imagine yourself suddenly setdown by all your gears, alone (malinowsky)
Adi Pahlawan
Salah satu ikon dalam kebudayaan komik adalah Batman, adi pahlawan tanpa adi daya. Batman ketika menghadapi para penjahat cuma mengandalkan aneka perkakas. Batman tidak memiliki kekuatan yang serba maha, kekuatan dari langit. Pekerjaannya adalah atletik dan olah tubuh, hanya itu yang membuatnya kuat. Lantas apa yang membuat Batman begitu spesial? Batman hidup karena dendam.
Kaum Indian sekarang mengajarkan kembali mitos-mitos yang selama ini cuma diteliti oleh para antropolog seperti Boas dan Tate, mitos-mitos diajarkan di sekolah-sekolah dasar anak-anak Indian. Dengan tujuan yang berbeda mitos-mitos diajarkan untuk melakukan kontra-klaim terhadap sejarah yang dibuat oleh kulit putih (klaim teritorial, klaim politik, dsb) . Ketika mitos-mitos menggantikan sejarah artinya ada perbedaan antara yang dikumpulkan dari dalam dan dari luar. Orang Indian tidak sedang menihilkan sejarah atau menyudahinya, mereka sedang menguji sejarah dengan sejarah. Bahkan sejarah tidak berakhir disini, sejarah disulam dengan kondisi sekarang dengan pola harapan.
Ketika sepatu wartawan Irak dilempar ke arah pemimpin negara adi daya, George W. Bush, apakah berakhir sejarah Amerika di Irak? Televisi menyiarkan masyarakat Irak berpesta, tertawa, dan berteriak-teriak mendukung keberanian sang wartawan sambil mengerek sepatu dan membakar bendera Amerika. George W. Bush membuat pernyataan yang mengatakan bahwa ini bukanlah representasi masyarakat Irak dan dia tidak merasa terancam dengan insiden itu. Sementara masyarakat Amerika tertawa melihat hiburan dadakan, dengan mengatakan, “Presiden telah mengendalikan keadaan dengan sangat baik.” Lagi, televisi memberikan ulasan mengenai hal tersebut dengan mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan ucapan selamat tinggal yang paling kasar terhadap orang yang telah membantu mereka lepas dari rezim tiran. Televisi juga menggambarkan betapa tidak berdayanya masyarakat Irak menghadapi perang saudara dan melesetnya janji Amerika untuk mensejahterakan masyarakat Irak pasca kepemimpinan Sadam Hussein sang Tiran Babilonia yang oleh George W. Bush disebutkan sebagai salah satu tiang dari Poros Setan. Dua tahun sebelumnya masyarakat Shiah Irak dan etnis Kurdi di Utara Irak berpesta-pora atas eksekusi Presidennya. Saddam dan Bush datang dengan pesta dan pergi juga dengan pesta. Ada ironi heroisme disini, menang bukan segalanya.
Dari riwayat yang rusak manusia membayangkan satu titik di depan yang sempurna. Titik itu seringkali ditegaskan, tetapi sebenarnya, memakai kata-kata Laclau, sebuah “penanda yang kosong”. Kekosongan ini bukan berarti sesuatu yang sepenuhnya negatif, justru penanda ini begitu menggetarkan dan menggerakkan kita, dan lahirlah damba. Dengan damba itu kita membuat sejarah untuk mengisi penanda kosong itu dengan sesuatu yang bisa ditandai dengan memadai. (Goenawan Mohamad, 2007).
Bagi Hegel, pahlawan adalah yang berdiri di antara moralitas sosial dan moralitas personal, antara warga negara dan pribadi. Pahlawan adalah orang yang menjadi sintesa, dari Ide dan Alam. Ia hidup dalam Waktu, menguasainya. Pahlawan memiliki sifat yang khas, ia bebas. Dialah Sejarah. Dalam konsep triadik Hegelian (ada-tidak ada-mengada) letak pahlawan adalah mengada-menjadi ada (becoming) . Mengada bukanlah akhir, jika diberikan tanda titik seperti yang diutarakan oleh Goenawan Mohamad maka mengada menjadi ada—tak ada—ada. Artinya, proses mengada itu selalu ‘dialektis’. Dan pahlawan tak perlu ditampik, bahkan kebudayaan komik mengharamkan kematian pahlawan. Superman pernah dibikin mati oleh pengarangnya, dibunuh oleh Doomsday (Kiamat), namun pembaca protes- (jika demikian) sejarah telah berakhir. Superman kemudian dihidupkan kembali.
