solidaritas dan kepekaan sosial dibandingkan menjadikan uang atau harta sebagai jalan untuk akumulasi modal. Dalam filosofi BMT dengan demikian solidaritas sosial merupakan ‘faktor produksi’ yang perlu dimiliki oleh setiap orang untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.   

Dalam perjalanannya BMT ini memiliki pasang-surut, terutama setelah ada gerakan nasional Seribu BMT. Pasang bagi BMT adalah ketika pemerintah seolah-olah berpihak kepada masyarakat miskin lewat kebijakan populis, dalam konteks perkembangan BMT dialami apa yang disebut proyek Seribu BMT, setiap daerah wajib memiliki BMT dengan pendanaan atau modal pertama dan utama dari luar komunitas itu sendiri. Modal tersebut merupakan modal ‘proyek’ yang kemudian diamanatkan untuk kaum miskin, lewat lembaga keuangan yang disebut BMT. Berbagai ‘proyek’ sejenis juga diinisiasi oleh pemerintah dengan nama lembaga yang berbeda tapi memiliki filosofi proyek yang sama. Namun sayang penyertaan modal masyarakat tidak terlalu dipentingkan (dalam konteks lembaga keuangan adalah tabungan, sedangkan dalam konteks aset jamaah adalah ZIS dan tabungan).

 

Perspektif Partisipasi

Proses kelahiran BMT Bina Insan Kamil didorong oleh tiga faktor utama. Pertama,  keberhasilan Grameen Bank di Bangladesh yang merupakan bank bagi usaha kaum miskin, yang kemudian terbukti mampu menjadi bank yang diperhitungkan dan memiliki  tingkat pengembalian kredit yang tinggi. Kedua, kenyataan tidak mulusnya upaya berbagai kalangan ummat menumbuhkan BPRS diberbagai daerah secara cepat, meskipun UU sudah membuka pintu lebar-lebar. Lambatnya upaya percepatan pertumbuhan BPRS disebabkan dua kendala utama, pertama persyaaratan modal yang dirasakan masih cukup berat. Kedua minimnya sumber daya manusia yang dapat mengelola BPRS secara profesional.Ketiga, kenyataan banyak para pengusaha kecil sulit mendapatkan modal bagi pengembangan usahanya. Padahal pada sektor ini jumlah mereka amat besar jika dilihat dari segi usahanya maupun dari segi tenaga kerjanya. Karenanya tidaklah mengherankan keadaan mereka amatlah besar pengaruhnya bagi perekonomian nasional .

Akhirnya lahirlah BMT Bina Insan Kamil dengan dana awal 2.256.000,- rupiah. Uang tersebut sebagian berupa infaq dan sebagian lagi berupa modal atau saham yamg ditanam. BMT Bina Insan Kamil ini merupakan bagian dari Yayasan Lembaga Bina Insan Kamil (LBIK)  dan bernaung dibawah program PHBK  BI. Dan secara operasional berjalan sejak tanggal 1 September 1993. (Pada saat tulisan ini dibuat di pertengahan 1994, aset BMT Bina Insan Kamil  telah mencapai 20jutaan atau naik sekitar 10 kali lipat).

Jika dilihat dari perspektif  partisipasi, maka keberhasilan BMT ini disumbang dari pemahaman bahwa agama Islam memerintahkan partisipasi ummatnya utuk terlibat dalam ‘politik’, yaitu mempengaruhi keputusan dan bertindak untuk menyelesaikan permasalahan. Dimana doktrin mengubah dengan tangan, lebih baik dibandingkan mengubah dengan lisan atau mengubah dengan hati (mendoakan agar keadaan/seseorang berubah).   

Perspektif partisipasi disini (didapatkan lewat metode wawancara mendalam) akan memperlihatkan bagaimana proses keyakinan dan dogma agama ternyata dapat mengubah keadaan jika diturunkan menjadi alat dan metode. Dalam hal ini adalah mengubah ‘praktek’ mendapatkan keuntungan yang di dapatkan pada praktek ribawi (bunga pinjaman) menjadi ‘praktek’ bagi hasil yang di dasarkan atas margin yang di dapatkan bukan pada pokok pinjaman.

Tafsir haram atas bunga bank didudukkan sebagai ‘landasan ontologis’ dimana sifat fenomena tentang bunga bank dihubungkan langsung dengan interaksi (relasi) sosial (baca: fenomena ketidakadilan dan kemiskinan). Keberadaan bunga bank dihubungkan dengan  diskursus mengenai hal tersebut di ruang publik). 

