Saturday, 30 December 2006

Puisi Filantropi



Keacuhan mengambil bentuk lain ketika telah terjadi reproduksi makna dari sebuah proses modernisasi. Ikatan kebertetanggaan menjadi ikatan yang dilandasi habitasi-profesi. Budaya kota sebagaimana modernisasi mengambil bentuk lain seperti informalitas menjadi organisasi formal, asosisasi sukarela diturunkan oleh kapitalisme melalui lembaga filantropis mereka. Sesungguhnya reproduksi nilai tersebut telah memproduksi sebuah pemahaman baru tentang kerja-kerja kolaborasi sosial.

Apa yang dipahami sebagai social intercourse memang menempati ruang otonominya sendiri, namun kerinduan untuk bertemu tatap muka dengan orang yang sama yang bukan klien, bukan pelanggan, bukan atasan dan bukan rekanan bisnis tetap hadir-setidaknya di kepala kawan-kawan yang memiliki satu hobby atau kawan lama. Kebutuhan seperti ini niscaya menempati setiap orang yang sadar bahwa hidup perlu jeda, tertawa dan memparodikan diri sendiri.

Puisi menempati ruang sukarela, kedermawanan kepada siapa saja yang betah melakukan kritik diri. Semangat kebebasannya setidaknya secara longgar dapat ditafsirkan sebagai sebuah oase bagi pengelana yang kelelahan.

***

Troubadour abad kita (di Indonesia) lahir, menempati ruang-merdeka. Kelas yang mengaku terdidik namun centil, ragu dalam bertindak, dan takut dengan ukuran-ukuran kualitas karena masih terkesima oleh demagog di bangku-bangku kuliah. Terkadang sangat manja. Ujungnya cuma ingin menyatakan dengan kenes ’aku mau uangmu’. Puisi filantropi hadir karena kegenitan yang sama. Lepas kerja puisi filantropi ini menghiasi kafe, jalanan macet, kaki lima, happening art sebuah simposium anti kapitalis, dan malam anugrah kesenian yang berhadiah jutaan atau piala sekelas RT. Kelas demagog barupun tercipta. Raksasa perusahaan dengan tampilan well educated person yang menempati bangku very important person, pada jamuan tunggal memperingati kelahiran maestro seni atau malam tujuh belas Agustusan. Disini puisi mendapat tempat seperti kebutuhan primer mengalahkan menu makan malam.

Puisi filantropi campuran yang cair dari idealita sepenggal dan hiburan slapstic, opera sabun, generasi tontonan iklan, campur sari genjotan libido dalam lanskap kemiskinan. Pengaburan dari ketidakberdayaan yang mengungkung. Produk gagal dari cetakan bernama sekolahan. Dan sebagai produk gagal tentu berdiskon tinggi, murah, namun jika dibagi gratisan merek perusahaan yang dermawan tetap dilabelkan. Alumni Akademia Fiksi. Bergelar honoris causa yang hampir muskil untuk dijelaskan jika dihubungkan dengan hidup sebenarnya dan capaian pengetahuan.

Kolaborasi kata dalam bait demi bait puisi filantropi, menyuguhkan keharuan layaknya bencana, merah jambu bagai remaja, gertak tajam demonstran bayaran. Gerakan kata-kata di dalamnya lebih menyerupai kolase, cuplikan dari pecahan-pecahan bacaan. Tak lengkap namun cukuplah sebagai sebuah simulasi emosi dari beragam referensi. Ada kebahagiaan, ada kejutan, ada ketakutan, ada kesedihan, ada kemarahan, ada rasa jijik. Emosi yang nampak seringkali hanya sampai pada citraan pembaca bukan pada isi bacaan yang seharusnya menjadi takaran.

