***
selamat ulang tahun! bagi siapa saja yang memiliki masa kini, masa depan dan masa lalu. dan menganggapnya serius
***
Bahwa dalam narasi Foucoultian dijelaskan bahwa pengetahuan bertujuan mereproduksi yang sosial. Mengambil konsep Nietzsche tentang konsep ingatan maka ingatan yang dalam tataran tak sadar pada saat yang sama menjadi pelaksana kontrol sosial, sekaligus berfungsi demi reproduksi sosial. Pengetahuan yang menjadi teks penting untuk mereproduksi yang sosial tersebut. Sebagai habit, sekaligus (pada saat yang sama) mereproduksi kembali teks-teks itu.
Maka, ‘serdadu bayaran’ menjadi laku, ketika ‘ingatan’ dalam teks sejarah, dengan tanpa darah bersedia menjadi yang terdepan. Bayangkan, artefak (...mulai dari masa Lekra hingga masuk ke era serat-serat di tanah Jawa pun ragam artefak para pendahulu para kita...) menjadi yang terdepan (walaupun dalam kenyataannya lebih sering tafsiran atas artefak, motif, konteks, terhadap masa lalu yang menjadi acuan, bukan yang tekstual). Maka untuk melawan ‘ingatan’, narasi Foucoultian memilih ranah sastra sebagai kritik non diskursif terhadap rasionalitas diskursus ilmu humoniora (terutama sejarah-penulis) yang sering menindas. Paradoksnya adalah bahwa yang diskursif semacam itu merupakan bagian dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Selebihnya, maksud dari ‘pernyataan sastra menjadi sekadar teks belaka’ otomatis tidak bisa diterima, sesungguhnya, oleh kedua ‘Para Kita’, pemberangus dan promotor ‘seks (d/s)alam sastra’, karena dalam institusi sosial yang mapan, fungsi sastra (narasi Foucoultian), memiliki agenda tersembunyi (yang berfungsi sama dengan ‘ingatan’ sejarah-penulis), yaitu memproduksi ingatan, dalam bentuk kontra ingatan, dalam semangat perlawanan atas yang berlangsung dan berkuasa. Atau dengan kata lain, sastra sebagai sumberdaya untuk kuasa untuk melawan kekuasaan. Jadi, ‘mengaitkan sastra dengan kenyataan, sastra yang teks itu mampu mempengaruhi kehidupan kepala serta tubuh para pembacanya’, bisa jadi benar adanya (juga bakupukul yang bohong-bohongan, yang belum bisa dinalar anak kecil, dan ironisnya dilakukan oleh ‘Para orangtua” melalui teks lisan dan perbuatan. “Para orangtua’ ini sesungguhnya tidak sedang mengharamkan kekerasan, sebaliknya mempertontonkannya secara vulgar).
Teks yang tak mampu memberikan daya pukau menurut penulis adalah teks yang gagal. Teks yang tidak menciptakan inspirasi, tidaklah mungkin dijadikan acuan. Teks berupa pemaparan Nyata (fotografis, seperti yang diangankan penulis semisal Enni Arrow, ada apa dengan kau Monyet!) memiliki daya pukau tersendiri, terhadap hasrat yang tersembunyi yang dialami ‘golongan remaja’, dimana pencarian mereka, merupakan, ‘ketololan yang menyenangkan’, memperlakukan teks tanpa daya pukau (baik dalam tulisan, dan audio, serta audio visual), lepas dari kenyataan materinya, sama saja mensahkan subjek tanpa libido yang tidak mampu melawan dan tidak mampu memobilisasi sumberdayanya. Maka baik penyair maupun semua jenis seniman harus bertanggungjawab atas hasil karyanya di masyarakat, yang sosial itu, baik dalam semiotika tulisan maupun film (berbeda dengan pidato kebudayaan Sutarji Calzoum Bachri- SCB, di perayaan hari ulang tahunnya, 19 Juli 2007, yang menyatakan ‘penyetaraan’; ...sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya, begitu pula secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya), kecuali, alam pikir seniman dan konsumennya