Wednesday, 27 February 2008

Accross the universe: Film yang menggugurkan tesis Soekarno tentang musik ngak-ngik-ngok---from: me

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Drama

The Beatles
Marijuana
Bohemia
Rock n Roll
New York
Billyard
Golf on Roof
Ordinary Day
War
War
War
Here, there, and everywhere
Nudity
LSD
Smoking


Sebuah penafsiran lain. Dengan sebab lain.

Jude (Jim Sturgess), duduk di pantai dan bernyanyi. "Girl" . Jude tipe pekerja pabrik, kerah biru, lokasi Liverpool, Inggris, tempat ‘Revolution’ bermula.

"Hold Me Tight" dan wisuda. Si cantik Lucy (Evan Rachel Wood) dan Daniel (Spencer Liff), somewhere, lokasi Amerika.

Di Liverpool sekelompok menyanyi, Rock n Roll. Jude bersama pacarnya (Lisa Hogg) a "Let me go on loving you." Berciuman erat. Lepaskan tanganmu, lepaskan sebelah lagi. But i' want hold you tight! Saya akan pergi. Amerika. "While I'm away, I'll write home everyday, and I'll send all my loving to you."
Ayahku di sana.

Lucy dan Daniel. Berpisah karena perang. Tepatnya karena negara. Amerika menginvansi Viet Nam. Sementara Jude mencari ayah, Amerika. Impian Amerika.
Dengan cheerleaders. Keriangan perawan. Bendera Amerika berkibar-kibar.

Jude dan Max (Joe Anderson) bertemu. Bertemu ayahnya.

Lucy menunggu Daniel, sang pacar "It Won't Be Long"
Max semeja bersama ayahnya, hari Thanksgiving, Max pergi ke New York! Berhenti kuliah. Di New York bertemu Sadie (Dana Fuchs).
Sadie teh Foxie lady.

Datang Jo-jo (Martin Luther), Amerika dilanda rasisme. Amuk massa. "Let It Be". Seorang anak mati. Pemakaman. Choir.
Di atas petimati bendera Amerika tidak berkibar. Salvation.

Seoarang anak lagi meninggal. Daniel. Di Viet Nam. Perang. Choir.
Dia atas petimati bendera Amerika berkibar. Salvo.

Jo-jo ke New York. "Come Together". Lucy pergi ke New York untuk liburan musim panas. Max mendapat panggilan tugas. Jude bertemu kembali dengan Lucy. "If I Fell".

Max pergi ke tempat pendaftaran. (dengan adegan per adegan mirip dengan The Walls-Pink Floyd).

Uncle Sam berkata "I Want You."

Max berperang. Lucy berang.
Ia ikut kampanye anti perang.
Jude cemburu.
Tidak ada yang bisa merubah dunia.

Disini, hal yang paling orisini menurut saya timbul, tafsir lagu strawberry field forever.

Strawberry dan jantung
Strawberry dan darah
Strawberry dan bom
Strawberry dan peluru
Strawberry dan aku
Strawberry merah
Darah merah
Aku merah
Strawberry field forever
Strawberry adalah...

Martin Luther King meninggal karena rasial
15,000an pemuda Amerika meninggal di Viet Nam
Semangat anti kekerasan bergema
Polisi tak punya tanya
Semangat anti kekerasan tak berguna
Kekerasan lawan kekerasan
Ketua Young Radical Democrat (bukan ungkapan dalam film) mati karena meledak bersama bom yang sedang dirakitnya (sering terjadi di Indonesia, tepatnya di Indramayu dan Banyuwangi)


"A Day in the Life"
Jude kembali di pantai. Jude kembali ke Inggris setelah ia di deportasi karena ada di tengah kerusuhan penangkapan demonstrasi anti perang, dimana ia mencari Lucy. Lucy yang meneriakkan namanya, Jude.
Lucy menyanyi "Blackbird", Jude memandang gelombang di Liverpool.

Max selamat. Kematian bisa terjadi dimana saja.
Dengan berbagai alasan. Hidup yang tenggelam dalam air mata, seperti ibu-ibu di Viet Nam, seperti ibu-ibu di Amerika, seperti ibu-ibu kaum kulit hitam.

Hey Jude, don't let it down. Take a sad song, and make it better.
All you need is love. Sampai disini. Soekarno cuma kalah karisma dari sebuah kalimat terakhir yang mungkin menjadi bumbu rayunya, all you need is love.

tabik,
widhy I sinau

Directed by
Julie Taymor

Writing credits
Dick Clement (screenplay) &
Ian La Frenais (screenplay)

Julie Taymor (story) &
Dick Clement (story) &
Ian La Frenais (story)

Cast (in credits order)
Evan Rachel Wood ... Lucy Carrigan

Jim Sturgess ... Jude

Joe Anderson ... Max Carrigan

Dana Fuchs ... Sadie

Martin Luther ... JoJo (as Martin Luther McCoy)

