Saturday, 2 June 2007

METAFORA PAHLAWAN DAN LAWANNYA

(RISALAH KLENIK SPIDER-MAN 3)

—Terinspirasi dari Akira Kurosawa, rekan franchise toko serba ada di dekat kontrakan saya, yang menyatakan bahwa film apapun selalu bersifat multifaset. Dan dengan begitu sok-tahunya saya menerapkan aspek multifaset mata lalat ke dalam resensi film yang menyebabkan kemunculan sub-judul: Risalah Klenik Spider-Man 3—

1962. Setelah sukses menggabungkan Frankenstein dan Dr. Jeckyll and Mr. Hyde menjadi Dr. Bruce Banner alias The Incredible Hulk, Stan Lee mencipta karakter baru dalam jagat komik Amerika. Peter Parker pun lahir menyandang julukan Spider-Man. Serupa dengan Bruce Banner yang tak sengaja terkena radiasi sinar gamma hingga menjelma menjadi monster super-kuat berkulit abu-abu (di kemudian hari berubah menjadi hijau), Peter Parker pun mengalami hal serupa. Kejawaraannya muncul setelah dia digigit laba-laba yang sudah teradiasi. Saya masih ingat, ketika penggagas Spider-Man melontarkan kalimat sederhana yang memuat asas logika silogisme sebagai argumentasi dasar mengapa Peter Parker bisa begitu kuat. “Bandingan saja ukuran laba-laba dengan manusia. Dan bayangkan apa jadinya bila laba-laba itu seukuran manusia. Berapa besarkah kekuatan yang dia miliki?” demikianlah dia berucap singkat, padat, mengagetkan, hingga membuat saya berkata, “Oh, benar juga,” dalam hati.

Agustus 1962, penampilan perdana Spider-Man di ruang publik Amerika. Marvel Comic membukukan satu-satunya tokoh pahlawan yang berasal dari kalangan remaja. Di masa itu, jawara-jawara rekaan umumnya sudah berusia dewasa dan, hidup mapan. Misal saja tokoh rekaan dari kompetitor Marvel Comic yang sudah terkenal seantero jagat planet ke-tiga galaksi Bima Sakti, DC Comic (trivia: DC adalah singkatan dari Detective Comic), Clark Kent yang akrab dipanggil Superman dikenal sebagai wartawan Daily Planet yang sudah berusia dewasa, berpenghasilan tetap plus sesekali bonus tahunan serta memiliki rumah tinggal; begitu pun Batman yang aslinya adalah sipil milioner bernama Bruce Wayne yang jelas-jelas berumur diatas 17 dan berstatus sosial serupa bangsawan pula. Sedang dari Marvel sendiri contohnya: Hulk. Bruce Banner adalah seorang ilmuwan nuklir. Predikat ‘ilmuwan nuklir’ yang dia sandang tentu saja menjadi bukti bahwa Bruce Banner bukanlah seorang remaja. Masih dari predikat itu juga, saya bisa memastikan gaji Pak Bruce pastilah lebih besar dari gaji para redaktur media-media berskala nasional di tanah air yang sulit dicintai ini. Tapi, penokohan seperti itu berbeda jauh dengan sosok Spider-Man. Peter Parker adalah remaja. Dan, meski pun dia bekerja sebagai photographer di sebuah harian di kota New York, saya yakin dia seorang pekerja lepas sebab: di dalam film Spider-Man 3 garapan Sam Raimi Peter Parker tinggal mengontrak di sebuah apartemen. Bahkan dia sempat ditagih uang kontrak oleh sang pemilik apartemen. Lengkap sudah, remaja yang bekerja lepas sebagai photographer dan tinggal mengontrak tentulah jauh dari idiom mapan yang disandang Clark Kent, Bruce Wayne ataupun Bruce Banner. Lewat perbandingan itu, saya merasa Peter Parker adalah semacam satire bagi Superman, Batman dan Hulk. Atau dalam bahasa yang lebih vulgar, Peter Parker adalah jotosan yang diarahkan Marvel Comics kepada rival terberatnya di tanah yang memperkenal amsal ‘Unity or Die’ di abad 18, Amerika Serikat, yakni DC Comics. Spider-Man menyengat Superman dan Batman dengan keremajaan serta ketidakmapanannya.