sudah homogen (setidaknya dalam diskursus) menyatakan kata sama sekali lepas dari maknanya, (bahkan kata-kata dalam puisi SCB, dapat ditelusuri, ditunda dan diganti maknanya, yang mengukuhkan lekatnya tanggungjawab sosial penulis atas kondisi lingkungan non fiksinya, tanpa harus berapologi atas ‘pilihan tak terhindarkan’ dari sebuah kerja seni untuk seni, ars erotica). Jika teks terlepas dari ‘kenyataan sosial’ (artinya tidak terjadi hubungan dua arah yang saling timbal balik, bakupukul diantara keduanya), maka tidak diperlukan, pernyataan, ‘para kita yang sudah mampu menerabas ruang dan waktu hingga sampai di masa depan malah mundur ke masa kini. Sedang para kita yang berada di masa kini pun ternyata mundur juga ke masa lampau’. Karena sesungguhnya tidak ada batas yang bisa dikatakan tegas, dalam hal ini batas selalu relatif (digeser kiri-kanan) dan temporer (bergerak maju-mundur), antara lampau, kini dan masa depan, jika dikaitkan dengan produksi dan reproduksi nilai-nilai. Perlawanan (dalam pengulangan gaya dan cara) dan ulang-alik waktu seperti ini adalah permanen. Toh, tugas perlawanan bukan cuma dibebankan pada setiap manusia di abad ini dan disini (sebab itu saya tidak setuju dengan pernyataan ‘kawanan’ SCB yang menyatakan dengan gagah Sutarji Calzoum Bachri lebih besar dari Chairil Anwar, seperti juga Chairil Anwar/SCB tidak bisa lebih besar dari siapapun kecuali dari kepala mereka berdua!).
Dari titik ini saya juga mentertawakan diri sendiri, jika bisa memaklumkan ‘seks (d/s)alam sastra’, jika definisi tersebut mengacu pada habit (bukan sekadar praktek) sosial yang memberikan pengkodean terhadap tubuh perempuan dan laki-laki, sedemikian hingga tercitrakan dan diterjemahkan sebagai teraniaya, terperkosa. Dan saya terpuaskan. Jika demikian, perlawanan apa yang saya berikan. Bahkan saya jatuh pada kondisi artlessness. Pada kepapaan atas capaian budaya (sama seperti David, saya menganut azas sastra adalah nama yang diberikan atas salah satu produk kebudayaan yang dihasilkan manusia). Bahkan lebih jauh, sudah mencederai tugas humanis sastra dimana prinsip anti aniaya, anti kekerasan, dan emansipatoris. Dengan kata lain, habit saya, objek ciptaan saya, secara timbal balik mempengaruhi kebudayaan yang ada disekitar saya. Dan itu semua adalah apa yang saya katakan, lihat, perbuat, dengar, rasakan, bayangkan, teraduk dengan mengapa dan bagaimana secara timbal-balik, dan menerus. Untuk tidak jatuh pada kepapaan budaya itu, maka saya harus aktif pula menentukan apa, mengapa, dan bagaimana -mempertanggungjwabkan dan mengkonteskannya dalam wilayah sosial yang lebih luas. Persoalan ‘pemberangusan’ dalam wacana pilihan otonomi individu wajib ditentang, sebagaimana persoalan ‘budaya massa’ yang jatuh pada ‘dipilihkan’ oleh ‘yang lain’, dipilihkan oleh ‘budaya industri’ juga wajib dilawan. Problem yang dibicarakan sesungguhnya bagi saya bukan pada persoalan kategori tinggi-rendahnya kualitas seni, namun pada apakah yang disebut ‘produk budaya’ tersebut menghancurkan nilai-nilai manusia (seperti anti kekerasan, anti pembunuhan, anti aniaya) dan secara pragmatis tidak menjadikan saya sebagai objek, yang selalu dipilihkan (pasif) atau membuat saya tidak memiliki pilihan (non eksis). (tiba-tiba terbersit syair yang ‘bukan posmo’ ...segala produksi ada disini, menggoda kita untuk memiliki, hari-hari kita diisi hasutan, hingga kita tak tahu diri sendiri...-mimpi yang terbeli-iwan fals).