Puisi filantropi tidak lahir dari perenungan dalam di puncak gunung, tapi lahir dari keramaian kesempatan dan peluang. Kadang kebuntuan deadline terpecahkan. Uang. Bukan disiplin layaknya misionaris. Gengsi bukan kebutuhan. Gaya hidup bukan karakter. Dengan demikian puisi filantropi sibuk mencari donor , layaknya multi level marketing maka multi level donor pun tercipta. Media kebudayaanpun butuh suntikan. Pada setiap ampulnya tetap dinyatakan independensi lembaga yang sekarat namun berusaha tegar tersenyum merah dadu. Puisi tetap hidup selama lembaga kebudayaan resipen tetap diinfus. Dalam social intercourse seperti ini kualitas, platform seni, digelontorkan oleh pelbagai media dan lembaga kebudayaan, disorongkan, diperdebatkan, sebuah simulakrum moral dalam memecah struktur ketimpangan budaya sesungguhnya. Karena suntikan, lembaga budaya seringkali mengalami obeysitas (kata rekaan penulis) sejenis ketaatan yang keterlaluan pada donor. Otentisitas karakter terabaikan, sebagai gantinya setiap kepala harus berisi kode moral universal, disahkan agar terlihat sesuai konvenan.

Puisi filantropi terbit sambil lalu. Ditakdirkan untuk ngepop, tergesa, informatif, dan menghibur. Perkara keabadian urusan belakang, karena gerak zaman tidak memusingkan kegelisahan kata. Jika dapat puisi filantropi dibacakan selebritas pada konser atau acara amal. Semangat membaca momentum seperti ini diturunkan dari konsep pasar. Pilihan pembaca (pendengar) dihadapkan pada kegagalan tampilan atau ketenaran empunya acara atau pada pengantar sampul atau pada pesanan resensi koran. Referensi lain tak sempat lekat karena well educated person hanya citraan dari duplikasi. Harus nampak terpelajar dan terdidik agar nampak berkelas. Kata-kata harus dicetak miring, dengan catatan kaki yang melimpah, kalau bisa isi dibuat membingungkan karena harus melihat ke pranala lain.

Puisi filantropi secara tak sadar hadir seketika. Kebiasaan. Puisi ini hadir dalam kemiskinan berbahasa. Sebagai sesuatu yang hadir dan lahir karena zamannya menghendaki demikian, maka puisi filantropi ini secara potensial mengalami ancaman kebangkrutan. Bukan cuma pada aset kata-katanya, namun secara ideologis akan mengacu melulu pada permasalahan dan perenungan dalam perspektif donor. Puisi (sebagai sebuah produksi) dalam tarian politik membutuhkan rujukan-rujukan, inter-relasi secara politik inilah yang dimaksud sebagai kepentingan ideologis. Alih-alih mengayakan jagad puisi, dialog para penggiatnya justru pada pengkutuban sanggar-kantong budaya (kelas kaki lima dan mahasiswa, atau kelas debutan berbakat) lengkap dengan ritual memitoskan don-nya. Kegigihan untuk menyampaikan pesan dari donor dermawan kepada khalayak umum menjadi misi utama.

Puisi filantropi layaknya ekonomi, memiliki kemampuan menyelewengkan, korup, ketergantungan, berutang pada donor. Pada hal-hal yang bukan milik kita. Posisi ini bukan anti ’asing’. Juga tidak dalam posisi berlawanan kau dan aku, kami dan kalian. Namun lebih dititikberatkan pada apa sesungguhnya yang menjadi harta bersama, bahasa. Kesanggupan untuk mempertahankan hak, melawan ketergantungan pada kuasa budaya lain, menjadi identitas sendiri, bahkan menjadi individualispun layak diperjuangkan. Puisi filantropi menganggap sepi idealisme macam ini.

Puisi filantropi begitu saja nongol, sekenanya, diagendakan, namun sulit juga untuk menyentuhnya dan meringkusnya sebagai subjek. Secara struktur kebahasaan masih harus didedah, namun motif dan tampilan luarlah-sebagai sebuah pertunjukkan-puisi filantropi ini jujur pada khalayak. Kejujuran ini sertamerta adalah bawaan kebaikan (limbah yang tidak dapat disembunyikan-good externallities) dari pekerja seni, khususnya penggiat puisi-disadari atau tidak. Kejujuran seperti ini efek samping kebiasaan yang didasarkan transaksi rutin, mode produksi puisi masa kini.

