Thursday, 22 January 2009

Kembali ke Gua

Abstrak

Dalam sudut pandang modern, kota-kota modern dibangun oleh aturan-aturan yang rasional dan diasumsikan mengalami perbedaan dalam hal identitas. Jakarta, demikian besarnya berjalan seolah-oleh tanpa identitas, dan semakin mereduksi perbedaan serta rasionalitas. Orang awam mungkin memandang ‘pragmatisme’ sebagai sebuah gejala ‘mementingkan diri sendiri’ di kalangan kaum urban di Jakarta, sehingga apa yang dipikirkan dan dikerjakan selalu dipandang sebagai sesuatu yang menguntungkan diri sendiri. Sementara kota Jakarta adalah milik bersama. Dalam kajian kontemporer tentang kota Jakarta sesungguhnya persoalan penataan ruang, baik publik maupun privat merupakan permasalahan utama dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat kota, terutama di sektor perumahan (Kusumawijaya (2004), Muttaqien (2004).

 
Rasionalitas


Penduduk Indonesia saat ini berjumlah sekitar 225 juta jiwa. Dari angka itu tercatat 57 juta keluarga, Dalam hal ini seharusnya Indonesia memiliki 57 juta rumah. Namun yang tercatat adalah 51 juta rumah. Berdasarkan data dari Kantor Kementrian Negara Perumahan Rakyat, di Tanah Air terdapat 15.000 kantong permukiman kumuh, menempati area 65.000 hektare dan dihuni sekitar 30 juta jiwa. Mereka terlihat jelas di perkotaan (Kompas, Sabtu 30 Agustus 2008).

Orientasi kaum migran merupakan orientasi kedesaan. Keberhasilan mereka dalammengumpulkan uang tidak serta merta mengubah cara hidup mereka. Berkumuh-kumuh di Jakarta, memiliki ‘rumah gedong’ di desa. Dunia mereka merupakan dunia desanya (Abdul Hamid dan Iman Ahmad, Prisma, LP3ES, 1992) . Lepas dari perdebatan tentang teori dualisme ekonomi (formal-informal/firma dan bazaar) ternyata Jakarta merupakan magnet bagi siapa saja (entah dosen, peneliti, seniman, gembel, pelacur atau pejabat daerah sekalipun) yang memimpikan hidup yang lebih baik, penghasilan yang lebih tinggi (Muttaqien, 2002) .


Masing-masing masyarakat memiliki sendiri tujuan-tujuannya. Dalam setiap masyarakat tujuan-tujuan tersebut adalah rasional. Pada masyarakat primitif terdapat pengetahuan yang tersebar secara merata, dan setiap aspek kehidupan dalam masyarakat primitif merupakan urusan semua orang.  Rumah juga demikian, masyarakat primitif membangun rumah-rumah mereka secara bersama-sama, kebutuhan pertukangan dan sosial ditnaggung bersama. Kebutuhan pertukangan (teknis) menyangkut permasalahan besaran fisik dan perawatan sebuah rumah, sedangkan kebutuhan sosial menyangkut kultural, bentuk dan fungsi sebuah rumah. Pada masyarakat primitif sebuah rumah merupakan identitas bersama, dan semua orang berpartisipasi dalam membangun sebuah rumah.

Pada masyarakat yang masih memegang kuat tradisi-asli (vernacular-indegenous ), rumah-rumah dibangun berdasarkan spesimen (ilustrasi) individu, namun pada dasarnya tipenya tidak dapat dibedakan. Tipe rumah menyangkut pada ukuran (size),  tampilan (shape) dan bentuk keseluruhan (form). Namun secara pasti masing-masing masyarakat primitif memiliki arsiteknya sendiri-sendiri, arsitek inipula yang berfungsi sebagai seorang tukang (yang memiliki kemampuan seni desain dan teknis rekayasa). Namun dalam perkembangan lebih jauh, peran arsitek ini memudar karena polpulasi yang bertambah dan pengetahuan masyarakat mengenai desain dan pertukangan tersebar merata (shared knowledge). Fungsi arsitek berubah pada hal-hal yang lebih luas, permukiman. Arsitek (bukan satu orang) bersama masyarakat menentukan desain, tempat (locale), relasi rumah dengan sebuah tempat (site), da hal lain yang terkait dengan pola-pola permukiman (hirarki, jalan, sempadan rumah, ruang publik, pasar, dll). Kontrol masyarakat ada pada tradisi, adat istiadat.
Pada masyarakat modern perilaku masyarakat hampir sama, namun perbedaan-perbedaan terjadi disebabkan adanya spsesialisasi profesi yang menimbulkan kebutuhan akan ruang yang berbeda, berkurangnya nilai-nilai bersama dalam mengkonstruksi dunia, dan berkurangnya kontrol informal digantikan oleh fungsi birokratis, menghilangnya tradisi yang berfungsi sebagai regulator sehingga tipe rumah menjadi beragam, sesuai dengan konstruksi individu. Rappaport (1969) membagi  pola permukiman terbangun  (built settlement) sebagai berikut:
  1. Primitif: tipe bangunan sedikit, variasi individu sedikit.
  2. Vernakular pra-industrialisai: tipe bangunan sedikit, variasi individu lebih banyak, dibuat oleh pedagang dan mandor.
  3. Modern: tipe bangunan banyak, variasi individu banyak cenderung masing-masing individu memiliki kekhasan, keaslian model, didesain dan dibangun oleh tim spesialis/pengembang.