25 Mei 2007. Saya merasa beruntung hidup mengontrak di kawasan Utan Kayu. Salah seorang teman mengontrak saya bekerja sebagai penjual kepingan Digital Video Disk (DVD). Beberapa minggu lalu, dia baru saja membeli televisi 20 inci. Di bulan-bulan sebelumnya, dia sudah membeli piranti player DVD plus speaker active. Dan pada malam itu, dia baru saja mengambil cakram bajakan Spider-Man 3 dari penyalur di bilangan Glodok, Jakarta Barat, yang belum masuk dalam kategori ori, alias original alias asli. Meski begitu, tampilan gambarnya sudah lebih bagus daripada dua minggu sebelumnya, saat dia membawa untuk pertama kalinya cakram bajakan film Spider-Man yang sudah tayang di bioskop Asia sejak awal Mei 2007. Ketika itu, saya sempat mencoba cakram film. Hasilnya luar biasa jelek. Di monitor laptop saya, filmnya tampil miring-miring dan sesekali sempat pula bayangan hitam muncul menutup hampir setengah gambar. Karena itu, tentu saja saya berpikir: dari pada mata saya rusak lebih baik saya tak usah membeli. Dan, teman saya yang berjualan DVD bajakan pun memang agak kecewa dengan keputusan saya tersebut. Dia juga mengaku, sejak Hollywood menetapkan kebijakan baru berupa perubahan tempat penayangan film perdana, omzet pendapatannya mengalami penyusutan. Biasanya, tayangan film perdana digelar di Hollywood, simbol perfilman Amerika Serikat. Namun, sejak Mei 2007, kebijakan seperti itu dinilai sudah kadaluarsa, basi, dan merugikan dikarenakan merajalelanya aksi pembajakan. Sebagai solusi, tayangan perdana pun tak lagi digelar di Hollywood, melainkan di negara-negara yang terkenal dengan laku bajak-membajak alias pirates (mungkinkah istilah ‘bajak’ yang dikenal di Indonesia justru berasal dari istilah pirates, bajak laut? Kalau memang demikian mengapa pula Indonesia tidak memperkenal istilah rompak sebagai transliterasi yang lebih memiliki kedekatan dengan kata ‘pirates’ daripada kata ‘bajak’ yang lebih berhubungan dengan sawah?) Sebelum kebijakan tersebut ada, film-film yang  masih beredar di Hollywood sudah bisa ditemukan cakram versi ori-nya di kawasan Chinatown-nya Jakarta, dan bagi teman saya yang bekerja sebagai pedagang DVD bajakan kebijakan itu bermakna: pendapatan!

Memang, masalah malsu-memalsukan sudah menjadi agenda tersendiri bagi House of Representative-nya Amerika Serikat. Sempat pula para anggota dewan di sana bersidang untuk memutuskan undang-undang pembajakan. Bahkan sekitar dua bulan lalu, saya ingat Amerika Serikat memperingatkan China karena perilaku bajak-membajak yang marak di negeri Tuan Mao dan Laksamana Cheng Ho. Dan ternyata, ada juga kerja Amerika Serikat yang secara pragmatis berpengaruh kepada saya meski hanya untuk sementara waktu, disebabkan pada malam 25 Mei 2007 saya juga bisa menikmati Spider-Man 3 dalam versi yang, bagi saya, cukup lumayan dan enak dipandang retina. Karena itu, untuk pertama kalinya saya harus berterima kasih kepada teman saya yang bekerja sebagai penjual cakram bajakan atau palsu atau apapun istilah yang dilekatkan, saya tak perduli! Yang pasti, Spider-Man 3 cukup menyenangkan meski punya kelemahan alias No Body Perfect gitu deh

