Tuesday, 31 July 2007
Komunitas Puisi
Tuangkan baris-baris puisi kamu di sini...
Bermainlah dengan riang dan jangan mengotori ruang ini,
jadilah teman yang menyenangkan dengan belajar saling
menghargai. Kalau anda mau iseng ( baca jail ) carilah
tempat lain. Ingat! anda juga tak ingin diganggu orang lain
bukan?
Silahkan kirim puisi kamu ke kolom PUISI Komunitas Puisi
Caranya : klik Post lalu klik Blog dan ketiklah puisi kamu di situ
kamu juga bisa taruh gambar sebagai penguat puisi atau yang
berkaitan dengan puisinya. Oiy kamu harus menjadi member
dulu agar bisa upload puisi dan info sastra kamu.
Nah Mudahkan caranya? :) Selamat berkarya dan bersenang-
senang di situs ini ya.
Salam Kreatif!
Administrator Komunitas Puisi
Saturday, 28 July 2007
pidato kebudayaan yang disyiarkan untuk diri sendiri dan dimaksudkan untuk tidak dikomentari orang lain kecuali komentar dalam bentuk pidato yang serupa namun tak sama
selamat ulang tahun! bagi siapa saja yang memiliki masa kini, masa depan dan masa lalu. dan menganggapnya serius
***
Bahwa dalam narasi Foucoultian dijelaskan bahwa pengetahuan bertujuan mereproduksi yang sosial. Mengambil konsep Nietzsche tentang konsep ingatan maka ingatan yang dalam tataran tak sadar pada saat yang sama menjadi pelaksana kontrol sosial, sekaligus berfungsi demi reproduksi sosial. Pengetahuan yang menjadi teks penting untuk mereproduksi yang sosial tersebut. Sebagai habit, sekaligus (pada saat yang sama) mereproduksi kembali teks-teks itu.
Maka, ‘serdadu bayaran’ menjadi laku, ketika ‘ingatan’ dalam teks sejarah, dengan tanpa darah bersedia menjadi yang terdepan. Bayangkan, artefak (...mulai dari masa Lekra hingga masuk ke era serat-serat di tanah Jawa pun ragam artefak para pendahulu para kita...) menjadi yang terdepan (walaupun dalam kenyataannya lebih sering tafsiran atas artefak, motif, konteks, terhadap masa lalu yang menjadi acuan, bukan yang tekstual). Maka untuk melawan ‘ingatan’, narasi Foucoultian memilih ranah sastra sebagai kritik non diskursif terhadap rasionalitas diskursus ilmu humoniora (terutama sejarah-penulis) yang sering menindas. Paradoksnya adalah bahwa yang diskursif semacam itu merupakan bagian dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Selebihnya, maksud dari ‘pernyataan sastra menjadi sekadar teks belaka’ otomatis tidak bisa diterima, sesungguhnya, oleh kedua ‘Para Kita’, pemberangus dan promotor ‘seks (d/s)alam sastra’, karena dalam institusi sosial yang mapan, fungsi sastra (narasi Foucoultian), memiliki agenda tersembunyi (yang berfungsi sama dengan ‘ingatan’ sejarah-penulis), yaitu memproduksi ingatan, dalam bentuk kontra ingatan, dalam semangat perlawanan atas yang berlangsung dan berkuasa. Atau dengan kata lain, sastra sebagai sumberdaya untuk kuasa untuk melawan kekuasaan. Jadi, ‘mengaitkan sastra dengan kenyataan, sastra yang teks itu mampu mempengaruhi kehidupan kepala serta tubuh para pembacanya’, bisa jadi benar adanya (juga bakupukul yang bohong-bohongan, yang belum bisa dinalar anak kecil, dan ironisnya dilakukan oleh ‘Para orangtua” melalui teks lisan dan perbuatan. “Para orangtua’ ini sesungguhnya tidak sedang mengharamkan kekerasan, sebaliknya mempertontonkannya secara vulgar).
Teks yang tak mampu memberikan daya pukau menurut penulis adalah teks yang gagal. Teks yang tidak menciptakan inspirasi, tidaklah mungkin dijadikan acuan. Teks berupa pemaparan Nyata (fotografis, seperti yang diangankan penulis semisal Enni Arrow, ada apa dengan kau Monyet!) memiliki daya pukau tersendiri, terhadap hasrat yang tersembunyi yang dialami ‘golongan remaja’, dimana pencarian mereka, merupakan, ‘ketololan yang menyenangkan’, memperlakukan teks tanpa daya pukau (baik dalam tulisan, dan audio, serta audio visual), lepas dari kenyataan materinya, sama saja mensahkan subjek tanpa libido yang tidak mampu melawan dan tidak mampu memobilisasi sumberdayanya. Maka baik penyair maupun semua jenis seniman harus bertanggungjawab atas hasil karyanya di masyarakat, yang sosial itu, baik dalam semiotika tulisan maupun film (berbeda dengan pidato kebudayaan Sutarji Calzoum Bachri- SCB, di perayaan hari ulang tahunnya, 19 Juli 2007, yang menyatakan ‘penyetaraan’; ...sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya, begitu pula secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya), kecuali, alam pikir seniman dan konsumennya sudah homogen (setidaknya dalam diskursus) menyatakan kata sama sekali lepas dari maknanya, (bahkan kata-kata dalam puisi SCB, dapat ditelusuri, ditunda dan diganti maknanya, yang mengukuhkan lekatnya tanggungjawab sosial penulis atas kondisi lingkungan non fiksinya, tanpa harus berapologi atas ‘pilihan tak terhindarkan’ dari sebuah kerja seni untuk seni, ars erotica). Jika teks terlepas dari ‘kenyataan sosial’ (artinya tidak terjadi hubungan dua arah yang saling timbal balik, bakupukul diantara keduanya), maka tidak diperlukan, pernyataan, ‘para kita yang sudah mampu menerabas ruang dan waktu hingga sampai di masa depan malah mundur ke masa kini. Sedang para kita yang berada di masa kini pun ternyata mundur juga ke masa lampau’. Karena sesungguhnya tidak ada batas yang bisa dikatakan tegas, dalam hal ini batas selalu relatif (digeser kiri-kanan) dan temporer (bergerak maju-mundur), antara lampau, kini dan masa depan, jika dikaitkan dengan produksi dan reproduksi nilai-nilai. Perlawanan (dalam pengulangan gaya dan cara) dan ulang-alik waktu seperti ini adalah permanen. Toh, tugas perlawanan bukan cuma dibebankan pada setiap manusia di abad ini dan disini (sebab itu saya tidak setuju dengan pernyataan ‘kawanan’ SCB yang menyatakan dengan gagah Sutarji Calzoum Bachri lebih besar dari Chairil Anwar, seperti juga Chairil Anwar/SCB tidak bisa lebih besar dari siapapun kecuali dari kepala mereka berdua!).