T.V. Carpio ... Prudence

Spencer Liff ... Daniel
Lisa Hogg ... Jude's Liverpool Girlfriend



jika kegelisahannya demikian, apakah pertanyaannya

1.    Bussiness as usual, kerusakan ekologi hampir dirasakan akibatnya se-antero Indonesia, banjir, longsor, kekurangan air, bencana Lapindo, korban logam berat bekas penambangan, tailing yang merusak eksosistem pesisir dan sungai, kolam dan kawah besar bekas penambangan, belum mampu membuat kita tersadar akan bahaya mengesampingkan biaya jasa lingkungan dan memasukkan pengelolaan limbah yang aman secara akuntabel. Semua adalah ‘peritiwa manusia’ bukan ‘peristiwa alam’ sebab manusialah yang paling ahli membuat kerusakan di alam, dibandingkan mahluk lain.
2.    Budaya yang berkembang dan terpelihara lewat kearifan dan pengetahuan lokal mendadak ‘terkenal’ dan seolah menjadi budaya tanding bagi proyek modernitas. Lokalitas sekarang menjadi aras tersendiri dalam kajian pengetahuan, khususnya epistemologi dan estetikanya. Seolah berlawanan dengan budaya global.
3.    Sebagai bangsa berbudaya ternyata 'kebudayaan kontemporer' Indonesia tidak sanggup menyelaraskan perkembangan jaman. Akulturasi budaya yang pernah terjadi secara baik, elegan tergantikan dengan hegemoni budaya. Saringan filosofi yang mendasari kehidupan, sebut saja Pancasila atau filosofi yang didasarkan pada agama-agama ternyata terkalahkan oleh ideologi konsumtif yang berlebihan. Sehingga semua ukuran tergantikan dengan ‘kepemilikan materi’, ‘having’ bukan lagi ‘being’ atau produksi. Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang paling konsumtif. Bahkan di aspek kognitif, pendidikan tidak lagi memperhatikan ‘proses’ namun ‘hasil’.
4.    Pragmatisme yang berkembang kemudian bukanlah pragmatisme yang diproduksi dari filosofi besar bangsa ini (jika masih dipercaya), pragmatisme dalam bangsa ini adalah ‘dimana ada kamaluan disitu ada jalan’ persis seperti di iklan Film Quickie Express. Bangsa ini menimbang pragmatisme setara dengan hilangnya rasa malu (hampir mirip dengan permisif-walaupun dalam kejadian kesehariannya dipenuhi dengan kata-maaf- maaf-maaf-dan -mohon ampun-si!?. Budaya yang berkembang adalah plagiat, suap, korupsi, dan amuk. Mulai dari SD-Universitas, mulai dari RT-Pemerintah, mulai dari penegak hukum sampai Departemen Agama, mulai dari pedalaman sampai ke tengah ibu kota.
5.    Quo Vadis Pembangunan Berkelanjutan? Jika Indonesia dianggap sukses menyelenggarakan konferensi tentang perubahan iklim di Bali di penghujung 2007 lalu, maka bagaimana kelanjutan dari proses hubungan negara Utara-Selatan. Sejak jaman merkantilisme awal sampai kapitalisme lanjut ‘sumberdaya alam’ merupakan ‘dagangan’. Pembangunan berkelanjutan bagi negara Selatan lebih merupakan agenda pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, sedangkan ‘dagangan’ negara Utara adalah kemitraan dengan perusahaan multi nasional, transnasional, dengan perjanjian liberalisasi perdagangan dan pematenan atas keragaman budaya dan hayati di negara Selatan. Artinya, pembangunan berkelanjutan memiliki bundel kepentingan neo-imperialisme, dengan tetap menganggap negara bekas jajahan sebagai ladang bagi pasokan sumberdaya alam dan pasar bagi industri negara Utara. Mulai dari industri pertanian sampai industri pertahanan keamanan. Jadi mau kemana agenda pembangunan yang berkelanjutan tersebut.
6.    Laporan resmi Badan-badan Pembangunan sejak tahun 2002, menyatakan peningkatan pendapatan korporasi dunia tidak pararel dengan peningkatan perbaikan kualitas lingkungan. Adanya corporate social responsibility (CSR) juga tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar perusahaan multinasional. Dan dari beberapa laporan terlihat CSR juga seolah-olah merupakan kompensasi atas jasa layanan lingkungan jika tidak mau disebut sebagai ‘uang kerohiman’ atas  kerusakan yang dibuat oleh korporasi multinasional.  
7.    Ada beberapa kasus yang membuat optimis. Dan inilah yang menjadi bahan bakar. Ibarat nuklir, masing-masing atom yang ada dalam individu memiliki potensi reaksi berantai, bukan untuk amuk, suap, korupsi, atau plagiat. Namun untuk mempercayai bahwa adalah mungkin untuk melawan dan berbenah, persoalannya adalah konsistensi dalam berproses, tidak ada yang siap saji. Konsistensi termasuk dalam memahami ruang, sehingga keberadaban menjadi habitus dimanapun kita berdiam atau sekadar berkunjung.

atau tambahkan kegelisahanmu dengan semisal;
1. tua
2. aktif
3. kaya
4. merah
5. merana
6. putih
7. ngilu
8. pipih
9. perih
10. lagu-lagu rakyat yang menggugah semangat, seperti halnya kitab suci yang menceritakan kisah-kisah keteladanan

Sunday, 24 February 2008

RISALAH INI SAYA NIATKAN SEBAGAI SAJAK MENGENANG KEMATIAN, ENTAH ITU SATU MINGGU, TIGA PEKAN, EMPAT PULUH HARI, ENAM TAHUN, 387 TAHUN ATAU SEABAD ATAU MALAH MELEBIHI UMUR MATAHARI—SEBAB, BAGI HOMO SAPIENS, TERLAMPAU BANYAK PELAJARAN YANG BISA DIPETIK DARI KISAH KESUKSESAN; SEDANG NARASI KEMATIAN HANYA MENGHIDANGKAN KESIA-SIAAN

Saya bukan orang amerika, sedang ke-indonesia-an saya sendiri masih saya ragukan apalagi bila sepasang kaki saya masih menjejak dalam ruang teritori geografis tanah indonesia. Dan bila ditanya apa itu amerika, saya hanya bisa menjawab: bukan saya; sedang bila ditanya apa itu indonesia, saya bakal bertanya kembali: indonesia itu apa? Bila hanya sebatas kedaulatan fisik menyangkut ruang geografis, saya pikir situs-situs internet anomin bisa menjawab lebih spesifik, tepat, memadai, dan elegan pula.

 

Tahun 2006, kalau saya tidak salah disebabkan ingatan saya yang tak terlampau paten, kampus Virginia Tech menjadi lokus baru peradaban amerika yang sudah kadung menenarkan diri sebagai kiblat humanitas dan demokrasi. Dan di 2008, peristiwa serupa kembali terjadi. Ada mahasiswa yang menembak mati dua orang, dan kemudian: bunuh diri.

 

Entah di tahun berapa, saya pernah melihat berita di televisi, anak sekolahan menengah pertama, kalau saya tidak salah, di provinsi jawa barat, masih kalau saya tidak salah, mencoba bunuh diri. Caranya dengan menggantung diri menggunakan sarung, kalau saya tidak salah. Entah siapa nama anak itu, saya lupa! Tindakan nekat bunuh diri dia ambil sebagai solusi ekspresionisme-individual-kontemporer-indonesia dikarenakan dia (baca: atau tepatnya ayah dan ibunya) tidak bisa membayar, kalau saya tak salah, uang ekstra-kurikuler. Saya bukanlah peneliti yang mencoba menghubung-hubungkan bunuh diri dengan ekstra-kurikuler dalam prinsip kausalitas. Yang pasti, di indonesia, nyawa bisa melayang karena uang.

 

Entah di tahun berapa, yang jelas di masa orde baru, sahabat saya berkisah. Ada temannya yang bunuh diri dengan menggunakan pistol bapaknya. Peluru menembus kepalanya. Kisah tragis-realis yang nyaris menjadi bahasa komikal-verbal-dan menakutkan dalam kepala saya.

 

Baru-baru ini, ada pentas musik, yang diberitakan massal beraliran underground, di bandung. Disebut pula sebagai konser maut. Alasannya, ada nyawa yang melayang—entahlah, saya tak berani menduga karena uang.

 

Kematian adalah kepastian. Bila apa yang disebut ‘kepastian’ dibantah, bukan persoalan bagi saya. Dan, untuk mengurangi kadar perdebatan yang besar karena kata ‘kepastian’, saya menurunkan derajat ‘kematian adalah kepastian’ ke tingkat paria. Kematian adalah pilihan. Kematian sebagai pilihan sadar, atau kematian sebagai pilihan tak-sadar. Entah itu kematian sebagai pilihan sadar dan kematian sebagai pilihan tak-sadar, bagi saya: keduanya persoalan gawat!  

 

Bicara soal kematian sebagai pilihan, berarti menyinggung soal ekspresi personal. Mudah-mudahan tidak menjadi ekspresi-komunal sebagaimana yang ditawarkan David Koresh di abad 20 yang telah lampau. Merenungkan ekspresi punya dampak keharusan mengangkat represi. Bicaranya pun jadi lain lagi: kultur.

