Monday, 23 July 2007

MATA-MATA TOLOL YANG BERJUMLAH BANYAKNYA

 

Suntuk dan gelisah. Dua kata semacam mantra yang menghangatkan amarah dalam tubuh dan kepala saya. Menggelorakan darah, merasuk dalam segala sumsum, meliarkan pandangan. Lalu, pelan saja saya berucap denga  huruf-huruf kapital: HENTIKAN SEGALA KETOLOLAN DAN NIKMATILAH KEBUTAAN!!!

 

Sejak Juli 2007, suntuk dan gelisah bertubi pelan datang. Sastra, bukan satu-satunya bidang di dalam kehidupan ini sekaligus bukan satu-satunya roh kehidupan ini, menggemparkan dunia kenyataan, dunia fakta-persepsi-dan transliterasi. Debatnya, menurut saya, berakar pada soal gampangan. Sayangnya, soal gampangan tersebut berselimut suara delapan oktaf yang memekik-mekik sampai buat tungkik.

Pfuh, seks dalam sastra. Tiga leksem yang dipadu membentuk kalimat tak lengkap itu menjadikan para kita menyemburkan suara. Ada para kita yang menusuk mau membunuh, dan tentu saja ada para kita yang rela menjadi benteng tameng. Para kita yang bertarung seakan menghadirkan Kurusetra yang masuk akal di tubuh dan kepala saya. PARA KITA, LIHATLAH KETOLOLAN YANG BERGULAT NYALANG DALAM MATA KITA!!!

 

Soal Seks (d/s)alam Sastra

Saya tidak begitu paham sastra. Sebabnya, semakin coba saya pahami semakin giat pula sastra bergerak agar tak dapat saya pahami. Saya pun menjadi berputar-putar dalam lingkaran pencarian yang malah menemukan kedunguan. Tapi, saya tegaskan ini bukanlah argumentasi pembatal bagi para kita yang ingin mengajukan kritik pada saya. Silahkan saja para kita maju membantah dan mari buktikan ketololan siapa yang tak terbantahkan.

Baiklah, saya tegaskan bahwa apa yang saya lisankan dalam bentuk huruf ini adalah suatu menggurui—meski saya pernah mendengar dari orang teman yang mendengarnya dari orang sastrawan yang menyatakan bahwa tulisan itu sebaiknya tak menggurui.

Saya menganut azas sastra adalah nama yang diberikan atas salah satu produk kebudayaan yang dihasilkan manusia. Dan, ironisnya pendefenisian mengalami degradasi yang sangatlah parah. Pengertian yang sangat luas dan dalam itu malah dibakar hingga meninggalkan residu berupa pernyataan sastra menjadi sekadar teks belaka. Tapi, yang paling memedihkan lagi ternyata pengertian yang sudah terdegradasi itu dipergunakan untuk mengaitkan sastra dengan kenyataan, sastra yang teks itu mampu mempengaruhi kehidupan kepala serta tubuh para pembacanya. Bah, ketakutan pun bermunculan. Ketakutan bilamana si pembaca teranya-anya lalu terbawa mengikuti cara atau nilai yang ada di dalam sastra yang tak bersesuaian dengan cara atau nilai yang ada di dalam kehidupan dunia nyata. Ini semacam beragam pelarangan siaran televisi atau pelarangan film-film tertentu. Misal, dulu pernah siaran dewasa tengah malam di televisi swasta dikritik lalu pemerintah turun campur mengenyahkan siaran-siaran yang tak bermutu dan memang menurut saya tak bermutu itu. Atau juga, siaran banting-bantingan yang bohong-bohongan yang mengakibatkan kematian banyak bocah di Nusantara. Pemerintah dan kawanan turun campu menghentikan. Perlu dicatat, saya tidak sependapat dengan para kita yang melontarkan argumentasi pelarangan dengan menyatakan bahwa siaran banting-bantingan yang bohong-bohongan di layar kwarsa menjadi penyebab pembunuhan. Argumentasi para kita itu, menurut saya, tak imbang. Para kita melenyapkan satu argument ikatan yakni kepedulian para kita dalam bentuk pengawasan pada para bocah kita. Dan, para kita memang selalu lupa melihat bocah-bocah dengan membelikan para bocah kita satu televisi atau membiarkan para bocah menonton hingga larut malam. Dan bukan mustahil pula ada para kita yang suka menonton acara banting-bantingan yang bohong-bohongan seperti saya misalnya yang untungnya saya tak pernah menonton tayangan tersebut bersama para bocah kita. Seperti begitulah fenomena ‘seks (d/s)alam sastra’, pengertian yang sudah terdegradasi malah diintegralkan untuk melihat kehidupan dunia kenyataan.  