Dari titik ini saya juga mentertawakan diri sendiri, jika bisa memaklumkan ‘seks (d/s)alam sastra’, jika definisi tersebut mengacu pada habit (bukan sekadar praktek) sosial yang memberikan pengkodean terhadap tubuh perempuan dan laki-laki, sedemikian hingga tercitrakan dan diterjemahkan sebagai teraniaya, terperkosa. Dan saya terpuaskan. Jika demikian, perlawanan apa yang saya berikan. Bahkan saya jatuh pada kondisi artlessness. Pada kepapaan atas capaian budaya (sama seperti David, saya menganut azas sastra adalah nama yang diberikan atas salah satu produk kebudayaan yang dihasilkan manusia). Bahkan lebih jauh, sudah mencederai tugas humanis sastra dimana prinsip anti aniaya, anti kekerasan, dan emansipatoris. Dengan kata lain, habit saya, objek ciptaan saya, secara timbal balik mempengaruhi kebudayaan yang ada disekitar saya. Dan itu semua adalah apa yang saya katakan, lihat, perbuat, dengar, rasakan, bayangkan, teraduk dengan mengapa dan bagaimana secara timbal-balik, dan menerus. Untuk tidak jatuh pada kepapaan budaya itu, maka saya harus aktif pula menentukan apa, mengapa, dan bagaimana -mempertanggungjwabkan dan mengkonteskannya dalam wilayah sosial yang lebih luas. Persoalan ‘pemberangusan’ dalam wacana pilihan otonomi individu wajib ditentang, sebagaimana persoalan ‘budaya massa’ yang jatuh pada ‘dipilihkan’ oleh ‘yang lain’, dipilihkan oleh ‘budaya industri’ juga wajib dilawan. Problem yang dibicarakan sesungguhnya bagi saya bukan pada persoalan kategori tinggi-rendahnya kualitas seni, namun pada apakah yang disebut ‘produk budaya’ tersebut menghancurkan nilai-nilai manusia (seperti anti kekerasan, anti pembunuhan, anti aniaya) dan secara pragmatis tidak menjadikan saya sebagai objek, yang selalu dipilihkan (pasif) atau membuat saya tidak memiliki pilihan (non eksis). (tiba-tiba terbersit syair yang ‘bukan posmo’ ...segala produksi ada disini, menggoda kita untuk memiliki, hari-hari kita diisi hasutan, hingga kita tak tahu diri sendiri...-mimpi yang terbeli-iwan fals).
***
Berkaitan dengan itu, fungsi pertanggungjawab saya, jika itu dituntut, sama halnya dengan bertanggungjawabnya Tuhan atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya. Karena serangkaian sebab dari kreasi yang saya lakukan, akan berujung pada efek yang saya inginkan (ketidaksengajaan atau efek yang tidak diperkirakan/dihitung sebelumnya, saya percaya cuma ada di manusia). Tuhan yang tidak bertanggungjawab seperti kontraktor perbaikan jalan di Indonesia (juga Lapindo, juga industri penerbangan, juga ritel hypermart yang menjual barang kadaluarsa danlainlainsebagainyaserupatapitaksama). Selesai bekerja, masyarakat disuruh merasakan efeknya, yang rata-rata dibawah standar proyek, standar keselamatan kerja, standar layanan purna jual. Maka Tuhan yang tidak bertanggungjawab atas ciptaannya itu cuma akal-akalan dari kejenuhan menalar Tuhan. Jika teks saja bisa terbongkar, kata kehilangan makna, maka Tuhanpun bisa dibongkar jadi tuhan-tuhan. Tapi, persoalan ini menjadi klasik, dan membuat malas untuk diperdebatkan, karena sejak jaman Aristoteles-sampai SCB fungsi syair memang tidak lain sebagai mantra-ada yang mencari Ada, ada yang cuma mengada, lebih banyak yang ‘ada-ada saja’.
Mengapa koreksi teks pidato SCB menjadi penting bagi saya? Semata-mata untuk saya. Karena SCB sudah lebih dulu mencerahkan saya dengan sajak keTuhanannya, ...namanama kalian bebas/carilah tuhan semaumu. Dan teks pidato tersebut justru mengganggu saya, yang sebagai konsumen mempertanyakan kualitas produk dari produsen esei dan puisi ini, yang dalam halaman selanjutnya menuntut ‘politisi’ (kok ya ‘politisi’, bukan jejaring ‘kawanan-kawanan’ lain yang bukan sejenis ‘binatang jalang’ dari kumpulan massa yang terpesan), untuk memperhatikan ilham, yang tersirat dari puisi untuk perbaikan mutu kemanusiaan atau bangsa.