 

Dari telaah psikoanalisa mekanis-struktural ala Freudian, instrumen mendasar manusia adalah libido yang mengejawantahkan diri sebagai id di dalam pikiran manusia. Sedang di dalam pikiran manusia itu sendiri, ada pula perangkat lain: ego dan super-ego. Ada bawah-sadar dan sadar bagi ego dan super-ego di dalam pikiran manusia, sedang id murni bawah-sadar pikiran manusia. Di dalam pikiran manusia, ego menjadi wadah pertempuran antara represi id dengan represi super-ego yang mewajibkan ego menyalurkan represi pada tingkatan ekspresi tanda-verbal-leksikal. Persoalannya, mati menjadi saluran ekspresi tanda-verbal-leksikal.

 

Apakah sastra harus mengambil peran sebagai ‘yang bertanggung-jawab’, ‘yang menerangi jiwa-jiwa’, serta segala macam ‘yang’ utopia lainnya. Utopia yang berasal dari ekspresi personal, yang berakar pada ekspresi tanda-verbal-leksikal, bahkan mencoba meresap ke dalam benak pembaca sastra amatir, misal saya. Apakah Tuhan memang kesepian? dan butuh boneka-boneka robotik untuk menemani kesendirian-Nya? Meski saya punya jawaban sendiri, sebagai bentuk penghormatan saya pada fisikawan mutakhir millenium dua Albert Einstein, saya putuskan ambil jawaban: Tuhan tidak sedang bermain dadu ketika menciptakan dunia.

 

Dazed and Confused. Led Zeppelin. Apakah haram menggunakan penggesek biola saat bermain gitar elektrik sebagaimana yang dilakoni Jimmy Page?   

 

Lima bait pertama mengisahkan bunuh diri, kisah kematian adalah pilihan, kisah kematian adalah pilihan sadar dan pilihan tak-sadar. Apa pun bentuknya, sadar atau tak-sadar, setiap pilihan adalah ekspresi personal, eskpresi tanda-verbal-leksikal. Ironisnya, di amerika, bunuh diri sudah melengkapkan diri dengan membunuh. Di indonesia, bunuh diri masih berupaya mengutuhkan dirinya. Untuk kasus konser maut di bandung, saya mohon ampun dahulu sebelum melangkah lebih jauh, ada kekhasan tersendiri (saya bakal membahasnya dalam sub topik yang terpisah dan sebisa mungkin saya usahakan jernih hingga tak sampai mengungkit luka lama; sebab, menurut saya, setiap kematian seharusnya punya hikmah).

 

Sedikit menyinggung Aristotelian dalam tafsir yang disesuaikan dengan semangat zaman. Politik adalah ‘ayah’. Apakah ‘ayah’ yang melahirkan represi? Saya mohon maaf pada Aristoteles. Dalam kerangka pemikiran idealistik, saya sependapat dengan ‘Politik adalah ‘ayah’’. Namun, kendala deviasi yang muncul dikarenakan saya berhadapan dengan realitas, membangun kerangka materi baru dalam kepala saya. Forma dan substansi yang lahir di zaman dahulu kala sudah tak lagi memadai di masa kontemporer. Politik adalah kendala, bagi saya. Politik adalah kendala merupakan realitas deviasi yang lahir dari realitas idealitistik, politik adalah ‘ayah’. Beralihnya realitas deviasi dari realitas idealistik menghasilkan represi. Setidaknya, saya melihat politik adalah kendala dan politik adalah ‘ayah’ membina karakter represif dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara kontemporer, lebih-lebih yang tengah saya jalani sekarang ini ketika saya menulis risalah ini.

 

Sedang hubungan sosial, tak lebih dari akumulasi para ‘ayah’. Ibu, sosok yang selalu terlupa dalam sejarah peradaban manusia. Nature melahirkan culture. Kealamiahan ‘digugat’ konvensi. Para ‘ayah’ turun tangan memegang kendali kekang. Komunitas dibangun atas dasar ‘gugatan’ pada kealamiahan.

 

Dalam konteks yang lebih mini, politik adalah ‘ayah’-politik adalah kendala hidup di ruang keluarga. negara (saya memang sengaja menggunakan huruf kecil ‘n’ di awal penulisan kalimat) adalah keluarga besar, payung bagi anak-anak pemberontak.  Kadang kala, ekspresi perundang-undangan memang kalah ampuh dibandingkan rock ‘n roll. Kesepakatan yang dilahirkan dari senayan (lagi-lagi, saya memang sengaja menggunakan huruf ‘s’ kecil), bukanlah kebudayaan pop. Regenerasi peraturan selalu bersifat bangsawan dengan segenap tata aturan yang mengasumsikan: anak-anak pemberontak = bodoh. Maka, peraturan adalah pengawal kebodohan agar tidak semakin bodoh (atau malau memang disengaja agar kebodohan tetap menjadi kebodohan?). Tapi, politik adalah ‘ayah’-politik adalah kendala menyakinkan saya: represi menghasilkan ekspresi; begitu seterusnya: ekspresi menghasilkan represi.

 

orde (lagi-lagi, memang kesengajaanlah yang membuat saya memilih huruf ‘o’ kecil sebagai huruf pembuka kalimat) baru sudah tiada. Januari 2008, simbol penguasa orde baru sudah punya rumah baru. Saya teringat cerita sahabat saya tentang teman dia yang bunuh diri dengan cara menembak kepala sendiri menggunakan pistol ayahnya, yang memang merupakan anggota dari sistem pertahanan dan keamanan nasional di mana pun juga di muka Bumi. Pistol ayah, seperti judul cerpen. Tapi, sebagai tanda, dalam perspektif Saussererianism, pistol adalah representasi dari politik adalah ‘ayah’. Perwujudan fisik dari sistem sosial yang dibangun pada masa orde baru, pistol! Ada yang menghalus-haluskan dalam bahasa visual dengan mengambil gambar sepatu. Tapi, dalam realitas petanda yang bersifat semena-mena + konsensus, pistol atau sepatu adalah gonggongan anjing, sebagaimana ‘Animal Farm’-nya George Orwell. Kekerasan! Anak yang bunuh diri menggunakan pistol ayahnya, dalam tafsir post-strukturalis, bisa diidentikkan dengan pistol ayah yang membunuh anaknya. Tapi, pistol sebagai produk selalu bebas nilai. Karena itu, mana yang lebih mungkin: 1) pistol ayah yang tak punya kehendaklah yang membunuh anak, teman dari sahabat saya, atau 2) ayah dari teman dari sahabat sayalah, yang nota-bene pasti punya kehendak dikarenakan dia adalah manusia, yang membunuh anak, teman dari sahabat saya? Karena politik adalah ‘ayah’, ekspresi lahir dari represi.

 

Lalu, saya melihat tulisan dari amerika. Virginia Tech. Pelaku bunuh diri membunuh orang lain. Itu tahun 2007. Satu tahun kemudian, entah di kampus apa, pelaku bunuh diri membunuh orang lain. Tepatnya, membunuh orang lain lalu membunuh diri sendiri. Ternyata, politik di amerika bukan lagi ‘ayah’. Entahlah, ekspresi pelaku hanya bisa saya pahami dalam kerangka korban. Pelaku adalah korban dari politik adalah ‘bukan-hanya-ayah’.