Bersandar pada pemahaman seperti itulah saya menyadari mengapa orang-orang sastrawan bisa terjebak dalam perdebatan soal gampangan itu. Seperti orang (saya tak memaksudkan ‘orang’ sebagai lelaki. ‘Orang’ itu bisa saja perempuan atau lelaki) yang sedang berjalan-jalan di padang hijau rerumputan yang melihat sapi lalu langsung masturbasi karena sapi yang orang itu lihat di dunia kenyataan sudah merasuk ke alam kepala dan tubuhnya menjadi sosok seksi (saya tak maksudkan ‘sosok seksi’ sebagai perempuan. ‘Sosok seksi’ itu bisa saja lelaki atau perempuan) menggairahkan. Bila saja, di hadapan mata saya contoh tersebut terjadi, maka yang menjadi fakta di kepala dan tubuh saya adalah orang yang melihat sapi sambil masturbasi di padang hijau rerumputan. Sedang ‘orang seksi’ yang muncul dalam kepala dan tubuh pengamat itu tidak dapat saya kategorikan sebagai fakta. Bermodalkan fakta sensasi yang hadir di kepala dan tubuh saya itu sajalah saya bisa dan mampu menjelaskan bahwa orang itu gila adanya karena perilakunya menyimpang (tidak mungkin ada orang normal-psikologis-jiwa masturbasi karena melihat sapi). Sayangnya, permasalahan fenomena perdebatan ‘seks (d/s)alam sastra’ bukan dalam contoh demikian. Forma debatan itu sudah meningkat dalam wujud yang sangat, ya ampun, tak terperikan. Sapi yang dilihat orang itu tidak berada di padang hijau rerumputan, melainkan rangkaian huruf-huruf yang membentuk leksem yang membentuk kata yang membentuk kalimat yang membentuk paragraph yang membentuk bab yang membentuk wacana di atas kertas atau kaca atau batu atau di monitor komputer atau malah hologram seperti dalam film-film sains-fiksi produksi Hollywood. Dan, sapi yang begitu itulah yang menjadikan orang pelihat masturbasi. Dan bila saya sebagai pengamat berhadapan dengan situasi demikian, melihat orang yang melihat sapi yang tertulis (tanpa mengetahui apa yang terjadi di dalam kepala dan tubuh orang itu) langsung masturbasi, maka saya pasti tidak menyimpulkan orang itu gila, melainkan tolol. Ketololan seperti ini sebenarnya jamak pula. Sapi yang dilihat diganti dengan buku porno atau filem blue. Tak munafik, saya akui pernah mengalami masa ketololan seperti itu berjaya dalam kepala dan tubuh saya. Bila ada para kita yang tidak pernah terjerumus dalam bentuk laku demikian, sepenuh hati saya salut atas kemampuan para kita membendung naluri alamiah para kita sebagai manusia yang notabene merupakan mahluk biologis, mahluk yang berkehendak melestarikan jenisnya. Jujur hati saya ucapkan salut kepada para kita yang mampu menahan diri agar tak jatuh dalam ketololan seperti itu.

Uniknya, forma perdebatan yang lahir dari ketololan itu, yang entah dengan cara yang bagaimana, menjadi perdebatan yang dipaksa-akarkan pada daya virulensi tinggi nilai atau etika yang ada di dalam teks terhadap nilai atau etika dunia kenyataan. Dalam perspektif demikian, teks menjadi semacam modeling behavior bagi pembaca yang berpotensi untuk mengimplementasikan dalam dunia kenyataan dan perilaku pembaca yang demikian dapat menghancurkan tatanan nilai atau etika yang sudah ada dalam dunia kenyataan. Bila sudah demikian, yang menjadi perhitungan adalah masa depan. Kehidupan yang bakal rusak parah serupa dengan semakin punahnya kayu-kayu di dunia ini. Visi seperti inilah yang hadir di dalam kepala para kita yang menolak ‘seks (d/s)alam sastra’. Kehidupan di masa depan yang didasarkan pada kondisi berjayanya tatanan nilai atau etika yang didasarkan pada modeling behaviour yang dihasilkan teks tentulah menghadirkan suasana mencekam, penuh ketakutan. Dan para kita yang menentang ‘seks (d/s)alam sastra’ memiliki kemampuan menerabas ruang dan waktu sehingga mampu merasakan cekaman dan penuh ketakutan tersebut, hingga para kita itu pun dipaksa oleh keadaan mencekam dan penuh ketakutan itu menjadi pahlawan pemberangus tata nilai dan etika tersebut. Sayangnya, dalam tingkat implementasi para kita itu tak mampu bertindak di ruang dan waktu masa depan itu sendiri. Para kita itu kalah pada masa kini, ruang dan waktu kini. Aksi kepahlawanan para kita pun muncul di masa kini dalam beragam bentuk pemberangusan. Sayangnya, bentuk pemberangusan yang dilakukan para kita, saya rasa jatuh pada level yang mengharukan. Pertempuran di masa kini tidak sebanding dengan pertempuran di masa depan. Saya membayangkan, bila para kita itu hidup di alam masa depan tentu pertempuran yang dilakukan para kita dilakukan dengan cara menawarkan modeling behaviour tandingan. Tapi, di masa kini yang dilaksanakan para kita malah tak seperti itu. Para kita melakukan sesuatu yang lebih rendah derajatnya daripada yang seharusnya para kita lakukan. Inilah yang mengharukan sekaligus memarahkan batin saya.