Yang rudin
Identifikasi korban bagi masyarakat modern selalu ‘yang tidak mampu bersaing’. Sedangkan kekalahan adi manusia tidak dibenarkan dalam sejarah, sebab itu adi manusia harus dirawat dan diruwat. Korban selalu diposisikan sebagai yang kalah dalam sejarah, Batman betapapun telah memenjarakan banyak penjahat selalu ditampilkan sisi masa lalunya, ada yang membuatnya selalu lara: kematian dari orang-orang yang dicintainya. Ia adalah korban. Demikian halnya Rambo.
Korban lainnya adalah massa dalam budaya massa. Massa terus-menerus harus harus dibela, karena dianggap tidak memiliki landasan pilihan dalam masyarakat kapitalis. Mereka korban kebohongan iklan. Iklan para adi pahlawan menyebabkan terjadinya proses imitasi dan lokalisasi dalam kebudayaan komik, Maza misalnya memiliki kisah seperti Tarzan, Pangeran Mlaar memiliki kesamaan dengan Plastic Man, Gundala karakternya mirip Captain America. Perbedaan mendasar dari asal-usul ke-adi manusiaan mereka adalah adi pahlawan di Barat (baca: Amerika) memiliki unsur-unsur ilmu pengetahuan (science), setidaknya dalam budaya adiluhung mereka ilmu pengetahuan diposisikan sebagai nilai utama (core value). Nilai yang bisa mengangkat derajat kehidupan manusia. Dalam komik Indonesia latar belakang ilmu pengetahuan ini tidak dijumpai, asal-usul mereka adalah kemiskinan, wajah yang buruk, ketidakpopuleran di kalangan perempuan, berkelahi kalah terus, dan tiba-tiba mendapatkan sesuatu yang ajaib-adi dunia-merekapun menjadi pahlawan pembela kebenaran, dambaan perempuan, ganteng dengan topengnya, berkelahi menang terus, soal asal-usul kemiskinan terlupakan. Di budaya komik Indonesia terdapat beberapa yang khas Indonesia, setidaknya diwariskan dari nenek moyang sebagian orang Indonesia-yang dipercaya adalah migran dari bangsa Cina; para jagoan silat. Mereka sering digambarkan bagian dari trah kebangsawanan dan menolak kemewahan, lebur bersama korban-masyarakat yang dianiaya oleh raja-raja.
Dalam realitanya di masyarakat sekarang, unsur manusiawi para adi manusia lebih ditonjolkan, Superman menangis ditinggal menikah oleh Lois Lane, Batman mengalami keterbatasan dalam memerangi kejahatan dan memerlukan bantuan orang lain, pahlawan perang Vietnam bukan lagi pahlawan bagi anak muda di tahun 1990an, dan mereka perlu kelanjutan dari kehidupan mereka dengan menuntut pihak-pihak yang mereka kirim ke Vietnam sebagai ‘pembohong besar’ lihat genre film perang 1980-1990an seperti Born at The 4th of July, The Casualties of War.
Para korban (dan penjahat) juga dilihat sisi baiknya. Selain kehidupan pribadi mereka yang normal seperti warga negara lainnya, hampir tidak ada penjahat yang lahir sebagai orang jahat, mereka terpaksa, tak punya pilihan-setidaknya kegilaan hanyalah akibat masa lalu yang buruk (bahasa gaulnya ‘masa kecil kurang bahagia’), seperti prekuel Hannibal dalam Hannibal Rising. Yang jahat adalah sistem bukan agen. Sebaliknya, genre film tentang teror (atau perjuangan?) yang dilakukan oleh ‘militan muslim fundamentalis=teroris?’ dibuat dengan menyembunyikan sisi manusiawi teroris, mereka digambarkan sebagai orang-orang yang memiliki pilihan tapi memilih untuk membunuh orang tak berdosa, dan itu dilatabelakangi dengan ideologi jika bukan agama (lihat film-film tentang Sudan, Afganistan dan Irak seperti Kandahar), para teroris (muslim ini) memiliki satu versi cerita: dididik untuk menihilkan yang lain, radikal, dan berbeda dari ideal masyarakat sipil Barat.