Di eropa, kalau saya tak salah, fenomena bunuh diri banyak terjadi di masa-masa perang dunia ke-dua. Revolusi filsafat kontemporer pun, ketidak-percayaan para filosof pada pencapaian unggul zaman Pencerahan membuncah. Rasio hanyalah membawa manusia pada kebuntuan belaka. Hitler, dengan alasan yang luar biasa tak masuk akal tetap yakin bahwa ras aria Jerman merupakan ras paling unggul. Karena itu: Yahudi harus dibasmi, tumbal afirmasi ras aria Jerman adalah ras paling unggul. Kenapa harus Yahudi? Apakah Hitler terlampau goblok biologi atau ilmu Bumi? Bila merujuk pada bangsa, tak hanya Yahudi saja yang ada di Bumi, ada juga Asia, Arab, India, dan juga Cina. Saya pikir, disini letak ketololan Hitler, sekaligus motifasi personal dari si pemilik kumis tak jelas dan funky. Lalu, kenapa manusia? Setidaknya, memang manusialah yang punya potensi menjadi paling berbahaya di dunia ini. Sebabnya: manusia bisa melarikan diri dari tanggung-jawab. Saya tidak pernah melihat atau mendengar ada binatang bertanggung-jawab atau tumbuhan bertanggung-jawab. Karena Hitler manusia, maka dia punya potensi kejam, dan itu sudah ditunjukkan Hitler pada peradaban Homo sapiens. Lainnya, Hitler lari dari tanggung-jawab. Setahu saya, Hitler dikabarkan bunuh diri. Mudah-mudahan benar, sebab apabila Hitler dibunuh berarti dia sudah bertanggung-jawab. Tapi, bila dia bunuh diri, Hitler memang benar-benar orang yang tak bertanggung-jawab. Adakah legalitas atas pembunuhan atas sesama manusia? Menurut saya tidak ada. Dan kalau pun ada, persoalan dipindah menjadi masalah emosional belaka, subjektifisme yang penuh motif tipu daya. Politik adalah ‘ayah’. Dan ayah membunuh ‘ayah’.

Setelah Hitler bunuh diri, tak ada penguasa otoritarian yang bunuh diri. Politik adalah ‘ayah’ menjadi permanen. Dan tidak ada ayah yang membunuh ‘ayah’. Selalu anak-anak pemberontak yang maju menghancurkan para ‘ayah’; setelah sejarah mengajarkan ada ‘ayah’ yang membunuh anak melalui kisah teman dari sahabat saya yang bunuh diri menggunakan pistol ayahnya. Ibu, berdoa dan mencatat lalu mewariskan.

 

Di indonesia, zaman ‘ayah’ membunuh anak dan zaman anak membantai ‘ayah’ sudah berlalu. 1998. Pelajar sekolah menengah pertama dari jawa barat memberikan tulisan baru dalam sejarah peradaban indonesia yang entah masih ada atau tidak pada dua abad mendatang. [Sebab persoalan represif adalah persoalan yang membutuhkan waktu berabad-abad untuk menemukan solusi.] Kalau tak salah, pelajar ini bunuh diri menggunakan sarung. Kalau saya tak salah, sarung adalah hasil kreatifitas perempuan, menenun. Para ‘ayah’ hanya berkutat soal menemukan pesawat siluman tercanggih dan cara berburu paling ampuh. Tak ada lagi pistol yang berbicara di kepala anak-anak. Tapi, kehangatan sarung ternyata tidak menjadi jawaban. Tetap, ruang keluarga didominasi para ‘ayah’. Kembali, politik adalah ‘ayah’. Saya pikir, hanya menunggu waktu saja sampai kasus Virginia Tech terjadi di indonesia, dan pada saat itu di amerika pola simbosis-horor-mutualisme antara anak-‘ayah’ sudah dalam kategori yang sangat-sangat tak ternalar indonesia. indonesia, selalu lambat dan pelan, bukan karena berhati-hati, melainkan karena konsensus para ‘ayah’. Dan sekarang, wajar pula bila para ibu sering angkat suara, mengeluh harga pangan yang semakin tinggi, harga minyak goreng yang tak pernah stabil, dan sampai lupa mencuci kain sarung agar lebih bisa menyimpan kehangatan permanen.

 

Memang, ada baiknya melupakan negara. negara, dengan penuh kesengajaan dimasukkan dalam kategori lupa di dalam benak individu. Sebab, ada yang lebih penting di ruang keluarga. Politik adalah ‘ayah’ sebaiknya tak masuk ke dalam rumah. Sebab di dalam rumah, anak-anak pemberontak tahu mana yang lebih bermanfaat untuk menyalurkan ekspresinya. Sayang, realitas deviasi para ‘orang tua’ masih melihat anak-anak pemberontak terlampau muda, hijau, dan kurang pengalaman hidup. Padahal, semenjak Albert Einstein menelurkan teori relativitas khusus dan umum yang merelatifkan waktu, seharusnya kepala ‘orang tua’ lebih berisi: pasti ada yang bisa dipelajari dari anak bayi. Sebab: relativitas waktu, dalam tingkatan paling praktis membuktikan usia bukanlah besaran pokok yang tak terbantahkan (senioritas adalah lagu lama yang disukai oleh orang-orang sakit jiwa); dan pengalaman menjadi berharga ketika dipelajari dan didalami dan dilakukan, à banyak belajar pasti punya banyak pengalaman, sedang banyak pengalaman belum tentu punya banyak belajar. Selalu ada waktu yang terbuang sia-sia, sebagaimana kematian hanyalah keterkejutan sejenak yang berujung pada sia-sia! 

 

Kematian adalah pilihan. Karena itu, kematian bisa dikonsensuskan. Kematian yang bagaimana tergolong baik, dan kematian bagaimana pula masuk kategori buruk rupa. Dan kasus ini ada di luar kewenangan para ‘ayah’. Seharusnya tidak ada consensus kematian yang buat para ‘ayah’! Politik adalah ‘ayah’ biarlah terus berjalan. Politik adalah kendala tetaplah melanglang buana. Sebab, Aristoteles sendiri sudah bicara soal keutamaan, yang menurut saya menyatukan realitas idealistik dengan realitas deviasi, jauh sebelum peradaban masuk kategori Masehi. Dan seharusnya, setelah peradaban masuk kategori Masehi, tak perlu ada kasus bunuh diri lagi. [Saya tidak tahu apa bisa muncul peraturan perundang-undangan yang menghukum orang yang bunuh diri secara pidana. Dan kalau memang ada peraturan seperti itu, para ahli ilmu sosial tampaknya harus berupaya merumuskan tindak ekspresionisme-individualistik pengganti kosa-kata bunuh diri, dengan misal: supra-suicide! Sebab, bunuh diri adalah ekspresi dan bila ekspresi itu represi bakal menghasilkan ekspresi baru lagi. Setidaknya: Dazed and Confused Led Zeppelin sudah membuktikan hal tersebut di era 1970-an.] 

