Saya bukan orang amerika, sedang ke-indonesia-an saya sendiri masih saya ragukan apalagi bila sepasang kaki saya masih menjejak dalam ruang teritori geografis tanah
Tahun 2006, kalau saya tidak salah disebabkan ingatan saya yang tak terlampau paten, kampus Virginia Tech menjadi lokus baru peradaban amerika yang sudah kadung menenarkan diri sebagai kiblat humanitas dan demokrasi. Dan di 2008, peristiwa serupa kembali terjadi.
Entah di tahun berapa, saya pernah melihat berita di televisi, anak sekolahan menengah pertama, kalau saya tidak salah, di provinsi jawa barat, masih kalau saya tidak salah, mencoba bunuh diri. Caranya dengan menggantung diri menggunakan sarung, kalau saya tidak salah. Entah siapa nama anak itu, saya lupa! Tindakan nekat bunuh diri dia ambil sebagai solusi ekspresionisme-individual-kontemporer-indonesia dikarenakan dia (baca: atau tepatnya ayah dan ibunya) tidak bisa membayar, kalau saya tak salah, uang ekstra-kurikuler. Saya bukanlah peneliti yang mencoba menghubung-hubungkan bunuh diri dengan ekstra-kurikuler dalam prinsip kausalitas. Yang pasti, di
Entah di tahun berapa, yang jelas di masa orde baru, sahabat saya berkisah.
Baru-baru ini, ada pentas musik, yang diberitakan massal beraliran underground, di
Kematian adalah kepastian. Bila apa yang disebut ‘kepastian’ dibantah, bukan persoalan bagi saya. Dan, untuk mengurangi kadar perdebatan yang besar karena kata ‘kepastian’, saya menurunkan derajat ‘kematian adalah kepastian’ ke tingkat paria. Kematian adalah pilihan. Kematian sebagai pilihan sadar, atau kematian sebagai pilihan tak-sadar. Entah itu kematian sebagai pilihan sadar dan kematian sebagai pilihan tak-sadar, bagi saya: keduanya persoalan gawat!
Bicara soal kematian sebagai pilihan, berarti menyinggung soal ekspresi personal. Mudah-mudahan tidak menjadi ekspresi-komunal sebagaimana yang ditawarkan David Koresh di abad 20 yang telah lampau. Merenungkan ekspresi punya dampak keharusan mengangkat represi. Bicaranya pun jadi lain lagi: kultur.
Dari telaah psikoanalisa mekanis-struktural ala Freudian, instrumen mendasar manusia adalah libido yang mengejawantahkan diri sebagai id di dalam pikiran manusia. Sedang di dalam pikiran manusia itu sendiri, ada pula perangkat lain: ego dan super-ego.
Apakah sastra harus mengambil peran sebagai ‘yang bertanggung-jawab’, ‘yang menerangi jiwa-jiwa’, serta segala macam ‘yang’ utopia lainnya. Utopia yang berasal dari ekspresi personal, yang berakar pada ekspresi tanda-verbal-leksikal, bahkan mencoba meresap ke dalam benak pembaca sastra amatir, misal saya. Apakah Tuhan memang kesepian? dan butuh boneka-boneka robotik untuk menemani kesendirian-Nya? Meski saya punya jawaban sendiri, sebagai bentuk penghormatan saya pada fisikawan mutakhir millenium dua Albert Einstein, saya putuskan ambil jawaban: Tuhan tidak sedang bermain dadu ketika menciptakan dunia.
Dazed and Confused. Led Zeppelin. Apakah haram menggunakan penggesek biola saat bermain gitar elektrik sebagaimana yang dilakoni Jimmy Page?
Sedikit menyinggung Aristotelian dalam tafsir yang disesuaikan dengan semangat zaman. Politik adalah ‘ayah’. Apakah ‘ayah’ yang melahirkan represi? Saya mohon maaf pada Aristoteles. Dalam kerangka pemikiran idealistik, saya sependapat dengan ‘Politik adalah ‘ayah’’. Namun, kendala deviasi yang muncul dikarenakan saya berhadapan dengan realitas, membangun kerangka materi baru dalam kepala saya. Forma dan substansi yang lahir di zaman dahulu kala sudah tak lagi memadai di masa kontemporer. Politik adalah kendala, bagi saya. Politik adalah kendala merupakan realitas deviasi yang lahir dari realitas idealitistik, politik adalah ‘ayah’. Beralihnya realitas deviasi dari realitas idealistik menghasilkan represi. Setidaknya, saya melihat politik adalah kendala dan politik adalah ‘ayah’ membina karakter represif dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara kontemporer, lebih-lebih yang tengah saya jalani sekarang ini ketika saya menulis risalah ini.
Sedang hubungan sosial, tak lebih dari akumulasi para ‘ayah’. Ibu, sosok yang selalu terlupa dalam sejarah peradaban manusia. Nature melahirkan culture. Kealamiahan ‘digugat’ konvensi.