Dalam tulisan Tsing (1998) nyanyian dukun, tokoh spiritual seperti Ada Umang di pegunungan Meratus merupakan tokoh yang mewakili sikap masyarakat yang melakukan perlawanan dan juga akomodasi terhadap kekuasaan yang lebih besar. Ama Umang diyakini oleh penduduk setempat sebagai penyembuh tradisional yang dapat berkomunikasi dengan kekuatan gaib. Dikatakannya, ‘sejarah’ menurut penuturan Uma Adang membawa masa depan dan masa lalu ke dalam masa kini.
Tsing membuat tulisan mengenai perlawanan Meratus tidak cukup dengan teori dikotomis penjajah dan yang dijajah, pahlawan dan korban, pandangan masyarakat menurut Tsing seperti pandangan Uma Adang terhadapnya adalah “melihat saya sebagai wanita yang luar biasa dengan kekuatan yang diketahui, pengetahuan kebudayaan yang tak jelas, dan semangat yang tak mau kalah.” Tsing berpandangan yang sama terhadap Uma Adang. Tsing percaya pada ekletisme, manusia butuh lebih banyak cahaya dalam ruang gelap mereka.
Uma Adang: Menghitung langkah adalah bagian yang sejati dalam menyelidiki sejarah, tetapi engkau dan saya memiliki metode yang berbeda. Engkau menghitung setiap langkah, sedangkan saya dengan cepat mengetahui berapa langkah yang saya tempuh ketika tiba di suatu tempat. Misalnya saya tahu bahwa saya menempun 222 langkah dari rumah yang terakhir di permukiman tersebut.
Tsing: Sebenarnya saya menghitung 947 langkah dari rumha itu.
Uma Adang: (tersenyum lebar) Kalau begitu langkah saya lebih lebar (dalam Tsing, 1998).
Yang rudin adalah ketika menutup dialog pada sesuatu yang diskursif. Kehilangan segalanya.
Tautan Ruang dan Waktu
Sekarang dunia bergerak ke arah disintegrasi dari nilai-nilai bersama dan dekonstruksi masyarakat konsensual, artinya dunia sekarang memandang keberadaan ‘kenyataan’ secara lebih beragam bahkan saling mengukuhkan superioritas. Oleh Vidich, A.J. dan Lyman, S.M. (1998) keadaan ini digambarkan sebagai situasi dalam kutipan Milan Kundera ‘moving through the void without any master’. Dengan konteks yang berbeda ruang kosong tanpa tuan tersebut menjadi raison d’etre dari ideologi pembangunan pasca kolonialisme. Pembangunan di Dunia Ketiga setelah terbitnya negara-negara bangsa sebagai sebuah negara modern yang berdaulat merupakan kesempatan bagi para imperialis untuk kembali menjajah: dengan kolonialisasi pengetahuan. Anggur lama dalam botol baru: negara-negara bekas jajahan tidak akan mampu membangun dirinya sendiri, bekas negara-negara kolonial belum merdeka sepenuhnya. Dalam Tsing diungkapkan pergulatan pemikiran ini, Edward Said meneguhkan peran penjajah dalam pembangunan, “kekuasaan dan tindakan selalu dimiliki oleh penjajah.”
Dalam kerangka sejarah kebudayaan konstruksi masyarakat Barat terhadap ‘yang Lain’ dapat dilihat dari perkembangan penelitian sosial seperti yang diringkas dari Vidich, A.J. dan Lyman, S.M. (1998) seperti sebagai berikut.
Pasca Era Pencerahan, yaitu dimulainya pencarian dunia baru, dikenal dengan kolonialisme. Di era awal ini para etnograf berhadapan dengan ‘pemilik pengetahuan ’ yang diwakili oleh kolonialis dan ‘pemilik kedaulatan’ yang diwakili oleh ‘pribumi’, yang dalam daerah kolonialisasi isu utamanya adalah revolusi antikolonial, nasionalisme, dan penentuan nasib sendiri. Beberapa etnograf awal melihat kondisi ini dengan memihak pada ‘pribumi’ dan mencari ‘modernisasi kehidupan’ pribumi, beberapa terutama penganut Marxist melihat situasi antikolonial sebagai perjuangan dalam mempertahankan ‘gaya hidup’ pribumi, yang dalam kontinum perubahan masyarakat disebut masyarakat pra kapitalis. Beberapa melihat ranah etnografi sebagai wilayah akulturasi antara norma oksidental yang dibawa oleh kaum kolonialis dengan norma pribumi, dan nilai-nilai apa yang hidup dan bisa dipertukarkan, ‘new live for old’. Dari satu momen ini, etnograf dapat melihat siapa ‘master of the world’.