Dan, mungkin karena ‘No Body Perfect’ itulah Mary Jane (Kirsten Dunst) berkata, “Setiap orang butuh bantuan,” kepada Peter Parker yang notabene adalah jagoan, yang di saat itu Parker masih diliputi kepedihan karena, ternyata, pembunuh pamannya, Ben, masih beredar bebas di ruang publik. Kesedihan itu bermula dari telepon yang entah dari mana meminta Parker untuk datang ke markas komando, mungkin bisa disebutkan sebagai Polres New York. Di kantor polisi itu, New York 1 (baca: Kapolres New York) menyatakan bahwa pembunuh paman Parker, Ben, yaitu Flint Marko, berhasil kabur dari penjara. Pada kesempatan itu, panglima tertinggi di Polres New York  menyatakan bahwa tersangka pelaku pembunuhan Ben sebelumnya, saya lupa siapa namanya, ternyata adalah orang yang salah. Di saat New York 1 memberi penjelasan, Parker hanya menatap foto Flint Marko sambil, meneteskan airmata. Selesai New York 1 bicara, giliran Parker yang membentak marah, “Mengapa setelah dua tahun baru kau kasih tahu kami? Apa yang kalian kerjakan?” Ternyata, airmata dan amarah tak jauh beda dengan sekeping uang logam.

Airmata dan amarah hanyalah satu dimensi belaka dari seorang yang bernama Peter Parker. Secara psikologis, Peter Parker pun mengidap sindrom narsis*. Saya menduga, sindrom narsis yang diidap Peter Parker berhubungan dengan masalah kepercayaan diri. Memang, di dalam penciptaannya, Peter Parker hendak digambarkan sebagai sosok yang memiliki persoalan pribadi, seperti masalah kepercayaan diri, cinta dan juga bullying (di tahun 60’an ternyata Amerika Serikat sudah kenal sama konsep bullying). Dimensi persoalan pribadi itu pun semakin bertambah besar dengan masuknya mahluk tak jelas yang entah berasal dari mana. Mahluk rekaan hasil penggabungan lintah dengan karet dengan kadal dengan ular dengan laba-laba dengan warna hitam dengan mulut lebar dengan gigi taring dengan lengket dengan keras kepala dengan kekuatan dengan lain-lain. Masuknya Venom alias racun ke dalam kostum Spider-Man yang berwarna merah ternyata tidak hanya merubah konfigurasi kekuatan Parker, tetapi juga merubah konfigurasi psikologis Parker. Cukup membingungkan. Katakanlah ada jempol kanan seseorang yang digigit singa atau ular atau kuda nil atau bebek atau kadal atau beruang kutub atau ikan hiu atau lele atau tikus sawah atau mobil mercy atau tronton atau bajaj atau sepeda motor dua tak tiba-tiba mengalami perubahan psikologis dari baik hati menjadi jahat hati, dari pendiam menjadi pembuat onar, dari optimis menjadi pesimis, dari berat tangan jadi ringan tangan, dari pendek tangan jadi tangan panjang, dari pembunuh berdarah dingin menjadi pembunuh berdarah panas, dari suka korupsi menjadi pemberantas korupsi. Aneh memang, tak masuk nalar. Tapi, itulah yang terjadi; tak jauh beda dengan peristiwa seorang anak SMP gantung diri hanya karena belum membayar uang sekolah, atau pembunuhan hanya karena rebutan lahan yang dimiliki negara, atau vonis empat bulan untuk kejahatan aniaya anak dibawah umur, atau kesaksian Rokhmin Dahuri yang menyatakan bahwa dia memberi dana DKP kepada capres-cawapres peserta Pilpres pada Pemilu 2005 yang hanya diakui oleh Amien Rais saja (dan mengapa pula Amien Rais mau mengaku?). Tetapi, sesuatu yang tak masuk nalar bukan berarti tak ada sebab. Selalu ada sebab untuk segala hal. Hanya saja, ada sebab yang sudah diketahui, ada yang belum diketahui dan ada yang tidak diketahui. Untuk kasus Spider-Man 3—sekalipun ada adegan perbincangan via telepon antara Parker dengan dosen peneliti yang menyatakan bahwa mahluk aneh bin ajaib itu mampu merubah konfigurasi psikologis induk semangnya dikarenakan genetis mahluk itu sendiri, saya masih saja susah untuk menerimanya sebagai pertanggungjawaban rasional film itu sendiri atas pertanyaan mengapa seekor atau seorang atau sesisir atau sebuah mahluk mampu mengubah perilaku seseorang—yang menjelaskan  penyebab mengapa Venom mampu mengubah konfigurasi psikologis Parker hanya diketahui, menurut saya, oleh penulis skenario yang juga merangkap sutradara, Sam Raimi. Tapi, untuk bertanya pada Pak Sam Raimi tentulah diperlukan biaya yang tak kecil. Kendala-kendala yang ada mengharuskan saya puas dengan jawaban alternatif, ‘Hanya Tuhan dan Sam Raimi saja yang mengetahuinya plus kru Spider-Man 3.’