Pada masyarakat primitif rendahnya diferensiasi dalam bentuk rumah, juga mengambarkan rendahnya diferensiasi dalam wilayah pemikiran dan praktek kebudayaan. Kebudayaan primitif pada suatu masyarakat lebih cenderung homogen, dimana kepercayaan sangat mempengaruhi  kehidupan dan kebutuhan sosial. Sehingga penggunaan ruang dan alat produksi juga cenderung seragam. Sedangkan menuju pembentukkan masyarakat modern penggunaan ruang makin beragam disebebakan pemisahan agama dan kehidupan sosial, relijius dan sekular, privat dan publik. Sehingga pola-pola pemanfaatan ruangpun semakin terpisah secara tegas. Ruang-ruang terfragementasi bukan cuma pada fungsi namun pada kepentingan (kekuasaan) dan gaya hidup. Yang tidak hilang adalah monumen-monumen keagamaan sebagai simbol kehidupan. Bangunan monumen ini cenderung dipertahankan, baik gaya dan skalanya.

Dalam masyarakat modern kebudayaan dan sub kebudayaan hidup berdampingan, hal ini menimbulakn konsekuensi dalam pola penggunaan ruang. Namun dalam perbedaannya masih terdapat persamaan-persamaan, yaitu sifat alamiah dari tempat tinggal, yang dianggap sebagai sebuah kebutuhan dasar.  Masyarakat modern juga cenderung memilih kata ‘kebaruan’ untuk merepresentasikan pandangan hidupnya. Kebaruan ini yang membuat perbedaan dibuat tampak nyata dengan pola primitif  dan vernakular. Namun perbedaan-perbedaan ini akan tampak nyata jika dilihat dari skala yang lebih kecil, yaitu rumah. Kebudayaan berumah baik dalam masyarakat primitif, pra industri dan modern memiliki kesamaan: hubungan antara manusia dan alam.

1.    Manusia:
a.    sifat alamiah, aspirasi, organisasi sosial, pandangan hidup, jalan hidup, kebutuhan sosial dan psikologis, kebutuahn individu dan kelompok, sumberdaya ekonomi, sikap terhadap alam, kepribadian dan fesyen.
b.    kebutuhan fisik
c.    teknik yang tersedia (stock of knowlegde)
2.    Alam:
a.    aspek fisik, seperti cuaca, tempat, bahan baku rumah, hukum alam
b.    lanskap

Lingkungan terbangun selalu berurusan dengan kedua unsur di atas, manusia dan alam. Masyarakat di era primitif vernakular/pra industrial cenderung mepertahankan keseimbangan alam (hukum alam) dibandingkan mengeksploitasinya. pandnagan ini mempengaruhi bangunan dan lingkungan terbangunnya. Ciri lain dalam bangunan pada masyarakat ini adalah kekuatan dan daya tahannya terhadap tantangan alam, hal ini disebabkan oleh  situasi alam yang ekstrim justru menyebabkan bangunan yang ada dibuat untuk pertahanan diri yang pada dasarnya lebih baik dibandingkan masyarakat industri yang berusaha mendominasi alam dan menguasainya.  Ciri lainnya adalah karena tidak adanya catatan tentang sejarah bangunan yang biasanaya dibuat oleh arsitek, maka ada asumsi yang diterima oleh kalangan antropologis bahwa pada masyarakat primitif dan  pra industri yaitu hubungan yang kuat antara kebiasaan dan bentuk. Hubungan ini dapat dilihat dari dua situasi: pertama, situasi dimana pola kebiasaan seperti hasrat, motivasi, dan perasaan adalah suatu hal yang esensial dalam memahami bentuk terbangun, sejak bentuk terbangun ini sudah menubuh dalam pola terbangun ini, dengan kata lain menjadi kesadaran. Kedua, situasi dimana sebuah bentuk, sekali terbangun, mempengaruhi pola kebiasaan dan cara hidup, dengan kata lain siklikal, berulang. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana perubahan dalam kebudayaan mengubah bentuk yang telah ada, dari suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan di dalam masyarakat itu sendiri.
 
Hipotesa awalnya adalah unsur manusia memiliki peranan utama. Manusia dengan sikap dan perilaku yang berbeda akan membuat perbedaan-perbedaan dalam memahami lingkungan terbangun, masyarakat primitif dan pra industri cenderung mempertahankan tradisi dan tidak berubah dengan cepat menyangkut respon mereka terhadap perubahan alam. Pada masa ini alam menentukan pola tingkah laku dan kebiasaan. Kebutuhan pertama adalah tempat berteduh dari pengaruh iklim. bertahan hidup untuk pertama kali adalah bertahan dari iklim yang ekstrim dan pemangsa. Karena iklim ini pula terjadi perbedaan dalam bentuk dan fungsi rumah, juga bahan baku pembuatnya.  Suku bangsa Eskimo memiliki dua material rumah untuk dua iklim yang berbeda, musim dingin dan panas orang Eskimo  menggunakan igloo yang terbuat dari es di musim dingin dan tenda yang terbuat dari kulit binatang untuk musim panas. Perbedaan bahan bangunan ini juga mempengaruhi penggunaan ruang (misalnya fungsi dapur), bahan makanan yang dikumpulkan, dan luas ruang yang digunakan untuk bercengkrama. Di musim dingin ruang cenderung lebih sempit, sedangkan di musim panas cenderung lebih lebar. Ruang menyimpan makanan lebih luas di musim dingin. Pada masyarakat  Iquitos di Peru (hutan basah) perubahan iklim cuma disiasati dengan memberikan ‘dinding’ pada rumah mereka di msuim hujan. Sedangkan di musim panas mereka membuka dinding tersebut. Hal yang sama terjadi di masyarakat Jepang, terutama di pulau Honshu, mereka ‘cukup’ memiliki tirai untuk beradaptasi dalam perubahan suhu di siang hari dan  malam hari. Pada malam hari di saat cuaca dingin maka tirai diturunkan.