***

Filantropi menjadi metafora ketika realitas menulis penyair. Posisi penyair menulis peristiwa, tidak lagi metafora. Dalam kondisi kematian realita seperti ini filantropi ganti menjadi puisi. Realitas mati karena tidak ada kesinambungan antara masa lalu, masa kini dan masa depan, tentang awal dan akhir, hubungan sebab-akibat, semuanya terputus dari akal sehat karena ketiadaan kemungkinan yang bisa digali, ketakutan yang dikendalikan, seperti permainan curang dalam skenario judi yang adil. Satu-satunya pilihan menulis peristiwa, bukan metafora. Dongengan tulis yang menjadi jejak sejarah. Tokohnya fiktif, konteks ruang dan waktunya fiktif. Peristiwanya fakta, aktual, dan terus mengalir. Kata-kata dalam puisi menjadi nyata, intim, dan dapat disentuh, dikudap, digeret-geret dari ruang kerja sampai ruang tidur. Dengan demikian ia indah lantaran begitu hidup, sering mampir walau tidak dikenal, tiba-tiba familiar.

Filantropi menjadi puisi karena kemiskinan mengungkung kehidupan-kebebasan, ujaran-ajaran membeku di kepala menjadi dogma, kekayaan kata-kata dan budaya yang tidak dapat dijamah. Kasih manusia sama dengan rasa kasihan, iklan filantropi menciptakan pahlawan masa kini. Menjadi miskin lambat laun menyenangkan. Maka, kata-kata, budaya, dipungut dari pemberi dana. Dipas-paskan seolah kita pernah memilikinya. Kasatnya, filantropi menjadi puitis, begitu memesonakan. Kesukarelaan menjadi kewajiban. Puisi hadir seperti belas kasihan, meminta perhatian.

Puisi filantropi mencoba mengumpulkan semangat kolektif masyarakat, menyatukannya dengan kepentingan negara dan donor, hasilnya pengemis kolektif, di tingkat negara dan komunitas. Keduanya, baik negara dan komunitas menunduk pada kedermawanan perusahaan nasional, transnasional, multinasional, dan multi level donor. Bahkan pada perusahaan fiktif akal-akalan pengusaha negeri sendiri yang ingin mencuci uangnya. Modus ekonomi seadanya (subsistence), serba kekurangan (poverty), atau tergantung donor (donor driven) ini yang nampak pada kebanyakan penyair dalam berkesenian, namun belum tentu hadir dalam karya mereka yang terlampau nyata, perkasa.

Jika dalam ekonomi dikenal ungkapan ’underground economy’ dimana persoalan ekonomi langsung dilihat kejahatan pelaku (secara kriminal dan moral), maka puisi filantropi bekerja ’underground’ pula, bukan pada genre puisinya (struktur, bentuk, isi dan kejujuran ) namun pada potensinya (si pelaku-bukan karya) untuk mengkudeta bahasanya sendiri, ditahbiskan sebagai tafsiran realitas mayoritas. Perilaku ekonomi jenis ini, yang cuma berdagang sesuai pesanan donor, setidaknya membuat dunia puisi kelimpahan, seperti bantuan bencana, akankah dihadang keruwetan yang sama ? Sementara persoalan kemiskinan yang masih dan terus bertambah di Indonesia, bermetamorfosa menjadi metáfora. Sehingga sulit sekali percaya, adakah sebenarnya miskin dalam lanskap alam yang begitu kaya, budaya yang begitu berharta.

***
Secara magis kepercayaan tunduk pada ramalan masa depan. Publik seni yang secara pesimis dianggap berjarak (oleh kebanyakan seniman) dari proses berkesenian yang dipenuhi oleh imajinasi ternyata kecanduan pada metafora, mulai dari pemilihan presiden sampai meramal kebenaran kata-kata dari ramalan kuncen gunung berapi, penunggu pantai selatan dan imam rumah ibadah, konsultan asing, lembaga survei, media massa, pasar, cuaca, tentara, sampai infotainment. Bayangkan ramalan dari ramalan menjadi sebuah pekerjaan.

***

Masa depan selalu imaji. Imaji begitu dekat dengan keseharian publik seni kita. Masa depan adalah puisi. Puisi berurusan dengan akurasi dan temu kembali. Puisi secara sadar membuat akurasi imajinasi dengan mengekstraksi kandungan suatu citra, mulai dari sejarahnya, asal usul, kontur dan tekstur citra: kebanyakan diwakili kata-kata.