Bila saya tetap berupaya menduga-duga apa kira-kira penjelasan dibalik kemampuan  Venom merubah konfigurasi fisik dan psikologis induk semangnya, saya sesungguhnya tak jauh beda dengan sosok Parker. Setelah mendengar kabar bahwa pembunuh Paman Ben masih berkeliaran, Parker langsung membayangkan Marko menyeret pamannya keluar dari dalam mobil, kemudian di-dor. Di penghabisan film, dugaan atau rekayasa kebenaran di nalar Parker ternyata terbukti menyesatkan. Marko yang sudah bermutasi menjadi Manusia Pasir** menjelaskan pada Parker fakta sesungguhnya. “Bukan aku yang menembak pamanmu. Temanku yang melakukannya. Aku mencuri buat biaya operasi anakku. Saat itu dia harus dioperasi dan aku tak punya uang. Apakah engkau mau memaafkan aku?” Suasana pun terasa biru. Parker menyadari tidak semua penjahat itu jahat. Ada motivasi yang patut dipertimbangkan sebelum vonis dijatuhkan. Dan, Parker sadar. Dengan senyum, dia memaafkan Marko.

Soal maaf-memaafkan ternyata tidak hanya terjadi di bulan Ramadhan hingga Syawal pada penanggalan tahun Kabisat. Maaf-memaafkan pun tak hanya klaim orang-orang Timur saja. Spider-Man yang notabene orang bule, orang barat, orang asing, ternyata punya tabiat serupa. Dan, dalam Spider-Man, maaf menjadi unsur yang sangat penting. Ada tiga konflik yang terjadi diselesaikan dengan maaf. Konflik antara Henry Obsourne alias The New Goblin dengan Peter Parker alias Spider-Man, konflik antara Mary Jane dengan Peter Parker dan konflik antara Flint Marko alias Sand Man dengan Peter Parker alias Spider-Man diselesaikan dengan maaf. Hanya satu konflik yang tidak diselesaikan dengan maaf. Erick Brock Junior, photographer baru di tempat Parker bekerja, enggan memaafkan. Dia dendam sama Parker karena Parker membongkar rekayasa foto Spider-Man yang dia lakukan untuk beroleh tempat di mata orang lain. Adegan itu mengingatkan saya  pada foto sampul majalah Times yang menghebohkan di tahun 2004. Foto yang memuat gambar prajurit Amerika Serikat plus tentara Irak yang berperang ternyata hasil rekayasa belaka. Saya lupa nama juru gambarnya. Yang pasti, dikarenakan rekayasa gambar itu sang juru foto dikabarkan mati karir. Dia dipecat dari Times.