Faktor alam yang kedua adalah tempat dan lanskap. Tempat dibuatnya rumah menentukan bentuk rumah. Rumah-rumah di tepi sungai, bahkan di atas laut memiliki pasak-pasak tinggi untuk menghindar dari banjir dan pasang bulan. Ada rumah terapung, dimana tempat merupakan satu-satunya unsur paling dominan dalam bentuk rumah terapung tersebut. Di daerah Cina dan Pualu Gilbert dan Pulau Ellice topografi tempat tidak menentukan bentuk keseluruhan rumah, namun pandangan hidup mereka tentang semesta-kosmos lebih banyak mempengaruhi bentuk rumah, hal yang sama terjadi dalam sistem Hogaku di Jepang dan India.

Faktor alam yang ketiga adalah pemangsa, fauna dan primata mansuia lainnya. Faktor ini mempenagruhi bentuk rumah untuk persediaan makanan, perlindungan jiwa. Fungsi-fungsi rumah panggung di Dayak lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ini dibandingkan oleh cuaca. Penggunaan pagar juga demikian. Pintu masuk di suku-suku Afrika dalam rumah-rumah compound (komunal) selain dipengaruhi unsur pertahanan dari serangan primata manusia lainnya juga dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dan sistem perkawinan (pologami atau monogami). Hal yang sama hampir terjadi di setiap suku primitif, juga di Papua, faktor keamanan lewat pintu, pagar, bahkan tembok sekeliling seperti rumah di Cina dipengaruhi unsur pemangsa. Di Papua ada rumah laki-laki yang mengelilingi rumah perempuan dalam sebuah compound.

Faktor alam keempat adalah ekonomi atau pencarian makanan. Bentuk rumah dipengruhi oleh fungsi-fungsi penyimpanan makanan, kandang ternak, dan alat transportasi seperti kuda dan keledai. Dalam masyarakat primitif biasanya rumah, lumbung makanan, dan ternak menjadi satu bagian dari rumah. Pada masyarakat  modern hal inipun masih terlihat, pada masyarakat dengan sistem komunal yang lebih luas (bukan keluarga per keluarga) namun pada garis matrilineal atau patrilineal biasanya lumbung makanan dan kandang terpisah dari rumah tinggal. 

Kritik atas teori deteminisme alam ini disampaikan oleh Blache, Febrve, Sorre, dan Brunche yang mengatakan hal-hal diatas alam cuma memberikan kemungkinan-kemungkinan, sedangkan manusialah yang menjadi penentu, bukan alam itu sendiri. Manusia yang menentukan dimana ia akan tinggal, bukan tempat atau iklim. Manusia menurut Mumford  merupakan   pembuat simbol (symbol making) sebelum menjadi pembuat alat (tool making) manusia berhadapan terlebih dahulu dengan pembauatan mitos, kepercayaan dan agama sebelum membuat aspek matei dari kebudayaan. Manusia terlebih dahulu menciptakan ide bukan benda. Fungsi simbol lebih utama dibandingkan fungsi-fungsi praktis seperti adapatasi terhadap alam seperti dijelaskan di atas.

Sedangkan masyarakat modern memiliki kemampuan adaptasi lebih banyak berkenaan dengan perubahan sosial-budaya. Sesuai dengan pernyatan Mumford di atas, maka manusia modern merupakan pencipta sosial (konstruksi ide) dan kebudayaan (material). Bangunan dan permukiman merupakan konstruksi sosial manusia, dibandingkan dengan reaksi instingtif terhadap fenomena alam. Menurut Redfield (1953)  sosio-kultural memiliki empat aspek, yaitu:
  1. Kebudayaan: perangkat total dari ide dan institusi dan aktivitas konvensional dari manusia.
  2. Ethos: organisasi konsepsi mengenai Kebenaran
  3. Pandangan dunia: cara manusia memandang dunia
  4. Karakter kebangsaaan: tipe kepribadian manusia yang hadir dalam kehidupan bermasyarakat

Keempat hal ini merupakan nilai-nilai yang mempengaruhi lingkungan terbangun. Pilihan-pilihan yang dianggap reaksi atas alam, oleh manusia modern dibatalkan. Manusia memiliki kemampuan untuk memilih. Mempengaruhi alam, bukan sebaliknya. Manusia memiliki konsep kehidupan, yaitu:
  1. Kebutuhan dasar
  2. Keluarga
  3. Posisi perempuan
  4. Privasi
  5. Hubungan sosial

Kelima hubungan ini merupakan ide manusia untuk memilih tempat tinggal dan membuat lingkungan binaan mereka (lingkungan terbangun-built environment). Lingkungan terbangun ini tidak bisa dipisahkan dari pola permukiman. Rumah-pribadi merupakan bagian yang tidak terisolasi dari permukiman-sosial. Permukiman dilihat menjadi dua konsepsi. pertama, permukiman dipandang sebagai bagian dari tempat tinggal, yang bersifat privat, terbuka dan bagian dari realitas kehidupan sesungguhnya. Kedua, melihat permukuman dari polai-pola hirarki hubungan sosial-ekonomi dan kawasan, misalnya kawasan desa dan kota.
Pola-pola permukiman dapat dibagi berdasarkan hubungan ‘Saya dan Kamu’ dan ‘Saya dan Benda’, hal ini digambarkan sebagai berikut:

  1. Agama dan kosmos: Lingkungan merupakan hal yang dominan, dan manusia tergantung pada alam.
  2. Simbiotik: Manusia dan alam memiliki peran yang sama, seimbang. Manusia bertanggung jawab kepada Tuhan untuk menjaganya.
  3. Eksploitatif: manusia merupakan penentu perubahan, pencipta, dan penghancur alam.