Mengibaratkan publik puisi (seni) berjarak dari posisi tidak memiliki kapasitas menafsirkan metafora jauh dari relevan. Penyair lebih baik memosisikan diri untuk menemukan kembali kritik diri. Tentang apa dan siapa dirinya. Bagian dari masyarakat yang gandrung imajinasi. Mendekatkan imajinasi puisi yang dibentuk oleh kesadaran diri-kritik diri dengan imajinasi yang dikaburkan menjadi halusinasi. Kemakmuran dari mengemis (baca: filantropi) adalah halusinasi. Secara patologis tak ada kekayaan dari kerja mengemis, tak ada harga diri, tak ada kebanggaan, tak ada kemanusiaan yang sejati hadir dalam transaksi penadahan tangan. Jika berkesenian nyemplung pada mode transaksi seperti ini apa yang bisa diharapkan dari konsep kritik diri, temu kembali kata-kata. Citra-citra menjadi ditentukan, kodenya jelas, seragam. Gagah boleh, tapi tetap tunduk kepada kuasa uang. Ujungnya tak ada kesesuaian antara pernyataan sikap di puisi dengan perbuatan.

***
Jika imajinasi menempati urusan spiritual menyangkut kepercayaan dan kemegahan. Dimana pencitraan spiritual sebegitu berharga. Maka berkesenian (puisi) dapat mencari kembali akar budaya kedermawanan dan kesukarelaan tanpa harus menadahkan tangan dan menghamba pada kuasa uang dan budaya. Citra spiritual sesungguhnya adalah hilangnya kemunafikan, dimulai dari cara bekerja dan bersahabat. Antara mencari uang dan berani membayar untuk sebuah korbanan, yang secara tegas dihubungkan dengan pengelolaan hak-hak dan kewajiban. Sehingga tanpa perlu menipu diri sendiri, puisi hadir bersama imajinasi masyarakat yang menginginkan perubahan yang berasal dan berhubungan langsung dengan spiritual mereka. Bukan imajinasi karitatif yang diusung puisi filantropi. Kemegahan capaian puisi yang hadir demikian adalah dengan kembalinya kedudukan moral pada posisi tepatnya, bukan pada metafora. Juga bukan pada puisi. Cuma ada dalam tindakan.



widhy | sinau

resep #2

Rating:★★★★
Category:Other
Hijrah itu seperti naik angkutan umum, kita menyetopnya dan bergerak ke tempat tujuan.
Urusan ada rintangan di jalan, adalah urusan belakangan. Yang utama adalah bergerak.

Kata-kata itu datang dari penjual kopi di sekitar stasiun Jatinegara. Betapa sulitnya untuk meninggalkan ‘kebiasaan lama’, berlaku buruk dan merugikan masyarakat. Betapa sulitnya. Di komunitas manapun baik yang kita sebut penjahat, maupun yang kita sebut orang baik, atau mediocre (yang penting hidup-makan, tidur, beranak pinak dan mati-soal prinsip tergantung selera pasar (bayangkan bahkan ada yang menghambakan dirinya pada negara) norma tetap ada. Dan norma selalu mengikat. Bahkan dalam komunitas punk yang melabelkan dirinya anarkipun ada norma-jangan membuat norma bagi orang lain- lakukan itu sebagai kewajiban bagi dirimu sendiri. Punk ternyata luar biasa, begitu penuh spritual. Entah punkers disini, itu saya dapat dari bacaan lama yang terselip di loakan yang dulu adalah bagian dari hidup saya—Haec demikian pedagang kopi itu bercerita.

Kopi bagi dia adalah melatih kesabaran dengan melayani, walaupun terkadang sulit juga melepaskan ego. Bahwa aku bukan pelayan, tapi pedagang. Ehm, tapi ternyata menjadi pedagang itu adalah pelayan. Puji Tuhan. Melayani bukan tugas ulama atau pendeta, namun juga setiap manusia.