Karena itu, saya juga harus memberikan maaf kepada segenap pewujud Spider-Man 3—mulai dari sutradara, penyedia konsumsi, penata cahaya, boomer, penyiap kostum, pencatat skrip, bagian penyelia, penyeleksi aktor dan aktris, serta pekerja serabutan di seksi sibuk—bila ada kelemahan yang muncul di film yang berdurasi lebih dari 120 menit ini. Misalnya, adegan Spider-Man yang mampir ke bendera Amerika Serikat yang sedang berkibar-kibar di langit malam. Saya rasa, adegan tersebut terlalu berlebihan untuk tidak mengatakan sudah melampaui basi. Aksi heroisme yang mengambil pola seperti itu, menurut saya, sudah ketinggalan jaman. Adegan seperti itu, tak ubahnya dengan adegan Sly ketika menjadi Rambo 1, 2 dan 3 dan seterusnya bila ada produser yang berniat membiayai serta sutradara yang berniat menyutradarai pun para aktor serta kru. Berikutnya, ada juga adegan yang saya rasa terlampau hiperbola, untuk tak mengatakan tolol. Adegan itu terjadi di tahapan klimaks film Spider-Man 3. Saat itu, ditunjukkan bahwa Venom dan Sand Man menyandera Mary Jane di suatu lokasi bangunan gedung bertingkat yang masih berada dalam tahap pembangunan untuk memancing Spider-Man keluar. Polisi sudah berkumpul di tempat itu mencoba menyelamatkan Mary Jane. Tapi, gagal! Sebab Sand Man sudah berjaga di pintu masuk bangunan. Mobil-mobil polisi habis diterjang Sand Man. Apalagi polisi-polisinya yang sudah pasti tidak lebih berat dari bobot mobil. Anehnya, di tempat yang intensitas ancaman kematiannya tinggi, para warga sipil malah berkumpul. Dan, jumlahnya mencapai ratusan orang. Ini menimbulkan kegelian tersendiri bagi saya. Dalam nalar saya, sekalipun orang memiliki rasa ingin tahu yang besar, rasa ingin tahu itu akan hilang dengan sendirinya bila berhadapan dengan kondisi yang menyiratkan ancaman kematian mencapai 99 persen. Ini sama halnya dengan keinginan seorang konsumen yang memutuskan tidak naik pesawat low-cost carier dikarenakan seringnya kecelakaan terjadi pada pesawat jenis itu (meski pun di kemudian hari terbukti bahwa maskapai penerbangan nasional pun tak lolos dari yang namanya celaka. Meski begitu, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin menarik hikmat tersendiri dari peristiwa tersebut. Kurang lebih dia berkata: “Saya tidak akan menuntut apa-apa. Bagi saya itu merupakan cobaan dari Tuhan, agar saya lebih taqwa kepada Dia.” Untuk kebajikan ini, saya sepakat dengan Pak Din, sesungguhnya ada yang merencanakan segala peristiwa bagi mahluk pengisi dunia.). Lagi-lagi, saya tak menemukan alasan mengapa warga sipil di New York mengerubungi lokasi yang tingkat ancaman kematiannya begitu tinggi. Dari kelanjutan adegan, ternyata para warga yang berkumpul berfungsi untuk bertepuk tangan saja menyambut kedatangan Spider-Man. Mereka itu, bagi saya, ibarat massa yang berkumpul di lapangan bola mendengarkan orasi mimpi Indonesia dari peserta Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2005 yang hanya berteriak, bertepuk-tangan, lalu mendapatkan uang Rp50 ribu.