SCB mungkin lupa sejak 1928, isyarat keIndonesiaan yang puitis itu terus menerus diexercise oleh penyair dan bukan penyair, politisi dan bukan politisi, namun teks Sumpah Pemuda yang ‘metonimia’ tersebut seperti halnya kata-kata, kalimat dalam puisi SCB, telah melahirkan dan membesarkan kata Indonesia (yang dibayangkan-walaupun Ignas Kleden dalam forum yang sama menjelaskan bahwa puisi SCB adalah sebuah perlawanan atas teks mapan, sejarah dan perilaku kontemporer hipokrisi rekan sebangsanya. Teks Sumpah Pemuda waktu itu mengisi perlawanan ‘bersama’ anti imperialisme, kolonisasi dengan pecah-belah, sejarah yang dipilihkan penjajah, sehingga butuh semacam penanda, yang menyusun dan menggerakkan yang tidak sadar dan hasrat-pada waktu itu berhasil, imajinasi puitis itu menjadi masyarakat Indonesia) . Di masa SCB teks Sumpah Pemuda itu bekerja untuk teks. Bukan untuk sosial. Dia memang tersudut dan berdiri di situ. Teks yang kehilangan konteks, kecuali bekerja untuk kemapanan kekuasaan. Tidak lucu jika SCB ingin mengatakan kegelisahan atas otonomi daerah, otonomi manusia, bergenang sejak ada perpuisian tahun 70-an. Lalu, bagaimana dengan perjuangan yang belum selesai dari subtansi UUD RIS yang federal, sampai perjuangan ‘politisi daerah’ yang berkeliling di sekitar pusat, yang kandas oleh Dekrit Presiden 1959? Apakah otonomi daerah sekarang merupakan hasil perjuangan kritik pada puisi 70-an, yang sub kultur, sarat dengan akar budaya. Atau ia menemukan momentumnya sekarang, dimana rumusan momentum itu tidak bisa dipaksakan, termasuk oleh para penyair. Atau mungkin ada sihir lain dalam benak kebanyakan orang Indonesia, yang bukan mantra? Sihir itu yang harus dipatahkan tanpa harus memanggil Harry Potter, karena seperti yang SCB katakan lokalitas kita, kekayaan budaya, seharusnya cukup menjadikan manusia Indonesia sempurna. Berkarakter. Kecuali kita, (kelihatannya) kebanyakan dari kita, lebih menyukai utang, sebagai tambal sulam dari kebangkrutan budaya. Sehingga yang laku adalah lembaga gadai kebudayaan-yang saya belum berani memastikan-bentuk organnya. Yang pasti jika seniman memang bekerja untuk masyarakat dan kemanusiaan, maka akuntabilitas karya mereka harus dikembalikan pada konstituen mereka, konsumen mereka, maka ada dua syarat perlu (necessary conditions) yang harus dipenuhi adalah (i) tahu kemana tujuan, (ii) tahu dari mana lokasi keberangkatan. Singkatnya pemosisian, (i) ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai untuk keteraturan sosial (dalam konteks menjadi Indonesia), (ii) ada sumberdaya yang dimiliki (dalam hal ini kekayaan budaya) Namun inipun belum cukup, karena seniman juga bergerak di wilayah sosial, ada konvensi, kontrak sosial. Tersisa yang harus dipenuhi adalah syarat lengkap (sufficient conditions) Mengapa karya harus dilahirkan? Inilah mandat. Mandat utamanya datang dari konstituen, konsumen, masyarakatkah-kemanusiaankah. Mandat tidak hanya datang dari dalam, yang secara narsistik diwakilkan oleh kondisi hasrat sang seniman (yang memang memiliki energi kreatif berlebih), karena kondisi di luarlah (struktur sosial-seperti masyarakat, agama, ilmu pengetahuan) yang lebih sering menjadi sumber mandat. Dalam literatur ekonomi manajemen dua syarat itu sering disebut sebagai dasar perencanaan strategis, mungkin ini pula yang disebut sebagai strategi budaya. Dan itu butuh kerjasama, kerja baik, dari pihak-pihak yang dulu didahului dengan kata Jong, sekarang mungkin didahului dengan kata komunitas sastra bla..bla..bla, lembaga kesenian tra..la..la, lembaga kebudayaan daerah da.. da..da..
***
Saya (kalau ditanya) memahami sastra dengan cara apa, maka jawabannya dengan melakukan kritik (pada diri sendiri-mirip Tukul tapi belum komersil). Membuat yang mungkin dilakukan menjadi semakin mungkin.
widhy sinau
Resep #7 | Kopi Umur
Rating: | ★★★ |
Category: | Other |
semua tersimpan di laci. bidang kiri. berkali mati. berkali dikopi. satu aku. mungkin kau. menyalin. mengaduk. menyeruputnya. sambil memikirkan suatu hal. banyak hal. terlampau.
secangkir kopi dalam lembaran baru terangkat perlahan. olehku. sepenuhnya. keras aroma. panas. cukup pantas. begitu sederhana. kental dan pahit seperti sebelumnya. komposisi yang sama. waktu yang berbeda.
begitu senja. cangkir. kertas. gula (yang selalu tersedia namun tak terpakai). sendok. laptop. handphone. termos. kopi. janis joplin. melompat ke dalam horizon senja. lengkungannya ngilu.
kemerahan. menyayat sempurna. saxophone. camar. piano. falseto. kecemasan. redundan. membayangkan semusim. malam-malam berpasir. dalam secangkir. atau selembar. kertas hari ini. aku semakin aku.
Wednesday, 25 July 2007
dipersimpangan rasta
benang kaca itu seperti patah, tapi itu katanya..., saat berbicara entah kepada siapa. benang kaca itu tak mau patah, katanya. mungkin, seperti ganja pula jawabnya? hanya retak, retak dan retak... bunyinya. benangkaca itu seperti patah. benangkaca itu seperti retak. benangkaca itu seperti ganja. Atau, tidak ada?
Tuesday, 24 July 2007
Pernyataan Sikap Sastrawan
Start: | Jul 20, '07 01:00a |
End: | Jul 22, '07 12:00p |
Location: | serang, banten |
Ode Kampung
Serang, Banten, 20-22 Juli 2007:
Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala
berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya
terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya. Dominasi itu bahkan
tampil dalam bentuknya yang paling arogan, yaitu merasa berhak
merumuskan dan memetakan perkembangan sastra menurut standar
estetika dan ideologi yang dianutnya. Kondisi ini jelas meresahkan
komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia karena
kontraproduktif dan destruktif bagi perkembangan sastra Indonesia
yang sehat, setara, dan bermartabat.
Dalam menyikapi kondisi ini, kami sastrawan dan penggiat komunitas-
komunitas sastra memaklumatkan Pernyataan Sikap sebagai berikut:
1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas
komunitas lainnya.
2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan
kebudayaan kita.