Bentuk pertama dan kedua adalah memandang alam sebagai Kamu, artinya bagian dari Diri, bernyawa. Manusia bekerjasama dengan alam, koeksistensi. Sedangkan pada nomer tiga hubungan yang dibangun adalah alam diposisikan sebagai benda, tak bernyawa, sehingga dapat diperlakukan semena-mena. Manusia modern, masyarakat industri cenderung menempati temapt ketiga, mereka kehilangan hubungan-hubungan mistisnya dengan alam, manusia modern juga kehilangan visi bersama tentang bagaimana hidup bersama dengan alam. Revolusi industri dianggap titik berangkat dari kerusakan alam.  

Laissez Faire!
Jakarta juga menjadi tempat berbagai dualisme-kontradiksi. Perkampungan kumuh disebelah real estate (yang dipagar tinggi), permukiman padat disela gedung pencakar langit (yang siap digusur), kaum yuppies (young urban professionals) yang senang makan di emper kaki lima (kaki limanya dikejar-kejar tidak boleh berdagang), riuhnya café ditabuhi oleh alunan dzikir di Kemang, goyang dangdut yang menjadi ikon kaum marjinal dan kampungan memassal disetiap stasiun televisi (yang menjadi supremasi pembentuk imaji dan proses imitasi) diskotik dan taman umum. Semuanya mengalir. Menjadi, menjadi, menjadi. Bertentangan atau saling melengkapi. Kacau atau harmoni. Anomali atau kenormalan (Muttaqien, 2002).

Aturan terbaik adalah minim aturan. Kota merupakan kontestasi paling hebat dalam sejarah peradaban. Kota selain merujuk pada peradaban itu sendiri juga merupakan ajang seleksi alam, yang terbaik, tercepat, terkuat lahir sebagai pemenang. Kota menyimpan  kontradiksi yang tak berkesudahan dalam dirinya. Sebagai indikator kemajuan sekaligus tempat dimana nafsu primitif dibiarkan berbiak.

Kota, 3.500 SM mengacu pada negara, negara kota. Awal kota di daerah Sumerian (Irak sekarang) ini dianggap awal peradaban. Namun sesungguhnya egaliter sebagai konsep sederhana tentang kesejahteraan yang relatif homogen justru terdapat dalam masyarakat Neolithikum. Kota dalam sejarah awalnya sudah menciptakan hirarki, elite dan orang kebanyakan. Dimana para elit adalah golongan yang memerintah, mnearik pajak, dan gemar berperang untuk perluasan wilayah. Kota demikian disebutkan dalam berbagai literatur menjadi penanda: sesuatu berjalan tidak lagi sederhana.

Karena peradabannya kota menjadi pemikat bagi pendatang untuk mengadu nasib. Disamping perdesaan dipandang kurang memberiakn kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup. Fenomena urbanisasi dilihat dari sisi budaya memiliki dua situasi; (1) proses sebuah daerah menjadi kota-mengkota, dan (2) proses migrasi orang-orang  dari desa ke kota. Proses mengkota (urbanitas) dilihat dari aspek material kebudayaan dimana fasilitas-fasilitas kota merupakan indikator penting,  infrastruktur jalan, pusat-pusat produksi, pasar. Sedangkan fenomena migrasi atau perpindahan merupakan konsekuensi dari perubahan dari aspek material kebudayaan tersebut.  Konsekuensi tersebut disebabkan oleh pengembangan wilayah dan pembangunan desa-kota yang tidak seimbang.

Anwar (2005)  menjelaskan fenomena sebagai penghisapan sumberdaya dari desa ke kota. Wilayah hinterland perdesaan menjadi melemah karena terjadi pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash) dan pengangguran  besar yang mengakibatkan terjadinya  aliran bersih (net-transfer) dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan. Namun di sisi lain, terjadinya akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan yang selanjutnya mengarah kepada proses terjadinya kemisikinan dan keterbelakangan di wilayah belakang/perdesaan. Akhirnya pada keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk keluar dari desa ke kawasan kota-kota, sehingga kota-kota besar yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan akhirnya menjadi diperlemah, disebabkan karena timbulnya berbagai “penyakit urbanisasi”  yang luar biasa.

