Wednesday, 28 December 2005

tamu


you punya negara abolute insane, how gigantic the corrupt goverment do you have? and yo're stand still for this mess, huh! (terjemahan brutal)

yang hadir selalu tepat dan diinginkan

Monday, 19 December 2005

MENYOAL SEKANTONG KEKALAHAN SAAT MALAM TUJUH BELAS DESEMBER

(Perihal Kegenitan (?) Penulis-cum-Penyair-cum-Pedagang
Buku-cum-Pekerja Sosial dan seorang mencoba memposisikan diri, ya...
itu saya, sebagai ilmuwan-cum-seniman-cum-filosof-cum-manusia awam)



Eureka! Kita mulai berdebat. Kembali bergumul. Mari kenakan semua
perlengkapan perang. Mulai dari kacamata baca, fotokopi bahan diskusi,
hingga bergelas-gelas kopi. Lalu, siapkan nafas panjang--sayangnya,
nafas itulah yang tidak kita punya--untuk melakukan operasi matematis
imajinatif plus sedikit berbau figuratif (ini sengaja saya tulis, agar
tampak terlihat seksi, sensual, memikat, mungkin juga cerdas,
intelektual, cendikiawan; padahal belum tentu memiliki makna verbal,
berdaya guna jelas. Intinya, boleh dong bila sedikit saja kita
bergenit-genit ria sebelum dijemput malaikat pencabut nyawa.)

Kali ini, adalah Widhianto Abdul M yang menjadi korban selanjutnya.
Bersiap menyerahkan nyawa, atau melakukan perlawanan untuk
mempertahankan milik satu-satunya yang berharga, yakni: lagi-lagi itu
nyawa! Kehadiran 'benda ilutif' itu mewujud dalam berlembar-lembar
kertas fotokopi 'Poet Corner'. Puisi, itulah yang dideklarasikan
pemilik. Tidak tanggung-tanggung, dua belas puisi (entah mengapa, saat
menuliskan hal ini, saya jadi teringat bahwa jumlah duabelas puisi itu
memiliki kesesuaian dengan jumlah para rasul. Dua belas juga euy, murid
Yesus dalam kisah Perjanjian Baru, Injil.) yang berasal dari abad
sembilan belas pun abad milenium. Wau!!!!!!!!

Namun, teramat sayanglah hasil yang didapatkan. Sebabnya, kita manusia.
Keterbatasan kita didalam ruang dan waktu menyebabkan kita harus
memenggal saat. Kita harus menyudahi perdebatan, pengoperasian dua
belas puisi. Hanya satu yang sempat kita dalami. Sympathy for The Devil
buatan 1997 yang terinspirasi The Rolling Stones. Dan, tentulah jelas
hasil yang didapatkan. Puisi itu kurang berhasil. Dalam istilah yang
lebih pedas menyengat, gagal! Pasalnya pun sudah jelas. Sekadar
mengulangi hal yang tak perlu, kegagalan itu dikarenakan bentuk puisi.
Bentuk dalam pengertian diksi, irama, hingga peralihan bait. Mengenai
isi dan kejujuran, sudah vulgar. Sampai dan ada. (Meski begitu, saya
hendak mengingatkan bahwa pemahaman isi puisi harusnya kita lebih
kritisi untuk mencapai tahap yang lebih mumpuni. Bukan hanya sekadar
sampai atau tidak isi tersebut, tapi juga kita harus mempertanyakan
bagaimana isi tersebut. Apakah ia menawarkan sesuatu yang baru atau
tidak? dalam keberadaannya diantara puisi-puisi 'Sekantong Kekalahan',
juga didalam jagat antariksa puisi dunia hingga posisi yang sangat
melokal, Kedai Sinau, Jatinegara! Anyway, ini hanya gagasan sampiran
yang tidak memiliki kaitan mengutuh dengan kerangka tulisan 'MENYOAL
SEKANTONG KEKALAHAN SAAT MALAM TUJUH BELAS DESEMBER.)

Maaf, bila dalam tulisan ini, saya memperkenankan diri saya sendiri
untuk berbicara lepas. Berbicara lepas sebagai seorang yang mencoba
menjadi ilmuwan-cum-seniman-cum-filosof-cum-manusia awam. Perlu saya
tandaskan, itulah posisi saya saat ini. Masih teramat sulit bagi saya
untuk memilah diri (mohon maaf 1 x lagi, saya curhat disini), apakah
saya murni ilmuwan, atau seniman, atau filosof, atau manusia awam.
(btw, tentu pembaca tidak keberatan bukan?)

Dua belas puisi Widhie--nama keren penyair--secara umum di mata saya,
belumlah tergarap optimal. Optimal dalam arti bentuk!  Sekadar
tambahan, puisi yang hendak saya sorot ini berdasarkan tiga pilar yang
digaungkan Leo Tolstoy, bentuk, isi dan kejujuran. Keseluruhan puisi
buatan Widhie memiliki gagasan dan kejujuran.