Bagi kami sastra adalah ekspresi seni yang merefleksikan
keindonesiaan kebudayaan kita di mana moralitas merupakan salah satu
pilar utamanya. Terkait dengan itu sudah tentu sastrawan memiliki
tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (pembaca). Oleh karena itu
kami menentang sikap ketidakpedulian pemerintah terhadap musibah-
musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupun
kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, misalnya tragedi
lumpur gas Lapindo di Sidoarjo. Kami juga mengecam keras sastrawan
yang nyata-nyata tidak mempedulikan musibah-musibah tersebut, bahkan
berafiliasi dengan pengusaha yang mengakibatkan musibah tersebut.
Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami
terhadap kondisi sastra Indonesia saat ini, sekaligus solidaritas
terhadap korban-korban musibah kejahatan kapitalisme di seluruh
Indonesia.
Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini:
01. Wowok Hesti Prabowo (Tangerang)
02. Saut Situmorang (Yogyakarta)
03. Kusprihyanto Namma (Ngawi)
04. Wan Anwar (Serang)
05. Hasan Bisri BFC (Bekasi)
06. Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta)
07. Helvy Tiana Rosa (Jakarta)
08. Viddy AD Daeri (Lamongan)
09. Yanusa Nugroho (Ciputat)
10. Raudal Tanjung Banua (Yogya)
11. Gola Gong (Serang)
12. Maman S. Mahayana (Jakarta)
13. Diah Hadaning (Bogor)
14. Jumari Hs (Kudus)
15. Chavcay Saefullah (Lebak)
16. Toto St. Radik (Serang)
17. Ruby Ach. Baedhawy (Serang)
18. Firman Venayaksa (Serang)
19. Slamet Raharjo Rais (Jakarta)
20. Arie MP.Tamba (Jakarta)
21. Ahmad Nurullah (Jakarta)
22. Bonnie Triyana (Jakarta)
23. Dwi Fitria (Jakarta)
24. Doddi Ahmad Fauzi (Jakarta)
25. Mat Don (Bandung)
26. Ahmad Supena (Pandeglang)
27. Mahdi Duri (Tangerang)
28. Bonari Nabonenar (Malang)
29. Asma Nadia (Depok)
30. Nur Wahida Idris (Yogyakarta)
31. Y. Thendra BP (Yogyakarta)
32. Damhuri Muhammad
33. Katrin Bandell (Yogya)
34. Din Sadja (Banda Aceh)
35. Fahmi Faqih (Surabaya)
36. Idris Pasaribu (Medan)
37. Indriyan Koto (Medan)
38. Muda Wijaya (Bali)
39. Pranita Dewi (Bali)
40. Sindu Putra (Lombok)
41. Suharyoto Sastrosuwignyo (Riau)
42. Asep Semboja (Depok)
43. M. Arman AZ (Lampung)
44. Bilven Ultimus (Bandung)
45. Pramita Gayatri (Serang)
46. Ayuni Hasna (Bandung)
47. Sri Alhidayati (Bandung)
48. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
49. Riksariote M. Padl (bandung)
50. Solmah (Bekasi)
51. Herti (Bekasi)
52. Hayyu (Bekasi)
53. Endah Hamasah (Thullabi)
54. Nabila (DKI)
55. Manik Susanti
56. Nurfahmi Taufik el-Sha'b
57. Benny Rhamdani (Bandung)
58. Selvy (Bandung)
59. Azura Dayana (Palembang)
60. Dani Ardiansyah (Bogor)
61. Uryati zulkifli (DKI)
62. Ervan ( DKI)
63. Andi Tenri Dala (DKI)
64. Azimah Rahayu (DKI)
65. Habiburrahman el-Shirazy
66. Elili al-Maliky
67. Wahyu Heriyadi
68. Lusiana Monohevita
69. Asma Sembiring (Bogor)
70. Yeli Sarvina (Bogor)
71. Dwi Ferriyati (Bekasi)
72. Hayyu Alynda (Bekasi)
73. herti Windya (Bekasi)
74. Nadiah Abidin (Bekasi)
75. Ima Akip (Bekasi)
76. Lina M (Ciputat)
77. Murni (Ciputat)
78. Giyanto Subagio (Jakarta)
79. Santo (Cilegon)
80. Meiliana (DKI)
81. Ambhita Dhyaningrum (Solo)
82. Lia Oktavia (DKI)
83. Endah (Bandung)
84. Ahmad Lamuna (DKI)
85. Billy Antoro (DKI)
86. Wildan Nugraha (DKI)
87. M. Rhadyal Wilson (Bukitingi)
88. Asril Novian Alifi (Surabaya)
89. Jairi Irawan ( Surabaya)90. 91. Langlang
Randhawa (Serang)
92. Muhzen Den (Serang)
93. Renhard Renn (Serang)
94. Fikar W. Eda (Aceh)
95. Acep Iwan Saidi (Bandung)
96. Usman Didi Hamdani (Brebes)
97. Diah S. (Tegal)
98. Cunong Suraja (Bogor)
99. Muhamad Husen (Jambi)
100. Leonowen (Jakarta)
101. Rahmat Ali (Jakarta)
102. Makanudin RS (Bekasi)
103. Ali Ibnu Anwar ( Jawa Timur)
104. Syarif Hidayatullah (Depok)
105. Moh Hamzah Arsa (Madura)
106. Mita Indrawati (Padang)
107. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
108. Sri al-Hidayati (Bandung)
109. Nabilah (DKI)
110. Siti Sarah (DKI)
111. Rina Yulian (DKI)
112. Lilyani Taurisia WM (DKI)
113. Rina Prihatin (DKI)
114. Dwi Hariyanto (Serang)
115. Rachmat Nugraha (Jakarta)
116. Ressa Novita (Jakarta)
117. Sokat (DKI)
118. Koko Nata Kusuma (DKI)
119. Ali Muakhir (bandung)
120. M. Ifan Hidayatullah (Bandung)
121. Denny Prabowo (Depok)
122. Ratono Fadillah (Depok)
123. Sulistami Prihandini (Depok)
124. Nurhadiansyah (Depok)
125. Trimanto (Depok)
126. Birulaut (DKI)
127. Rahmadiyanti (DKI)
128. Riki Cahya (Jabar)
129. Aswi (Bandung)
130. Lian Kagura (Bandung)
131. Duddy Fachruddin (Bandung)
132. Alang Nemo (Bandung)
133. Epri Tsaqib Adew Habtsa (Bandung)
134. Tena Avragnai (Bandung)
135. Gatot Aryo (Bogor)
136. Andika (Jambi)
137. Widzar al-Ghiffary (Bandung)
138. Azizi Irawan Dwi Poetra (Serang)
odekampung2@yahoo.com
Monday, 23 July 2007
MATA-MATA TOLOL YANG BERJUMLAH BANYAKNYA
Suntuk dan gelisah. Dua kata semacam mantra yang menghangatkan amarah dalam tubuh dan kepala saya. Menggelorakan darah, merasuk dalam segala sumsum, meliarkan pandangan. Lalu, pelan saja saya berucap denga huruf-huruf kapital: HENTIKAN SEGALA KETOLOLAN DAN NIKMATILAH KEBUTAAN!!!