Sedangkan Suparlan (2006)  mendefinisikan kota sebagai sebuah kawasan yang  apapun corak dan besarannya, dibangun untuk kepentingan ekonomi yang menguntungkan bagi para pelaku ekonomi dan bagi warga kota yang bersangkutan.  Oleh karena itu kota dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat hunian atau permukiman yang dihuni secara permanen yang warga atau penduduknya membentuk suatu kesatuan kehidupan yang lebih besar pengelompokkannya daripada sebuah keluarga luas, marga, atau klen.  Kota menyajikan berbagai kesempatan ekonomi yang menguntungkan karena letak geogafinya. Ekonomi perkotaan menghasilkan keuntungan yang berkembang secara akmulatif karena corak kegiatan ekonominya pada industri atau manufaktur dan pada berbagai jasa pelayanan, dan pada pasar dan uang.  Karena itu kota adalah juga pusat kegiatan ekonomi dan profesi, dimana semakin besar dan berkembangnya sebuah kota semakin besar pula penduduknya yang berprofesi sebagai pekerja ‘kerah putih’.  Kota juga merupakan sebuah satuan administrasi pemerintahan yang dibangun dan dimantapkan untuk melakukan berbagai kegiatan pelayanan umum bagi kepentingan kesejahteraan hidup warga kota dan para pendatang yang berkunjung atau berbisnis di kota tersebut, sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan mengenai kehidupan perkotaan kota-kota megalopolis dalam tulisan ini.  Kota juga membangun dan mengatur dan mendominasi wilayah-wilayah penyangga yang tercakup sebagai wilayah administrasinya.  Dengan kata lain, kota adalah pusat pendominasian wilayah sekitarnya yang merupakan wilayah penyangga yang tercakup sebagai wilayah administrasi pemerintahannya. Pertumbuhan sektor ekonomi  komersial  dan  pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan  kemampuan daya dukung lahan  berkurang. Lahan  menjadi  obyek  perebutan  antara  berbagai  kepentingan. Akibatnya  harga  lahan menjadi mahal. Sektor  usaha  yang  mampu menghasilkan laba  ( profit margin) tinggi dan   bekerja  dengan skala besar akan memenangkan persaingan, dengan mudah mendapatkan lahan strategis dekat dengan pusat-pusat kegiatan (Richardson, 1972).

Hasil dari urbanisasi ini seperti paradoks. Cavailhes, et.al. ( 2003) dalam Rustiadi (2007) menyatakan bahwa masyarakat desa menginginkan kenyamanan ruang kota di desa seperti pasar yang bersih, jaringan transpotasi, dan jaringan komunikasi. Sebaliknya masyarakat kota menginginkan kenyamanan suasana desa, seperti bebas dari kemacetan, udara bersih, ruang terbuka hijau yang luas.

Rumah
Di Jakarta semuanya terjadi dan menjadi. Jakarta tempat segala sesuatu yang norak menjadi sebuah kelaziman. Dimana bangunannya gagah, menantang langit, dengan arsitektur yang ‘terinspirasi’ dari tempat-tempat yang jauh, namun membuat gagap para penghuninya, menyeramkan bagi ‘orang luar’. Jakarta merupakan tempat orang melakukan pencitraan yang terus menerus terhadap dirinya, sebagai manusia modern? Namun kesehariannya tetap sebagai orang yang sama seperti sebelumnya. Jakarta tempat ‘kemasan’ lebih dihargai dari ‘isi’. Seperti anekdot yang mengisahkan orang yang dipacari kemudian hamil, sang pacar kemudian berkilah isi diluar tanggungan percetakan (Muttaqien, 2002).

Rumah merupakan sebuah teritori yang memiliki sifat diskursif, anatara nilai-nilai dan kebutuhannya—siapa yang dapat tinggal bersama, siapa tetangga kita, sehingga rumah memiliki hubungan erat dengan asal-usul, baik secara budaya maupun spasial.
Kebutuhan akan rumah tinggal, seperti diungkapkan diatas menjadi semakin penting. Jumlah orang yang memiliki rumah 51 juta, dikurangi rumah tidak layak huni 30 juta jiwa. Menyebabkan  kondisi perumahan di Indonesia masih memprihatinkan. Cuma sekitar 21 juta jiwa mendiami rumah dengan lingkungan binaan yang baik. Dalam situasi yang serba kekurangan ini permukiman bagi kaum miskin merupakan hal yang sangat krusial, mengingat rumah adalah salah satu hak azasi manusia yang dijamin oleh negara.

Secara sosiologis dapat dipastikan bahwa lingkungan perumahan secara pasti mengalami penurunan kualitas hidup, dalam hal ini adalah kualitas ruang. Masyarakat kota besar, seperti Jakarta terus menerus tumbuh, sedangkan ruang tetap dan memiliki daya dukung alam yang terbatas. Sebagai akibatnya, kawasan yang dulu dianggap memiliki lingkungan binaan yang baik dan sehat juga memiliki penurunan kualitas ruang. Hal ini nampaknya merata di seluruh kota. Kondisi ini menyebabkan daerah atau kantong-kantong elitepun menjadi tidak nyaman, karena pada situasi tertentu mereka terisolir, seperti waktu banjir. Bencana banjir menyebabkan daerah sekitar kawasan elit terendam, walaupun kawasan elite tersebut tidak terendam, seperti Kelapa Gading, Cibubur, Pantai Indah Kapuk namun daerah sekitar kawasan tersebut dipenuhi air sehingga menutup akses jalan dari dan ke kawasan tersebut. Bahkan sejak tahun 2002 beberapa kawsan yang sebelumnya tidak pernah banjir seperti Cibubur dan Kelapa Gading, karena kerusakan lingkungan di daerah hulu dan pemanfaatan yang tidak sesuai zonasi menyebabkan kawasan-kawasan tersebut terendam banjir.
Penurunan kualitas ruang lebih parah terjadi di kalangan miskin. Kaum miskin memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan kaum elit kota. Mereka tinggal di daerah-daerah yang memang merupakan daerah bahaya, seperti bantaran kali atau sempadan jalan tol. Atau mereka tinggal di lahan-lahan milik umum atau lahan tidur milik swasta.