Lebih lanjut, saya mencoba, tentunya dengan sesuka saya, beberapa puisi
yang 'berhasil' menggoda emosi saya. Yang paling berhasil, adalah 'Kamu
Miskin Maka Aku Ada'. Saya kutip seutuhnya dari
http://kedaisinau.multiply.com/journal/item/8



Kau Miskin Maka Aku Ada



Kemiskinan. Persiapan. Plano. Metacard. Spidol. Double tape.
Dinding. Jendela. Kursi. Urutan. Aturan main. Agenda. Kekhawatiran.
Harapan. Mari memulai. Isi kartu. Pilih masa depan. 5 kata. Huruf
kapital. Perhatikan lingkungan anda. Modal sosial. Berdaya.
Partisipasi. Pembangunan. Perhatikan. Potensi. Lahan. Diri. Waktu.
Hari. Harga. Coffee break. Mantra. Doa. Realitas. Permainan. Kelompok.
Berbagi. Sumber daya. Pengalaman. Individu. Pengetahuan. Presentasi.
Pertanyaan. Diskusi. Jawaban. Triangulasi. Kebenaran. Afirmasi.
Kontroversi. Tak biasa. Kebiasaan. Merubah. Keadaan. Manipulasi.
Rekayasa. Nilai-nilai. Keburukan dan kebaikan. Chaos. Coffee break?.
Lanjutkan!. Satukan. Persepsi. Impian. Visi. Larut. Malam. Pagi. Siang.
Petang. Hasil. Paparan. Penutup. Sejarah. Prosiding. Proyek. Berlanjut.
Persiapan. Proposal . Baru. Kembali ke awal. Kemiskinan.





Gambar Masa Depan Anda.


Kenali Kawan dan Lawan.





Jakarta-Bogor, November 2005



Sebenarnya, menurut saya puisi ini memiliki kekuatan konflik
tersendiri. Dalam pemahaman saya, puisi ini belum memiliki partitur.
Tegasnya, bentuk puisi ini belum ada partitur dalam dunia sastra
indonesia, bisa jadi dunia sastra planet ketiga yang terdekat dengan
bintang yang bernama matahari di galaksi Bimasakti. Memang, keganjilan
yang mirip dengan puisi ini sebenarnya pernah terjadi. Keganjilan dalam
arti sesuatu yang baru. Keganjilan dalam suatu rentang jaman yang
berakibat timbulnya genre puisi baru, yakni 'Puisi Mbeling'. Genre yang
digagas Alif Danya Munsyi/Yappi Tambayong/Remy Sylado. Namun, perasaan
saya malah cenderung tidak memiripkan puisi itu dengan apa yang sudah
terjadi di era '70 -an itu. Sebabnya, adakah penyair memiliki gagasan
makro--disamping gagasan yang dikandung dalam puisi itu sendiri--dalam
membuat puisi itu?

(Saya mencoba mengerahkan kemampuan akal untuk memaparkan hal ini
dengan kadar kesombongan pribadi tertentu, yang tentunya berdampak pada
penamparan bila saya gagal menyampaikan sebuah kebenaran. Seingat saya,
era 'Puisi Mbeling', memiliki gagasan makro bahwa puisi itu tidak
sulit. Puisi itu mudah! Tak perlulah orang yang hendak memikirkan puisi
mengikuti penyair besar Indonesia, Chairil Anwar. Mengikuti dalam arti
menyerupai kekuatan ledakannya hingga menembus jaman. Sederhananya,
para penyokong genre itu hendak menyuarakan gagasan bahwa idealisasi
puisi itu tidak berada dalam posisi yang suci nan agung nan tak
tersentuh nan abadi seperti yang sudah dilakukan oleh Chairil Anwar,
misalnya. Mereka berteriak, puisi itu tak harus abadi, suci, agung!
Puisi itu bisa saja menjijikkan, memualkan, bahkan me- me- me- lainnya
yang menegasikan ide tersebut. Berawal dari gagasan itu, diantara
mereka--Alif Danya Munsyi/Yappi Tambayong/Remy Sylado, juga pelukis
Jeihan--membuat puisi. Puisi yang berisi ide komunisme, individualisme,
indonesia, bahkan menyentuh religi. Alhasil, gagasan berpikir para
suporter genre 'Puisi Mbeling'--tentunya disokong dengan ke-hasil-an
mereka--itu pun berhasil abadi, meski puisi yang mereka hasilkan jarang
terdengar. Minimal bagi saya.)



Nah, kembali menyoal puisi Widhie, seharusnya kita mampu membongkar
batasan bentuk puisi yang sudah ada di jaman ini. Praktisnya, kita
harus mampu menemukan partitur yang hendak kita ajukan sebagai tesis
untuk mengklaim puisi ini memiliki nilai estetika. Artinya, pemahaman
bentuk puisi--harus ada rima, persajakan, melodi, harmoni, aliterasi
dan beragam konvensi lainnya-- harus dibongkar! Inilah yang tersulit!
Inilah tantangan itu. Karena, tantangan itu tidak terjawab, maka saya
memiripkan puisi ini dengan buatan Afrizal Malna. Ada kesesuaian dengan
Afrizal Malna yang mencoba mendekonstruksi metafora baru menggunakan
bahasa yang sudah mengota. Bila dulu, orang minum hanya air putih, maka
itu diganti fanta. Bila dulu orang duduk di tepi pantai atau danau atau
sawah, maka sekarang di mall,  diskotik, juga trotoar jalan bahkan
kamar mandi. Namun, puisi Afrizal Malna masih memiliki kesesuaian
dengan konvensi bentuk puisi. Itulah bedanya puisi Widhie dengan
Afrizal Malna; dan tentu saja itu masih satu sisi; sebab saya yakin,
antara Widhie dengan Afrizal Malna memiliki segudang perbedaan lainnya,
sama seperti Widhie dan Afrizal Malna memiliki segudang persamaan,
antara lain: sama-sama lelaki.

Atas dasar ketiadaan partitur bentuk itu, saya susah mendefinisikan
apakah puisi ini gagal. Meski begitu, saya memberanikan diri untuk
memberi penilaian sederhana saja. Puisi ini--yang bagi saya masih dalam
taraf permainan--kurang berhasil. Pengolahan bentuk yang masih tidak
jelas. Tapi, isi puisi dan kejujuran itu ada. Bila diperkenan
berimajinasi, saya bisa memperkirakan puisi ini akan ditolak redaksi
beragam media nasional--kecuali media
http://kedaisinau.multiply.com--untuk diterbitkan.