Yang membuat BMT Insan Kamil dengan sistem ekonomi syariahnya (mengacu pada hukum yang terdapat dalam Kitab Suci Al Qur’an) cepat berkembang adalah diskursus di kalangan ummat Islam dan uji coba (exercise) atas ‘praktek’ bagi hasil pada nasabah.  Pengetahuan mengenai bagi-hasil disebarkan kepada nasabah. Dan partisipasi nasabah diwadahi dalam bentuk kegiatan yang mengacu pada peningkatan kapasitas sosial masyarakat untuk berbagi, bukan sekedar kegiatan untuk mengakumulasikan modal. Kegiatan tersebut adalah.

1.       Mengadakan pembinaan kepada para anggota dalam bentuk pengajian bulanan dan penerangan pengembangan usaha kecil.

2.       Mengadakan penyuluhan minimal dua  pekan sekali kepada masyarakat umum dalam rangka merekrut nasabah, disamping mensosialisasikan produk-produk baru.

3.  Mengintensifkan pengelolaan dana ZIS, untuk disalurkan kepada  pembiayaan kebajikan dan bantuan-bantuan sosial.

4.  Memprogramkan dan mempersiapkan pembentukan BMT dalam skala lembaga keuangan yang lebih besar seperti BPRS (scaling up) dengan uang nasabah, artinya nasabah diberikan pilihan untuk dijadikan investor langsung, bukan cuma sebagai ‘penabung-debitur’. Pendekatan melibatkan nasabah ini yang membedakan ‘praktek’ konvensional dalam perbankan ataupun koperasi simpan-pinjam.

Pendekatan partisipasi juga bisa dilihat dari aspek bagaimana menjangkau ‘komunitas’, termasuk di dalamnya adalah mengidealkan komunitas muslim sebagai komunitas terbaik, jika  mereka mencari ‘jalan keselamatan’ melalui landasan teologis mereka. Pendekatan ke komunitas ini berhasil dilakukan karena terdapat banyak teks dalam Kitab Suci Al Qur’an yang mengedepankan ‘jamaah’ atau ‘komunitas’ untuk mengorganisasikan dirinya untuk melawan musuh. Dalam pandangan Islam musuh terbesar adalah ‘nafsu binatang’, yaitu nafsu yang berkaitan dengan libido, yang bersumber pada pemberhalaan benda (baca: dunia fana) atau dalam metafora perut dan bawah perut. Artinya ketika akal dan hati tidak digunakan maka manusia akan memakan manusia lainnya.

Partisipasi dalam pandangan Islam melekat hak dan kewajiban. Artinya, hak tersebut dapat tidak digunakan, sebagai contoh tidak menghadiri suatu musyawarah. Kewajiban artinya, setiap individu wajib terlibat dan menerima keputusan yang dibuat dalam musyawarah. Dalam konteks berjamaah kewajiban artinya wajib bertanggung jawab atas nasib kawan seiman (aqidah), terutama dalam lingkungan kebertetanggan. Dasar-dasar inilah yang menyebabkan mengapa pemberdayaan ekonomi dalam Islam dipusatkan pada ‘tempat’ yaitu masjid. Dimana ‘fungsi sosial’ masjid bukanlah sebagai tempat berdoa namun sebagai tempat untuk berinteraksi baik sosial, politik, ataupun ekonomi. Disini teks menemukan konteksnya. 

Misalnya untuk skema pinjaman (pembiayaan) untuk orang yang paling miskin dibuatlah pembiayaan qardhul hasan yang diambil dari skema ZIS.  dan pendekatan pembiayaan komersil dan produktif yang diambil dari tabungan anggota, terutama tabungan investasi (simpanan berjangka). Dalam pembiayaan kebajikan (qardhul hasan) nasabah tetap memiliki kewajiban membayar pokok pinjaman sesuai dengan kemampuan mereka, jika tidak sanggup maka tetap diwajibkan untuk berinfaq atau sedekah (yang menurut Islam dilakukan pada saat lapang (have) dan sempit (not have).

Pendekatan ini sangat manjur, karena pertolongan yang diberikan oleh BMT ternyata mendorong nasabah untuk tidak melupakan nasib orang yang berada dibawah nasibnya sendiri, sehingga secara mental nasabah dididik untuk berkorban, sekecil apapun.  Dan ditanamkan rasa percaya bahwa dalam sedekah atau pengorbanan kita tidak kehilangan harta kita, namun justru menambah aset kita (khususnya dari sisi sosial), hal ini sekaligus  membuktikan bahwa dalam mengatasi masalah sosial harus dilakukan dengan kolektivitas sosial.