Terletak di ujung utara kelurahan Rawa Bunga, disebelah Utara bertetangga dengan Kelurahan Kayumanis dipisahkan oleh rel kereta api. Sebelah Barat dan Selatan bertetangga dengan kelurahan Balimester dengan batas alam terusan kali Mookevart atau kali Baru. Disebelah Timur bertetangga dengan Stasiun Kereta Api Jatinegara. Letak RW 01 terpisah dari RW-RW lainnya. Disela oleh jalan propinsi, Jalan Bekasi Barat Raya.

Dikelilingi oleh pasar regional Jatinegara, Plaza Jatinegara, Pertokoan Lokomotif milik PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dan Pasar Burung Jatinegara (dikenal dengan Pasar Kemuning). Warga RW 01 sebagian besar pedagang, baik pedagang formal maupun informal (pedagang kaki lima). Sebagian lain adalah karyawan toko dan pegawai PT. KAI (sebagian wilayah RW 01 dikuasai oleh PT. KAI duluPerusahaan Jawatan Kereta Api/PJKA, diwilayah ini terdapat perumahan pegawai PT. KAI). Perpindahan penduduk di wilayah ini (penduduk musiman) termasuk cepat dan cukup membuat sibuk para pengurus RT. Hal ini disebabkan oleh akses lokasi RW 01 yang sangat strategis. Para penduduk musiman ini biasanya tinggal di rumah saudaranya yang telah menetap sebelumnya, kemudian ‘magang’ dan membuka usaha sendiri. Dari hasil pemetaan masalah, di RW ini ada beberapa isu strategis yang muncul.

Pertama, masalah keamanan. Masalah keamanan merupakan masalah yang cukup mendominasi. Isu keamanan ini berhubungan dengan ketertiban pedagang terutama para pedagang burung yang ada di jalan Kemuning, masalah pungutan liar (pungli) kepada para pedagang, masalah Narkoba dan perjudian. Disini ada arena sabung ayam yang cukup di kenal di Jakarta.

Kedua, masalah kemiskinan. Permasalahan akses kepada sumber daya pembiayaan, akses kepada perumahan yang layak, akses untuk mendapatkan pencaharian hidup yang layak merupakan karakteristik masyarakat migran kota (baca: kaum miskin kota) yang merupakan akar kemiskinan.

Ketiga, masalah pelayanan umum/sosial. Dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan luas lahan yang terbatas serta lokasi yang terpisah dari RW lain maka permasalahan pelayanan umum merupakan masalah yang cukup dominan. Masalah seperti MCK helikopter, fasilitas pertemuan warga yang kurang memadai, sarana olah raga yang kurang layak merupakan sebagian dari permasalahan fasilitas umum/sosial.

Keempat, masalah kelembagaan RW. Masalah pembinaan RW kepada pengurus RT menjadi sebab mengapa banyak pengurus RT tidak memahami fungsinya sebagai wakil rukun tetangga. Masih dalam lingkup RW, ada persoalan kurang aktifnya (responsif) wakil Dewan Kelurahan di RW 01 dalam menjaring aspirasi warga untuk pengambilan keputusan di tingkat kelurahan.

Kelima, masalah eksternal. Masalah eksternal yang muncul antara lain program pemerintah yang dirasakan tumpang tindih. Banyak program yang memiliki sasaran yang sama dengan kegiatan yang ‘hampir’ sama. Masalah eksternal lainnya adalah hubungan dengan stakeholder lain, seperti tembok Perumka yang mau rubuh dan membahayakan orang-orang disekitarnya, permasalahan dengan lembaga lain seperti susahnya untuk memakamkan orang yang meninggal (Profil RW 01 Kelurahan Rawa Bunga, kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, dalam Widhyanto et.al., 2002)

Selain ketiadaan akses untuk memiliki rumah, kaum miskin kota juga tidak memiliki budaya untuk memperbaiki lingkungan binaan mereka. Kebertetanggaan diantara mereka tidak diikuti oleh pemupukan modal sosial dan modal budaya yang kuat. Hal ini disebabkan oleh pembangunan yang meminggirkan mereka. Komunitas tidak memiliki visi bersama untuk lingkungan permukiman mereka . Sejak komunalitas digantikan oleh birokrasi negara, bahkan tidak hanya masyarakat perkotaan, masyarakat perdesaanpun menjadi tumpul kemampuannya dalam menjaga dan membentuk lingkungan binaan mereka untuk kesejahteraan bersama. Hal ini dapat dilihat dari ilustrasi di atas. Masyarakat di Rawa Bunga kehilangan kapasitas self helpnya, kemandiriannya. Widhyanto Muttaqien (2004) menyatakan bahwa tujuan-tujuan dari sebuah pemberdayaan itu sendiri adalah sebagai berikut; (1)  menjaga keberlanjutan program-program yang telah disepakati, (2) saling berbagi sumberdaya diantara para pihak yang terkait (3) merawat aset masyarakat dan mampu mendamaikan konflik-konflik kepentingan atas pemanfaatan aset-aset tersebut (4) mampu melakukan replikasi atas keberhasilan dalam membuat mekanisme keswadayaan (terutama pembelajaran ke luar komunitas dan ke generasi berikutnya (intergeneration learning). Pada tahap keswadayaan tertentu sebuah komunitas yang otonom akan dapat menemukan sendiri mekanisme keswadayaannya (self help) yang akan menjadi jaring pengaman sosial bagi keutuhan komunitas tersebut.