Hei...heii.....satu lagi, saya ingat. Bentuk puisi Widhie ini memiliki
keserupaan
dengan sebuah puisi Saut Situmorang. Saya lupa judulnya. Dalam puisi
Saut, tanda baca titik memiliki fungsi lebih dari sekadar penanda akhir
sebuah kalimat utuh. Ada ritme degup jantung dalam puisi itu. (Mungkin,
inilah penyebab kegagalan itu. Tanda baca titik dalam puisi Widhie
seakan kurang berbicara. Namun, ia banyak menyediakan ruang kosong
untuk memberikan kebebasan pembaca menambahkan partitur, setidaknya itu
yang saya lakukan untuk memperoleh estetik dari puisi itu sendiri.

Yang saya suka dari puisi ini, satu. Eksperimennya. Tapi, itu pun patut
pula memperhatikan gagasan makro  berpuisi sepenuhnya dari
penyair, yang saya belum ketahui total. Saya hanya mengetahui, bahwa
penyair menulis puisi untuk dengan penujuan tertentu, buat pembaca.
Dan, saya pikir banyak juga orang yang bergagasan seperti itu.
(Mungkin, untuk memberikan beban tanggung jawab bagi diri pribadi, saya
berjanji akan membuat tulisan ke-dua di situs ini yang memperbincangkan
puisi lebih manusiawi). Terus mengapa pula penyair harus melakukan
eksperimen puitis dalam puisi 'Kamu Miskin Maka Aku Ada'.



Dengan sesuka hati saya pulalah, maka puisi 'Belajar Menulis Puisi' saya pilih diteropong.



Belajar Menulis Puisi

(buat kawan-kawan di sinau)





ada puisi di dalam kopi, di setiap gigitan kerupuk.



bukan di dalam buku.



ada puisi ikut keriting di mangkok indomie.



ada puisi pesanan setengah matang di dalam roti sosis.







menghirup kopi setiap hari, membaca puisi.



puisi garing, renyah, bergaram bisa dimakan setiap orang.



tak perlu berkerut kening, semua puisi bisa dipesan.



asyik, bercangkir-cangkir puisi setiap hari. satu puisi sekurangnya satu hari.







ada puisi tenderloin, dijual di depan kedai.



daging segar, masih bisa basah oleh keringat.



bunyinya lenguh, berdecap-decap-gaduh.



puisi berkeringat, cocok untuk yang sedang sendiri.







ada puisi lahir dari kata-kata milik seniman.



yang penuh dengan makna hidup.



kadang menjadi sisi yang paling gelap.



puisi seperti ini tidak bisa dihirup setiap hari, karena seniman hidup sesuka hati.







oktober 19, 2005



Terkait bentuk, puisi ini belum mendapat pengolahan optimal. Kelancaran
bertutur yang hendak ditonjolkan justru mendapat batu sandungan,
menurut saya, di bait pertama.  '... di mangkok indomie',
misalnya; atau '... roti sosis', umpama berikutnya. Seharusnya--hei
penyair, harus dicatat, ini keinginan saya, terserah mau diikuti atau
tidak, sebab: '... seniman hidup sesuka hati'--Widhie memperhatikan
olah luncur kata yang menjadikan semuanya lancar. Saya merasa tersendat
saat membaca ' ada puisi ikut keriting di mangkok indomie'; atau '
ada puisi pesanan setengah matang di dalam roti sosis'. Dalam bayangan
saya, larik itu seharusnya menjadi: 'ada puisi ikut keriting mangkok
indomie' dan 'ada puisi pesanan setengah matang di dalam sosis roti'.
Saya menyebut ini kegagalan kecil berdampak maha. Hanya karena kata
depan 'di' dan bentuk terbalik Mengerti atau Dimengerti menjadi
Dimengerti atau Mengerti (hoi!!!!!, tolong gua; sebenarnya bahasa
Indonesia berpola D-M atau M-D),  berkurang kadar kesedapan puisi.
Padahal, kelancaran bertutur seirama dengan tema yang hendak diusung.
Dalam pikiran dan hati saya, tema puisi ini menyindir semua penyair.
Isi yang hendak ditawarkan penyair adalah puisi itu ada dimana-mana,
mudah didapat sebab bukan hanya 'bukan didalam di buku'; tinggal pilih
saja, ambil dan telan, kalau perlu buang. Puisi itu mudah! kalau saya
diperkenankan menyingkat isi yang ditawarkan
penulis-cum-penyair-cum-pedagang buku-cum-pekerja sosial ini.


Aliran kata yang terucap begitu mudah, hingga mengikut tema yang ada
didalam puisi; ini kekuatan puisi ini. Bahkan suasana kegembiraan pun
hadir didalamnya. Saya
perkirakan puisi ini dibuat penyair dalam suasana hati dan nurani yang
gembira ria serupa susu fanta gembira. Pilihan tiap kata yang begitu
sederhana juga cukup mengejutkan saya. (Puisi itu ternyata tak perlu
juga menggunakan kata 'macan' yang tak pernah kita lihat, 'bulan' yang
tak pernah kita kunjungi, 'persetubuhan' yang tak pernah saya lakukan,
' hati' yang tak pernah saya jamah, 'belati' yang tak pernah saya
pegang, atau segala macam yang lainnya.) Uniknya, dengan metafora yang
sangat 'mengedai' ini, puisi ini berhasil mengantarkan pesanan dari
dunia imajinatif penyair. Selamat!!!!



