Thursday, 5 July 2007

Manusia Gamang

 
Manusia Gamang

Seorang pemuda 20-an, kelahiran Yogyakarta, yang menetap dan bekerja sebagai staf pemasaran usaha penerbitan di Malang, mengeluh, "Aku dilahirkan dari orangtua Jawa, dibesarkan di Jawa, hidup dan bekerja di kota Jawa, setiap hari berbahasa Jawa... tapi ketika orang bertanya, 'Siapakah itu orang Jawa,' sungguh mati aku harus belajar dan belajar lagi, mengenali 'apa itu Jawa'?"

Sebagai pemuda yang getol membaca apa saja, pemuda "Jawa" yang merasa asing dengan dirinya --dengan kejawaannya itu-- merasa harus membaca dan mempelajari lagi filsafat Jawa, tembang-tembang Jawa, ritus-ritus adatnya, pola hubungan sosialnya, keseniannya, apa pun soal tentang kejawaan. Dan ia menjadi kian bergetar bahkan belingsatan saat dalam percakapan tersebut, satu pertanyaan lain diajukan padanya, "Apakah kamu orang Indonesia?"

Situasi kritis secara eksistensial ini sesungguhnya tidak hanya dirasakan oleh staf pemasaran yang kutu-buku dan kutu-diskusi itu. Ia bisa jadi hinggap di mayoritas pemuda Jawa pada umumnya, di perkotaaan maupun daerah rural. Di wilayah subkultur lain di Nusantara ini. Bahkan mungkin di wilayah kultural lain di muka bumi yang melingkar ini: dalam diri Fassenet di commune Gargenville, Paris, Alberto di Napoli, Takeda di Osaka, Pavlov di Kiev, hingga Abder-Rahman di utara Afrika.

Ketika hidup dan adab yang mengisinya saat ini tidak hanya telah bergeser, melainkan juga beralih rupa demikian rupa, sehingga semua perangkat yang menunjangnya menggulingkan bahkan meluluhlantakkan dasar-dasar, standar, hingga simbol-simbol kultural dan eksistensial lama, tidaklah mengherankan bila manusia yang ada di dalamnya mengalami kerancuan, kekacauan atau chaos dalam mencari tautan. Mfncari pegangan di mana ia dapat bersandar atau berdiri dengan tegak. Menjadi gamang.

Sementara itu, manusia limbung inilah yang kini menjadi harapan untuk mewarisi hidup dan adab "modern" yang hampir setengah milenia disusun bersama. Mewarisi dan mengembangkan sejarah serta kepercayaan-kepercayaan (politis, historis, ideologis, bahkan religius) dari sebuah masyarakat, sebuah bangsa. Dalam konteks ini negeri kepulauan ini: sebuah Indonesia.

Dan kita pun menyaksikan bersama apa yang terjadi dan dilakukan oleh mereka belakangan ini. Kegamangan tersebut ternyata masih diisi oleh sekian banyak cara berpikir atau pola bertindak yang sangat usang, yang tidak lagi fit-in dengan situasi dan kebutuhan kontemporernya. Di soal sederhana itu, mereka mendapatkan dirinya masih larut dan tenggelam dalam kerancuan pra-anggapan yang memandang komunikasi sebagai prosedur dari usaha kita untuk survive, dalam maknanya yang purba, survival of the fittest. Pendekatan dari prosedur ini melihat daya-tahan-hidup atau sukses eksistensial berdasarkan "siapa yang lebih kuat dari yang lain". Dan kekuatan pun diasosiasikan dengan perkataan lain, "kekuasaan", sebagai garansi dari "keberadaan" kita selanjutnya.

Secara etimologis tampaknya dua kata ini berdekatan, "kekuatan" dan "kekuasaan". Bahkan dalam bahasa Inggris pun kita dapat mewakilinya hanya dengan satu kata, power. Dan terjemahan praksis yang paling mudah untuk itu adalah "kekuatan" harus direbut dengan cara (pragmatis) apa pun, termasuk dengan kekerasan, bahkan dalam arti yang paling kasar: fisik.

Pendekatan ini menjadi sebuah kelumrahan di negeri ini, ketika kita selama sekian dekade melatih dan membiasakannya, pada saat kita terlibat dalam perebutan "kekuasaan" politik, dalam birokrasi, dalam organisasi, bahkan dalam pergaulan antar-kampung, antar-geng. Mungkin revolusi fisik masa lalu mengajarkan, betapa kuasa atas diri (kemerdekaan) mesti direbut paksa dengan darah dan senjata.

Lebih jelas lagi, pendekatan militeristik masa Orde Baru menyekolahkan dan melatih kita untuk menggunakan cara koersif dan represif sekadar untuk menunjukkan "siapa yang lebih kuat", "siapa yang lebih kuasa". Bukanlah sebuah hal yang ganjil, kita menemukan pendekatan ini dalam lingkup bisnis (buka toko pun perlu lindungan preman, polisi, atau serdadu), dalam ruang parlemen, dalam kelompok sosial, atau juga dalam menghadapi penduduk mendatang. Perselisihan antar-dua pemuda, dalam perkara remeh (soal cewek, senggolan di warung kopi, atau cara menegur) bisa menciptakan kerusuhan hingga tawur massal atau bentrok senjata antar-desa.

Maka, bila terjadi "penyiksaan", hingga terjadi pembunuhan karakter sampai jiwa, dalam sebuah sekolah yang berorientrasi "kekuasaan", seperti dalam kasus pelajar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Cliff Muntu, beberapa waktu lalu, kita pun segera mafhum. Bahkan kita bisa mengerti, mengapa sistem, rektor, aparat keamanan, hingga pejabat pendidikan tidak mampu menggaransi untuk tidak terulangnya kembali peristiwa itu.

Seperti tergambar di atas, masalah ini cukup kompleks karena kait-mengait dengan persoalan lain. Tak dapat dituntaskan secara parsial, apalagi sektoral di dalam IPDN itu sendiri. Ketika lingkungan sekitar, keluarga, pola pengajaran umum, hingga perilaku para elite (pemimpin) masih mendepankan tradisi atau cara di atas. Penyakit ini bukan melulu milik lima tersangka IPDN, melainkan juga milik ribuan pelajar lainnya. Mungkin kita semua.

Radhar Panca Dahana
Budayawan

[Perspektif, Gatra Nomor 21 Beredar Kamis, 5 April 2007]

No comments:

Post a Comment