Sebagai akibatnya pola-pola perubahan dalam permukiman memiliki pola-pola seperti dibawah ini . Pertama, perubahan itu mendorong berlangsung pergeseran populasi, yakni proses invasi ke dalam dan proses tergeser ke luar. Ini karena pemusatan aktivitas masyarakat industri   perkotaan merubah pengembangan properti. Kampung-kampung beserta pemiliknya yang masih hidup pada sektor ‘ekonomi tradisional’ secara bertahap tergeser ke pinggiran. Proses jentrifikasi ini terus berlangsung dan mengakibatkan perkampungan akan semakin berkurang. Sementara itu, migran dari pedesaan terus berupaya untuk tetap melakukan invasi ke dalam, bertahan dan bermukim di kampung-kampung serta lorong-lorong publik. Upaya ini dilakukan karena perkembangan kota belum mampu memindahkan pekerjaan dari pusat ke pinggiran. Pusat masih tetap menjadi lokasi mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, perkotaan dipaksa untuk bertransformasi menjadi sebuah urban containment raksasa dengan kepadatan manusia yang makin melampaui ambang batas kewajaran.

Kedua, perubahan populasi itu mendorong adanya perbedaan kesejahteraan. Kelompok mampu cenderung terus berusaha menandai status sosialnya melalui permukiman yang mereka bangun, di samping mendorong munculnya perasaan takut terhadap ancaman yang pincang itu. Implikasi berikutnya  adalah hadirnya usaha untuk menciptakan teritorial yang dipertahankan (defended territory), misalnya dalam bentuk bangunan pagar yang tinggi atau mendirikan gardu satpam.

Sementara itu, paket-paket pembangunan perkotaan juga  menciptakan “pulau-pulau pertahanan” (defended islands), seperti yang terjadi pada sistim kavling dan lainnya. Hubungan antar “pulau-pulau” itu sendiri kemudian hanya bisa dilakukan setelah keluar jalan besar dan berputar balik. Akibatnya, selain memberikan beban transportasi, ruang antar kavling yang menerus menjadi sulit diciptakan. Implikasi lain dari perbedaan tingkat sosial itu adalah terjadinya proses isolasi sosial secara homogen, terutama dalam pembangunan permukiman yang mengelompokkan diri dalam sebuah tenunan sosial yang homogen dan seringkali berwujud sebuah teritorial permukiman dan perkantoran yang terisolasi.
Ketiga, superimposisi urban cotainment, teritorail yang dipertahankan, “pulau-pulau pertahanan” dan berbagai bentuk isolasi-isolasi itu dengan sendirinya akan memunculkan sebuah realitas urban yang dikenal sebagai segregasi kota (urban segregation). Citra yang ditimbulkan kemudian adalah pada terbelahnya lansekap ke dalam variasi permukiman yang kurang menguntungkan secara sosial maupun politis karena adanya kontras antara formal dan informal, tertata dan tidak tertata, industrial dan tradisional, mampu dan tidak mampu dan lain sebagainya.

Keempat, urban containment yang dihuni masyarakat berpenghasilan rendah, baik yang berupa pemukiman kumuh yang dibangun di atas tanah secara legal (slum) maupun  yang dibangun di atas tanah secara illegal (squatter), pada dasarnya merupakan kristalisasi permasalahan permukiman kumuh perkotaan. Bersamaan dengan isu segregasi kota, permasalahan pemukiman kota ini mempunyai nuansa politis. Ini tentu saja memerlukan perhatian serius karena secara inherent akan menjadi persoalan yang sangat pelik. Persoalan yang sangat politis tersebut adalah perebutan ruang kota.

Ritus Hidup

Jakarta tempat para migran dipupur, didesain ulang, dihamili dan melahirkan berbagai persoalan (Muttaqien, 2002).


Salah satu pendekatan untuk melihat bagaimana kemiskinan bertambah buruk  dalam suatu masyarakat, Ocar Lewis (1988)  menawarkan kajian etnografis melihat keluarga sebagai unit analisis. Kehidupan keluarga (cultural shared dan shared knowledge) menyebabkan kemikinan dalam keluarga tetap lestari. Lewis, melihat kemiskinan sebagai way of life. Seperti Putnam (1993) melihat yang menyelidiki permasalahan modal sosial di komunitas dengan studi kasus Italia, menilai ada kontradiksi pola dalam pembangunan ekonomi di Italia. Untuk warga yang sejahtera, komunitas diterjemahkan sebagai katup pengaman dan perluasan privelese yang telah diperoleh. Sementara bagi golongan miskin komunitas diterjemahkan sebagai ‘mengendalikan kekumuhan mereka’.