Secara keseluruhan, penyair Widhianto Abdul M, masih mencari-cari
bentuk puisinya sendiri. Ia masih bereksperimen. (Apakah penyebabnya?
Tolonglah, you jawab sekali-sekali penyair, biar kami orang bisa lebih
mengerti.) Jika memang you hendak bereksperimen, total-lah
bereksperimen. Jangan pula sampai muncul puisi seperti:



Tentang:  AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu

Buat: Toby Litt



AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.

KamuDiaMerekaKitaInidanItuAku. Sialan.

DiaMerekaKitaInidanItuAkuKamu. Sialan.

MerekaKitaInidanItuAkuKamuDia. Sialan.

KitaInidanItuAkuKamuDiaMereka. Sialan.

InidanItuAkuKamuDiaMerekaKita. Sialan.

AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.



“Kemudian Siapa lagi yang harus dipertuhankan, Apa lagi yang harus dipersetankan,

and how do you learn to hate so much ?”



1997





yang,
menurut saya terbawa arus Tobby Lit. Ada kegenitan saya rasakan disini.
Sebab saya juga pernah melakukan hal serupa. Menilai puisi ini
menimbulkan penolakan tersendiri dalam batin saya. Sebab, mungkin saja
gagasan yang ditawarkan puisi ini mantap, aku merasa ada hal prinsipil
yang dilanggar. Genit!



Hi...,

saya: David Tobing.

Nice to meet you.

;)

See, yaa.......

























Friday, 9 December 2005

dari candi ke penjara

kopi hitam sore ini sehitam rasa penasaran, aromanya memenuhi lapisan atmosfir ruang kerjaku, bereaksi kimiawi bahkan sebelum aku sempat meneguknya, sekejap rasa penasaran terpenuhi...aku yakin, detik ini keraguan itu akan hilang...bahkan ketika kawan saya masih tergagap bertanya tentang makna hidup, arti pekerjaan yang ia lakoni hampir sepanjang usia produktifnya.


apa yang menyebabkannya demikian? hanya ia sendirilah yang tahu persis jawabannya. pertanyaan itupun untuk dirinya sendiri. terngiang di kepalaku obrolan pada malam-malam sebelumnya tentang kisah ' the scientist' yang diangkat david dari sebuah lagu 'coldplay', sebuah kisah pecinta yang mencari kesejatian, dari sekeping uang--dimana salah satu sisinya adalah kebenaran dan sisi lainnya adalah kemajuan dan pengetahuan. dimanakah keabadian, kesejatian tentang makna segala sesuatu ketika probabilitas kita memilih adalah 50:50, bahkan pilihan kebenaran pun terkait dengan kemungkinan pilihan metode, kemajuan sebelumnya, dan pengetahuan yang kita miliki.


ah, rumit terlihat, namun itulah hidup yang saya sedang jalani dan rasakan setiap hela nafas saya, pun ketika sedang menghirup secangkir kopi sore ini. ada pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usulnya. memperkirakan rasanya pahit, atau sedikit asam, robusta atau arabica? atau hibrida ketika dicampur oleh pedagangnya? tumbuh dimanakah kopi ini--digongseng kering atau samapi berminyak? ada literatur bersileweran, mondar-mandir diotak, sementara otak kanan saya terus mencari momen puitis dari  sore ini, bahkan didalam sebuah bangunan rutinitas.


hopla, saya tercebur kedalam ruang kosong-rasa penasaran lain ketika wajah saya dapat berkaca dalam pekatnya kopi. ruang itu hitam, namun semuanya seperti terlihat jelas, walau dalam gerak lambat. suara kawan di rapat, keprihatinannya, kegelisahan dirinya--jelas terpampang. dan saya lari kearah sebuah mesin ketik yang berada di penjara di Denpasar, ke msin ketik yang berada di pulau Buru, ke misn ketik yang berada di penjara Cipinang, ke msin ketik yang berada di sebuah rumah di Menteng...ke berbagai mesin ketik yang telah membantu penulisnya melampaui jaman, yang berhasil mencatatkan imajinasi mereka, untuk sekadar melempar sekeping uang: kebenaran atau ...


dari aksara yang tertulis tersebut maka terbukalah tempurung-tempurung yang ada di otak saya, atap kantor seolah hilang--bahkan langit yang berlapis terus tertembus oleh timeline sejarah...siapa yang menuliskannya? sementara kepedulian beberapa orang di negeri ini terus berkurang, untuk membangun peradaban, waktu terus berjalan ke belakang...samapi ke jaman yang teramat purba pun aturan main semakin jelas...pandangan saya semakin kabur menatap kedepan, bingung memilih metode, alat, pengetahuan untuk memahami 'kebenaran' sekarang. sayapun terpasung! bukan di masa lalu tapi oleh saat ini, pause. masa depan semakin tidak terjamah oleh indera saya, kopi sore menjadi masa lalu seperti buku sejarah yang ada di dinding candi.


pause, itulah kata yang tepat untuk saat sekarang ketika kita diambangkan oleh 'bahasa kekuasaan', tenggelam-terbang (lagu Netral) sebuah kondisi dimana seorang pecandu berada diantara kesadaran bawah sadar...saya terapung-apung, mati rasa, dan merasa bebal. tak punya pegangan untuk mencari kebenaran lain, selain yang terpampang di media massa yang sumpek oleh kepentingan penguasa...mengalahkan mesin ketik dari masa lalu, yang ada kertas memorandum untuk kesepakatan-kesepakatan yang meminggirkan kuasa ide, imajinasi, mesin tik cuma diperuntukkan untuk menulis SAYA DENGAR DAN SAYA IKUTI...


buku-buku dibakar, dicurigai, diberangus...


aroma kopi menghentak kesadaran...ah kapan peradaban bisa dibangun di warung kopi, di kebun petani, buka di istana atau di kantor yang steril ini...


widhy

Monday, 5 December 2005

poet corner#2

Start:     Dec 17, '05 8:00p
End:     Dec 18, '05 1:00a
Location:     kedai buku sinau, jl. bekasi timur 1 no. 32A (depan st. KA Jatinegara), Jakarta 13350
tentang sekantung kekalahan

tentang widhy:
pekerja sosial dan pedagang buku

sekantong kekalahan

Kita

Kita adalah orang yang selalu bicara tentang kita.

