Tuesday, 8 May 2007
Two Tales | Kealamiahan Yang Menggangu Atau Mengganggu Kealamiahan-From Deif-feil to S.B.J, A(-)gree(d) PollyThick Immaculated
Bayangkan keadaan sebuah kota yang demikian. Permukiman padat, dengan
utilitas semrawut-kabel listrik dan telepon berdesakan berebut ruang
bersama atap dan jemuran di lantai dua rumah kayu dan tembok yang
menyisakan sedikit pandangan ke arah langit. Dibawahnya jalan
kecil bertutup aspal hotmix proyek MHT dengan genangan air sisa hujan
kemarin yang tidak bisa mengalir kemana-mana. Di sisi kiri-kanannya
selokan yang ditutup papan tempat parkir motor, pot kembang dari kaleng
dengan tanaman setengah hidup dan tempat sampah besar berwarna kuning
yang begitu sesak oleh sampah. Tembok-tembok di sepanjang jalan kecil
yang mengecil ini dipenuhi poster, mulai dari kampanye Pilkada, poster
proyek terbaru penanggulangan kemiskinan, poster suami siaga, poster
posyandu, pengumuman tabligh akbar dan poster orang kehilangan kakek.
Ditempat ini sebagian besar ’kaum miskin urban’ lebih tepatnya ’kaum
miskin migran’ berdiam. Suasananya mengasyikan, kumuh, kotor, pengap,
bising. Begitu berdegup. Begitu berkeringat. Begitu ada kesempatan
mereka yang tinggal disini secepatnya pindah ke lokasi lain. Mentas.
Sebelumnya di desa mereka kebingungan melakukan apa. Hampir tak ada
yang dapat dikerjakan dengan pendidikan dan pengetahuan yang mereka
miliki-dan tuntutan dari orang tua yang menyekolahkan mereka agar pergi
ke kota, mencari penghidupan yang lebih baik, yang tidak bersandar pada
mengolah alam dan tanah yang masih luas namun bukan milik mereka. Dan
sisa tanah yang cuma sedikit yang dimiliki mereka, harus dibagi
diantara keluarga mereka sendiri yang tidak bisa pergi ke kota. Untuk
mentas.
Di kota mereka bekerja apa saja, serabutan. Bertahan hidup. Lebih
beruntung bisa jadi buruh pabrik, pelayan supermarket, pembantu rumah
tangga. Sisanya kebingungan dan bekerja mengisi lowongan pekerjaan,
sambil bekerja apa saja, serabutan. Jadi kuli gali, kuli pasar, kuli
bangunan, pedagang kaki lima. Sebagian lagi tak beruntung, jadi
pemulung dan pengemis. Untuk mentas.
Sekarang keadaan berbalik. Desa mereka dibangun jalan aspal. Tanah yang
tadinya kosong dibangun perkebunan dan bisnis pertanian. Rumah-rumah
kaca berdampingan dengan rumah-rumah villa pemilik tanah. Sebagian
warga yang berhasil mentas di kota membangun rumah-rumah bergaya villa
dengan warna mencolok, biar terlihat perubahannya. Tanah pertanian itu
tetap luas, warga desa menjadi buruh industri pertanian baru-dengan
tanaman yang baru pertama kali mereka lihat-sebagian buruh tani juga di
datangkan dari desa-desa yang jauh, tenaga ahli pertanian datang bukan
dari desa mereka atau dari desa yang jauh. Desa mereka
berkembang anak muda tidak lagi bermimpi berangkat ke kota, yang
perempuan bekerja di rumah kaca, yang lelaki ngojek atau bekerja di
bisnis angkutan, menjadi supir angkot.
Di pusat kota, jalan sempit semakin banyak, penghuninya berganti.
Perumahan baru yang jauh dari pusat kota semakin banyak dan ramai.
Tempat tinggal kaum migran yang berhasil mentas. Dalam kurun waktu
sepuluh tahun (amatan penulis terhadap beberapa real estate yang mulai dibangun di tahun 1990-an dan nasibnya dt tahun 2007)
rumah-rumah bagus kaum migran tersebut direnovasi. Dari konsep tanpa
pagar, menjadi konsep pengembangan. Halaman menjadi ruang tamu. Garasi
menjadi kamar si sulung. Trotoar di depan menjadi tempat parkir. Ruang
terbuka hijau menjadi gardu jaga. Ruang sosial baru, untuk memastikan
wajah tetangga dan memberikan tanda kehidupan pada maling yang semakin
banyak dan semakin berani memasuki kompleks perumahan mereka. Yang di
gerbang depannya tertata tulisan besar-besar Pemulung Dilarang Masuk,
Mengemis dan Ngamen di hari Jumat.
