Tuesday, 29 August 2006

laki-laki yang tiba-tiba melankolis




dibawanya daun berbentuk hati. aku akan mengirisnya. jika tanpa sebab hujan tidak jadi.

dikunyahnya pula buah pala kering yang disangrai dan dicampur bako:
semoga ia terlihat cantik. kepalanya terasa menjadi tujuh.
masing-masing bagiannya berisi organ tubuh kekasih. ia berdoa aneh:
semoga kita menderita. kemanusiaan lebih dekat dengannya. sambil
membayangkan punggungnya dicambuk duri api. ia bersenandung: aku cuma
penyair gagal dengan berbagai pertanyaan bodoh tapi penting.



kegagalan seperti mimpi. cuma angan yang tak jadi berani. aku tenggelam
namun belum mati. berbagai pertanyaan bodoh tapi penting bergayut jadi
ranting, jadi getah, jadi sarang semut, jadi puisi. kegagalan seperti
puisi, tidak butuh nabi. dunia juga tidak berhenti, sebelum dan sesudah
ada puisi. dunia cuma kumpulan kode. kau tidak harus memecahkannya,
apalagi berteori.



usil sekali puisi dibuat seranjang dengan kopi. tak mungkin terlihat
manis bukan. apalagi sepagi ini kau sudah salah kostum. kita tidak
ingin pergi ke tempat perayaan. juga tidak ingin pergi ke kuburan. kita
cuma akan pergi berdua dengan balon udara, belajar takut dan mengerti
gravitasi. kita juga akan hancurkan awan dengan campuran garam,
sehingga pecah jadi hujan, kita cuma menghantar petir. kita tidak ingin
jadi nabi apalagi ahli berpuisi. setelah hujan kita bagi daun berbentuk
hati. sebab hujan kita buat sendiri. kita juga tak butuh pawang sayang.




(laki-laki yang tiba-tiba melankolis, hatinya merona rindu-seperti
puisinya yang seperti lembab sarang semut-dari ranting, dari getah
pepohonan tempat dia mencari rumah—dan sebab-sebab pertanyaan: apakah
perubahan ini baik atau buruk, apakah butuh teman jika ingin
bersendiri—apakah karya harus lahir dari kesunyian—sementara akal tak
usai mengejar berbagai pertanyaan bodoh tapi penting, lebih dari
selembar daun berbentuk hati yang lainkali ia namakan puisi yang gagal
jadi karena hujan tak kunjung tiba, dan kita gentar menaikkan balon
udara)



laki-laki yang tiba-tiba melankolis mengunyah-ngunyah buah pala yang
disangrai dan dicampur bako. menulis pada selembar daun berbentuk hati:
jika punya gigi tentu saja bisa sakit gigi, jangan tunjuk, merunduk,
dedahkan lagi kopi yang dicampur puisi. mungkin bisa hamil, toh ia
bukan betina atau jantan yang perlu ditata kemaluannya.



PS:

living is easy with eyes closed, misunderstanding all you see.

It's getting hard to be someone but it all works out, it doesn't matter much to me

strawberry fields forever |the beatles



widhy |sinau



foto: dvd tbg






Thursday, 24 August 2006

Candu!

Perlahan sekali, samar langkahmu mendekati aku yang sedang duduk
berselonjor di bawah pokok randu. Ketika itu, langit begitu hitam,
bertabur ramai serak suara serangga, di antara kepulan asap candu,
tidak ada bintang dan rembulan menghias kekelaman. Pelupuk sayu mataku,
mengikut hentak irama kakimu melangkah, perlahan sekali, serupa degup
serambi jantung di tubir sakratul maut.