Perjuangan kita. Tapi dalam pengorbanan kita selalu bicara:

‘Asal bukan Aku’. Ini demi kita. Masa depan dan cita-cita kita !



Desember 1996






Sajak Kalah Dalam Empat Suasana





Tahun Baru



Pagi jenuh. Sisa kemarin masih belum tandas.

Kini. Awal Baru.

Orang-orang sibuk meramal. Kalah-Menang.

Bagiku yang penting adalah jatah.

Karena menang sudah tak mungkin.



Januari 1997.





Tentang Pemilu.



Hari ini suara dipungut entah dari mana.

Aku pasti gigit jari.



Hari H Pemilu 1997.





 Ketika Saat Bila Jika.



Ketika kuntum bunga menjadi gelas bercampur bensin,

Saat, belaian lembut adalah percikan darah,

Bila kewarasan mengayunkan parang dan pekik perang.

 Jika kedamaian cuma terletak dalam angan dan senyum adalah

gerak terakhir dalam hidup.




Februari-Mei 1998



Bercermin



Aku tak bisa melihatnya. Cuma basa-basinya saja yang kukenal. Wajahnya
tetap seperti itu. Itu melulu yang kuingat. Wajah yang makin buram saja.



Cuma basa-basinya yang kukenal. Sekarang aku tambah tidak ingat raut
mukanya. Bentuk hidungnya, garis pipinya, tebal bibirnya bahkan bau
mulutnya. Ahh basa-basi itu lagi. Cuma itu yang kukenal. Tapi mengapa
makin sering saja  aku bertemu dengannya.



Tampaknya basa-basi itu yang kekal. Juga pujian itu. Padahal sudah
kubilang aku tidak suka itu. Justru itulah yang mengental. Sial.



Desember 1999











Tentang:  AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu

Buat: Toby Litt



AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.

KamuDiaMerekaKitaInidanItuAku. Sialan.

DiaMerekaKitaInidanItuAkuKamu. Sialan.

MerekaKitaInidanItuAkuKamuDia. Sialan.

KitaInidanItuAkuKamuDiaMereka. Sialan.

InidanItuAkuKamuDiaMerekaKita. Sialan.

AkuKamuDiaMerekaKitaInidanItu. Sialan.



“Kemudian Siapa lagi yang harus dipertuhankan, Apa lagi yang harus dipersetankan,

and how do you learn to hate so much ?”



1997






Sympathy for Devil*



Debu menjadi bintang, menjelma mahluk, dan kembali ke asal ?‘



Bising disini,

Industri kepedihan penghasil cinta? Dijual dijalan-jalan, kaki lima,
mall, kampung kumuh, Pondok Indah, komplek pelacuran, kota satelit,
pelabuhan, kawasan berikat, sampai kurikulum wajib di sekolah.



Kita memulainya, mencipta kepedihan dengan cinta, dari fantasi
kanak-kanak sampai sado masochist:  penasaran, terasing lalu
sunyi.  Dilipatgandakan fungsinya dengan berbagai kepentingan atas
nama: Puing dan Arang, amis warna merahnya.

Jika kurang,  kita buat lagi subtitusinya: kecemburuan.



Sekarang salahkan semua pada rasa frustasi. Geliat  libido yang
menggelora. Bagaimana caramu merasakannya ?. Mengkhayalkannya sehingga
lebih ajaib, lebih merangsang dibanding dari rock n’ roll?.

Kepedihan, Cemburu, dan Frustasi. Mesin  waktu yang eksotis, wajar sekaligus mencandu.









‘  Seem I,m not alone in being alone …’ **




Aku di dalamnya juga setengah manusia disini. Mencari Damai. Absurd !

Menjelajah berbagai media-das sein. das sollen.
Bagai arloji, mengulang tanda yang sama. Sejarah! Sesuatu selalu datang
dan pergi. Tak ada ruang kosong. Sia-sia aku menunggu atau mengejarnya.


Man proposed, God disposed.



Biasa saja itu kesimpulannya, bangun pagi, seduh kopi campurkan susu
bila perlu, beri gula sedikit saja atau tambahkan sesuai selera. Duduk
di teras, baca koran-jangan banyak komentar, tegur tetangga-senyum,
tepuk pantat atau remas dada isterinya bila sang suami telah pergi
kerja. Lalu pikirkan hal lain: spontanitas. Yap, dunia hanya gejala
ketika Tuhan ingin mengatur semuanya.



Selanjutnya sampaikan simpatiku pada para pendosa, para pemain
gagah-penantang para tuannya, dan selalu bertanya untuk apa ini semua.
Apakah aku menggenapkan atau mengganjilkan, atau disini aku cuma untuk
berkeringat, lain tidak.



Setan, you aturlah!







* Sympathy for Devil, diambil dari lagu Rolling Stones



 ** Message in The Bottle, diambil dari lagu The Police

 

1997







Buat Retno



Biasanya aku terbangun setengah enam. Melihat kesisi lain, sambil
membayangkan dirimu, letih, terbaring telanjang memelukku. Sampai saat
kau melarangku untuk memikirkannya.