Lebih kecil dari keluarga, maka terdapat subyek, anggota keluarga yang menghuni sebuah rumah. Subyek ini walaupun memiliki hubungan dengan entitas yang lebih besar dari dirinya (keluarga) namun sebenarnya merupakan ruang tersendiri. Subyek diri merupakan kumpulan hasrat, kesenangan, luka dan cinta. Dalam kajian fenomenologis tubuh dan pikiran dipisahkan. Sehingga terjadi pula pemisahan antara produksi hasrat dan produksi sosial. Levebre (2001)  menyatakan bahwa spatial practice (praktek spasial) merupakan mencakup kegiatan produksi dan reproduksi dan lokasi tertentu dan karakter wilayah dari pembentukkan sosial. Praktek spasial ini menjamin keberlanjutan dan tingkat kohesi sosial. Dalam konteks ruang sosial dan anggota di dalamnya maka kohesi sosial ini berimplikasi pada tingkat kemampuan dan tingkat keragaan (kemampuan mencapai hasil).  Sedangkan representation of space (representasi ruang), berkaitan dengan hubungan-hubungan produksi dan penugasan terkait hubungan tersebut, dan sebagai  hasil dari mengetahui, memberi tanda dan menggerakkan hubungan tersebut. Representasi ruang merupakan ruang yang dikonsepkan oleh subyeknya. Ruang ini merupakan ruang yang dapat dibaca oleh anggotanya lewat sistem tanda. Representational space mengandung simbolisme yang kompleks, terkadang ditandai, kadang tidak, ruang ini terkait dengan bawah sadar dari kehidupan sosial.   Ruang ini merupakan ruang yang dihuni. Jika dilihat dari sisi psikoanalisa maka ketiga ruang tersebut dapat diwakili dengan kata persepsi, mengerti, dan mengalami (perceived-spatial practice, conceived- representation of space, lived- representational spaces). Cara kita berpikir (representation of space) akan mempengaruhi kondisi ruang, pembentukkannya. Kita akan mengisi ruang tersebut dari apa yang kita pikirkan. Hal ini dipengaruhi secara langsung oleh pengetahuan, juga ideologi. Sedangkan representational spaces dipengaruhi oleh  memori masa kecil, impian, simbol dan citra bawaan (uterine). Representational space ini yang terkadang mengabaikan spatial practice (realitas), mendobraknya. 

Perbedaan-perbedaan  dalam masyarakat dipengaruhi oleh konsep triadik ini, dimana identitas akan menemukan perannya. Dalam masyarakat pos modern persoalan berumah-memiliki rumah bahkan menjadi lebih dalam dan kompleks. Dalam karena permasalahan ini sangat pribadi, letaknya pada ritus kehidupan seseorang individu dimana, baik secara kelompok maupun pribadi, kehidupan itu sendiri bertujuan untuk memisahkan diri dan menyatukannya kembali, untuk merubah keadaan, lahir kembali. Inilah ritus hidup manusia pos modern. Semakin asing bagi dirinya, di lain waktu, sangat dekat dengan yang Lain.  Heidegger melihatnya sebagai ada-tidak ada-mengada, dalam faktisitas tertentu dan situasi tertentu manusia ada. Sehingga konsep rumah sekarang adalah proses kehadiran aktif manusia. Sebagai pusat realisasi kehidupan manusia. Sebagai arsenal, dimana manusia menemukan kemanusiaannya kembali.

Permasalahan permukiman dalam masa pos modern tidak cukup dilihat dari kebutuhan dasar yang bersifat almiah saja, atau dari sisi relasi sosial (konstruksi sosial). Penemuan jati diri dan kebebasan menjadi isu utama dalam  era sekarang. Secara asimetris hal ini dapat diumpamakan seperti kembali ke masa lalu-retrospektif. Dimana gua-gua merupakan tempat terbaik untuk memahami diri sendiri. Dari kecenderungannya yang terasing dan mengasingkan diri manusia Jakarta seperti sedang membangun gua di tengah kota.

widhy | sinau

Hamid, Abdul dan Ahmad, Iman 1992. Perubahan Ekonomi dan Resistensi Budaya,Prisma, LP3ES, Jakarta dalam Muttaqien (2002).

Muttaqien, Widhyanto, Andit, Abdurahman dan Baehaqie, Ahmad. 2002. Mendobrak Kebiasaan: Belajar Bertatakrama dalam Pembangunan di Kelurahan Rawa Bunga. Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemda Provinsi DKI Jakarta-Program Perencanaan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Redfield, Robert. Peasant Society and Culture dalam Amos Rappaport. 1969. House Form and Culture. Prentice Hall.

Lawan vernacular (indigenous) biasanya disebut popular, vernakular merujuk pada bentuk asli, digunakan masyarakat tanpa diketahui secara pasti asal-usulnya, anonim, tanpa authorship. Sedangkan popular merujuk pada penggunaaan oleh orang kebanyakan, dan dapat dibedakan pad abagian-bagian tertentu, sedangkan folk digunakan oleh lebih banyak orang (dari kebudayaan yang lebih rendah)

Mumford, Lewis. 1952. Art and technics. columbia University Press.

Redfiled, Robert. 1953. The Primitive Worlds and It’s Transformations. Cornell University Press.

Anwar, Affendi. 2005. Tinjauan Kritis Kebijakan Pembangunan Perdesaan Di Indonesia. Crestpent Press, Bogor.

Suparlan, Parsudi. 2006. Megalopolis: S ebuah Peluang Vs  Ancaman Bagi Peningkatan  Kesejahteraan Masyarakat. Makalah Seminar: Wahy Megalopolis. Jakarta, 5 April 2006. Tidak dipublikasikan.

Muttaqien, Widhyanto. 2004. Tingkat Partisipasi Pembangunan pada Perencanaan Pembangunan di Tingkat Komunitas: Studi Kasus Kelurahan Rawa Bunga, Jakarta Timur. Tesis tidak dipublikasikan. Program Perencanaan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2001. Forum Pengkajian Perencanaan Provinsi DKI Jakarta. Bappeda DKI Jakarta.

Lewis, Oscar. 1988, Kisah Lima Keluarga. Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Yayasan Obor, Jakarta.

Levebre, Henry. 2001 (reprinted). The Production of Space. Blackwell.

Putnam, Robert. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy, Princenton.


 

 

No comments:

Post a Comment