Kegelisahan itu berangkat dari dua kata, maaf dan pengampunan. Dua kata itu, menurut saya sudah mengandaikan eksistensi subjek dan objek. Dalam tingkat praktis, subjek dan objek dapat pula dinyatakan sebagai dua individu.
Pengampunan, hampir-hampir sama dengan maaf. Tapi, saya merasa ada perbedaan halus antara maaf dengan pengampunan. Apa yang saya pikirkan akan perbedaan pengampunan dengan maaf berlandaskan pola pikir spekulatif, pola pikir, yang menurut saya taklah dalam. Entahlah, mungkin ini disebabkan saya yang berpikir, tapi bila orang lain yang berpikir, mungkin yang muncul bukan pola pikir spekulatif, melainkan pola pikir analitik.
Beda pengampunan dengan maaf, menurut saya terletak pada setara atau tidaknya posisi dua individu. Di dalam maaf, yang bisa disetarakan dengan transaksi ekonomi, dua individu ada dalam posisi yang sederajat, dalam bahasa-bahasa pengusung gagasan demokrasi disebut egaliter. Namun, pengampunan tidak seperti itu. Dua individu yang berada dalam konteks pengampunan ada dalam posisi hierarkis; ada yang menempati posisi super-ordinat, yang lain pada posisi sub-ordinat.
Bicara soal hierarkis, bicara soal kekuasaan, dan bisa pula berhubungan dengan deviasi kekuasaan itu sendiri, yakni kekuatan. Di dalam struktur yang begitu, tentu mempersamakan pengampunan dengan transaksi ekonomi adalah kekeliruan, untuk tidak mengatakan predikat yang rendah, yakni kesalahan yang berujung pada ketololan.
Dari fakta yang saya pergunakan sebagai argumentasi penguat, persoalan ampunan dengan maaf semakin tegas. Maaf mengandaikan dengan sendirinya si individu yang menempati posisi meminta ada dalam konteks telah berbuat salah. Sedang si pemberi maaf, menurut saya, tidak bisa dikatakan berada dalam konteks benar, melainkan si pemberi maaf ada di dalam konteks benar-dan-salah, atau benar-atau-salah, atau benar, atau salah. Yang jelas, si peminta maaf ada pada konteks salah, dan karena itu, saya lebih memilih si pemberi maaf ada dalam konteks korban dari kesalahan si peminta maaf. Mungkin, dikarenakan konteks korban inilah si pemberi maaf berada dalam situasi dilematis. Apakah meluluskan maaf, atau menolak. Dilematis itu, menurut saya, disebabkan pemberi maaf masih mencari konteks bagi posisinya sendiri, apakah benar-dan-salah, atau benar-atau-salah, atau benar, atau salah. Saya tidak bisa memastikan, apakah dengan memberi maaf, si pemberi bisa dikategorikan menempati posisi benar? Saat ini, sulit bagi saya mencari validasi pembenaran itu, sekalipun dalam tingkatan preposisi. Bersandarkan pada penalaran saya, si pemberi maaf adalah korban dari kesalahan si pemintaan maaf.
Pada persoalan ampunan, bagi saya terang dengan sendirinya. Konteks hierarkis ampunan yang melingkupi dua individu menjadikan posisi tiap individu tegas.
Februari 2008
dvd.tbg
No comments:
Post a Comment