Dalam konteks yang lebih mini, politik adalah ‘ayah’-politik adalah kendala hidup di ruang keluarga. negara (saya memang sengaja menggunakan huruf kecil ‘n’ di awal penulisan kalimat) adalah keluarga besar, payung bagi anak-anak pemberontak. Kadang kala, ekspresi perundang-undangan memang kalah ampuh dibandingkan rock ‘n roll. Kesepakatan yang dilahirkan dari senayan (lagi-lagi, saya memang sengaja menggunakan huruf ‘s’ kecil), bukanlah kebudayaan pop. Regenerasi peraturan selalu bersifat bangsawan dengan segenap tata aturan yang mengasumsikan: anak-anak pemberontak = bodoh. Maka, peraturan adalah pengawal kebodohan agar tidak semakin bodoh (atau malau memang disengaja agar kebodohan tetap menjadi kebodohan?). Tapi, politik adalah ‘ayah’-politik adalah kendala menyakinkan saya: represi menghasilkan ekspresi; begitu seterusnya: ekspresi menghasilkan represi.
orde (lagi-lagi, memang kesengajaanlah yang membuat saya memilih huruf ‘o’ kecil sebagai huruf pembuka kalimat) baru sudah tiada. Januari 2008, simbol penguasa orde baru sudah punya rumah baru. Saya teringat cerita sahabat saya tentang teman dia yang bunuh diri dengan cara menembak kepala sendiri menggunakan pistol ayahnya, yang memang merupakan anggota dari sistem pertahanan dan keamanan nasional di mana pun juga di muka Bumi. Pistol ayah, seperti judul cerpen. Tapi, sebagai tanda, dalam perspektif Saussererianism, pistol adalah representasi dari politik adalah ‘ayah’. Perwujudan fisik dari sistem sosial yang dibangun pada masa orde baru, pistol!
Lalu, saya melihat tulisan dari amerika. Virginia Tech. Pelaku bunuh diri membunuh orang lain. Itu tahun 2007. Satu tahun kemudian, entah di kampus apa, pelaku bunuh diri membunuh orang lain. Tepatnya, membunuh orang lain lalu membunuh diri sendiri. Ternyata, politik di amerika bukan lagi ‘ayah’. Entahlah, ekspresi pelaku hanya bisa saya pahami dalam kerangka korban. Pelaku adalah korban dari politik adalah ‘bukan-hanya-ayah’.
Di eropa, kalau saya tak salah, fenomena bunuh diri banyak terjadi di masa-masa perang dunia ke-dua. Revolusi filsafat kontemporer pun, ketidak-percayaan para filosof pada pencapaian unggul zaman Pencerahan membuncah. Rasio hanyalah membawa manusia pada kebuntuan belaka. Hitler, dengan alasan yang luar biasa tak masuk akal tetap yakin bahwa ras aria Jerman merupakan ras paling unggul. Karena itu: Yahudi harus dibasmi, tumbal afirmasi ras aria Jerman adalah ras paling unggul. Kenapa harus Yahudi? Apakah Hitler terlampau goblok biologi atau ilmu Bumi? Bila merujuk pada bangsa, tak hanya Yahudi saja yang ada di Bumi, ada juga Asia,
Setelah Hitler bunuh diri, tak ada penguasa otoritarian yang bunuh diri. Politik adalah ‘ayah’ menjadi permanen. Dan tidak ada ayah yang membunuh ‘ayah’. Selalu anak-anak pemberontak yang maju menghancurkan para ‘ayah’; setelah sejarah mengajarkan ada ‘ayah’ yang membunuh anak melalui kisah teman dari sahabat saya yang bunuh diri menggunakan pistol ayahnya. Ibu, berdoa dan mencatat lalu mewariskan.
Di
Memang, ada baiknya melupakan negara. negara, dengan penuh kesengajaan dimasukkan dalam kategori lupa di dalam benak individu. Sebab, ada yang lebih penting di ruang keluarga. Politik adalah ‘ayah’ sebaiknya tak masuk ke dalam rumah. Sebab di dalam rumah, anak-anak pemberontak tahu mana yang lebih bermanfaat untuk menyalurkan ekspresinya. Sayang, realitas deviasi para ‘orang tua’ masih melihat anak-anak pemberontak terlampau muda, hijau, dan kurang pengalaman hidup. Padahal, semenjak Albert Einstein menelurkan teori relativitas khusus dan umum yang merelatifkan waktu, seharusnya kepala ‘orang tua’ lebih berisi: pasti ada yang bisa dipelajari dari anak bayi. Sebab: relativitas waktu, dalam tingkatan paling praktis membuktikan usia bukanlah besaran pokok yang tak terbantahkan (senioritas adalah lagu lama yang disukai oleh orang-orang sakit jiwa); dan pengalaman menjadi berharga ketika dipelajari dan didalami dan dilakukan, à banyak belajar pasti punya banyak pengalaman, sedang banyak pengalaman belum tentu punya banyak belajar. Selalu ada waktu yang terbuang sia-sia, sebagaimana kematian hanyalah keterkejutan sejenak yang berujung pada sia-sia!
Kematian adalah pilihan. Karena itu, kematian bisa dikonsensuskan. Kematian yang bagaimana tergolong baik, dan kematian bagaimana pula masuk kategori buruk rupa. Dan kasus ini ada di luar kewenangan para ‘ayah’. Seharusnya tidak ada consensus kematian yang buat para ‘ayah’! Politik adalah ‘ayah’ biarlah terus berjalan. Politik adalah kendala tetaplah melanglang buana. Sebab, Aristoteles sendiri sudah bicara soal keutamaan, yang menurut saya menyatukan realitas idealistik dengan realitas deviasi, jauh sebelum peradaban masuk kategori Masehi. Dan seharusnya, setelah peradaban masuk kategori Masehi, tak perlu ada kasus bunuh diri lagi. [Saya tidak tahu apa bisa muncul peraturan perundang-undangan yang menghukum orang yang bunuh diri secara pidana. Dan kalau memang ada peraturan seperti itu, para ahli ilmu sosial tampaknya harus berupaya merumuskan tindak ekspresionisme-individualistik pengganti kosa-kata bunuh diri, dengan misal: supra-suicide! Sebab, bunuh diri adalah ekspresi dan bila ekspresi itu represi bakal menghasilkan ekspresi baru lagi. Setidaknya: Dazed and Confused Led Zeppelin sudah membuktikan hal tersebut di era 1970-an.]
dvd.tbg
No comments:
Post a Comment