 

dvd.tbg

Friday, 22 February 2008

surat untuk presiden yang diberi judul: keledai dan presiden kita (yang bukan pilihanku, sekarang dan selamanya), sejujurnya aku lebih memilih keledai

dear presiden,

kau jual hutan seharga Rp. 120,- sampai dengan Rp. 300,-m2
sehingga aku menjadi hilang kepala
sebentar, tidak lagi bertempat di tempat seharusnya
apa yang kau pikirkan sesungguhnya
sementara kepalaku hilang
aku memakai kepala lain,
mungkin kepala menteri kehutanan, mungkin kepala menteri sekretaris negara
dan aku melihatmu memakai kepala keledai
dan aku barharap-sangat berharap agar itu bukan kepalamu yang sebenarnya
karena keledai yang aku punya tidak mungkin menjual hutannya, lebih tepatnya sebagai hewan yang sangat sabar ia tentu sangat berhati-hati,

dear presiden yang tak bisa kupahami,
tolong kembalikan kepalamu, sehingga kau bisa membantu mencari kepalaku
dengan kepala menteri kehutanan dan menteri sekretaris negara
aku seakan sudah di surga
atau memang tanah kita tanah surga
sehingga seperti tidak ada yang berhak memilikinya
kecuali tuhan yang kau maksudkan sebagai Tuan
namun Tuan yang kau maksudkan sebagai tuhan
bukan Tuan atau tuhan bagi orang kebanyakan yang kepalanya utuh
tak tertukar dengan kepala keledai atau kepala menteri kehutanan dan menteri sekretaris negara

dear presiden berkepala keledai
ajarkan aku bicara santun
ajarkan aku memiliki gerak tubuh sepertimu walaupun itu sangat menjijikan
tapi kau presiden
walaupun kepalamu kepala keledai
sebagian orang mungkin melindungimu
lebih dari melindungi hutan
kupikir memang kau layak untuk dikonservasi
lebih tepatnya diawetkan
namun bukan untuk ditangkar atau dikloning
cukup sekali saja
aku mengalami kejadian ini
memiliki presiden berkepala keledai (yang bukan pilihanku, sekarang dan selamanya)
sejujurnya aku lebih memilih keledai sungguhan, bukan keledai yang pura-pura
jadi presiden,
jangan marah, cukup meringkik saja

tabik,
widhy | sinau

tembusan: menteri lingkungan tak hidup



Attachment: L_PP_2_2008.pdf

Tuesday, 19 February 2008

MEMECAH KEBUNTUAN DENGAN KATA

Saya rasa, memang sudah seharusnya manusia yang hidup di planet ke-tiga galaksi Bimasakti pada millenium ke-tiga ini tak lagi mengenal apa yang dinamakan bencana alam. Bencana alam, hanyalah dongengan belaka buat pengantar tidur bagi anak-anak badung. Yang ada hanya kesepakatan politik (!), inilah realitas yang tak bisa dipungkiri.  

Karena itu, saya pun mengapresiasi, bahkan sangat-sangat menghargai upaya para anggota Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia untuk merumuskan apa yang sebenarnya tengah dan terus berlangsung di kawasan Sidoarjo, Jawa Timur. Rumusan yang disepakati para anggota dewan, dengan sepenuh hati saya acungkan seratus triliun lebih jempol tangan. Para anggota dewan sudah melakukan, dalam perspektif saya, terobosan intelektual yang tak pernah dicapai, sekalipun oleh orang yang bernama Albert Einstein, atau Sir Isaac Newton, bahkan Socrates sampai Plato hingga ke Foucault. Hal begini, menjadi kebanggaan pribadi yang besar bagi diri saya yang mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dikeluarkan Camat di suatu kecamatan di suatu daerah di teritori Republik Indonesia yang dikenal bernama Depok.

Apresiasi tiada henti saya ucapkan atas pencapaian yang sungguh-sungguh luar biasa, sungguh-sungguh melampaui Teori Relativitas Umum dan Teori Relativitas Khusus Albert Einstein, bahkan kajian Post-strukturalis kontemporer yang digagas Jean Jacque Lacan, Michel Foucault, dan Jacques Derrida. Para anggota dewan dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab intelektual memilih untuk menyimpulkan bahwa kasus lumpur Sidoarjo adalah peristiwa alam. Sejauh yang saya ketahui, kontroversi kasus ini di kalangan ilmuwan ada pada dua kemungkinan, peristiwa alam atau tangan ahli manusia. Berada diantara dua pilihan, sekali lagi, saya patut mengacungkan seratus triliun lebih jempol tangan, atas keberanian para anggota dewan mengambil keputusan.

Memang sudah saatnya, dalam pikiran saya, manusia yang hidup di planet ke-tiga galaksi Bimasakti pada milenium ke-tiga, merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan peristiwa alam. Peristiwa alam itu ternyata bisa macam rupa, salah satu diantaranya, yang paling kontemporer dalam risalah buku-buku bahasa adalah bencana alam. Karena itu, keberanian para anggota dewan untuk menyimpulkan lumpur Sidoarjo adalah peristiwa alam seharusnya dibiarkan bergulir hingga mencapai prestasi paling ultima. Karena itu pula, saya, sebagai orang yang mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dikeluarkan Camat di suatu kecamatan di suatu daerah di teritori Republik Indonesia yang dikenal bernama Depok, punya ekspektasi besar terhadap para anggota dewan untuk menyimpulkan ‘apa sebenarnya yang terjadi menjelang penghujung Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam’. Mungkin, para anggota dewan bisa merumuskan bahwa ‘apa sebenarnya yang terjadi menjelang penghujung Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam’, dugaaan saya, mudah-mudahan tidak meleset, adalah disebabkan tangan ahli manusia. Dan saya yakin, berdasarkan keberanian para anggota dewan yang merumuskan kasus lumpur Sidoarjo sebagai peristiwa alam, maka apa sebenarnya yang terjadi menjelang penghujung Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam’ tak lain tak bukan adalah disebabkan tangan ahli manusia.

Dari para anggota dewan saya menyadari sepenuhnya dan seutuhnya bahwa kesepakatan politik itu penting. Kesepakatan politik itu harus mampu menyelesaikan segala permasalahan yang muncul, entah itu menyangkut ilmu pengetahuan, filsafat, seni, dan agama. Bila politik tidak turun tangan, saya tidak dapat membayangkan bakal bagaimana jadinya Republik Indonesia di kemudian hari ketika kasus lumpur Sidoarjo saja tidak bisa didefenisikan sebagai peristiwa alam atau akibat tangan ahli manusia. Sungguh luar biasa! Apresiasi saya tak bakal henti kepada para anggota dewan, apalagi jika para anggota dewan mampu merumuskan bahwa ‘apa sebenarnya yang terjadi menjelang penghujung Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam’ adalah akibat tangan ahli manusia. Dan bila kesimpulan itu sudah disepakati para anggota dewan, saya pikir, para anggota dewan pastilah bakal berusaha menuntut ganti rugi kepada si pelaku ‘apa sebenarnya yang terjadi menjelang penghujung Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam’. Tuntutan ganti rugi itu penting, untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan mengalihkan pos pembiayaan rehabilitasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dialihkan untuk membayar utang pada luar negeri atau melunasi hutang para kreditor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dan akhirnya, saya sampai pada kesimpulan paling akhir, keputusan politik adalah keputusan yang paling unggul tiada bandingnya.  