***
Secara sosiologi urbanisme dipandang sebagai konsekuensi dari kegiatan
perkotaan yang dicirikan oleh kompetisi dan seleksi yang ketat. Yang
menyebabkan mobilitas, kecepatan, ketepatan menjadi utama. Hasilnya
lingkungan fisik perkotaan memfasiltasi ketiga hal tersebut,
kepentingan mobilitas, kepentingan kecepatan dan kepentingan ketepatan.
Semua mengacu pada sebuah konsep waktu. Di kota seolah waktu tak
banyak. Yang terjadi adalah kemacetan, kepadatan, dan kerawanan.
Paradoksnya.
Kealamiahan dari struktur kota menyebabkan karakter manusia dari
pembuat mimpi menjadi objek dari perkembangan kota. Dari manusia
sebagai agen perubah menjadi terpisah dari proses perencanaan
perubahan. Kompetisi dan seleksi selalu dimenangkan oleh yang kuat.
Atau yang banyak, itu sebuah kealamiahan. Yang kuat menentukan
bagaimana kota harus berkembang, yang banyak mencoba bertahan dalam
dunia yang membutuhkan mobilitas, kecepatan, dan ketepatan.
Hasilnya ruang kota memproduksi semangat kekuasaan, produksi,
eksploitasi terhadap ruangnya sendiri. Mengesampingkan yang
dipersepsikan diam seperti sumberdaya alam, flora-fauna,
sumberdaya air, sumberdaya tanah, sumberdaya iklim, dan udara bersih.
Kota kemudian mereproduksinya menjadi permasalahan kota: kemiskinan
manusia. Pemisahan kebutuhan manusia dari kebutuhan daya dukungnya,
ternyata hanya menjadikan manusia semakin miskin.
Urbanisme sekarang mulai berurusan dengan isu-isu yang tidak lagi
memisahkan antara alam dan kultur, kota dan desa, namun lebih fokus
pada ide-ide tentang bagaimana struktur, proses, dan permasalahan
diperhitungkan untuk keseimbangan alam dan masyarakat penghuninya. Dan
bagaimana keseimbangan tersebut memberikan jaminan bagi dinamika dan
masa depan kehidupan.
***
Secara konseptual perdesaan dan perkotaan di Indonesia dibedakan dan
dicirikan sebagai berikut; Kawasan perdesaan adalah wilayah yang
mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya
alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan,
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Agropolitan mengambil konsep desa dengan memasukkan unsur urbanitas
yang dianggap penting terutama kenyamanan barang dan jasa publik
(public goods and services) dalam hal infrastruktur seperti
jalan, pelayanan administrasi, pasar dan moda transportasi, dll, setara
kota. Sedangkan menurut Friedman (1975) agropolitan memasukkan unsur
budaya urban yang bertujuan untuk memakmurkan desa, budaya urban yang
dimaksud adalah ukuran-ukuran rasionalitas. Diharapkan dengan
disuntikkannya budaya urban yang dianggap perlu kawasan perdesaaan akan
memodernkan dirinya, sesuai dengan hukum transformasi alamiah.
Sehingga kawasan agropolitan didefinisikan sebagai kawasan yang terdiri
atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai
sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu
yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki
keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
Dalam mewujudkan impiannya sebagai kota pertanian yang lebih ramah dan
rasional, agropolitan memiliki prasyarat utama yang harus dipenuhi
yaitu menciptakan suatu kondisi yang dapat menjamin keuntungan
dari individu atau keluarga yang bisa melampaui kebutuhan untuk
melakukan konsumsi pada saat sekarang. Sebuah rasionalitas yang
sesungguhnya milik semua manusia yang tinggal di desa dan kota.
Menurut Galjart (1975), petani sebenarnya tidak lebih altruistik dari
yang lain. Mereka bersedia berkorban apabila keuntungannya dapat
mereka peroleh, termasuk juga dalam pengembangan lahan-lahan milik
komunitas yang akan menghasilkan keuntungan bersama.