Sejak Juli 2007, suntuk dan gelisah bertubi pelan datang. Sastra, bukan satu-satunya bidang di dalam kehidupan ini sekaligus bukan satu-satunya roh kehidupan ini, menggemparkan dunia kenyataan, dunia fakta-persepsi-dan transliterasi. Debatnya, menurut saya, berakar pada soal gampangan. Sayangnya, soal gampangan tersebut berselimut suara delapan oktaf yang memekik-mekik sampai buat tungkik.
Pfuh, seks dalam sastra. Tiga leksem yang dipadu membentuk kalimat tak lengkap itu menjadikan para kita menyemburkan suara.
Soal Seks (d/s)alam Sastra
Saya tidak begitu paham sastra. Sebabnya, semakin coba saya pahami semakin giat pula sastra bergerak agar tak dapat saya pahami. Saya pun menjadi berputar-putar dalam lingkaran pencarian yang malah menemukan kedunguan. Tapi, saya tegaskan ini bukanlah argumentasi pembatal bagi para kita yang ingin mengajukan kritik pada saya. Silahkan saja para kita maju membantah dan mari buktikan ketololan siapa yang tak terbantahkan.
Baiklah, saya tegaskan bahwa apa yang saya lisankan dalam bentuk huruf ini adalah suatu menggurui—meski saya pernah mendengar dari orang teman yang mendengarnya dari orang sastrawan yang menyatakan bahwa tulisan itu sebaiknya tak menggurui.
Saya menganut azas sastra adalah nama yang diberikan atas salah satu produk kebudayaan yang dihasilkan manusia. Dan, ironisnya pendefenisian mengalami degradasi yang sangatlah parah. Pengertian yang sangat luas dan dalam itu malah dibakar hingga meninggalkan residu berupa pernyataan sastra menjadi sekadar teks belaka. Tapi, yang paling memedihkan lagi ternyata pengertian yang sudah terdegradasi itu dipergunakan untuk mengaitkan sastra dengan kenyataan, sastra yang teks itu mampu mempengaruhi kehidupan kepala serta tubuh para pembacanya. Bah, ketakutan pun bermunculan. Ketakutan bilamana si pembaca teranya-anya lalu terbawa mengikuti cara atau nilai yang ada di dalam sastra yang tak bersesuaian dengan cara atau nilai yang ada di dalam kehidupan dunia nyata. Ini semacam beragam pelarangan siaran televisi atau pelarangan film-film tertentu. Misal, dulu pernah siaran dewasa tengah malam di televisi swasta dikritik lalu pemerintah turun campur mengenyahkan siaran-siaran yang tak bermutu dan memang menurut saya tak bermutu itu. Atau juga, siaran banting-bantingan yang bohong-bohongan yang mengakibatkan kematian banyak bocah di Nusantara. Pemerintah dan kawanan turun campu menghentikan. Perlu dicatat, saya tidak sependapat dengan para kita yang melontarkan argumentasi pelarangan dengan menyatakan bahwa siaran banting-bantingan yang bohong-bohongan di layar kwarsa menjadi penyebab pembunuhan. Argumentasi para kita itu, menurut saya, tak imbang.
Bersandar pada pemahaman seperti itulah saya menyadari mengapa orang-orang sastrawan bisa terjebak dalam perdebatan soal gampangan itu. Seperti orang (saya tak memaksudkan ‘orang’ sebagai lelaki. ‘Orang’ itu bisa saja perempuan atau lelaki) yang sedang berjalan-jalan di
Uniknya, forma perdebatan yang lahir dari ketololan itu, yang entah dengan cara yang bagaimana, menjadi perdebatan yang dipaksa-akarkan pada daya virulensi tinggi nilai atau etika yang ada di dalam teks terhadap nilai atau etika dunia kenyataan. Dalam perspektif demikian, teks menjadi semacam modeling behavior bagi pembaca yang berpotensi untuk mengimplementasikan dalam dunia kenyataan dan perilaku pembaca yang demikian dapat menghancurkan tatanan nilai atau etika yang sudah ada dalam dunia kenyataan. Bila sudah demikian, yang menjadi perhitungan adalah masa depan. Kehidupan yang bakal rusak parah serupa dengan semakin punahnya kayu-kayu di dunia ini. Visi seperti inilah yang hadir di dalam kepala para kita yang menolak ‘seks (d/s)alam sastra’. Kehidupan di masa depan yang didasarkan pada kondisi berjayanya tatanan nilai atau etika yang didasarkan pada modeling behaviour yang dihasilkan teks tentulah menghadirkan suasana mencekam, penuh ketakutan. Dan para kita yang menentang ‘seks (d/s)alam sastra’ memiliki kemampuan menerabas ruang dan waktu sehingga mampu merasakan cekaman dan penuh ketakutan tersebut, hingga para kita itu pun dipaksa oleh keadaan mencekam dan penuh ketakutan itu menjadi pahlawan pemberangus tata nilai dan etika tersebut. Sayangnya, dalam tingkat implementasi para kita itu tak mampu bertindak di ruang dan waktu masa depan itu sendiri.