Merdeka!!!


dvd.tbg

 

Note: Kira-kira, partai apakah sajakah, atau siapa-siapa sajakah sosok pemberani yang menggagas ‘para anggota dewan harus merumuskan apa sebenarnya kasus lumpur Sidoarjo’ dan mengajukan gagasan berani dan penuh bobot intelektual ‘lumpur Sidoarjo adalah peristiwa alam’.

Sunday, 17 February 2008

untuk isteriku




musikalisasi puisi sapardi djoko damono
14 Februari 2008
Graha Bakti Budaya TIM Jakarta

Friday, 15 February 2008

MEMBACA LINGKUNGAN DAN BUDAYA

Start:     Feb 20, '08 3:00p
End:     Mar 20, '08 3:00p
Location:     kedai sinau jakarta | bogor | malang
sekarang dan disini untuk masa depan


Tempat: P4W-LPPM IPB
Kampus IPB Baranang Siang, Bogor

kedai sinau jakarta, jl. Bekasi Timur 1, No. 32A, Jakarta 13350
kedai sinau malang, jl. Bogor Atas No. 1C, Malang 65513



Pengantar

Sekarang dan disini. Pameran buku tentang lingkungan dan budaya ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa perubahan dimulai dari individu, konteks waktu kini, dan ruang yang paling dekat: disini.

Berbagai pembelajaran yang dipresentasikan lewat penerbitan buku dan film yang berusaha dirangkum dalam pameran ini bersifat sangat lokal bahkan personal. Sekarang dan disini untuk masa depan.




Acara:
1. Putar Film
Hutan
• Sui Utik: bagaimana adat berupaya melindungi hutan
• Community Logging: Answering The Forest Crisis
Pulau dan Pesisir
• Rinjani: Jantung Kehidupan Pulau Lombok
Bencana
• Aku Ingin Pulang: Bencana Lumpur Lapindo
Tata Ruang
• Voices for RSPO5: dampak pembukaan Sawit di Jambi dan Kalimantan Selatan bagi komunitas lokal
• Jakarta Under Pressure
• Pekerja Anak
• Mendengarkan Kota
• Belajar dari Quritiba
• Metropolitan
Keanekaragaman Hayati
• Towards Extinction (bahasa Indonesia, sub title Inggris), durasi 13 menit, yang bercerita tentang kondisi satwa liar Indonesia.
• Terbang Tanpa Sayap II, yang bercerita tentang penangkapan kakatua seram di Pukau Seram, Maluku
• Action, durasi 25 menit, film tentang perjalanan ProFauna 1994-2006.

2. Diskusi Buku
• Agropolitan: Membangun Ekonomi Perdesaan: Penerbit Crestpent
• Modul Anak Siaga Bencana-CDSAC
• Walik Lubang: Membalik Paradigma Pengelolaan Tebu: Penerbit Crestpent
• Anthologi Sajak: Sinau 2007 Penerbit Sinau
• Tata Ruang Ramah Anak: Salam
• Skola Rimba: Penerbit Insist Press
• Plan B 3.0 Penerbit Yayasan Obor Indonesia
• Hak Politik Warga Kota: Penerbit Kompas
3. Bazaar Buku dan Kampanye Hijau
Bazaar buku YOI: diskon sampai dengan 45% di kedai Sinau Bogor

4. Workshop
• Membuat film dokumenter
• Siaga Bencana
• Membuat foto lingkungan
5. Stadium Generale: WS Rendra, 1 Maret 2008 di kantor P4W-Bogor, Dramaga Bogor


Peserta
1. Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah-P4W-LPPM Institut Pertanian Bogor
2. Gekko Studio
3. Telapak
4. Kampoeng Bogor
5. Salam
6. Walhi
7. Sokola Rimba
8. CDSAC-PP Muhammadiyah
9. Kedai Sinau
10. Yayasan Obor Indonesia
11. Insist Press
12. Sains
13. ProFauna
14. aksesfoto.com





Agenda lengkap hubungi:
• Widhy: hp 0815 8840310
• Email: kedai_sinau@yahoo.com





Monday, 11 February 2008

matinya perempuan dalam sebuah bus, sebuah kereta diesel dan listrik, dan revolusi yang belum selesai

ada yang mengatakan banyak lelaki di jakarta yang gentlemen
namun belum satupun yang rela memberikan tempat duduknya untuk perempuan

perempuan mati di dalam angkutan publik
juga anaknya

jepang, meksiko, kolumbia, arab saudi berusaha  menghidupkan perempuan dan anak-anak. dengan alasan yang berbeda. kebanyakan karena  perempuan merasa terteror dengan kekerasan seksual yang dialami selama perjalanan di dalam angkutan publik. ada juga dengan alasan agama, laki-laki dan perempuan sebaiknya dipisahkan, karena berkecenderungan saling tersentuh, tergesek, terpegang, teremas. atau dengan sengaja disentuh, digesek, dipegang, diremas.

suatu hari di krl jabotabek. setiap hari di krl jabotabek. setiap waktu di dalam bus kota. wangi sampoo harus ditimpali dengan gurauan tentang hubungan seks. rok pendek ditimpali dengan mata yang tidak berkedip. pinggul dan dada satu-satunya tujuan untuk memulai hari bagi sebagian laki-laki. yang berjilbab juga  tak luput.  seks. seks. seks.

represi seks pada laki-laki menyebabkan kekerasan dan agresi. laki-laki yang berwajah birokrasi dan konvensi adalah mahluk lemah, rawan, dan manipulatif. hadir dan ada dalam angkutan umum.

revolusi yang belum selesai. karena kreativitas tumpul. karena laki-laki terlalu lemah untuk melakukan revolusi dan perempuan terlalu tabah. sedangkan anak-anak cuma punya dua pilihan, menjadi laki-laki atau perempuan.