Untuk memastikan keuntungan tersebut dalam jangka panjang maka
dipandang perlu membuat sebuah skenario dimana masyarakat diajak
berpartisipasi dalam membangun sistem agropolitan mulai dari
perencanaan. Hal ini bisa dilakukan jika desentralisasi dilakukan
(secara politik dan administratif). Dan otonomi desa menjadi landasan
pijak bagi perubahan paradigma pembangunan yang berimbang antara desa
kota.
[namun ada aturan baru “bagaimana mengurus hal desa” yang isinya
berpotensi campur tangan pemerintah (terdekat Pemda Kabupaten) tetap
berkelanjutan ke bidang-bidang yang termasuk wewenang desa-Sayogyo,
2003).
***
Agropolonia, demikian sebuah kota kecil dengan sebutan kota Seribu
Obat. Penduduknya bersih, dengan lingkungan yang sehat, berbagai
tanaman tidak cuma berwarna hijau seperti merambat di setiap pandangan
mata. Berbagai kesibukan yang terlihat seperti sendirian saja, tidak
bising, cuma gerakan-gerakan lincah dengan wajah ceria penduduknya. Di
batas pandangan ada biru bangunan pabrik, dimana hasil bumi siap
diproses dan diantar ke kota-kota tetangga. Di sebelah pabrik cuma biru
jernih air danau dengan bangku-bangku taman, ayunan, rumah warna-warni,
dan dermaga kecil tempat pemancingan, dihuni oleh sayup senyap
kelincahan anak-anak yang bermain melepas waktu belajarnya.
Di Agropolonia semua penduduk memiliki mimpi yang sama. Masa depan
kehidupan mereka. Disini setiap orang suka permainan, sehingga
bentuk-bentuk rumah, tempat kerja, pakaian, pabrik, koridor jalan yang
ada lebih banyak didedikasikan untuk kemudahan dibandingkan kerumitan.
Mereka percaya permainan itu memperpanjang umur, dan kemudahan adalah
tujuan-tujuan hidup sesungguhnya.
Sebagai pelancong kau akan diajak bercengkrama dan berjalan-jalan di
alam impian para penduduk, tentang bagaimana Kota ini dibangun, lebih
tepatnya diimajinasikan. Segolongan tua penduduk Kota ini adalah para
mantan profesor di Kota Besar, sebagian lagi veteran perang di negeri
yang tidak pernah memiliki musuh-mereka berperang hanya karena membela
kepercayaan bahwa di bagian bumi lain masih ada yang mesti dibela,
lantaran perang menyebabkan anak-anak tidak memiliki permainan dan para
orang tua bahkan tak sempat minum teh bersama tetangga. Populasi
terbanyak justru para petani, profesi yang dilakoni nenek moyang para
profesor dan veteran tentara, cucu mereka cuma anak biasa. Bukan anak
tentara atau anak sekolahan. Mereka bermain bersama.
Jika beruntung maka diceritakanlah tentang bagaimana sebuah kota
imajinasi ini terbangun, yang menurut cerita cuma disebabkan oleh
kesadaran penduduknya, yang mengatur para penguasa untuk taklid pada
kehendak bumi. Penguasa tersebut ada di desa-desa yang membentuk kota
ini. Desa-desa itu dihubungkan oleh jalan-jalan batu yang bersih dengan
selokan yang dalam dan berair jernih. Cerita tentang kejadian
Agropolonia ini dipahami benar oleh sebagian penduduk. Cerita itu
seperti keseharian, mungkin seperti basa-basi yang asyik, tapi cerita
itu sungguh hidup dan sederhana, tidak terlalu ruwet. Sebagian besar
penduduk malah percaya cerita itu tidak pernah ada sebelumnya. Jika
saja tidak pernah ada yang bertanya tentang asal usul Agropolinia, maka
tidak ada cerita. Singkatnya, mereka percaya cerita itu lahir ketika
mereka bekerja, cerita itu terangkai ketika mereka istirahat kerja,
cerita itu tak usai lantaran mereka masih bekerja. Dan tujuan mereka
bekerja sama persis dengan permainan, untuk kemudahan.