***
Berkaitan dengan itu, fungsi pertanggungjawab saya, jika itu dituntut, sama halnya dengan bertanggungjawabnya Tuhan atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya. Karena serangkaian sebab dari kreasi yang saya lakukan, akan berujung pada efek yang saya inginkan (ketidaksengajaan atau efek yang tidak diperkirakan/dihitung sebelumnya, saya percaya cuma ada di manusia). Tuhan yang tidak bertanggungjawab seperti kontraktor perbaikan jalan di Indonesia (juga Lapindo, juga industri penerbangan, juga ritel hypermart yang menjual barang kadaluarsa danlainlainsebagainyaserupatapitaksama). Selesai bekerja, masyarakat disuruh merasakan efeknya, yang rata-rata dibawah standar proyek, standar keselamatan kerja, standar layanan purna jual. Maka Tuhan yang tidak bertanggungjawab atas ciptaannya itu cuma akal-akalan dari kejenuhan menalar Tuhan. Jika teks saja bisa terbongkar, kata kehilangan makna, maka Tuhanpun bisa dibongkar jadi tuhan-tuhan. Tapi, persoalan ini menjadi klasik, dan membuat malas untuk diperdebatkan, karena sejak jaman Aristoteles-sampai SCB fungsi syair memang tidak lain sebagai mantra-ada yang mencari Ada, ada yang cuma mengada, lebih banyak yang ‘ada-ada saja’.
Mengapa koreksi teks pidato SCB menjadi penting bagi saya? Semata-mata untuk saya. Karena SCB sudah lebih dulu mencerahkan saya dengan sajak keTuhanannya, ...namanama kalian bebas/carilah tuhan semaumu. Dan teks pidato tersebut justru mengganggu saya, yang sebagai konsumen mempertanyakan kualitas produk dari produsen esei dan puisi ini, yang dalam halaman selanjutnya menuntut ‘politisi’ (kok ya ‘politisi’, bukan jejaring ‘kawanan-kawanan’ lain yang bukan sejenis ‘binatang jalang’ dari kumpulan massa yang terpesan), untuk memperhatikan ilham, yang tersirat dari puisi untuk perbaikan mutu kemanusiaan atau bangsa.
SCB mungkin lupa sejak 1928, isyarat keIndonesiaan yang puitis itu terus menerus diexercise oleh penyair dan bukan penyair, politisi dan bukan politisi, namun teks Sumpah Pemuda yang ‘metonimia’ tersebut seperti halnya kata-kata, kalimat dalam puisi SCB, telah melahirkan dan membesarkan kata Indonesia (yang dibayangkan-walaupun Ignas Kleden dalam forum yang sama menjelaskan bahwa puisi SCB adalah sebuah perlawanan atas teks mapan, sejarah dan perilaku kontemporer hipokrisi rekan sebangsanya. Teks Sumpah Pemuda waktu itu mengisi perlawanan ‘bersama’ anti imperialisme, kolonisasi dengan pecah-belah, sejarah yang dipilihkan penjajah, sehingga butuh semacam penanda, yang menyusun dan menggerakkan yang tidak sadar dan hasrat-pada waktu itu berhasil, imajinasi puitis itu menjadi masyarakat Indonesia) . Di masa SCB teks Sumpah Pemuda itu bekerja untuk teks. Bukan untuk sosial. Dia memang tersudut dan berdiri di situ. Teks yang kehilangan konteks, kecuali bekerja untuk kemapanan kekuasaan. Tidak lucu jika SCB ingin mengatakan kegelisahan atas otonomi daerah, otonomi manusia, bergenang sejak ada perpuisian tahun 70-an. Lalu, bagaimana dengan perjuangan yang belum selesai dari subtansi UUD RIS yang federal, sampai perjuangan ‘politisi daerah’ yang berkeliling di sekitar pusat, yang kandas oleh Dekrit Presiden 1959? Apakah otonomi daerah sekarang merupakan hasil perjuangan kritik pada puisi 70-an, yang sub kultur, sarat dengan akar budaya. Atau ia menemukan