Perkembangan kedua adalah metode komparasi Comtean, yang diilhami oleh dominasi oksidental atas ‘yang lain’, sehingga August Comte melakukan studi evolusi kebudayaan dan peradaban. Comte menilai peradaban secara serial dan tak terulang melalui tiga tahapan kebiadaban (savegery), barbarisme (barbarism) dan peradaban (civilization), dalam Comte tiga tahap tersebut sejalan dengan perkembangan agama Kristen. Sehingga isu saat itu masih bias oksidental, namun banyak hasil karya etnografi saat itu memberi kontribusi atas konstruksi awal sejarah peradaban dan asal-usul moral dalam perspektif Eropa.
Perkembangan ketiga adalah masa perang dingin. Masa perang dingin berakhir setelah Perang Dunia II selesai dan negara bangsa muncul di Asia dan Afrika. Pada masa ini isu kolonialime berakhir. Terminologi primitif pada saat itu diganti oleh kurang berkembang (underdeveloped). Di wilayah bekas jajahan desain ini dinamai ‘Dunia Ketiga’, dan di Amerika dan sebagian Eropa isu yang berkembang adalah ‘kulit berwarna’ atau lebih tepatnya ‘kulit hitam’. Isu ini yang dikembangkan dalam riset sosial terutama etnografi. Etnograf menilai yang harus bertanggung jawab atas semua ini adalah kekuatan kolonial dan pendukungnya. Standar yang digunakan dalam mengukur kemajuan adalah Amerika, dimana hubungan-hubungan dalam kelembagaan sosial, politik, ekonomi hadir bersamaan dengan kemajuan yang dicapai oleh penegakan hak asasi, demokratisasi dan kapitalisme. Permasalahannya asal mula bangsa Amerika adalah kaum oksidental yang pertama kali berhadap-hadapan, dengan apa yang disebut sebagai primitif, barbar, dan kurang berkembang.
Perkembangan keempat adalah kebudayaan yang berkembang didasarkan urban, rural, dan peripherial-perkotaan, perdesaan dan pinggiran. Etnograf melihat dan membandingkan perkembangan sosial, politik dan ekonomi di daerah ini. Primitif digantikan dengan eksotik. Namun eksotisme inipun perlu direformasi, padahal sebelumnya berkembang sosiologi pemahaman (sociology of understanding-Weber, verstehende sociology) dan masalah nilai-nilai yang tak dapat dipertukarkan. Permasalahan reformasi nilai dan penyesuaian sosial dalam sosiologi perkotaan ini berakar pada Missi Kristen (pada kasus-kasus Ghetto, kantong kemiskinan dan daerah kumuh perkotaan Amerika, yang dihuni oleh kelompok minoritas tertentu).
Perkembangan kelima adalah etnografi asimilasi. Permasalahan asimilasi merupakan ‘kelanjutan’ dari permasalahan ‘reformasi nilai dan penyesuaian kebudayaan’, perkembangan ini menyebabkan menurunnya peran WASP (White Anglo Saxon Protestanism) di Amerika dan berkembangnya paham ‘unmeltable ethnics’, yang menarik dari perkembangan di era ini adalah menurut Kivisto and Blanck (1990) generasi ketiga di Amerika berusaha mengenalkan kembali, mencari, dan menemukan kebiasaaan-kebiasaan mereka yang lama yang dibawa oleh nenek moyang mereka. Generasi ketiga disebutkan sebagai ‘children of gilded ghetto’, artinya generasi yang cuma disepuh tipis (oleh proyek reformasi nilai sebelumnya), problem inilah yang hadir dalam perkembangan etnografi di masa itu, permasalahan presentasi, representasi, dan disintegrasi.
Perkembangan keenam adalah tantangan posmodern, yaitu ilusi masa lalu dan utopia masa depan. Masa lalu tak dapat ditelan, masa depan tak dapat dikunyah. Beaudillard menyebutnya sebagai tematisasi dari representasi sebagai fiksi persuasif. Tema dari etnograf di masa ini adalah partikularisme versus metanarasi, lokal versus global, relatif versus generalisasi dan gradual versus temporal. Atau menurut Lash (2003) tema dari posmodern adalah (1) mempertahankan humanisme, (2) mencoba membangun kembali dimensi historis, (3) menolak konvensi, (4) bukan self referential namun others referential. Sehingga Geerzt (1973) mengatakan etnografi berubah dari ‘thick description’ menuju ‘thick interpretation’. Tugasnya menterjemahkan kembali narasi yang ada, sambil membuka selimut kebenaran yang tersembunyi, kemudian mempersoalkan selimutnya. Mempertanyakan kembali apa yang disepakati merupakan tugas dari ilmu sosial kontemporer, dimana konvensi yang berlaku harus dilihat sebagai hubungan-hubungan kekuasaan.