Menyitir kata-kata seorang filsuf terkenal sekaligus pedagang lontong di Arizona, Afrika Selatan, Mpok Mineh, “Yang namanya massa entuh pasti tak punya identitas.” Setelah saya pikir-pikir, ada betulnya juga Mpok Mineh, yang sesungguhnya bagi saya lebih nikmat lontongnya dari pada filsafatnya, juga perkataannya. Dalam tafsir saya yang mempergunakan kaidah ilmu abrakadabrasimsalabimhokuspokusalakazam-cuih, ‘…massa entuh pasti tak punya identitas’ berarti massa itu adalah orang-orang yang tak lagi sadar akan dirinya sendiri. Dan Peter Parker pun mengalami soal seperti ini. Ada semacam krisis identitas ketika seekor atau seorang atau sesisir atau sebuah atau suatu mahluk, katakanlah masuk ke dalam kejiwaannya. Ketika itu, Parker berubah menjadi massa. Identitasnya menghilang tak perlahan. Tiba-tiba saja dandanan Parker yang awalnya rapi berubah menjadi alternatif. Rambut yang tadinya disisir ke samping kiri sebelum kemasukan Venom bermetamorfosis menjadi dandanan ala gothic-alternatif-casual. Idiom ‘Don’t judge the book from the cover,’ yang lebih sering disalah-artikan menjadi ‘Dilarang Merokok di sembarang tempat dan kapan’ kandas. Seperti puisi yang tak bisa dilepaskan dari isi hati penyair, demikian juga dandanan pun berfungsi sebagai cermin kejiwaan subjek, entah itu subjek Habbermasism atau subjek Hobbesism (Dua orang yang menurut saya aneh. Di depan namanya sama-sama memakai huruf ‘H’, sedang diakhir memakai huruf ‘S’.)***. Karena itu, Mary Jane pun berkata, “Siapa kau? Aku tak mengenalmu lagi,” sesaat setelah Parker yang sudah teracun Venom mendorongnya hingga terjatuh. Seingat saya, film Spider-Man banyak bersentuhan dengan perkara identitas. Pada sekuel yang lalu, Spider-Man 2, pertanyaan yang muncul adalah di dalam batin Mary Jane adalah ‘Kau siapa Spider-Man?’ terjawab dengan terbukanya topeng Spider-Man di dalam kereta api. Di sekuel lanjutan, pertanyaan tersebut berubah menjadi ‘Siapa kau?’ alias ‘Who are you?’ Karena itu, Parker tersadar. Dia sudah berubah menjadi liyan alias yang lain alias the other alias siape sih lu… Dan dia, entah dengan cara yang bagaimana tiba di menara gereja pada malam hari, bukan untuk beribadat.

Di menara gereja, Parker merobek baju Spider-Man yang telah terinfeksi Venom. Dan, tentu saja dengan susah payah ibarat gajah yang hendak terbang, Peter Parker berhasil. Sayangnya, tepatnya, sialnya di lantai bawah menara ada Erick Brock Junior, kolega Parker di harian di kota New York yang ketahuan memanipulasi foto. Venom pun pindah merasuki Erick. Dan, sukses!!! Kadang-kadang, kebetulan itu suatu yang tak bisa dinalar. Tapi, kejadian Venom merasuki Erick Brock rasa-rasanya memang serupa dengan yang terjadi pada realitas. Seperti yang saya sebutkan tadi, ada hal-hal yang tidak diketahui sebabnya atau belum diketahui sebabnya atau … apa pun itu.