widhy |sinau

launching antologi sajak: SINAU




bertempat di warung buku Pustaka Rakyat, Dinoyo-Malang
8 Februari 2008
buku antologi sajak berjudul SINAU dilaunching

buku bisa didapatkan di kedai sinau jakarta | malang | bogor

mimpi-mimpi yang kemudian disebut rumah yang tidak pernah tidur




# bulan sepotong semangka

udara menggigil. ketika
bulan tepat di seberang kedai tak berpengunjung
karena sudah setengah gaji. setengah
hidup. menahan setengah bulan
untuk setengah mati. berusaha tidak beku rasa panas mata
cukup nasi di lemari pendingin. biar tidak basi
lauk yang bisa dipanaskan besok pagi
atau matikan saja selera

seperti pertama kali bulan menggetarkan udara. dengan
lingkaran pelangi di sekitarnya. bagai
santa. bercengkerama di kebun yang penuh pohon buah
pikirannya memenuhi udara. tidak cukup
untuk dimengerti. saat udara
sesak. seperti masa kanak-kanak yang kembali. mengangguk
terpesona kepada bayangan

tajuk dibuat untuk memantulkan cahayanya
setelah setengah bulan menunggu
disaat udara masih leluasa. menggeser
angin ke arah barat atau timur
dengan upacara sederhana
yang disajikan oleh kekerasan waktu. fiksi
dan ode yang diceritakan kembali. dianiaya
tak terduga. tak dipercaya walau darah mengalir nyata
di lembaran-lembaran laporan. cerita mulut ke mulut.
pelataran kebun buah tempat pesta. dan
cermin kamar mandi kusam penuh goresan

luka yang tidak membuat jera
sepotong demi sepotong bulan dimakan
udara tidak pernah tersia-sia. dibagi
berbagi perasaan. bukan
untuk sekarang. genderang ditabuh cepat
dan nyaring dengan sesuatu yang dipercaya. cuma
dirasakan. seperti kematian
bahkan seperti kehidupan sebenarnya. bukan
tentang pelajaran kehidupan
yang cuma sepenggal kebajikan tertunda pelaksanaannya
sepenggal lagi disisakan waktu
untuk masa depan
jika pengorbanan sampai pada bentuk yang sempurna

namun bulan masih setengah semangka
sebelumnya sabit. berteman
dengan rumput, bintang, atau atap masjid
setengah lagi terlempar. di depan
kedai. sekarang
tepat di seberang
telah menjadi pucat
udara kembali menggigil
mengingat masa lalu. kemudian
waktu menghitung mundur
sampai setengah mendekati nol

membeku udara di pesta Bulan Sepotong Semangka

# namun hidup terlanjur berarti

1.
waktuku tak banyak
aku menyerah
bukan berarti kalah
pisaumu dedahkan mimpi dan surat cinta
dari sahabat yang membabi saja
butaku belum apa-apa
belum amien

2.
namun hidup terlanjur berarti
adakah pesona lain kecuali musim yang tunduk
tengadah menatap kemungkinan pada mata langit
mungkin sesekali liar tak terkejar
tapi tak mengapa
kita masih punya lupa
hidup ini terlanjur berarti
walau hanya mengembara tangan kita kuasa memberi

# yang membuat seisi pertemuan cemburu

yang membuat seisi pertemuan cemburu
penanda tidak pernah salah
waktu menjadikannya lambang
yang berawal di keinginan aksara
untuk memulai percakapan
buat ramai bikin megah

yang membuat seisi pertemuan cemburu
percakapan soliter
ketika bebas dan jauh
mencari titik beku perasaan
sebelum dan sesudahnya arah sudah ditetapkan
seperti mencari bagian yang hilang dalam sebuah lukisan
padahal hanya keanehan yang belum bisa dimengerti
sebuah penanda
selalu berakhir seru

yang membuat seisi pertemuan cemburu
rendez vous bunga
merah berbunga
semua tanda lebur didalamnya
pengetahuan
perguruan
gincu

kaukah itu
akhir riwayatku

# setiap yang datang adalah orang yang tepat

terima kasih #1
untuk tidak merasa iba
bersikap sesuai dengan apa yang dipercaya ada
walau hati berdentam berbunyi gentar
warnanya sepucat buku putih itu

malam nanti
mari pergi
mencari tempat lain untuk bercakap-cakap
disini kita seperti orang gila
berteman suara ketikan

mulai pagi
ingatlah di dingin dinding ada mata
di cangkir kopi ada telinga
membaca kata-kata yang pingsan
ketika berbaris di kuning kertas pesan
(siang ini ada kemeriahan di kamar besuk)

terima kasih #2

untuk kepercayaan yang diberikan
kita telah bertukar darah bertukar catatan
bukanlah sebuah kejahatan memiliki ketakutan
untuk hidup dalam gelap

ketakutan jenis itu adalah kekuatan yang membuat iri ilmuwan
api dimatamu menebas gelap
menghidupkan mahluk rekaan yang menghuni otak
jika berkenan ajaklah aku berpetualang

jadi pencuri atau penyelundup
karena masih banyak yang tidak mampu
masuk ke dalam kelas seperti kita
karena salah asuhan atau salah baca
(ada yang mangkir namun tetap tersenyum)


terima kasih #3

saatnya main di kebun belakang
kita tanam rumput
ia hidup paling awal dan mati paling akhir
cocok untuk menyemai kata-kata yang akan kita jadikan cerita

ketika hari itu datang
sungguh aku senang
sebab bukan kekalahan seperti yang diberitakan
aku cuma berpindah ruangan

jika kau bersetia
lunasi utangku
bukan karena bangkrut tapi karena terlanjur berjanji
buku kita nanti bersampul oranye saja
(sebab senja adalah niscaya)

2006



# jalan, warna, dan gairah kota yang pasang surut

1.
pada sebuah pagi. berkaca kecemasan
dusta persetubuhan. dalam kota terlampau kasar
kelopakmu kubakar pelan-pelan. tertunduk lesu
sampai isyarat. gairah menguncup

2.
percakapan seperti kemarin. terlampau jenuh
penuh keinginan. sementara setiap orang
mengejar kesepian. mencabuti bunga-bunga
di puncak. jerit-menjerit
bahagia. karena kau terus asing

3.
di bibir selalu sungging. merah dingin
setiap kali seringai. kelabu sepi
mengadu gaduh. kuning rock n roll
kehilangan. warna yang diinginkan
setiap keharuan. seperti salah perlakuan
cinta yang berbeda. kembali tak jadi datang
kota seperti bingung. kehilangan ramuan

4.
di sebuah kedai yang sama sekali tidak seperti bar. sayup-sayup penonton tak beranjak
menanti kematian. dirinya sendiri sebagai aktor
dari panggung yang hilang berahi. berhenti bertualang

5.
sebuah kota selalu muda. lebih baik demikian
cuma keteguhan bunyi. mencari sudut tampil
seperti syair rolling stone. dimana-mana cinta
untuk mengingatmu. yang kehilangan objeknya
melahirkan kembali. akal sehat dan asesorisnya
metamorfosa sunyi. serta kebaikan tertentu
yang lepas kendali. kota terlampau dibakar cemburu


2006-2007


Friday, 8 February 2008

bedah buku puisi antologi sajak

Start:     Feb 8, '08 8:00p
End:     Feb 8, '08 11:00p
Location:     Pustaka Rakyat, jl. MT Haryono, depan FIA Univ. Brawijaya
antologi sajak dari penerbit sinau

Sunday, 3 February 2008

tas belanja

Rating:★★★★
Category:Other
tas belanja bisa didapatkan gratis dengan pembelian diatas Rp. 200.000,- saja
atau dengan hanya Rp. 10.000,-

material:
bahan kerah, warna dasar putih

kaos edisi personal




cek di kedai sinau
malang | jakarta | bogor

harga satuan Rp. 60.000

pemesanan: echa 08561153835

Friday, 1 February 2008

sensor

oleh: GM

Kami, sejumlah juru sensor, duduk di ruangan gelap seperti seregu malaikat yang waswas.