Rasa haru dan marah dalam diri saya karena tindak tanduk para kita yang menentang gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’ pun berlaku bagi para kita penyokong gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’. Pembelaan yang dilakukan para kita menikung pada jalan memalukan. Beragam fakta sejarah, mulai dari masa Lekra hingga masuk ke era serat-serat di tanah Jawa pun ragam artefak para pendahulu para kita, dipergunakan sebagai serdadu bayaran (untuk frase ‘serdadu bayaran’ saya menghaturkan terima kasih kepada Alfan, sebab dalam bentuk dan makna demikianlah konsep ‘serdadu bayaran’ menjadi nyata dalam kepala dan tubuh saya) menggempur benteng para kita yang berada di kubu menolak gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’.
Dihadapkan pada situasi pertarungan para kita atas gagasan ‘seks (d/s)alam sastra’, saya pun harus meralat tanda ‘Kurusetra’ di bagian awal tulisan ini. Pertarungan para kita, menurut saya, kalah modern dari pertarungan antara wangsa Pandawa dan Kurawa di
2007
[Deif-Feil]
Sunday, 22 July 2007
NOSTALGIA NASIONALISME, CINTA DI PATAH HATI DAN BAYANG-BAYANG MAHABARATA
(Suatu Upaya Meringkas Piala Asia)
“Masa sepakbola bawa-bawa nasionalisme,” kata seorang pemuda yang begitu membanggakan kedunguannya. Sepasang orang muda, yang satu berkaos merah satunya lagi berkaos putih, merengut mendengar. Aku merasa situasi berubah menjadi syair Bhagavad Gita dalam episode Kurusetra.
Nostalgia Nasionalisme
Nyaris enam puluh dua tahun umur Republik
Jaman berputar serupa cakra yang menggelinding. Jerman dengan paham rasisnya runtuh sudah. Sovyet juga tenggelam bersama Marxisme-Leninisme tahun 1989 seiring dengan dirubuhkannya tembok
Meski tidak begitu intens, saya tetap mengikuti setiap pertandingan tim Merah-Putih melalui layar televisi. Setiap pertandingan yang saya lihat memberikan suasana psikologis yang berbeda, yang asing daripada yang saya rasakan di dalam keseharian. Saya begitu meng-Indonesia. Saya bukan orang yang romantis juga nasionalis, tetapi saya heran entah mengapa setiap kali mendengar lagu kebangsaan dinyanyikan hati saya bergetar-getar. Situasi jiwa begitu mencekam serupa horor yang bersahabat. Dan imajinasi saya pun melangkah masuk ke masa-masa
Di tengah landaan perasaan sedemikian, saya sadar bahwa sesungguhnya nasionalisme bukanlah bahasa yang susah untuk dijelaskan. Nasionalisme pada dasarnya adalah pengalaman, situasi kejiwaan. Keinginan menjabarkan nasionalisme dalam seperangkat aturan berbusana, seperangkat kata-kata yang membentuk kalimat, seperangkat tata laku, menurut saya hanya berujung pada kesia-siaan belaka. Lewat cara demikian nasionalisme tidak menjadi terang dan jelas. Malahan sebaliknya yang terjadi. Nasionalisme hadir dalam bentuk abstrak, njilmet dan bisa memasung kebebasan. Dan karena itu pulalah, nasionalisme pun mudah untuk disangkal—seperti yang dilakukan seorang pemuda yang begitu membanggakan kedungguannya di hadapan aku dan sepasang orang muda. Sebagaimana seperangkat aturan berbusana, seperangkat kata-kata yang membentuk kalimat, seperangkat tata laku yang memuat penjabaran nasionalisme mudah dibangun, maka semudah itu pulalah nasionalisme diruntuhkan. Seenteng menyusun sendi argumentasi pendukung nasionalisme, maka kelompok penentangnya pun akan mudah pula menyusun sendi argumentasi penangkal nasionalisme. Apalagi setelah kredibilitas rasio semakin dipertanyakan di penghujung abad ke-20 oleh para filsuf-filsuf kenamaan dunia. Maka, pengalaman pun tampil ke permukaan menawarkan cara dan metode pengenalan dan pendekatan yang lebih ampuh untuk menjabarkan nasionalisme. Di era sekarang ini, masa-masa penjajahan sudah tidak ada lagi, kelihatannya olahraga merupakan media paling tepat bagi pengajaran nasionalisme, terutama sepakbola. Sebabnya, cabang olahraga ini memiliki daya lebur kelas sosial yang begitu mematikan. Melihat tiga pertandingan kesebelasan Merah-Putih di Gelora Bung Karno melalui televisi, saya tidak merasa ada perbedaaan kelas yang jelas di antara penonton hadir, sekalipun mereka duduk di barisan VIP atau sekadar tribun kelas dua dengan harga tiket Rp15.000. Dan, memang nasionalisme sesungguhnya bekerja atas dasar peleburan kelas menuju satu keinginan bersama, Indonesia berjaya di ajang sepakbola dunia, di ajang perekonomian dunia, di ajang budaya dunia, di ajang bahasa dunia, di ajang pendidikan dunia, di ajang teknologi dunia, di ajang diplomasi dunia.
Sayangnya, nasionalisme di
Cinta di Patah Hati
Sejak Piala Asia digelar, ratusan kostum Merah-Putih laris manis di pasaran. Ribuan pemain ke-dua belas ikhlas membeli kostum dan dengan bangga mengenakannya dalam perjalanan dari rumah menuju Stadion Gelora. Rasanya, seperti orang pacaran saja.
Namun, kini semuanya pupus sudah. Meski
Sedikit berlagak bijak, saya merasa
Kekalahan di ajang Piala Asia pasti membuat
Bayang-bayang Mahabarata
Menjelang Piala Asia, di seputaran Stadion Gelora ramai terpasang poster raksasa potret pemain kesebelasan
Ide menyamakan para pemain kesebelasan Merah Putih dengan tokoh pewayangan menurut saya menarik. Tapi, yang saya sayangkan mengapa pengurus PSSI jatuh pada pilihan yang didominasi kisah Mahabarata. Maaf, bila saya dirasa terlampau berlebihan. Saya tidak bermaksud menyatakan Mahabarata sebagai kisah yang jelek; pun menyamakan Ponaryo dan rekan dengan para tokoh Mahabarata adalah ketololan. Saya pun tidak ingin mengkritik, tindakan itu sangat berkesan Jawasentrisme. Sama sekali tidak ada niatan demikian.