momentumnya sekarang, dimana rumusan momentum itu tidak bisa dipaksakan, termasuk oleh para penyair. Atau mungkin ada sihir lain dalam benak kebanyakan orang Indonesia, yang bukan mantra? Sihir itu yang harus dipatahkan tanpa harus memanggil Harry Potter, karena seperti yang SCB katakan lokalitas kita, kekayaan budaya, seharusnya cukup menjadikan manusia Indonesia sempurna. Berkarakter. Kecuali kita, (kelihatannya) kebanyakan dari kita, lebih menyukai utang, sebagai tambal sulam dari kebangkrutan budaya. Sehingga yang laku adalah lembaga gadai kebudayaan-yang saya belum berani memastikan-bentuk organnya. Yang pasti jika seniman memang bekerja untuk masyarakat dan kemanusiaan, maka akuntabilitas karya mereka harus dikembalikan pada konstituen mereka, konsumen mereka, maka ada dua syarat perlu (necessary conditions) yang harus dipenuhi adalah (i) tahu kemana tujuan, (ii) tahu dari mana lokasi keberangkatan. Singkatnya pemosisian, (i) ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai untuk keteraturan sosial (dalam konteks menjadi Indonesia), (ii) ada sumberdaya yang dimiliki (dalam hal ini kekayaan budaya) Namun inipun belum cukup, karena seniman juga bergerak di wilayah sosial, ada konvensi, kontrak sosial. Tersisa yang harus dipenuhi adalah syarat lengkap (sufficient conditions) Mengapa karya harus dilahirkan? Inilah mandat. Mandat utamanya datang dari konstituen, konsumen, masyarakatkah-kemanusiaankah. Mandat tidak hanya datang dari dalam, yang secara narsistik diwakilkan oleh kondisi hasrat sang seniman (yang memang memiliki energi kreatif berlebih), karena kondisi di luarlah (struktur sosial-seperti masyarakat, agama, ilmu pengetahuan) yang lebih sering menjadi sumber mandat. Dalam literatur ekonomi manajemen dua syarat itu sering disebut sebagai dasar perencanaan strategis, mungkin ini pula yang disebut sebagai strategi budaya. Dan itu butuh kerjasama, kerja baik, dari pihak-pihak yang dulu didahului dengan kata Jong, sekarang mungkin didahului dengan kata komunitas sastra bla..bla..bla, lembaga kesenian tra..la..la, lembaga kebudayaan daerah da.. da..da..
***
Saya (kalau ditanya) memahami sastra dengan cara apa, maka jawabannya dengan melakukan kritik (pada diri sendiri-mirip Tukul tapi belum komersil). Membuat yang mungkin dilakukan menjadi semakin mungkin.
widhy sinau
Satu hal yang sama antara saya dan widhy-sinau, aku juga menolak pendapat tardji yang menyetarakan Tuhan dengan penyair. Tuhan adalah Tuhan, sedang penyair adalah penyair. Terus, pernyataan 'Tuhan tidak dapat diminta pertanggung-jawaban' adalah pertanyaan yang lahir dari pola pikir empiris (pola pikir yang menurut saya menuntut pembuktian positif) yang kemudian dipindah-paksakan untuk menjawab soal yang tidak eksis di dalam ruang dan waktu. Pertanggung-jawaban adalah bentuk ada yang eksis (mempermudah: empiris) yang bisa dibuktikan secara positif. Sedang Tuhan adalah bentuk ada yang tak eksis. Jadi, seharusnya pertanyaan atau pun jawaban yang berkenaan dengan 'pertanggung-jawaban Tuhan' adalah bentuk keisengan belaka, dan dengan nalar yang dimiliki pelaku bisa dihadirkan serangkaian argumen yang membenarkan pendapat si pelaku.
ReplyDeletehal lainnya, aku pikir dulu lah... (terkait kesamaan atau perbedaan saya dengan widhi sinau)
biar makin panas barang ini lae....