Kami tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Tuhan, (meskipun kami tak tahu ke arah mana semestinya), dengan mata gundah: tidakkah Ia terlampau optimistis tentang manusia ketika Ia memutuskan untuk menciptakan makhluk yang merepotkan ini? Tidakkah Tuhan lalai menduga bahwa manusia akan menyebarkan kejorokan di muka bumi?

Kami, para juru sensor, sungguh khawatir. Memang Tuhan pernah mengatakan kekhawatiran itu tak berdasar. ”Aku tahu apa yang kalian tak tahu”, kata-Nya. Tapi kami tetap tak percaya manusia akan berfiil baik, berakhlak tinggi, dan berjiwa kuat. Bagi kami, manusia pasti akan mudah tergoda syahwat dan kemudian mencandu seks. Manusia, terutama yang muda-muda, pasti akan terhanyut tenggelam oleh arus hal ihwal yang erotis. Tentu, ini baru dugaan, tapi lebih baik kami siaga.

Sebab kami, para juru sensor, sebenarnya tak ikhlas ketika Tuhan memberi begitu besar kemerdekaan kepada Adam + Hawa beserta keturunannya. Kami mendengarkan baik-baik kata Allah, tapi kami tersenyum kecut ketika mendengar beberapa kalimat dalam Al-Baqarah bahwa Ia mengangkat manusia sebagai ”khalifah”-Nya di bumi.

Sebab, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin makhluk yang lemah ini—yang kadang-kadang memandang dengan berahi sebuah foto Happy Salma atau berpikir cabul tentang Tom Cruise—bisa diandalkan sebagai wakil-Nya? Bagaimana mungkin kita harus merayakan kedaulatan manusia?

Hati kami menampik. Manusia tak bisa dipercaya. Tentu, kami, para juru sensor, para alim ulama dan pengkhotbah moral, juga manusia. Tapi rasanya kami lain: bahan kami mungkin lempung yang lebih unggul. Jangan-jangan malah kami diciptakan dengan campuran api. Kami memang oknum luar biasa. Buktinya: kami telah dipilih Pemerintah Republik Indonesia sebagai sekelompok kecil yang tentu tak akan tergoda bila menonton, misalnya, adegan malam pengantin baru dalam film Berbagi Suami.

Sebab kami tak sembarangan. Kami yakin bahwa orang yang bukan kami, mereka yang bukan juru sensor, akan rusak bila melihatnya. Kalau tidak rusak, pasti bingung, atau salah paham. Kasihan, ’kan? Karena orang-orang di luar gedung lembaga yang luhur ini belum sematang kami. Mereka belum terdidik. Mereka lemah iman, suka melamun, bolos ibadah, penuh dosa, dan, maaf, bodoh-bodoh. Mereka harus dilindungi.

Lagi pula mereka tak butuh kebebasan untuk memilih apa yang akan mereka tonton, tak perlu kemerdekaan untuk berpikir sendiri dan mengutarakan pendapat. Kebebasan itu kemewahan. Atau dikatakan secara lain: kemerdekaan itu harus ada batasnya.

Kami tahu, mereka tak tahu mana batasnya. Sebab itulah kami yang akan bikin rambu-rambu. Bagaimana cara kami membikin, dan apakah rambu-rambu itu adil dan dapat dipertanggungjawabkan—ah, sudahlah, tak perlu dibicarakan. Pokoknya, inilah tugas kami.

Ini tugas yang mulia, sebagaimana mutu diri kami yang mulia. Kami menjaga manusia Indonesia dari pelbagai bahaya yang mengancam mereka—dari bahaya masturbasi sampai dengan bahaya aborsi, dari bahaya film biru sampai dengan koran kuning. Bukankah ada seorang tua yang mengatakan, (dan seperti lazimnya orang tua, mengatakannya berkali-kali), kita sekarang sedang diserbu ”gerakan syahwat merdeka”?

Tentu, sinyalemen itu menggelikan. Sebab sebenarnya tak ada ”gerakan”, tak ada aktivitas yang terarah dan terorganisir. Yang terjadi adalah dinamika kapitalisme: ketika ekonomi pasar mulai bangkit, tampak celah-celah untuk memasarkan hal-hal yang terkait ”syahwat”. Tapi jika kata ”gerakan” dipakai, itu cuma bagian dari sebuah bualan—sebuah siasat retorika untuk membuat orang dag-dig-dug. Sedikit menyesatkan tak apa-apa, asal tujuan tercapai.

Namun ada ”gerakan” atau tidak, lebih baik kami mendahului: kami harus tegakkan benteng. Lebih baik kami awas, sejak awal.

Sebab manusia terlampau lembek. Harus kami katakan, Tuhan salah. Tuhan terlalu optimistis. Itu juga yang diutarakan Sang Pengusut Agung dalam satu bagian novel Dostoyewski yang termasyhur itu, Karamazov Bersaudara.

Dalam cerita ini, kardinal di Sevilla, Spanyol, yang berusia 90 tahun, dengan bengis dan yakin menangkap orang yang dituduh murtad, mengusut imannya sampai sejauh-jauhnya, dan membakarnya hidup-hidup. Tiap hari, api unggun tampak di mana-mana. Orang ketakutan, sampai akhirnya Yesus sendiri turun kembali ke bumi untuk membebaskan mereka.

Tapi sang Kardinal tak gentar. Ia juga tak menyesal. Malah ia berani bicara agresif kepada Tuhan: ”Apa yang Paduka telah tawarkan kepada manusia? Apa yang dapat Paduka tawarkan? Kebebasan? Manusia tak dapat menerimanya. Manusia butuh hukum-hukum, sebuah tata yang mapan yang terperi untuk seterusnya, yang akan menolongnya membedakan yang sejati dan yang palsu….”

Membangkangkah dia? Bukankah Sang Pengusut melakukan semuanya untuk menyelamatkan dunia? Jawabnya ”ya” dan ”tidak”.

Dalam Kitab Suci, ada cerita bahwa Iblis, yang merasa tak terbuat dari lempung, melainkan dari api, menampik untuk mengikuti Tuhan yang memberi kepercayaan kepada manusia. Dengan demikian bisa dikatakan, sang Pengusut Agung tak tampak berbeda dari Iblis. Tapi apa salahnya? Kami bukan Iblis, namun kami juga sepakat dengan sikapnya yang memandang manusia sebagai makhluk yang tak dapat diandalkan. Sebab itulah kami ada: manusia harus dijaga, dilindungi, diawasi, diatur, dikekang….

Dunia mencemaskan. Dunia dan manusia gampang berdosa dan najis. Mencatat semua itu memang bisa sama dengan meragukan, layakkah Tuhan diberi ucapan terima kasih dan kita bersyukur. Para juru sensor, yang duduk di ruangan gelap seperti seregu malaikat yang berwajah suram, tahu apa jawabnya.

Majalah Tempo, Edisi. 49/XXXVI/28 Januari - 03 Februari 2008

sumber: http://caping.wordpress.com