Menurut manajer pada saat itu biasanya orang yang telah mendapat pinjaman kebajikan akan merasa malu jika terus dibantu, sehingga ia mulai mencoba meminjam dengan skema pembiayaan komersil, yang pada saat itu dimulai dari dua puluh ribu rupiah (dengan kurs dollar Amerika, kalau tidak salah, sekitar 1.250,- rupiah ekuivalen dengan satu dollar).

Sedangkan pada pembiayaan non orang miskin dibagi menjadi dua, yaitu skema produktif dan skema komersial. Skema dibagi menjadi:  (a) pembiayaan investasi (untuk memulai usaha dan barang modal/investasi), dan (b) pembiayaan modal kerja (untuk menambah modal). Pembiayaan  investasi memiliki jangka waktu sekitar 1 tahun, sedangkan untuk pembiayaan modal kerja memiliki  jangka waktu mulai dari seminggu sampai tiga bulan.

Sedangkan pembiayaan komersial nasabah dibolehkan untuk meminjam dalam bentuk dibelikan barang. Misalnya nasabah ingin membeli motor (pada saat itu (1994) motor lebih banyak digunakan (berfungsi) sebagai kendaraan sehari-hari, bukan untuk ojek (alat produksi), maka  BMTlah yang membeli motor tersebut, bukan nasabah. Sedangkan nasabah tinggal mencicil motor tersebut ke BMT (bukan ke dealer motor). Begitu juga bila nasabah berkeinginan untuk membeli buku, alat dapur, furnitur, rumah, kulkas, dan lain-lain. Pada skema pembiayaan komersil ini sesungguhnya masyarakat diajarkan untuk membeli sesuai dengan kebutuhan, karena tidak semua permohonan pembiayaan ini dikabulkan, hal ini terkait dengan permasalahan nilai-nilai mengenai konsumsi berlebih, fetisme komoditas, dan barang-barang yang diharamkan untuk dipertukarkan. 

 

Mempersoalkan Pendekatan Partisipasi versi PRA

Dalam pendekatan partisipasi walaupun kental dengan nuansa emik, namun fasilitator terkadang tidak sabar untuk memahami latar ideologi ataupun apa yang sekarang disebut sebagai pengetahuan lokal. Dalam pendekatan partisipatif ideologi hampir pasti  dijadikan lawan atau ortodoksi (karena mendominasi, terlebih jika itu adalah wahyu Tuhan). Padahal tafsiran emik adalah tafsir realitas partisipan atas dunia mereka. Dalam pemihakan terhadap yang ‘lokal’, ‘partisipan’, PRA dapat dan memiliki kecenderungan kuat untuk menjadi pendekatan etis ataupun positivis dimana setiap teori dapat dimasukkan ke dalam setiap ruang dan setiap waktu.

Pada pendekatan positivis seperti ini generalisasi teori dilakukan, sehingga intertekstualitas dalam hal ini berbagai macam sumber pengetahuan yang ada di kepala partisipan dan observer tidak lagi sebagai bahan untuk menafsirkan, mendiskripsikan,   ataupun menarasikan partisipan, subyek atau keadaan (baca: gambaran budaya).

Jika dikaitkan dengan permasalahan  penafsiran maka PRA juga dapat kehilangan daya tafsirnya atas truktur masyarakat yang diandaikan selalu beroposisi biner, kaya-miskin, penguasa-dikuasai, dll. Henkel dan Stiratt (2001) mengkritik Chambers dengan mengkaitkan simbol dengan kehidupan keseharian (everyday life). Turner (1967) dalam The Forest of Symbols memperlihatkan bahwa simbol memainkan peranan dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat Ndembu, simbol tersebut tertanam dalam ritual dan ide, dan nilai-nilai masyarakat Ndembu. Turner memberikan metodologi bagaimana simbol tersebut dapat digunakan untuk melihat struktur sosial, [1] Melihat tampilan lahirian dan detil karakteristik yang dapat diobservasi, [2] menterjemahkannya lewat sang ahli (specialist) dan orang awam, partisipan (laymen), [3] mengkomparasikan secara kontekstual (kebudayaan lain, di belahan dunia lain) [i]. Turner secara kritis mempertanyakan cara yang ia lakukan tidak luput dari pertanyaan, ’tafsir untuk siapa?’