Tetapi, setelah melihat kelanjutan adegan, tampaknya kehadiran Venom sesungguhnya terlampau artifisial. Kehadiran Venom seperti alur penceritaan yang dipaksakan untuk menambah intensitas persoalan Spider-Man 3 yang berkutat di masalah identitas. Sebab, menurut penuturan seorang teman saya, Venom itu bukanlah mahluk yang muncul dari meteor yang jatuh. Tapi, buah beracun! Karena itu, saya pun mengaliaskan Venom dengan racun. Namun, apa pun yang dilakukan Sam Raimi sebagai screenwriter alias penabuh genderang (maaf, ini transliterasi yang salah!!!) Identitas hadir di dalam tokoh Peter Parker, Harry Osborne, Flint Marko dan Erick Brock Junior. Posisi antagonis mutlak dan protagonis mutlak sesungguhnya tidak ada. Luar biasa, mirip dengan kehidupan. Seorang yang dikenal bersih, misalnya saja Mulyana W Kusumah, ternyata divonis melakukan korupsi. Juga mantan menteri agama di jaman pemerintahan Megawati Soekarnoputri didakwa mengorupsi dana abadi haji. Namun, dikarenakan film yang dibintangi Toby Maguire ini bertajuk ‘Spider-Man 3’ maka mau tak mau tokoh protagonis harus diarahakan pada Peter Parker. Saya rasa ini hal yang wajar, apa lagi bila mengingat film laba-laba jagoan, kalau bisa saya katakan, ber-genre pahlawan. Dan bila begitu, tentu saja diperlukan lawan bagi pahlawan. Tetapi, ternyata tidak semua lawan dari pahlawan itu adalah musuh. Parker sudah membuktikannya, dan di dunia nyata sesungguhnya persoalan itu muncul dalam politik. Pembuktiannya, di panggung politik dikenal semboyan: Tidak ada musuh abadi, yang ada kepentingan abadi. Jika sudah demikian, persoalan politik pasti bermuara pada kepentingan abadi, yang menurut saya, bagi orang beragama kepentingan abadi tentunya masuk surga. Tapi, dari tingkah pola para politik di negeri kepulauan dengan pulau-pulau terluarnya yang botak ini saya tidak yakin ada politikus yang memiliki kepentingan abadi untuk masuk surga. Ya, apa pun kepentingannya, menurut saya, politikus sudah masuk dalam konstelasi film Spider-Man 3 yang menghasilkan proposisi: Anda hanya bisa mempercayai apa yang bisa Anda percayai dan Anda hanya bisa meminta bantuan kepada yang Anda percaya dapat memberi bantuan. Oh, Mary Jane betapa bijaknya perkataanmu di paragraph lima risalah ini. Dan, Harry membuktikan kebenaran ucapan Mary Jane. Harry membantu Spider-Man menyelamatkan Mary Jane yang disandera Venom dan Sand Man, meskipun untuk itu Harry harus mati. Bukankah kematian selalu mewarnai cerita kepahlawanan? Sekalipun yang mati belum tentu dianggap pahlawan, juga yang hidup. Sedang yang dinamakan lawan, tak pernah berpikir jadi pahlawan. Sulit, tapi saya salut dengan akting Toby Maguire yang mampu menampilkan dua karakter, baik dan jahat!   

[Deif-Feil]

* Saya tidak tahu apakah memang ada sindrom narsis dalam ilmu kejiwaan. Sebutan sindrom narsis saya berikan karena fakta di dalam film. Saat Peter Parker sudah berubah jadi Spider-Man, dia berkata, “They love me,” terperangah melihat sekumpulan massa, mulai dari bocah hingga bau tanah mengelu-elukan namanya. Padahal, di saat Peter Parker menjadi Peter Parker, tak sekalipun kata-kata seperti itu terucap dari mulut Tobey Maguire.

** Untuk yang ini saya hanya iseng saja. Maaf.

 

*** Subjek Habbermasism adalah subjek-subjek yang mendasarkan diri pada pembentukan konsensus baru untuk mengatasi kerancuan yang lebih besar yang bisa ditimbulkan oleh era postmodernism. Asumsi yang mendasari subjek Habbermasism adalah posisi manusia sederajat dan sama-sama memiliki kemampuan bernalar yang sehat juga ideal. Sedang subjek Hobbesism adalah subjek-subjek yang mendasarkan diri pada besar-kecilnya kekuatan yang dimiliki. Asumsi yang mendasari subjek Hobbesism adalah hakikat manusia sebagai serigala bagi yang lainnya.

 

No comments:

Post a Comment