Agropolinia berhasil menyegarkan pemikiran tentang fungsi kehidupan,
membangun untuk kemudahan, kenyamanan dan masa depan anak-anak mereka.
Kesegaran ini ciptaan mereka, apa yang bisa diimpikan bersama maka itu
ada. Bersama mereka wujudkan. Di desa-desa yang membentuk
kota-Agropolonia kontras dengan tetangganya Kota Besar dimana identitas
ditandai dengan mulut yang berbusa-busa, yang sulit berdamai dengan
tujuan-tujuan sebuah perjumpaan: kepercayaan.
Agropolonia sebuah desa-desa yang menyatu menjadi kota. Bukan karena
besaran spasial, populasi, atau fasilitasnya. Namun karena peradaban
tinggi mereka yang larut bersenyawa dengan ideologi, sarana dan
prasarana yang mereka bangun. Disini jaminan kepastian akan hidup yang
terus berkembang tidak dibenturkan dengan nostalgia klangenan, yang
membuat hidup seperti sebuah mummy atau lukisan antik berusia
ratusan tahun, namun tak bernyawa. Di Agropolonia semuanya hidup,
bergerak dan menyegarkan dirinya sendiri. Ada mekanisme internal yang
menyuburkan penduduknya untuk percaya bahwa perubahan itu bersyarat;
ramah pada bumi maka setiap perubahan yang dilakukan pastilah
menguntungkan untuk semua. Termasuk para pelancong yang ingin berdiam
dan tinggal lebih lama.
***
Dulu, di Yunani Kota-Polis adalah sumber peradaban, cirinya adanya
ruang publik untuk mengartikulasikan berbagai kepentingan dan
mengkontetasikannya dalam keriuhan argumentasi. Kota adalah simbol
kemenangan-VINI, VIDI, VICI. Kota juga merupakan sumber pemutlakan
spiritual, memasuki Athena konon harus membungkuk kearah matahari
terbit-dan menghormati patung Dewa-Dewi, kota memiliki keyakinan teguh
untuk bertahan dalam berbagai benturan budaya, dengan demikian kota
membutuhkan Identitas-sebuah kepastian pembeda. Di Yunani taman-taman,
bangunan beratap terbuka dimana kesenian dipertunjukkan menjadi
ciri kota-kota yang kemudian jadi alat ukur perkembangan peradaban
manusia.
Masih jaman dulu, di Cina kota-kota merupakan pusat kekuasaan. Maka
dibangunlah benteng-benteng, dan barak tentara, di sekelilingnya. Kota
juga menjadi pusat spritual dengan dibangunnya kuil-kuil yang besar
sebagai pelayanan, sekaligus Identitas keyakinan sang
kaisar. Kuil yang demikian besar akan menggetarkan
siapapun yang memasukinya. Dan siapapun menunduk dan bersujud
ketika Sang Kaisar masuk. Kota juga menyediakan lapangan besar untuk
perayaan agung, terutama perayaan kematian-dimana pemberontak akan
dihukum di depan publik sebagai bentuk teror mental. Kota-kota di Cina
dicirikan dengan banyaknya pasar rakyat (bazaar), dimana sebuah kota
dianggap berkembang pesat dilihat dari banyaknya pelancong yang datang
dan bertransaksi.
Di Arab, sejarah kota baru ditulis sekitar tahun 1200-an, Ibnu Khaldun
mulai menuliskan sejarah kota-kota di Arab dan Andalusia. Kota
dicirikan sebagai pusat kekuasaan dan perdagangan. Peradaban kota
ditentukan oleh perpustakaan, madrasah, dan pelayanan penginapan,
semakin baik pelayanan yang diberikan oleh perpustakaan, madrasah, dan
penginapan maka semakin banyak kota tersebut akan dikunjungi. Kota juga
tempat pemusatan spiritual dimana masjid sebagai pusat publik dibangun
sebesar dan seindah mungkin, di masjid tempat pemimpin ditanya
setiap hari Jumat. Kota-kota di Spanyol, di jaman 9-11 Masehi
dipenuhi oleh taman-taman tempat bercengkarama, dan sebagai ruang
sosial taman-taman ini telah menghasilkan berbagai karya tulis dari
penyair-penyair besar Arab. Di Spanyol fasilitas taman (ruang terbuka
hijau) pada jaman itu salah satu dari tolok ukur kenyamanan kota.