Sedangkan jika dilihat dari sisi perkembangan ekonomi, perkembangan pemikiran kebudayaan tersebut dapat diringkas lewat pernyataan Arturo Escobar seperti kutipan berikut:
Anthroplologist, for the most part, have take taken post WWII “development”, for granted; they have accepted it as the normal state of affairs and have thus contributed to its naturalization. How unanthropological, one might say, to accept an entire historically produced cultural field without probing its depth (Arturo Escobar seperti dikutip James Ferguson, 2005)
Antropologi seperti yang dikhawatirkan diatas adalah antropologi pembangunan, dimana Koentjaraningrat (1990) mengklasifikasikannya sebagai berikut:
1. Masalah teori dan metodologi pembangunan
a. Masalah dualisme ekonomi, atau kesenjangan antara ekonomi perdesaan dan ekonomi industri di negara-negara sedang membangun.
b. Masalah kesenjangan kemajuan sosial budaya antara berbagai golongan sosial dan bagian-bagian tertentu dalam negera-negara yang sedang membangun.
c. Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran.
d. Masalah peranan agama dalam pembangunan.
2. Masalah kebijakan pembangunan
a. Aspek manusia dan model-model dalam perencanaan pembangunan.
b. Masalah arah pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju masyarakat serupa masyarakat Eropa Barat dan Amrika.
c. Kajian antropologi mengenai pembangunan ekonomi Marxisme.
d. Aspek pembangunan padat karya dan padat modal.
3. Masalah sektor-sektor serta unsur-unsur yang dibangun dan akibat-akibat sosial politiknya
a. Masyarakat desa.
b. Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB).
c. Lingkungan.
d. Kepemimpinan dan pembangunan.
e. Pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan.
f. Perubahan sosial budaya akibat pembangunan.
g. Aspek manusia dalam reorganisasi administrasi dan pemerintahan.
h. Masyarakat majemuk dan integrasi nasional.
Ketiga pokok masalah tersebut berkaitan erat. Proses marjinalisasi yang terjadi disebabkan oleh politik pembangunan ekonomi yang pro-positivist orthodoxy. Dimana sejarah dilihat linear, homogen, di semua bangsa, sehingga pasca Perang Dunia ke-2 hampir seluruh negara-negara bekas jajahan memiliki agenda yang sama, seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat di atas. Positivist orthodoxy yang melihat sejarah linear dan seragam mensyaratkan kemajuan sebagai ‘the west is the best, others were rest”.
Sepuhan Tipis
Seeking to be anybody’s house it becomes nobody’s.
(Dally, 1989)
Pembangunan yang bias telah menimbulkan berbagai konflik, maka diperlukan pendekatan pembangunan yang mampu menghilangkan konflik sekaligus meningkatkan sumberdaya sosial. Perkembangan paradigma pembangunan sekitar tahun 1960 sampai 1970 dikendalikan dari peraturan kolonial, khususnya sistem perencanaan sekitar periode akhir tahun 1930-an dan pasca peran dunia ke II. Konsep yang dilakukan adalah pendekatan atas-bawah (sebuah usaha pembangunan dimana pemerintah melakukannya untuk rakyat), dan bahasa yang digunakan adalah bahasa militer-birokrasi oleh PD II, yang menurut pustaka disebut tujuan, sasaran, strategi, kemampuan. Namun hal ini mengalami kegagalan untuk meningkatkan hidup dari mayoritas yang lemah/miskin di dunia berkembang. Pengembangan pola pembangunan partisipatif muncul sebagai reaksi pada perwujudan kegagalan ini, dipopulerkan terutama sekali oleh Gordon Conway dan Robert Chambers (1992), dan David Korten (1996) .