Melepaskan diri dari norma lama yang begitu berkerak bukan main sulitnya. Dan ternyata begitu mudahnya ketika kita tidak lagi berpikir untuk takut. Takut ditinggal kawan, takut tidak dapat tempat di komunitas yang baru. Namun ternyata takut itu terbantah oleh ketentuan gerak. Bergerak adalah melawan takut. Jika ada yang bergerak menuju takut sesungguhnya ia tidak bergerak. Namun membayangkan dirinya sedang bergerak dan mengkhayalkan hal-hal yang mungkin menimpa dirinya. Sementara ketentuan bergerak adalah dunia nyata dan sekarang.

Hijrah akhirnya berurusan dengan menghilangkan takut. Rasa takut yang manusiawi itu, setelah hijrah akan ada lagi, tentu dengan bayangan takut yang lain. Tapi kita sudah naik kelas satu tingkat. Dan ternyata begitu lewat dari rasa takut pertama, kita ketagihan untuk melewati rasa takut kedua. Dulu saya menyebutnya sebagai menguji adrenalin. Sekarang saya cuma mengatakan inilah hidup-resep kopi yang bertujuan-bergerak dari rasa takut.

widhy | sinau



resep #1

Rating:★★★★
Category:Other
Sebut saja Haqi Baqi, ada yang istimewa dari kopi buatannya, kopi itu tersedia untuk siapa saja kapan saja dirumahnya. Minum kopi sambil mendengar cerita. Ya, mendengarkan. Cuma mendengarkan. Dari sumpah serapah, pinjam utang, dan bicara proyek. Di teras rumahnya, kopi dari berbagai daerah bisa terhidang. Menjamu tamu adalah mengundang rejeki, entah dibalas kapan dan oleh siapa. Kopi, biasanya jadi hidangan utama. Kopi seduh campuran keikhlasan dan rasa optimis. Sulit sekali menirukannya. Keihklasan yang tidak tangung-tanggung, jangan berprasangka terhadap siapapun. Itu senjatanya. Sekaligus doa.

Kehidupan yang diselubungi prasangka ternyata memang cuma melukai diri sendiri, sebelum ia sempat melukai orang lain. Prasangka, lebih cepat dari cahaya, lebih berbahaya dari senjata. Dalam pergaulan prasangka adalah lonceng kematian. Begitu kira-kira pesan yang ingin disampaikan Haqi Baqi tentang resep kopinya.

Sementara optimisme bagian dari racikan rahasia, sederhana saja. Pasrah setelah optimal berusaha. Tidak ada kebaikan yang lebih baik dari usaha. Gagal dan sukses adalah hasil yang bukan cuma satu pihak penentunya. Ada banyak orang yang membantu kita secara langsung dan tak langsung. Dalam seluruh aktivitas. Sedangkan usaha dan kerja adalah latihan untuk menguji setiap kemungkinan dan meningkatkan keahlian. Kerja kelompok dan soliter sama saja. Dalam kerja soliterpun secara tak langsungpun ada yang membantu kita. Karena pada dasarnya setiap transaksi adalah menyelesaikan persoalan atau pekerjaan yang kita tidak bisa kerjakan sendiri. Transaksi adalah ruang sosial, hubungan antar manusia. Bahkan ilmu ekonomi kontemporerpun dan ahli antropologi menjelaskan kesuksesan ekonomi sebuah bangsa dengan satu kata; kepercayaan. Jika ini terbangun maka modal ekonomi lain seperti finansial akan tercapai. Bukankah kepercayaan teraduk kental dalam racikan kopi tanpa prasangka dan sikap optimis.

widhy | sinau

Monday, 18 December 2006

tiga cerita

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Romance
Author:wm. ahmad
tak ada yang baru!
dari buku terbitan pustaka sinau ini, uniknya semua berkenaan dengan kebetulan! Mulai dari ide penerbitan sampai waktu penerbitan. Terimakasih untuk menjadikan buku ini sebagai langkah pertama penerbitan sinau. Terimakasih untuk waktu yang belum mengizinkan naskah lain terbit, terimakasih untuk semua yang bergegas, yang pupus dan yang menjadi masa depan, semuanya seakan seperti pemula, seperti dalam sajak pemula di kumpulan puisi ini,

***
pemula

Laut menatapmu seperti dirinya tumbuh dalam dirimu
Rupamu seperti rumah
Isinya melulu kesunyian yang membuat bahagia
Lalu suara-suara asing
Seperti biola saat pertama kali diketemukan
Dan gelombang yang penasaran pecah di batu karang
Suaranya cipratan cat yang dikuas teratur
Itukah kesederhanaan perasaan
Semuanya seakan seperti pemula

***

Buku ini lebih cocok jadi suvenir perkawinan dibandingkan jika dijual bebas, norak dan narcist. Bagaimana tidak, wong yang membuat buku dan menulis resensi ini adalah penulisnya sendiri.

