Wednesday, 27 February 2008

jika kegelisahannya demikian, apakah pertanyaannya

1.    Bussiness as usual, kerusakan ekologi hampir dirasakan akibatnya se-antero Indonesia, banjir, longsor, kekurangan air, bencana Lapindo, korban logam berat bekas penambangan, tailing yang merusak eksosistem pesisir dan sungai, kolam dan kawah besar bekas penambangan, belum mampu membuat kita tersadar akan bahaya mengesampingkan biaya jasa lingkungan dan memasukkan pengelolaan limbah yang aman secara akuntabel. Semua adalah ‘peritiwa manusia’ bukan ‘peristiwa alam’ sebab manusialah yang paling ahli membuat kerusakan di alam, dibandingkan mahluk lain.
2.    Budaya yang berkembang dan terpelihara lewat kearifan dan pengetahuan lokal mendadak ‘terkenal’ dan seolah menjadi budaya tanding bagi proyek modernitas. Lokalitas sekarang menjadi aras tersendiri dalam kajian pengetahuan, khususnya epistemologi dan estetikanya. Seolah berlawanan dengan budaya global.
3.    Sebagai bangsa berbudaya ternyata 'kebudayaan kontemporer' Indonesia tidak sanggup menyelaraskan perkembangan jaman. Akulturasi budaya yang pernah terjadi secara baik, elegan tergantikan dengan hegemoni budaya. Saringan filosofi yang mendasari kehidupan, sebut saja Pancasila atau filosofi yang didasarkan pada agama-agama ternyata terkalahkan oleh ideologi konsumtif yang berlebihan. Sehingga semua ukuran tergantikan dengan ‘kepemilikan materi’, ‘having’ bukan lagi ‘being’ atau produksi. Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang paling konsumtif. Bahkan di aspek kognitif, pendidikan tidak lagi memperhatikan ‘proses’ namun ‘hasil’.
4.    Pragmatisme yang berkembang kemudian bukanlah pragmatisme yang diproduksi dari filosofi besar bangsa ini (jika masih dipercaya), pragmatisme dalam bangsa ini adalah ‘dimana ada kamaluan disitu ada jalan’ persis seperti di iklan Film Quickie Express. Bangsa ini menimbang pragmatisme setara dengan hilangnya rasa malu (hampir mirip dengan permisif-walaupun dalam kejadian kesehariannya dipenuhi dengan kata-maaf- maaf-maaf-dan -mohon ampun-si!?. Budaya yang berkembang adalah plagiat, suap, korupsi, dan amuk. Mulai dari SD-Universitas, mulai dari RT-Pemerintah, mulai dari penegak hukum sampai Departemen Agama, mulai dari pedalaman sampai ke tengah ibu kota.
5.    Quo Vadis Pembangunan Berkelanjutan? Jika Indonesia dianggap sukses menyelenggarakan konferensi tentang perubahan iklim di Bali di penghujung 2007 lalu, maka bagaimana kelanjutan dari proses hubungan negara Utara-Selatan. Sejak jaman merkantilisme awal sampai kapitalisme lanjut ‘sumberdaya alam’ merupakan ‘dagangan’. Pembangunan berkelanjutan bagi negara Selatan lebih merupakan agenda pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, sedangkan ‘dagangan’ negara Utara adalah kemitraan dengan perusahaan multi nasional, transnasional, dengan perjanjian liberalisasi perdagangan dan pematenan atas keragaman budaya dan hayati di negara Selatan. Artinya, pembangunan berkelanjutan memiliki bundel kepentingan neo-imperialisme, dengan tetap menganggap negara bekas jajahan sebagai ladang bagi pasokan sumberdaya alam dan pasar bagi industri negara Utara. Mulai dari industri pertanian sampai industri pertahanan keamanan. Jadi mau kemana agenda pembangunan yang berkelanjutan tersebut.
6.    Laporan resmi Badan-badan Pembangunan sejak tahun 2002, menyatakan peningkatan pendapatan korporasi dunia tidak pararel dengan peningkatan perbaikan kualitas lingkungan. Adanya corporate social responsibility (CSR) juga tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar perusahaan multinasional. Dan dari beberapa laporan terlihat CSR juga seolah-olah merupakan kompensasi atas jasa layanan lingkungan jika tidak mau disebut sebagai ‘uang kerohiman’ atas  kerusakan yang dibuat oleh korporasi multinasional.  
7.    Ada beberapa kasus yang membuat optimis. Dan inilah yang menjadi bahan bakar. Ibarat nuklir, masing-masing atom yang ada dalam individu memiliki potensi reaksi berantai, bukan untuk amuk, suap, korupsi, atau plagiat. Namun untuk mempercayai bahwa adalah mungkin untuk melawan dan berbenah, persoalannya adalah konsistensi dalam berproses, tidak ada yang siap saji. Konsistensi termasuk dalam memahami ruang, sehingga keberadaban menjadi habitus dimanapun kita berdiam atau sekadar berkunjung.

atau tambahkan kegelisahanmu dengan semisal;
1. tua
2. aktif
3. kaya
4. merah
5. merana
6. putih
7. ngilu
8. pipih
9. perih
10. lagu-lagu rakyat yang menggugah semangat, seperti halnya kitab suci yang menceritakan kisah-kisah keteladanan

No comments:

Post a Comment