Partisipasi ini berbeda dengan dengan konsep awal mengenai partisipant-observer bertujuan pada tindakan-tindakan sosial dan aksi kolektif. Bukan sekadar mendeskripsikan secara detil (thick description). Namun metode yang digunakannya masih sama, let others speak. Bagi Habermas dua pilihan tersebut (bertindak dan memahami) merupakan dua pilihan dalam kerangka teori aksi komunikatifnya, ’berorientasi pada keberhasilan’ dimana subyek individual mengejar tujuan-tujuannya dalam relasinya dengan lingkungan, baik fisik dan sosial yang dihayatinya sebagai obyek yang asing. Tindakan kedua adalah tindakan-tindakan agen terlibat diarahkan bukan pada perhitungan-perhitungan keberhasilan egosentris, namun oleh tindakan-tindakan untuk mencapai pemahaman, dimana pemahaman tersebut merupakan ’telos inheren dari perbicangan manusia’, yaitu pencapaian kesepakatan di antara subyek-subyek yang bertemu dan bertindak. Tindakan pertama lebih mendekati pada konsep participant-observer dimana subyek-subyek yang berbincang masih diberikan ruang untuk memahami masalah secara etik, dan melebur dalam situasi yang intim. Sedang pendekatan kedua lebih dekat pada participatory approach dimana ruang yang hadir bertujuan membangun kesepakatan.
Paulo Freire (1998) menyebutkan kesederhanaan, keingintahuan yang belum memiliki peralatan, yang dihubungkan dengan akal sehat, adalah keingintahuan yang dapat mengembangkan kemungkinan-kemungkinan kritisnya. Geerzt (2000) dengan cara yang sama mengatakan bahwa untuk memasuki wilayah masyarakat sebagaimana adanya kita perlu memahami bahasa mereka: akal sehat sebagai sistem budaya. Kenyataan di lapangan adalah begitu kuatnya proses konstruksi dan rekonstruksi di masyarakat terhadap individu. Sehingga akal sehat dan rasa ingin tahu tidak serta merta menjadi kritis. Dalam Guba (1990) akar dari konsep partisipasi ini dapat dilacak lebih jauh, yaitu persoalan epistemologi dan metodologi yang digunakan. Secara paragdimatik maka ada dua paradigma berpikir yang menjadi landasan dari teori-teori partisipasi yaitu: teori kritis dan konstruktivis. Secara epistemologi sifat dari teori kritis ini adalah menempatkan partisipan sebagai subjek, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam ucapan, pandangan hidup subjek menjadi utama dalam proses selanjutnya, pengambilan tindakan. Metodologi yang digunakan bertujuan untuk mengubah keadaan menurut kesadaran subjek. Caranya dengan mengkondisikan subyek pada keadaan dimana subyek merasa leluasa menjadi dirinya sendiri dan ’terpisah dari pandangan umum’ (dalam konteks produksi kekuasaan/pengetahuan). Pendekatan kedua adalah konstruktivis, secara epistemologi maksud dari pendekatan ini adalah melakukan konstruksi atas realitas, konstruksi dilakukan melalui perspektif nilai-nilai (pandangan hidup), sehingga sama dengan teori kritis maka konstruktivis juga memandang partisipan sebagai subyek, atau agen yang memiliki otonomi. Metodologi konstruktivis ini adalah mengidentifikasi variasi dari konstruksi subyek-subyek yang berbeda dan membawa mereka dalam sebuah konsensus. Caranya dengan melakukan (secara ketat) interpretasi atas ucapan dan tindakan individu dan dikonfrontasikan dengan individu lainnya, dan hal ini dilakukan terus menerus secara dialektis sampai pada sebuah konsensus di antara subyek.
Dimana saat manusia menjadi kritis. Dalam konteks partisipasi jawabannya adalah pada kesadaran sejarahnya-mengada. Manusia yang demikian adalah pahlawan dalam tradisi Hegelian. Manusia yang terus-menerus menjadi subyek yang dapat mengubah realitas eksistensialnya. Secara praktis ajaran utama dari partisipasi adalah mendorong cara berpikir benar, yang intinya adalah sanggup menolak setiap diskriminasi manapun. Menolak prasangka ras, jenis kelamin, kelas dan ideologi. Konsekuensi dari cara berpikir seperti ini adalah mengubah-transformasi atau merekonstruksi-konsensus. Keduanya bermuara pada persoalan tindakan. Walaupun terkesan hebat, kepahlawanan merupakan persoalan tindakan, memberikan teladan.