Dalam rangka mendamaikan ’kekerasan’ yang dilakukan PRA, meminjam Geerzt yang memakai analisa bahasa dalam menjelaskan simbol. Sebagai fenomena bahasa maka simbol bersifat publik, karena makna merupakan suatu konsensus, sebagai sebuah kesepakatan, simbol juga berfungsi sebagai pembawa makna (vehicle of meanings) bagi pemakainya dan oleh sebab itu dapat berubah, Geerzt menyebutnya sebagai politik makna. Budaya dalam hal ini bukan lagi dipandang sebagai tradisi dan kebiasaan, namun struktur makna yang ditentukan melalui pengalaman individu, politik bukan lagi berbicara tentang kudeta atau konstitusi, namun sebagai arena (fields) dimana struktur (makna individu atas ’kata politik’) tersebut disingkapkan [ii]. 

Artinya,  pendekatan partisipasi  (PRA) selain bertugas untuk  mengungkapkan ketimpangan dalam struktur sosial dan membuat alternatif tindakan, juga perlu ’mempersenjatai diri’ dengan melakukan translasi budaya dan kelembagaan yang bekerja di masyarakat. Sehingga tiga pilar yang diidamkan berjalan dalam pendekatan PRA, yaitu (1) berbagi dan kemitraan (sharing and partnership), (2) metodologi dan alat (methods and tools), dan (3) sikap (attitudes) dapat menemukan ‘ruhnya’ di dalam ‘komunitas’ atau subyek penelitian-yang saya maksudkan dengan menemukan ruh adalah apropriasi pendekatan terhadap budaya setempat.



[1] Pengertian BMT (Baitul Maal Wattamwil)

Baitul Maal Wattamwil mempunyai dua pengertian yaitu Baitul Maal dan Baitul Tamwil.

- Baitul Maal adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menerima dan menyalurkan dan umat Islam yang bersifat non komersial. Sumber dana Baitul Maal berasal dari zakat, infaq, shodaqoh, hibah, sumbangan lain.Adapun yang berhak menerimanya adalah fakir, miskin, mu’alaf, orang dalam perjalanan, hamba sahaya, amilin, dan orang yang berjuang dijalan Allah.

Ciri -ciri operasi Baitul Maal adalah :

                  1.Visi dan Misinya bersifat sosial

                  2. Berfungsi sebagai mediator antara pembayar zakat dan penerima.

                  3. Tidak mengambil profit dari operasinya.

                  4. Pembiayaan opeerasi diambil 12,5 % dari total zakat yang diterima.

- Baitul Tamwil

Adalah institusi keuangan Islam yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana dari pihak ketiga dan memberikan pembiayaan kepada  usaha produktif.

Sumber dana Baitul Tamwil berasal dari simpanan, saham dan lain-lain. Alokasi dananya kepada pembiayaan - pembiayaan dan investasi. Ciri-ciri Operasional Baitul Tamwil adalah :

1. Visi dan Misi ekonomi/bisnis

2. Dijalankan berdasarkan  prinsip ,ekonomi Islam.

3.Mempunyai fungsi sebagai mediator antara pemilik kelebihan dana          (penabung) dengan pihak kekurangan dana (peminjam).

4. Pembiayaan Operasi beerasal dari asset sendiri atau dari keuntungan.

5. Merupakan wajib zakat.

 

[2] Masalah agunan dalam Institusi Keuangan Syariah (IKS, seperti BMT) merupakan salah satu bahasan. IKS juga mengenal agunan (rahn) dan personal guarantee. IKS juga mengenal lembaga penjamin kredit (insurance) bagi para penabung dan peminjam. Yang tidak tegas menjadi aturan main dalam sistem konvensional adalah penghapusan hutang. Dalam IKS dikenal dengan pinjaman qardhul hasan. Yaitu pinjaman untuk kebajikan. Pinjaman ini secara akuntansi dapat saja menjadi cadangan bila ada nasabah yang tidak mampu lagi membayar utangnya. Dan dalam IKS orang yang mendapat kesulitan seperti ini (terancam bangkrut) justru wajib ditolong (kecuali ada faktor penipuan) dengan memberikan kelapangan pembayaran pokoknya. Dalam sistem konvensional, yang terjadi adalah kebalikannya justru pokoknya dibiarkan dengan bunga yang bisa jadi terus berbunga (lihat praktek rentenir dan pembayarannya cicilan utang luar negeri kita!).

 

Widhyanto Muttaqien, penggiat komunitas Sinau, pekerjaan sekarang berdagang buku, peneliti lepas

[i] Turner, Victor. (1967). The Forest of Symbols: Aspect of Ndembu Ritual. Cornell University Press.

[ii] Geerzt, C. 1973. The Politics of Meanings dalam Interpretation of Culture. Berkeley: University of California Press.

No comments:

Post a Comment