Penilaian yang saya tuliskan pada bagian ini terinspirasikan perkataan Ki Mantheb S. Suatu ketika ia pernah berkata, “Wayang adalah bayang. Ketika dalang memainkan tokoh wayang di sebelah kanan, penonton penikmat malah menyaksikan tokoh tersebut berada di sebelah kiri. Begitulah, kanan pun menjadi kiri, sedang kiri menjadi kanan. Antara Kurawa dan Pandawa, siapakah yang lebih baik? Tokoh-tokoh Kurawa yang dimainkan di sisi kiri, bagi penonton malah berada di sisi kanan. Tokoh-tokoh Pandawa yang dimainkan di sisi kanan, bagi penonton malah berada di sisi kiri. Apakah Pandawa memang berada di posisi seratus persen benar? Bagaimana dengan peristiwa perjudian Pandawa dengan Kurawa, ketika Yudhistira menjadikan istrinya sebagai taruhan? Apakah ada moralitas Pandawa dalam situasi demikian?” Kira-kira demikianlah Ki Mantheb berkata.
Sedikit lancang, saya menyimpulkan pengisahan Mahabarata tidak ditujukan pada pemilahan baik versus jahat yang kaku, melainkan samar dan penuh jebakan. Pengisahan itu, menurut saya tidak seperti kisah Ramayana. Di kisah Ramayana, baik versus jahat memang benar terpisah. Baik ada di kubu Rama, Laksmana dan Sinta. Sedang jahat, adanya di Alengka, tepatnya Rahwana. Memang ada latar yang perlu diperhitungkan, semisal Rahwana menjadi jahat disebabkan sebab tertentu dan Rama harus menjadi pembuangan dari Ayodya pun dikarenakan suatu ihwal yang bila dikisahkan disini menjadi terlampau meluas. Namun, sebab dan ihwal mengapa Rahwana haus darah dan Rama terbuang tidak menjadi alasan pemaklum. Sepanjang pengisahan, tetap saja Rahwana ditempatkan sebagai orang yang jahat dan harus dibasmi. Karena itu, menurut saya, alangkah tepatnya bila para pemain tim nasional digambarkan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari kisah Ramayana. Bisa Sugriwa, Subali, Anoman, Rama, Laksmana, Batara Indra, Hyang Baruna dan semacamnya. Bila sudah demikian, tentulah lawan kesebelasan PSSI pastilah duta Alengka. Karena itu, seturut takdir dan kehendak dewata yang berlaku dalam kisah Ramayana: Alengka kalah, pun (saya berharap) berlaku juga di lapangan sepakbola.
Meski begitu, pada dasarnya saya tak hendak mencari-cari kambing hitam penyebab tak lolosnya tim nasional
[Deif-Feil]
Tuesday, 10 July 2007
Wikipedia:Warung Kopi - Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia
Selamat datang di Warung Kopi!
Warung kopi
Jalan pintas:
WP:KOPI
Ini adalah kumpulan dari halaman-halaman yang digunakan untuk membicarakan masalah teknis, kebijakan, dan operasi dari Wikipedia Bahasa Indonesia, yang dibagi menjadi lima bagian Warung Kopi. Silakan lihat di tabel di bawah ini untuk menemukan bagian yang paling cocok dengan pertanyaan/komentar Anda. Di sini, Anda juga dapat mengungkapkan segala komentar, saran, dan uneg-uneg sehubungan dengan Wikipedia. Untuk masalah yang lebih pelik, Anda dapat menghubungi para pengurus Wikipedia secara langsung.
Jangan lupa memberikan tanda tangan dan tanggal pada akhir pesan Anda (dengan cara mengetikkan ~~~~ atau mengklik tombol "tanda tangan" di toolbar penyuntingan).
Thursday, 5 July 2007
jangan sampai langit indonesia menimpa kepala kita!
berapa kali enkaerium memaksakan kehendaknya. kita bukan cuma ingin eksis. kematianpun eksis. tapi kita cinta kehidupan. kehidupan yang eksis dan berdampingan dengan kehidupan lain.cakalelepantomanix bukan cuma tarian pertunjukan, bukan pula dialog. itu kepastian. masa depan. sabda.
para survivorix sekalian.
jangan sampai langit indonesia menimpa kepala kita!
birokratronium pendulum tidak peduli dengan nasib semesta, itu jika sebangsa sudah salah arti. atau arah. koruptivum penyakit yang menjadi langit di ingatan birokratronium pendulum jazirah enkaerium. dan itu akan jatuh.
demi toutatis.
medan tari, medan bangsa, medan tentara, medan seniman, medan perang liar memangsa medan hati. koruptivum sampai pada stadia akhir. tapi disini tidak mengenal harakiri.
demi toutatis.
'tomorrow never come'
masa bodoh. apa masalahnya. siapa kita. kapan. dimana. mengapa.
bagaimana? jangan sampai langit indonesia menimpa kepala kita! but tomorrow never come!
serbu para barbarian yang berwajah seperti kita!
demi toutatis
masa depan apa yang pernah dibayangkan!
sederet kata-kata yang diucapkan hati-hati nyaris tanpa arti (habitus esbejetikum modus tentara nasional dokem di rokum)
demi toutatis
jangan lagi kita nyanyikan anthem.
dear folk, guys, gurlz, sejak lahir di tanggal 17 itu, foto kita kusam. tapi cuma itu yang kita punya. sebuah komitmen yang sephia.
I thought about you for a long time
Can't seem to get you off my mind
I can't understand why we're living life this way
I found your picture today
I swear I'll change my ways
I just called to say I want you to come back home
I found your picture today
I swear I'll change my ways
I just called to say I want you to come back home
I just called to say, I love you come back home (sherryl crow-picture)
weedee seenow
Manusia Gamang
Manusia Gamang
Seorang pemuda 20-an, kelahiran Yogyakarta, yang menetap dan bekerja sebagai staf pemasaran usaha penerbitan di Malang, mengeluh, "Aku dilahirkan dari orangtua Jawa, dibesarkan di Jawa, hidup dan bekerja di kota Jawa, setiap hari berbahasa Jawa... tapi ketika orang bertanya, 'Siapakah itu orang Jawa,' sungguh mati aku harus belajar dan belajar lagi, mengenali 'apa itu Jawa'?"