Btw, kalau dijual harganya cuma 12.000 rupiah saja.

Katalog Dalam Terbitan (KDT) Perpustakaan Nasional RI

w.m. ahmad
tiga cerita
November 2006
ISBN 979-15449-0-5

60 halaman, 13.5 x 13,5 cm


1. tiga cerita 2. Puisi, Sastra 3. Indonesia
Judul



Cetakan pertama, November 2006

Penulis: w.m. ahmad
Rancang sampul: henricus ferdiansyah


Diterbitkan oleh:
kedai buku | sinau
jl. Bekasi Timur 1, No. 32A
Jakarta 13350
e-mail: kedai_sinau@yahoo.com





Sunday, 17 December 2006

benang magenta




berdua kita menatap laut
langit magenta mulai menetes
menggaris kelambu udara
kupakaikan pada tubuhmu
(jemarimu menganyam benang pemberian langit yang seusia dengan kita sore itu)

berdua kita menenggelamkan laut
dalam gulungan kertas
yang diikat benang magenta
tegak meski telah kuyup
(masih ada ruang tertutup tak lelah dimasuki doa yang barusan lahir setelah
peristiwa laki-laki dan perempuan ingin jadi sempurna)

Photo Album 2006-12-18

Wednesday, 6 December 2006

iseng: profil pengunjung versi penjaga



Hampir tiga tahun ini saya bekerja untuk kedai. Tentu saja sebagai pegawai. Saya ingat pada saat pertama kali saya ke kedai, waktu itu saya masih berstatus sebagi siswa SMA. Di sinau saya bertemu dengan banyak mahasiswa yang suka baca buku. Awal itulah yang membuat saya terjungkal pada belantara wacana pemikiran manusia tentang dunia. Pengaruh orang-orang dan para pendatang kedai inilah yang membuat saya belajar untuk mencintai buku. Dari pembeli akhirnya jadi penjual dan samapi saat ini pun begitu.
Interaksi yang terjadi pengunjung banyak memberi pengalamn yang unik pada diri saya, mulai dari peristiwa tragis sampai humoris. Mulai dari pembeli yang memborong buku banyak sampai kami disamperin maling. Bahkan sampai hal-hal yang bersifat subyektif seperti dapat sahabat baru, jaringan baru, dan mungkin pacar baru.
Para pembeli maupun yang hanya berkunjung saja ini dari berbagai kalangan. Mulai kalangan atas—yang mungkin nyasar, sampai kalangan nglesot—paling bawah, bahkan orang gila pun pernah. Mereka datang biasanya karena penasaran ini perpustakaan atau bukan dan tidak sedikit yang mengatakan sinau ini tempat yang unik walaupun begitu komentar kekurangannya lebih banyak, maklum pencitraan kedai sebagai toko buku kesannya memang kurang.
Setiap kedai buka ada saja anak SMA yang datang ke kedai—kebetulan tempatnya memang dekat SMA—setiap saya tanya kenapa mereka jam sembilan pagi sudah disini. Tentu saja memang mereka mbolos, kadang saya juga kurang nyaman dengan tindakan mereka juga. Tapi apa mau dikata mereka ke sinau juga baca buku dan kadang mereka membeli buku. Bukankah mereka disini juga belajar? Jangan kuatir saya tetap tegas ke mereka jika terlalu sering, kaitannya lebih pada nama baik Kedai Sinau.
Jika anda cangkruk pada sekitar jam tiga sore ke bawah di sinau. Anda akan dapat tontonan gratis model-model baju anak remaja khususnya cewek. Dengan tubuh bahenolnya mereka melintasi sinau dan tentu saja mengundang kejantanan kami untuk sesekali mensiuli. Jadi lokasi kedai memang berada tepat di jalur lalu lintas sebuah Mall yang berada di barat sinau. Sayangnya mereka tidak pernah masuk kedai, oh ya saya ingat salah satu dari mereka pernah masuk kedai untuk menanyakan: “Mas, jual pulsa?”