Bagaimana sejarah bisa direkonstruksi pada metode-metode partisipatif? Participatorry Action Research (PAR) atau Participatory Rural Appraisal (PRA) melangkah dengan pandangannya tentang sejarah. Konsep ini seperti yang diungkapkan oleh Chambers (1992) dalam Kumar (2001) memposisikan kesadaran sejarah dengan peralatan-peralatan analisa sebagai berikut.
1. Metode PRA/PAR Terkait Ruang
Metode PRA terkait ruang berguna untuk mengeksplorasi dimensi spasial dari realitas masyarakat. Metode ini berhubungan dengan pemetaan dan fokusnya adalah pada bagaimana masyarakat melihat dan mengaitkan diri dengan ruang dan bukan hanya dengan aspek-aspek fisik. Metode terkait ruang yang biasa digunakan adalah peta sosial, peta sumberdaya, metode permodelan partisipatoris, peta mobilitas, peta layanan dan kesempatan, dan transek.
Peta sosial digunakan untuk menggambarkan pola hunian sementara peta sumber daya berfokus pada sumber daya alam. Permodelan partisipatoris adalah penggambaran daerah secara tiga dimensi. Pemetaan mobilitas digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa pola mobilitas masyarakat lokal sementara peta layanan dan kesempatan membantu dalam pengenalan ketersediaan berbagai layanan dan kesempatan di suatu wilayah. Transek menyediakan lintas-bagian dari suatu daerah dan terutama berguna dalam manajemen sumber daya alam/lingkungan.
2. Metode terkait Waktu
Metode PRA/PAR terkait waktu digunakan untuk mengeksplorasi dimensi realitas masyarakat. Yang unik dari metode PRA/PAR ini adalah bahwa metode ini membolehkan masyarakat menggunakan konsep waktu mereka sendiri. Metode terkait waktu yang biasa digunakan mencakup time-line, analisa trend, transek historis, diagram musiman, jadwal aktivitas sehari-hari, silsilah partisipatoris dan peta impian.
Time-line biasa digunakan untuk menggambarkan kumpulan berbagai kejadian besar sementara analisa trend berfokus pada perubahan yang terjadi sepanjang waktu tertentu. Transek historis, metode ‘dulu dan sekarang’ dan ‘masa lalu, sekarang, masa depan’ adalah varian dari analisa tren. Jadwal aktivitas harian menggambarkan bagaimana masyarakat menghabiskan hari mereka dari waktu mereka bangun sampai mereka tidur. Diagram musiman menggambarkan perubahan dalam kehidupan masyarakat sepanjang siklus tahunan dan sepanjang musim atau bulan. Metode silsilah partisipatoris membantu dalam menunjukkan berbagai generasi, keturunan dan perubahan yang terjadi dalam berbagai generasi. Peta impian menggambarkan visi dan aspirasi masa depan masyarakat.
3. Metode Hubungan
Metode PRA/PAR ini mencakup diagram alur seperti diagram sebab-akibat, diagram dampak, diagram sistem, diagram jaringan, dan peta proses; dan juga metode pe-rangking-an kehidupan (well-being ranking method), diagram Venn, metode ranking pasangan (pair-wise ranking method), pengkajian matriks/metode ranking, analisa kekuatan (force field analysis), diagram pie, analisa kehidupan, diagram laba-laba, dan pemetaan tubuh. Metode ini biasa digunakan untuk mempelajari hubungan antar berbagai hal atau berbagai aspek dari hal yang sama.
Sedangkan dalam antropologi dikenal konsep etnogarfi kritis yang memiliki kesamaan-kesamaan pada pemihakkannya terhadap marjinalisasi dan kolonialisasi terhadap yang lain. Sekarang antropologi kontemporer bertujuan menemukan garis lintas budaya, yang menurut Geoge, E. Markus (1998) dilalui dengan (1) Menemukan kembali tradisi dalam konteks lokal, menjadikan seseorang atau komunitas atau bangsa memiliki keyakinan. Ada tiga syarat yang dibutuhkan agar pekerjaan etnografi dapat melibatkan subyek penelitian secara maksimal, hal ini disebut sebagai remaking observed;
1. Mempersoalkan ruang: terobosan ke dalam ‘bahasa (trope)’ dalam komunitas dalam etnografi realis
Konsep etnografi awal melihat komunitas sebagai nilai-nilai bersama, identitas bersama, dan budaya bersama. Semuanya memiliki konotasi soliditas dan homogenitas, yang memiliki implikasi pada ruang yang terkonsentrasi. Sekarang implikasi ruang tersebut berubah, komunitas tidak lagi terkonsentrasi, melainkan saling berhubungan, dimana nilai-nilai bersama, identitas bersama, dan budaya bersama dapat diproduksi terus menerus oleh agen yang berbeda, di tempat yang berbeda, dan tujuan-tujuan yang berbeda. Konsekuesninya identitas berubah-ubah sesuai tempat, atau lebih tepatnya identitas menjadi tidak satu dalam etnografi.