Aku merasa engkau meniupkan sesuatu ke telinga aku. Tiupan yang
menjelma jadi ratusan uap-uap candu yang berkelakar di alam nalar,
meloncati alam imaji, menarikan warna radiasi dalam lanskap ingatan
yang penuh ratus kenangan infantil, hingga menelungkupkan diri,
terangkat, melayang, terbang, menuju kehilangan di langit yang begitu
hitam. Pokok randu, selamat tinggal. Kata-kata itu, aku keluarkan
melalui jutaan celah pori-pori di sekujur tubuh aku; sebab aku tak
mampu menetaskannya melalui bibir yang kelu, lewat bibir yang terlampau
banyak menabur serapah, pun sumpah. Ketika itu, aku mengingat kembali
apa yang engkau lakukan di telinga aku, setelah begitu perlahan engkau
melangkah. Keping ingatan dan kenangan yang cacat cuma mencatat, engkau
meniupkan sesuatu ke telinga aku.

Bersama ragam warna radiasi yang memenuhi setiap ceruk nalar, bentangan
imaji, kilas-kilat intuisi, aku merasa engkau tidak meniupkan sesuatu
ke telinga aku. Telinga aku yang memiliki gendang penyaring, bukanlah
lokus yang tepat untuk merasakan tiupan serupa salakan angin yang
begitu enggan bersalaman dengan diam. Tersebab idnera telingan,
bayangan kabur dalam kepala aku pun menggemakan  bunyi gempita:
Engkau berbicara. Sesungguhnya, meski pelupuk mataku sayu, pun padat
ragaku begitu rapuh, atau pijakan ringkih kedua belah kaki yang sudah
melampaui letih, aku masih sanggup berkira apa yang engkau lakukan di
telinga aku. Berkata! Atau, engkau meniupkan kata-kata, serupa aku
mengucap kata-kata "Pokok randu, selamat tinggal," melalui jutaan celah
pori-pori yang menghuni seluruh permukaan ari. Dalam tabung tubuh
menelungkup yang terangkat melayang menuju kehilangan di langit hitam
ini, aku mencoba kembali mengingat perkataan yang engkau tiupkan ke
telinga aku, sebelum kesia-siaan menjemput aku dengan satu tikaman,
tepat menghujam bidang payudaraku.

Aku mencari perkataan yang engkau ucapkan dalam relung ingatanku. Tapi,
segala upaya terbuai warna-warni radiasi dari gelinjang nalar pun
gejolak imajinasi yang melantakkan segala peka pada indra pelihat,
peraba, pendengar, penghirup, pengecap, meluruh hingga menghantam
gelombang jiwa gembala yang resah di padang sabana kelana, tapi tak
kunjung aku menemukan keping ingatan yang berisi perhiasan dari aksara
katamu. Ruhku semakin melayang bersama kepulan candu yang membubung,
menarik jiwa yang menggenggam mata, telinga, hidung, lidah dan selimut
kulit jangat yang menjuntai tipis seuntai, menuju kehilangan pada
kegelapan yang samar-samar menyanyikan nur bergemerlapan di kelindan
ranah kekacauan abadi.

Di ranah kekacauan abadi, kelindan jasad dan jiwa selalu bergelut,
bergumul, saling memagut, terkadang menunduk, sampai akhirnya pandu ruh
mengambil tahta berbicara. Aku memutuskan meloncat meninggalkan segala
menuju keheningan, ketiadaan, kekosongan, seragam dengan limpah
kepenuhan yang selalu mengucur meski perlahan serupa irama langkah
engkau yang mendekati aku yang sedang bermabuk ribuan candu.



[Deif Feil]

Monday, 14 August 2006

Tak ada kata kembali. Sementara terang segala benda, mewujud sesuai dengan esensinya. Sempurna.