Aku tak mungkin menghindar. Katamu:

“Kau tak mungkin seserius itu, please, jangan diteruskan”.



Akupun memakai tanda duka. Percuma. Aku memakai tanda cinta. Katamu
lagi: “Kau tak mungkin seserius itu, please, jangan diteruskan.”

Aku kaku pucat.



Biasanya aku terbangun setengah enam, dan berharap, terbaring telanjang disisimu, letih.



Oktober 1996









Ah,



Aku ingin kembali

Memancing kata-kata dari  mulut mungilmu

Satu, dua, tiga, empat atau sekedar lenguh parau tertahan

Tak mengapa.



Tapi kamu malah memilih diam

Atau main mata dengan langit.

Biru, lembayung, merah senja, jawabmu:

“Kembali besok pagi dengan kadar cinta  yang sama “



Oktober 1996



Cuma itu isengku



Mungkin kali ini aku benar gila.

Bicara pada ikan di akuarium, atau berkhayal jadi kura-kura raksasa. Ingin aku berlayar ke negerimu. Menjadi orang asing.

Semoga kau tak mengenaliku.

Membelikanmu es krim strawberry atau vanilla, pilih yang kau suka.

Lalu tidur se-siang-an di pangkuanmu.

Cuma itu isengku.



Oktober 1996



Buat indo-nesia



I want you to come on, come on, come on, come on and take it,

Take it!

Take another little piece of my heart now, baby!

Oh, oh, break it!

Break another little bit of my heart now, darling, yeah, yeah, yeah..





sekarang aku menjadimu, kamu berhenti ada. tersenyumlah, nikmatilah, kesementaraan ini.



Dulu kau tambun kata-kata, hanya kau saja yang boleh menterjemahkannya.

Dulu ketika kau tikam aku dengan tuturmu, aku sudah mati berkali-kali.

Darahku terus mengalir-membentuk jiwa baru. Tidak satu-tapi seribu.

dan selalu berkata, ‘Ambil terus jiwaku. Itulah yang menjadi mimpi burukmu !’



ketika aku menjadimu, kamu berhenti ada.

sekarang aku menjadimu, aku bunuh diri.





Oh, oh, have it!

Have another little piece of my heart now, baby,

You know you got it if it makes you feel good,

Oh, yes indeed.



Take Another Piece Of My Heart, Janis Joplin



Desember 1996





Belajar Menulis Puisi

(buat kawan-kawan di sinau)



ada puisi di dalam kopi, di setiap gigitan kerupuk.

bukan di dalam buku.

ada puisi ikut keriting di mangkok indomie.

ada puisi pesanan setengah matang di dalam roti sosis.



menghirup kopi setiap hari, membaca puisi.

puisi garing, renyah, bergaram bisa dimakan setiap orang.

tak perlu berkerut kening, semua puisi bisa dipesan.

asyik, bercangkir-cangkir puisi setiap hari. satu puisi sekurangnya satu hari.



ada puisi tenderloin, dijual di depan kedai.

daging segar, masih bisa basah oleh keringat.

bunyinya lenguh, berdecap-decap-gaduh.

puisi berkeringat, cocok untuk yang sedang sendiri.



ada puisi lahir dari kata-kata milik seniman.

yang penuh dengan makna hidup.

kadang menjadi sisi yang paling gelap.

puisi seperti ini tidak bisa dihirup setiap hari, karena seniman hidup sesuka hati.



oktober 19, 2005







Kader: kepada kawan yang lebih muda dariku.



Rakyat kita sudah banyak menderita sekali. Sudah seharusnya kita
memberi lebih banyak pada mereka, semuanya yang kita miliki. Pablo
Neruda-Nyanyian Revolusi
.



Lama bercengkarama antara kita, selalu diinterupsi oleh nasib rakyat.

Ujungnya kita bicara nasib kita sendiri, yang juga miskin-melarat.

Apa bedanya antara kau dan aku. Selain tahun kelahiran. Tempat kita
sama reot dan rapuhnya. Sementara kau selalu membutuhkan api yang
keluar dari mulutku, yang akan membakar ingatanmu.



Apakah api itu memercik kesadaranmu?

Atau malah membuatmu menjadi abu?



Oktober, 2005





untuk donik



Obrolan kita adalah tikar yang dibentangkan di pelataran masjid itu, di
setiap permukaannya ada tuhan yang menyapa. sajadahku cuma selembar
koran-berganti setiap hari, sementara milikmu: keindahan sulaman yang
kau kerjakan sepanjang hidup.



Kenangan kita sama, tentang tanah dan keringat  mengkilap yang
memantulkan ladang ditubuh liat para petani. Tanah kita masih tanah
yang sama, yang menjadi sumber benih pada setiap sperma yang kupunya,
tanah yang sama akan menjadi daging di rahimmu-segumpal tanah yang
dicangkul dan disiangi petani. Lantas darimana pertanyaan: mengapa kita
selalu kalah? Sementara ladang terus menjadi bagian dari tubuh petani.



Tanah-tanah itu tak pernah menjadi senjata. Maniku tidak,  sel
telurmu tidak, juga daging di rahimmu. Sepanjang perjalanan kita, tanah
selalu  retak-retak, maniku-benihmu terbakar bersama jerami dan
kemarau. Segumpal tanah di rahimmu tidak berubah menjadi senjata.

Malam dipenuhi asap dari jerami yang terbakar-membumbung membawa kerja
keras mengolah tanah yang retak, baunya memenuhi ruang kita, rumah
petani.