Kalo menurut data dan pengamatan saya yang datang kedai mayoritas tetap mahasiswa. Lebih spesifiknya mahasiswa yang senang baca buku serius. Bagaimana tidak la wong yang jaga sinau mukanya serius he..2.Anak-anak muda yang dengan seabreg wacananya kadang berdiskusi bareng dengan saya atau dengan teman-teman lain yang datang. Untuk acara puncaknya kami diskusi rutin setiap hari rabu malam alias malam kamis jam tujuh malam. Layaknya diskusi lain selalu berganti peserta tapi untungnya diskusi ini tetap bertahan. Ini juga berkat salah satu teman yang tetap konsisten datang membantu saya mengisi diskusi.
Masih soal diskusi tema-tema yang kami bahas biasanya soal-soal yang dekat dengan kami mulai harga krupuk sampai tatanan dunia dan sesekali nyrempet bahasan teologis—bisanya untuk humor saja. Kami ada satu teman yang selalu paling banyak ngomongnya di diskusi—ya karena dia yang jadi alasan teman-teman untuk datang. Namanya Santoso, dia keturunan Cina umur sekitar tiga puluh duaan yang punya istri jawa dan berprofesi sebagai hermes—maksudnya penterjemah. Dia kami juluki perpustakaan berjalan karena minatnya yang luas dan ingatannya yang cukup kuat. Kami sangat senang jika dia bercerita tentang suatu zaman atau uraiannya tentang teori pemikir tertentu dan yang lebih menarik jika dia mediskusikan teorinya sendiri. Banyak hal yang dia bicarakan bahkan otak saya saja tidak cukup menampungnya.
Kadang saya jadi detektif juga untuk para langganan yang selalu menyembunyikan identitasnya. Maklum lah siapa tahu dia intel sinau kan banyak jualan buku-buku kiri. Wajar saja kan kalo udah langganan menanyakan asal usulnya, kan ini lebih memperkuat hubungan kami dan menurut buku penjualan yang saya baca: urusan menjual sekarang bukan hanya urusan senyuman dan kerapian saja tapi juga urusan emosional. Strategi itu berhasil untuk langganan yang lain tapi tidak untuk orang satu ini. Walaupun begitu dia tetap beli buku di sinau dan setelah saya pikir asalkan dia tetap beli buku saya tidak peduli darimana asalnya meskipun dia malaikat. Hampir satu tahun dia menjadi langganan sampai pada hari apa gitu saya lupa, dompetnya tertinggal di kedai. Malam-malam dia telpon bahwa telah menerima musibah yaitu kehilangan dompet. Kontan saja saya ngomong bahwa dompetnya ada di saya, dia telpon sekitar jam sebelas malam pas saya lagi makan ketan di pasar. Langsung saja dia nyamperi saya padahal rumahnya sekita lima belas kilo dari temapt saya. Nah malam itu dia mulai buka buku bahwa dia baru mantan anggota DPRD Malang. Sekarang saya baru ngerti bahwa hidup di dunia poltik itu kurang nyaman, lha wong curiga terus ke orang.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya ceritakan tapi mungkin akan sangat membosankan karena saya bukan pencerita dan penulis yang baik. Kecuali ada sastrawan, ilmuwan, filosof, tukang klenik yang mau ngendon di kedai bisa menjadi pencerita yang baik dan saya terbuka untuk itu.

Aris | Sinau
Malang, 1 Desember 2006

PS: anak muda yang mengaku mahasiswa penggemar sastra dan gerakan sosial yang berdatangan ke sinau kebanyakan dari fakultas arsitektur, teknik sipil-mesin, dan filsafat stain, sisanya cangkrukan penggemar obrolan ngalor-ngidul dan kopi tanpa menyematkan gelar dan latar belakang pendidikan.