Pasca pencerahan dan Revolusi Industri kota-kota merupakan mesin
produksi. Sampai sekarang. Sebagai mesin produksi kota-kota
membutuhkan koloni-koloni untuk bahan bakunya. Di koloni baru tersebut
(yang akhirnya disebut dunia ketiga) desa-desa dipaksa menjadi
kota-kota koloni, dan kehilangan Identitasnya. Kota-kota besar menjadi
pusat pemerintahan kolonial. Dan bangunan paling besar dan banyak
dikerjakan adalah gudang, pelabuhan, penjara dan barak tentara. Pasar
dalam pengertian sejatinya tidak pernah ada.
***
Desa, konon dari berbagai hikayat cuma menyisakan keheningan yang memesonakan
desa, konon lagi, tempat tinggal pahlawan tak bernama dan para empu yang membangun keajaiban artifak di kota-kota.
weedee SeeNow
Labels:
urban
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Bicara soal kota aku jadi teringat masa Hominid hidup berpindah. Nomaden. Berpuluh ribu tahun kemudian, evolusi Hominid yang menghasilkan Pithecantropus menjadikan cara hidup nomaden berubah menjadi menetap. Ternyata, sebagaimana kehidupan yang tak lepas dari masalah, hidup menetap pun menyimpan masalah. Secara spekulatif saya melihat ada perubahan perpindahan tempat menjadi penataan tempat atau malah tepatnya menggerakkan tempat. Ketika hidup tak lagi berpindah, maka sebagai konsekuensi (bersifat spekulatif) tempat itu-lah yang harus mengalami perubahan atau perpindahan. Bila dikaitkan dengan materialisme ruang dan waktu, jelas bahwa perubahan ruang akan berdampak pada perubahan waktu.
ReplyDeletePerubahan pola kehidupan dari nomaden menjadi modern alias menetap ternyata berkaitan dengan niaga dan kuasa. Adanya niaga dan kuasa membuktikan adanya komunitas. Di dalam komunitas ada kompetisi dan koperasi. Kompetisi dan koperasi di dalam komunitaslah yang menjadi penyebab pergerakan tempat dari penamaan desa menuju kota.
Dari sudut evolusi, perubahan desa menjadi kota entah itu metropolitan dan megalopolitan adalah wajar. Ini tuntutan evolusi yang tak jauh beda dengan evolusi mammoth menjadi gajah sumatera atau afrika. Namun, serupa dengan evolusi yang terjadi pada manusia, kasarnya dari kera menjadi manusia, evolusi tempat pun tampaknya punya kelemahan, yakni ketiadaan tujuan. Ini hanya dugaan saya saja yang lahir dari pendekatan evolutif (dan tentu saja ada pendekatan lain yang lebih menawarkan jawaban. Tapi, untuk sementara ditunda dahulu.) Apa yang menjadi tujuan dari evolusi kera menjadi manusia? Apakah kehidupan lebih baik atau tidak? Apakah kesempurnaan? Demikian juga dengan apakah tujuan evolusi dari desa menjadi kota? Apakah menuju pada kehidupan yang lebih baik? Tampaknya, soal ini bisa masuk dalam perdebatan filosofis. Atau, sebenarnya kita terjebak dalam suatu metafora. Kota adalah sebutan untuk suatu tempat yang terus mengalami pertumbuhan tanpa kita ketahui secara pasti seperti apa akhirnya. (Alternatif: Kealamiahan Yang Mengganggu)
Dari sisi 'Mengganggu Kealamiahan', tampak cenderung mendekatkan diri pada humanisme. Pertumbuhan yang merujuk pada pemerataan. Instrumen terpenting dalam hal ini bukanlah hukum alam, melainkan etika, institusi pemerintah. Kaitannya erat pada pertentangan ideologi niaga, kapitalisme atau sosialisme. Muaranya: mengendalikan nafsu serakah manusia! Instrumennya jelas jatuh pada soal politis.
[Deif-Feil]
nothing but PollyThick ( POLLY somebody who have unvariably or unrealistic optismist, character) (THICK slow to understand)
ReplyDeletePOLLITICALLY CORRECT
pro growth, pro poor, pro job
DRAMATICALLY COLLAPSE
(cape deh)