Rasa haru dan marah dalam diri saya karena tindak tanduk para kita yang menentang gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’ pun berlaku bagi para kita penyokong gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’. Pembelaan yang dilakukan para kita menikung pada jalan memalukan. Beragam fakta sejarah, mulai dari masa Lekra hingga masuk ke era serat-serat di tanah Jawa pun ragam artefak para pendahulu para kita, dipergunakan sebagai serdadu bayaran (untuk frase ‘serdadu bayaran’ saya menghaturkan terima kasih kepada Alfan, sebab dalam bentuk dan makna demikianlah konsep ‘serdadu bayaran’ menjadi nyata dalam kepala dan tubuh saya) menggempur benteng para kita yang berada di kubu menolak gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’. Para kita pendukung gagasan itu memperalat fakta sejarah sebagai cermin agar para kita penolak gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’ merenung.  Tanpa sadar para kita pendukung gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’ mengumbar ketololan yang begitu maha. Di mata saya yang buta, para kita pendukung gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’ serupa pemabuk yang sudah sangat mematikan mabuknya. Fakta sejarah dengan begitu saja dipergunakan tanpa mempertimbangkan nilai atau etika yang diusung teks di dalam fakta sejarah tersebut serta nilai atau etika yang berlaku di dunia kenyataan teks tersebut hidup. Para kita pendukung gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’ sesuka hatinya mengambil fakta sejarah tanpa peduli nilai atau etika yang terkandung di dalamnya lalu menempelkan fakta sejarah itu di tubuh dan kepala serta tulisan para kita. Tindak tanduk para kita ini serupa dengan orang yang sangat ingin makan daging mammoth dengan cara membakar foto-foto mammoth yang ada di buku-buku evolusi mahluk hidup. Foto mammoth disamakan para kita dengan mammoth dan para kita itu pun memakan hasil bakaran foto-foto mammoth sambil berkata, “Alamak, lezat sekali daging ini.” Saya pun takjub menyaksikan ketololan yang diperunjukkan para kita. Para kita dengan bahagia mengambil serat Centhini lalu menyandingkannya dengan teks sastra yang mengandung gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’. Para kita dengan semena-mena menyamadengankan serat Centhini di masa lampau dengan teks sastra yang mengandung gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’ di masa kini tanpa mengkalkulasi, entah itu secara objektif atau subjektif, manakah diantara keduanya yang mencapai tingkap paling berkualitas.

Dihadapkan pada situasi pertarungan para kita atas gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’, saya pun harus meralat tanda ‘Kurusetra’ di bagian awal tulisan ini. Pertarungan para kita, menurut saya, kalah modern dari pertarungan antara wangsa Pandawa dan Kurawa di padang Kuru. Tak ada panah atau kereta kuda atau gada atau punggawa berbaju zirah atau tameng bersepuh kuning emas atau tiara bertingkat tiga, bahkan batu pun tidak. Para kita yang bertarung rasanya lebih primitif dari manusia purba sekalipun. Para kita secara vulgar sudah gigit-gigitan, cakar-cakaran bahkan jambak-jambakan tanpa menyadari keberadaan dahan kayu yang jatuh yang bisa para kita pergunakan agar pertarungan terlihat agak inovatif, meski masih jauh dari harapan saya akan bentuk pertarungan yang ideal dari para kita. Demikianlah pertarungan para kita yang matanya kabur terjadi. Demikianlah pertarungan para kita terjadi dengan cara sama-sama memundurkan diri ke masa lampau. Para kita yang sudah mampu menerabas ruang dan waktu hingga sampai di masa depan malah mundur ke masa kini. Sedang para kita yang berada di masa kini pun ternyata mundur juga ke masa lampau. Kepala dan tubuh saya pun tergelak melihat lakon para kita.

 

2007

 

[Deif-Feil]

3 comments:

  1. kalo marah ya jelas ada. lucu juga ada. ini emosi yang aneh memang tapi mencerdaskan, setidaknya menurut gua.
    teng-kyu

    ReplyDelete