Sebagai pemuda yang getol membaca apa saja, pemuda "Jawa" yang merasa asing dengan dirinya --dengan kejawaannya itu-- merasa harus membaca dan mempelajari lagi filsafat Jawa, tembang-tembang Jawa, ritus-ritus adatnya, pola hubungan sosialnya, keseniannya, apa pun soal tentang kejawaan. Dan ia menjadi kian bergetar bahkan belingsatan saat dalam percakapan tersebut, satu pertanyaan lain diajukan padanya, "Apakah kamu orang Indonesia?"
Situasi kritis secara eksistensial ini sesungguhnya tidak hanya dirasakan oleh staf pemasaran yang kutu-buku dan kutu-diskusi itu. Ia bisa jadi hinggap di mayoritas pemuda Jawa pada umumnya, di perkotaaan maupun daerah rural. Di wilayah subkultur lain di Nusantara ini. Bahkan mungkin di wilayah kultural lain di muka bumi yang melingkar ini: dalam diri Fassenet di commune Gargenville, Paris, Alberto di Napoli, Takeda di Osaka, Pavlov di Kiev, hingga Abder-Rahman di utara Afrika.
Ketika hidup dan adab yang mengisinya saat ini tidak hanya telah bergeser, melainkan juga beralih rupa demikian rupa, sehingga semua perangkat yang menunjangnya menggulingkan bahkan meluluhlantakkan dasar-dasar, standar, hingga simbol-simbol kultural dan eksistensial lama, tidaklah mengherankan bila manusia yang ada di dalamnya mengalami kerancuan, kekacauan atau chaos dalam mencari tautan. Mfncari pegangan di mana ia dapat bersandar atau berdiri dengan tegak. Menjadi gamang.
Sementara itu, manusia limbung inilah yang kini menjadi harapan untuk mewarisi hidup dan adab "modern" yang hampir setengah milenia disusun bersama. Mewarisi dan mengembangkan sejarah serta kepercayaan-kepercayaan (politis, historis, ideologis, bahkan religius) dari sebuah masyarakat, sebuah bangsa. Dalam konteks ini negeri kepulauan ini: sebuah Indonesia.
Dan kita pun menyaksikan bersama apa yang terjadi dan dilakukan oleh mereka belakangan ini. Kegamangan tersebut ternyata masih diisi oleh sekian banyak cara berpikir atau pola bertindak yang sangat usang, yang tidak lagi fit-in dengan situasi dan kebutuhan kontemporernya. Di soal sederhana itu, mereka mendapatkan dirinya masih larut dan tenggelam dalam kerancuan pra-anggapan yang memandang komunikasi sebagai prosedur dari usaha kita untuk survive, dalam maknanya yang purba, survival of the fittest. Pendekatan dari prosedur ini melihat daya-tahan-hidup atau sukses eksistensial berdasarkan "siapa yang lebih kuat dari yang lain". Dan kekuatan pun diasosiasikan dengan perkataan lain, "kekuasaan", sebagai garansi dari "keberadaan" kita selanjutnya.
Secara etimologis tampaknya dua kata ini berdekatan, "kekuatan" dan "kekuasaan". Bahkan dalam bahasa Inggris pun kita dapat mewakilinya hanya dengan satu kata, power. Dan terjemahan praksis yang paling mudah untuk itu adalah "kekuatan" harus direbut dengan cara (pragmatis) apa pun, termasuk dengan kekerasan, bahkan dalam arti yang paling kasar: fisik.
Pendekatan ini menjadi sebuah kelumrahan di negeri ini, ketika kita selama sekian dekade melatih dan membiasakannya, pada saat kita terlibat dalam perebutan "kekuasaan" politik, dalam birokrasi, dalam organisasi, bahkan dalam pergaulan antar-kampung, antar-geng. Mungkin revolusi fisik masa lalu mengajarkan, betapa kuasa atas diri (kemerdekaan) mesti direbut paksa dengan darah dan senjata.
Lebih jelas lagi, pendekatan militeristik masa Orde Baru menyekolahkan dan melatih kita untuk menggunakan cara koersif dan represif sekadar untuk menunjukkan "siapa yang lebih kuat", "siapa yang lebih kuasa". Bukanlah sebuah hal yang ganjil, kita menemukan pendekatan ini dalam lingkup bisnis (buka toko pun perlu lindungan preman, polisi, atau serdadu), dalam ruang parlemen, dalam kelompok sosial, atau juga dalam menghadapi penduduk mendatang. Perselisihan antar-dua pemuda, dalam perkara remeh (soal cewek, senggolan di warung kopi, atau cara menegur) bisa menciptakan kerusuhan hingga tawur massal atau bentrok senjata antar-desa.
Maka, bila terjadi "penyiksaan", hingga terjadi pembunuhan karakter sampai jiwa, dalam sebuah sekolah yang berorientrasi "kekuasaan", seperti dalam kasus pelajar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Cliff Muntu, beberapa waktu lalu, kita pun segera mafhum. Bahkan kita bisa mengerti, mengapa sistem, rektor, aparat keamanan, hingga pejabat pendidikan tidak mampu menggaransi untuk tidak terulangnya kembali peristiwa itu.
Seperti tergambar di atas, masalah ini cukup kompleks karena kait-mengait dengan persoalan lain. Tak dapat dituntaskan secara parsial, apalagi sektoral di dalam IPDN itu sendiri. Ketika lingkungan sekitar, keluarga, pola pengajaran umum, hingga perilaku para elite (pemimpin) masih mendepankan tradisi atau cara di atas. Penyakit ini bukan melulu milik lima tersangka IPDN, melainkan juga milik ribuan pelajar lainnya. Mungkin kita semua.
Radhar Panca Dahana
Budayawan
[Perspektif, Gatra Nomor 21 Beredar Kamis, 5 April 2007]