Kau kemudian berkata; sengsaralah hidup orang yang selalu gelisah dan terus mencari tahu.



Asap jerami tak pernah membutakan mata, juga bukan sumber air mata.
Kekalahan demi kekalahan kita gantang bersamanya. Besok kita harus
berangkat, ke gunung yang selalu hadir di jendela kamar setiap pagi.
Kita buat lagi senjata dari tanah-tanah di atas gunung  itu. Aku
akan membawa selembar koran untuk bersujud, semoga cukup. Dan kamu akan
sibuk menyulam keindahan-sampai segumpal tanah yang ada di rahimmu
berubah menjadi senjata.



Turen, 61105





Kau Miskin Maka Aku Ada



Kemiskinan. Persiapan. Plano. Metacard. Spidol. Double tape.
Dinding. Jendela. Kursi. Urutan. Aturan main. Agenda. Kekhawatiran.
Harapan. Mari memulai. Isi kartu. Pilih masa depan. 5 kata. Huruf
kapital. Perhatikan lingkungan anda. Modal sosial. Berdaya.
Partisipasi. Pembangunan. Perhatikan. Potensi. Lahan. Diri. Waktu.
Hari. Harga. Coffee break. Mantra. Doa. Realitas. Permainan. Kelompok.
Berbagi. Sumber daya. Pengalaman. Individu. Pengetahuan. Presentasi.
Pertanyaan. Diskusi. Jawaban. Triangulasi. Kebenaran. Afirmasi.
Kontroversi. Tak biasa. Kebiasaan. Merubah. Keadaan. Manipulasi.
Rekayasa. Nilai-nilai. Keburukan dan kebaikan. Chaos. Coffee break?.
Lanjutkan!. Satukan. Persepsi. Impian. Visi. Larut. Malam. Pagi. Siang.
Petang. Hasil. Paparan. Penutup. Sejarah. Prosiding. Proyek. Berlanjut.
Persiapan. Proposal . Baru. Kembali ke awal. Kemiskinan.



Gambar Masa Depan Anda.

Kenali Kawan dan Lawan.



Jakarta-Bogor, November 2005































































 

Subjek=Objek= (f) Mimesis

Subjek=Objek=(f) Mimesis

Oleh: Widhy



Siapakah yang paling berhak menilai karya seseorang ketika pemegang
otoritas-author-penulis tidak lagi hadir sebagai subjek? Pertanyaan ini
mengemuka di sela diskusi poet narcissuss-di kedai buku sinau Jakarta,
13 November 2005 kemarin.



Seni konon merupakan mimesis kehidupan. Sebagai sebuah tiruan tentulah
seni bukanlah kehidupan itu sendiri, namun lebih merupakan sebuah
permainan tentang kehidupan. Dengan demikian kualitas dari permainan
(bukan realitas subjek pemain) merupakan unsur terpenting dalam sebuah
kritik terrhadap seni. Disini seniman adalah seorang yang bukan dirinya
dan merupakan representasi dari karyanya. Dalam pembicaraan malam itu
disebutkan bahwa David Tobing sang penyair adalah puisinya, puisinya
adalah David Tobing itu sendiri.



Lantas apakah yang bisa dijelaskan oleh David Tobing terhadap dirinya
sendiri? Saya beranggapan tidak perlu ada yang dijelaskan. Karena
setiap bait dalam puisi David Tobing malam itu adalah kepala, tubuh,
kaki, tangan, indera Dan sekantung besar pengalaman dia semasa
hidupnya. David Tobing tidak perlu melakukan ‘pembelaan’ terhadap
pengalaman puitisnya, itu cuma miliknya-hidupnya-tidak ada yang bisa
mengambil! Lantas mengapa perlu membincangkan David Tobing di depan
hidungnya sendiri sampai ia berkunang-kunang dan menjadi lapar ketika
mendengarkan kata-katanya ternyata lebih complicated ketika dibaca
orang, lebih bertuah, lebih dapat dijelaskan maksudnya, dikenai
nilai-nilai, ditelusuri sejarahnya, diungkapkan proses kelahirannya.



Minum kopi biar cerdas!. Berhubungan
atau tidak ada bagian-bagian dalam sebuah puisi (untuk menggantikan
kata seni) merupakan imajinasi tanpa batas. Sederhana, imajinasi harus
ditelusuri lewat imajinasi.  Permainan puisi mengikuti aturan main
puisi. Mengapa tiba-tiba jadi sebuah permainan? Sebuah tiruan memang
sebuah mainan. Hans-Georg Gadamer dalam Kebenaran Dan Metode memiliki
tesis bahwa yang harus dibicarakan adalah mode keberadaan karya seni
bukan state of mind dari pencipta atau mereka yang menikmatinya.
Sehingga penelusurannya menjadi apakah dia benar-benar mengetahui
tentang sesuatu dengan cara menciptakan sesuatu tiruan tersebut.
Gadamer menyebutnya sebagai tiruan yang orisinal. Sekali lagi apapun
bentuk seni itu ada benturan ontologis untuk pengungkapannya. Jadi
puisi atau seni memiliki unsur kognisi yang jelas. Bagi siapa?
Penikmatnya. Penonton.



Kemanakah sang otoritas, pada pencipta atau pada penonton? Pada
keduanya ketika fungsi kognisi berlangsung. Kebermaknaan puisi harus
mencakup keduanya, sehingga orisinilitas permainan dapat
dipertanggungjawabkan. Ketika pesan tesampaikan makna dapat dimengerti,
saya manggut-manggut, Jibal senyum penuh arti, Arif masih bernafsu
untuk mengetahui lebih jauh, Al Faruq berusaha menjelaskan lebih detil,
Karina menyampaikan sosok David si Kulintang Batu (bukan David Tobing
yang dilahirkan emaknya) secara lancar bertenaga seperti mengenalnya
berpuluh tahun, semuanya telah menjadi pencipta dan …my Godness, David
yang dilahirkan emaknya berkerut jadi penonton. Gilee.



