(Suatu Upaya Meringkas Piala Asia)
“Masa sepakbola bawa-bawa nasionalisme,” kata seorang pemuda yang begitu membanggakan kedunguannya. Sepasang orang muda, yang satu berkaos merah satunya lagi berkaos putih, merengut mendengar. Aku merasa situasi berubah menjadi syair Bhagavad Gita dalam episode Kurusetra.
Nostalgia Nasionalisme
Nyaris enam puluh dua tahun umur Republik
Jaman berputar serupa cakra yang menggelinding. Jerman dengan paham rasisnya runtuh sudah. Sovyet juga tenggelam bersama Marxisme-Leninisme tahun 1989 seiring dengan dirubuhkannya tembok
Meski tidak begitu intens, saya tetap mengikuti setiap pertandingan tim Merah-Putih melalui layar televisi. Setiap pertandingan yang saya lihat memberikan suasana psikologis yang berbeda, yang asing daripada yang saya rasakan di dalam keseharian. Saya begitu meng-Indonesia. Saya bukan orang yang romantis juga nasionalis, tetapi saya heran entah mengapa setiap kali mendengar lagu kebangsaan dinyanyikan hati saya bergetar-getar. Situasi jiwa begitu mencekam serupa horor yang bersahabat. Dan imajinasi saya pun melangkah masuk ke masa-masa
Di tengah landaan perasaan sedemikian, saya sadar bahwa sesungguhnya nasionalisme bukanlah bahasa yang susah untuk dijelaskan. Nasionalisme pada dasarnya adalah pengalaman, situasi kejiwaan. Keinginan menjabarkan nasionalisme dalam seperangkat aturan berbusana, seperangkat kata-kata yang membentuk kalimat, seperangkat tata laku, menurut saya hanya berujung pada kesia-siaan belaka. Lewat cara demikian nasionalisme tidak menjadi terang dan jelas. Malahan sebaliknya yang terjadi. Nasionalisme hadir dalam bentuk abstrak, njilmet dan bisa memasung kebebasan. Dan karena itu pulalah, nasionalisme pun mudah untuk disangkal—seperti yang dilakukan seorang pemuda yang begitu membanggakan kedungguannya di hadapan aku dan sepasang orang muda. Sebagaimana seperangkat aturan berbusana, seperangkat kata-kata yang membentuk kalimat, seperangkat tata laku yang memuat penjabaran nasionalisme mudah dibangun, maka semudah itu pulalah nasionalisme diruntuhkan. Seenteng menyusun sendi argumentasi pendukung nasionalisme, maka kelompok penentangnya pun akan mudah pula menyusun sendi argumentasi penangkal nasionalisme. Apalagi setelah kredibilitas rasio semakin dipertanyakan di penghujung abad ke-20 oleh para filsuf-filsuf kenamaan dunia. Maka, pengalaman pun tampil ke permukaan menawarkan cara dan metode pengenalan dan pendekatan yang lebih ampuh untuk menjabarkan nasionalisme. Di era sekarang ini, masa-masa penjajahan sudah tidak ada lagi, kelihatannya olahraga merupakan media paling tepat bagi pengajaran nasionalisme, terutama sepakbola. Sebabnya, cabang olahraga ini memiliki daya lebur kelas sosial yang begitu mematikan. Melihat tiga pertandingan kesebelasan Merah-Putih di Gelora Bung Karno melalui televisi, saya tidak merasa ada perbedaaan kelas yang jelas di antara penonton hadir, sekalipun mereka duduk di barisan VIP atau sekadar tribun kelas dua dengan harga tiket Rp15.000. Dan, memang nasionalisme sesungguhnya bekerja atas dasar peleburan kelas menuju satu keinginan bersama, Indonesia berjaya di ajang sepakbola dunia, di ajang perekonomian dunia, di ajang budaya dunia, di ajang bahasa dunia, di ajang pendidikan dunia, di ajang teknologi dunia, di ajang diplomasi dunia.