Anjing jadi kamu, jadi aku. Berubah jadi apa yang kita telah lihat
sebelumnya. Sebelum datang kamu, anjing seperti anjing. Setelahnya
anjing seperti aku. Lucunya aku seperti kamu. Kita menamakannya doggy
style. Sementara anjing sesungguhnya menamakannya ‘sebelum ada kamu’.
Sebelum ada kamu, anjing biasa saja, tak tahu dirinya anjing. Setelah
kau rawat, anjing merasa harus setia, penuh komitmen, menjaga harta
benda, dan tahu diri: hanya anjing. Sebelum ada kamu kematian biasa
saja rasanya, setelahnya kematian begitu menakutkan, mengiba,
berkaing-kaing. Sepertinya anjing tetap anjing, sementara kau dan aku
dapat bertukar tempat. Siapa kamu mempertanyakan kedirianku, membelahku
seperti si buruk rupa. Sementara setiap kali kita bertemu wajah kita
tertukar. Kau persis sepertiku, seperti anjing. Sebelum ada kau dan
aku, anjing tak seperti kita. Sekarang kita bertiga sering bertukar
kata, gerak dan wajah.  Lalu kita menikmatinya, lalu kita
menamainya, lalu kita mengencinginya, lalu kita menguasainya, lalu kita
memperebutkannya, lalu kita melolong bersama, lalu kita memagari diri
kita, lalu kita membuatnya seakan-akan semuanya abadi. Kita bertiga
dalam terang tak berjasad, wujud kita seperti apa tak ada yang tahu.
Sebelum ada kita berdua, anjing merasa dirinya anjing, tentu tidak sama
dengan kita berdua. Sampai kita menera muka pintu rumah kita: awas ada
anjing galak.



widhy |sinau 

Friday, 11 August 2006

Ghibah, Lumpur Panas dan Uang Logam

Kali ini, kita bicara serius. Tentunya setelah (kalau aku tidak salah)
Majelis Ulama Indonesia (MUI), menetapkan infotainment itu termasuk
ghibah. Haram. Dosa. Dan, hasil akhir yang tak terbantahkan (mungkin
juga diperdebatkan), neraka!



Seorang teman mengajukan penawaran kepada saya, "Maukah engkau mengetahui bagaimana caranya menyatukan dosa dengan ibadah?"

Mendengar penawaran itu, terus terang aku terkaget-kaget luar biasa.
Aku pun lantas bersuara dengan (mungkin) seribu tanda seru, "Itu tidak
mungkin!!! (perwakilan dari seribu tanda seru)" Lalu, dengan penuh
kepahaman, aku menjelaskan bahwa dosa tidak mungkin menyatu dengan
ibadah. Saat seorang melakukan dosa, maka adalah mustahil pada saat itu
juga ia melakukan ibadah. "Secara intuitif pun kau sebenarnya mampu
membedakan hal itu." sergah aku kepadanya.

Saat aku sedang asyik-asyiknya menguraikan bantahan, tiba-tiba, muncul
seorang entah dari mana. Seorang itu bergumam. "Apakah mungkin seperti
sekeping uang logam?"  Berulang-ulang. Dan, kami terdiam. Menatap
ke arah si penggumam.



Apa sebab Israel menggempur Lebanon? Lalu, mengapa pula Israel
bersikeras melakukan hal itu; padahal banyak negara yang menghendaki
serangan tersebut dihentikan? Mungkinkah hal itu berhubungan dengan
jumlah sepeda motor yang semakin meningkat di Jakarta? Atau, terkait
dengan pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang akan datang? Rasanya,
seperti membaca sebuah buku yang tak lengkap dan tak jelas. Entah
karena pengarangnya yang rada kurang, atau pembacanya memang kelewat
lambat. Tapi, rasanya semua sudah jelas. Ada apa dibalik penghakiman
Saddam Husein? Atau, kenapa pula Fidel Castro harus sakit? Kapan
manusia bisa pindah ke Mars? Ah, Banjir Kanal Timur (BKT) saja butuh
waktu sampai 2008. Terus buat apa ada Mahkamah Agung? Atau, buat apa
pula Bagir Manan?



Saat ini, lumpur panas dari sumur Lapindo Brantas Inc masih terus
meluncur, mencari permukaan yang baru. Dan, aku mengetik tulisan ini
dimulai dari fatwa. Ghibah! Haram! Mungkin, uang logam!