Dari beberapa hidangan yang disuguhkan David Tobing ia tampak
bermain-main dengan metafora-juga bunyi. Hal ini dapat dilihat dari
puisi yang menjadi pilihan tamunya yang menikmati tulisan tentang
kegelisahan. Puisi berjudul gelisah ini sementara dianggap sebagai
pencapaian utuh David menjadi orang sedang bermain-main dengan
kata-kata.



GELISAH



dari bawah bohlam

bulan memandang

'Bibir di Mulut Ikan'





Sedang melihat apakah si Bulan (David) sebenarnya…bisa bermacam-macam
jawabannya. Bisa jadi ia sedang makan ikan, cuma frasanya dibalik: ikan
yang sedang mencicipi bibir, bisa juga ia melihat lukisan tentang
‘bibir di mulut ikan’, seperti lukisan dalam sampul kaset atau sebuah
sampul buku, siapa yang tahu. Salah satu yang belum tuntas terjawab
dalam diskusi malam itu adalah frasa-frasa yang tercipta dalam puisi
apakah harus menjadi arti baru (ditranformasikan), diartikan secara
tekstual atau kontekstual (historitas pembuatan puisi tersebut).
Sehingga puisi yang ada tidak cukup membuat rasa penasaran
pembacanya-dengan berbagai pengandaian yang pada puisi Gelisah tercapai
disuguhkan David Tobing. Bandingkan puisi Gelisah dengan Kolintang Batu
dibawah ini;



KULINTANG BATU



telinga, bangau memamah

tinta. Sepurnama:

pikulan kendang bergaun ikan.



Rasa penasaran penikmat Kulintang Batu semata-mata bukan karena
memaknai teks namun juga membunyikan kendang di kepala masing-masing.
Jika keduanya tidak tercapai maka sebagian orang mungkin gagal
menangkap Kulintang Batu sebagai karya puitis, momen puitis David sama
sekali tidak dapat dibagi, sehingga otoritas murni dimiliki David
Tobing. Bagi sebagian penikmatnya puisi ini dikategorikan sebagai puisi
gelap. Karena pesannya tidak tersambung. Bayangkan deretan kata pada
puisi Kulintang Batu yang jika dipisahkan memiliki arti dan makna
dengan puisi Bayangan Aku Yang Lelah Berjalan dibawah ini;



Bayangan Aku Yang Lelah Berjalan



  r m t  b l n  d l h   r

  r y  ng m n j  

k r ng.





(Bayangan aku yang lelah berjalan

ialah air mata tertusuk kering.)



M ng l r  k  

 k  m ng kh r k r ng

k r ng

b l n.



Depok, Juni 2004





Deretan kata  (huruf!)

     r m t  b l n  d l h   r

  r y  ng m n j  

k r ng. memiliki arti yang lebih dalam dibandingkan dengan Kulintang
Batu ketika keduanya dibacakan secara dramatik. Sehingga deretan kata
di dalam tanda kurung bisa ditunda penggunaannya (seolah tidak ada).



(Bayangan aku yang lelah berjalan

ialah air mata tertusuk kering.)



M ng l r  k  

 k  m ng kh r k r ng

k r ng

b l n.



bayangan aku yang lelah berjalan menjadi sebuah kelelahan (fatigue)
yang sangat bagi si penulis. Kata-kata tidak cukup mampu untuk
melukiskan kelelahan tersebut. Puisi-puisi David Tobing yang lain masih
mencoba bermain dengan rima, seperti dalam dua puisi dibawah ini:



Beku Kata Mengetuk Bentuk



hilang beku

mengalir bentuk

saling ketuk,

kata : aku



September 2004







LALU BERCERMIN KATA



begitu gampang lalu nyawa

lepas lalu

terban

ke tingkat bintang bilangan ∞ di langit gelap

lalu terjun

lewat hujan

lalu dingin

sekejap lalu

begitu gampang lalu tiba

di laut hempas

tanpa benang tak berenang tanpa sauh tinggal labuh

begitu jauh

aku lalu

tak bayang

begitu gampang!



Depok, Mei-Juni 2004



Secara intens dalam puisi Lalu Bercermin Kata David Tobing ingin
mengentalkan atau menebalkan, menggarisbawahi kalimat …lalu begitu
gampang, lepas lalu terbang, lalu terjun, lalu dingin, lalu hempas lalu
menjadi lalu menjadi tak bayang…begitu gampang. Ada rasa kehilangan
yang coba diungkap…tegas, dikentalkan lewat pilihan kata-kata yang
nyaris memiliki arti sama…lepas…hilang…berubah. Disini David Tobing
sekali lagi memiliki kemampuan pemilihan diksi yang homogen…yang
menyebabkan pembaca  diberondong kata-kata, diajari bahwa begitu
gampang untuk merasa kehilangan, bahkan tanpa sisa.



Usaikah permainan kata-kata David Tobing? Sepertinya tidak. Bisakah
kata-kata dibunuh, seperti permintaan beberapa kawan-untuk membunuh
sang penulis-kah? Sepertinya juga tidak. Kata-kata memilih kita,
setelah kita memilih mereka untuk menjadi media dalam berbahasa. David
Tobing telah menjadi puisinya sendiri, karena ia dipilih oleh
kata-katanya sendiri.