Sayangnya, nasionalisme di
Cinta di Patah Hati
Sejak Piala Asia digelar, ratusan kostum Merah-Putih laris manis di pasaran. Ribuan pemain ke-dua belas ikhlas membeli kostum dan dengan bangga mengenakannya dalam perjalanan dari rumah menuju Stadion Gelora. Rasanya, seperti orang pacaran saja.
Namun, kini semuanya pupus sudah. Meski
Sedikit berlagak bijak, saya merasa
Kekalahan di ajang Piala Asia pasti membuat
Bayang-bayang Mahabarata
Menjelang Piala Asia, di seputaran Stadion Gelora ramai terpasang poster raksasa potret pemain kesebelasan
Ide menyamakan para pemain kesebelasan Merah Putih dengan tokoh pewayangan menurut saya menarik. Tapi, yang saya sayangkan mengapa pengurus PSSI jatuh pada pilihan yang didominasi kisah Mahabarata. Maaf, bila saya dirasa terlampau berlebihan. Saya tidak bermaksud menyatakan Mahabarata sebagai kisah yang jelek; pun menyamakan Ponaryo dan rekan dengan para tokoh Mahabarata adalah ketololan. Saya pun tidak ingin mengkritik, tindakan itu sangat berkesan Jawasentrisme. Sama sekali tidak ada niatan demikian.
Penilaian yang saya tuliskan pada bagian ini terinspirasikan perkataan Ki Mantheb S. Suatu ketika ia pernah berkata, “Wayang adalah bayang. Ketika dalang memainkan tokoh wayang di sebelah kanan, penonton penikmat malah menyaksikan tokoh tersebut berada di sebelah kiri. Begitulah, kanan pun menjadi kiri, sedang kiri menjadi kanan. Antara Kurawa dan Pandawa, siapakah yang lebih baik? Tokoh-tokoh Kurawa yang dimainkan di sisi kiri, bagi penonton malah berada di sisi kanan. Tokoh-tokoh Pandawa yang dimainkan di sisi kanan, bagi penonton malah berada di sisi kiri. Apakah Pandawa memang berada di posisi seratus persen benar? Bagaimana dengan peristiwa perjudian Pandawa dengan Kurawa, ketika Yudhistira menjadikan istrinya sebagai taruhan? Apakah ada moralitas Pandawa dalam situasi demikian?” Kira-kira demikianlah Ki Mantheb berkata.
Sedikit lancang, saya menyimpulkan pengisahan Mahabarata tidak ditujukan pada pemilahan baik versus jahat yang kaku, melainkan samar dan penuh jebakan. Pengisahan itu, menurut saya tidak seperti kisah Ramayana. Di kisah Ramayana, baik versus jahat memang benar terpisah. Baik ada di kubu Rama, Laksmana dan Sinta. Sedang jahat, adanya di Alengka, tepatnya Rahwana. Memang ada latar yang perlu diperhitungkan, semisal Rahwana menjadi jahat disebabkan sebab tertentu dan Rama harus menjadi pembuangan dari Ayodya pun dikarenakan suatu ihwal yang bila dikisahkan disini menjadi terlampau meluas. Namun, sebab dan ihwal mengapa Rahwana haus darah dan Rama terbuang tidak menjadi alasan pemaklum. Sepanjang pengisahan, tetap saja Rahwana ditempatkan sebagai orang yang jahat dan harus dibasmi. Karena itu, menurut saya, alangkah tepatnya bila para pemain tim nasional digambarkan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari kisah Ramayana. Bisa Sugriwa, Subali, Anoman, Rama, Laksmana, Batara Indra, Hyang Baruna dan semacamnya. Bila sudah demikian, tentulah lawan kesebelasan PSSI pastilah duta Alengka. Karena itu, seturut takdir dan kehendak dewata yang berlaku dalam kisah Ramayana: Alengka kalah, pun (saya berharap) berlaku juga di lapangan sepakbola.
Meski begitu, pada dasarnya saya tak hendak mencari-cari kambing hitam penyebab tak lolosnya tim nasional
[Deif-Feil]
No comments:
Post a Comment