[Deif-Feil]

Monday, 7 August 2006

sakit yang berpengalaman



Walau belum bulat benar namun setiap titik telah menyatu dengan rasa
dan logika masa depan yang melempar setiap persoalan pada mesin
pemecahan masalah sebelah kiri dan kanan otak mencoba memahami gerak
setiap yang lewat untuk dijadikan catatan penutup yang akan dibacakan
saat reuni atau selesai shalat dalam lingkaran konsentrasi yang
diserang kantuk yang bosan rutinitas dan ingin menghambur keluar
berlarian di jalanan yang sudah tidak enak dibuat berkendaraan karena
sesak memadat tidak memberikan celah kenikmatan sedikitpun bagi udara
untuk menyempurnakan hari yang dianggap sempurna ketika lewat jam lima
enam menit udara di lambung muntah di depan monitor komputer jadi
alasan untuk berlibur enam hari kerja melepas suntuk atas biaya dinas
dan kesetiaan untuk menghasilkan uang yang dapat menyempurnakan hari
semua orang yang datang setiap akhir pekan membawa bunga dan brownies
kukus sebagai tanda duka dan ucapan lekas sembuh dari kawan
sejawat yang mengatakan enak juga diberi kesempatan untuk menikmati
hari-hari cuma dengan berbaring dan membuktikan harga sebuah kesehatan
yang baru terasa saat sakit seperti yang pernah diceramahkannya pada
saat reuni dan selesai shalat dalam lingkaran konsentrasi yang diserang
kantuk yang bosan rutinitas keseharian yang disempurnakan oleh sakit
yang berpengalaman jadi muntah di depan monitor komputer.



widhy |sinau




Wednesday, 2 August 2006

ketika kamu jadi biru dan semua yang berada di dekatmu jadi rona kebiruan seperti lebam yang tak jadi luka menganga karena latihan bertahun dan nasib yang memihak pada kekuatan doa


Itu bukan disini tentunya bukan kebaikan yang kebetulan dari si pemukul
atau tongkatnya yang tidak sakti lagi menakuti pemasang pamflet atau
pembaca puisi yang menggangu jalanan dan waktu makan di ruang baca bus
atau kaki lima yang dinikmati sementara ketika telah jadi buku dan
ditulis oleh pengelana darah biru baru yang begitu sok tahu mengartikan
ketergesaan cita-cita dan hari esok yang bertambah lucu di berita dan
ceramah akademis kaum terdidik sementara bencana tiap hari mengongkosi
pendidikan, ransum, dan asuransi kerugian mereka ketika berjalan-jalan
ke daerah terpencil nan eksotis di lembah-lembah hijau berkabut matamu
jadi terang dan senin menjadi inspirasi setiap kepergian yang
kepulangannya bisa ditunda sebab lain untuk diceritakan sebagai uji
keberanian akan petualangan layaknya masa muda yang penuh dengan
perjuangan untuk pembebasan himpitan bersama si miskin yang saat ini
bertambah banyak menadahkan tangan dan mencari bantuan atas nama
kelaparan yang bernilai sama dengan investasi rumah di pesisir berpasir
putih tempat merenung, bersemedi dan yoga dengan pemandangan horizon
langit dan laut yang menyatu dalam biru yang menepi dari keriuhan para
junior dan saingan yang berlomba meminta pelatihan empati sebagai
syarat menjadi orang kaya terdidik terbaik yang pernah diciptakan tuhan
dengan lebam-lebam pukulan tongkat sebagai bentuk ujian kesungguhan
memahami doa yang bukan kebetulan ada karena kelaparan atau penindasan
tapi karena proses penciptaan yang terencana dan terdukung baik oleh
kekuatan latihan bertahun untuk menahan luka biru sebagai sebuah garis
nasib darah biru yang baru.