2. Mempersoalkan kesementaraan: terobosan ke dalam ‘bahasa’ sejarah dalam etnografi realis
Terobosan ini bukanlah kesadaran sejarah, atau persepsi umum mengenai masa lalu dalam situs tertentu dalam etnografi, namun merupakan determinasi sejarah sebagai penjelas utama dalam konteks teks etnografi. Representasi kolektif dapat dilakukan melalui representasi personal. Seni ingatan merupakan problem modernitas dimana telah terjadi pengikisan dan penggantian teknologi dari fungsi bahasa oral dan pendongengan (storytelling) dengan media elektronik.
3. Mempersoalkan perspektif/suara: terobosan ke dalam bahasa struktur dalam etnografi realis
Etnografi melihat pemahaman perspektif sebagai suara yang berbeda dengan pengelihatan. perspektif dapat menembus yang zahir, menembus struktur, baik struktur sosial yang diturunkan dari pola kebiasaan dari subyek penelitian maupun struktur sebagai sebuah sistem makna atau tanda yang mengorganisasikan bahasa dan diskursus sosial. Terobosan yang dilakukan melalui pencarian dominasi dalam pembentukan dan representasi diskursus.
Bagi entografer sendiri dibutuhkan juga penemuan kembali identitas mereka sebagai antropolog, pararel dengan membangun kembali pemahaman mengenai subyek penelitian, proses ini dinamakan sebagai remaking obeserver.
1. Melakukan apropriasi melalui dialog dengan teks sebagai organ konseptual
Etnograf sering membuat karya dari simbol-simbol yang asli dan menyisipkannya ke dalam skema analisa penelitian. Otoritas ini dimiliki oleh etnograf, mengenal dan memilih konsep kunci dalam kebudayaan yang ditelitinya.
Etnografi modern kemudian membangun konsep penulisan dalam karya etnografi dengan pendekatan dialog penuh dalam bingkai analisis mereka. Tujuannya dari dialog penuh tersebut adalah tidak mengubah pemahaman dari simbol-simbol asli tersebut, namun menghadirkannya (bukan cuma menyisipkannya) ke dalam karya sebagai diskursus terbuka diantara etnograf, intelektual organik dan pembaca karya etnografi.
2. Bifokal
Dalam dimensi perbandingan seringkali sang Liyan diabaikan. Karya etnograf memisahkan antara kehidupan etnograf dengan kehidupan subyek penelitian, seolah-oleh keterpisahan itu merupakan keterpisahan waktu dan tempat. Hal ini disebabkan sejarah kolonialisme dan dominasi pengetahuan. Antropologis modern menempatkan peneliti dan subyek penelitian sebagai saling terhubung secara budaya.
3. Juktaposisi Kritik dan Kontemplasi dari Alternatif Kemungkinan
Fungsi dari etnografi modern antara lain melakukan kritik kebudayaan. Kritik dilakukan melalui identifikasi identitas dan ekspresinya dari sudut pandang lokal dan suara dalam situasi tertentu. Eksplorasi melalui juktaposisi pada semua peristiwa aktual dan kemungkinan hasil yang akan di dapatkan merupakan metode sendiri untuk melakukan kritik kebudayaan, bertentangan dengan pola lama yang melihat identitas dominan sebagai sesuatu yang apa adanya (given) bukan sebuah konstruksi budaya yang berubah, lintas budaya. Giddens (1984) melakukan teorisasi strukturasi yang mendamaikan dan mencari jalan tengah antara dunia dan pengalaman, teks dan realitas, struktur dan aksi yang selama ini seolah-olah terpisah, dan tak tertata, padahal semuanya saling berhubungan.
Kekuasaan/Pengetahuan
“Kenapa kami ini masih primitif begitu, tinggal di hutan, telanjang-telanjang, sudah dibikinkan rumah dan dikasihkan baju, eh malah kembali ke hutan, kenapa masih makan babi, itu haram, tahu tidak?”
Si anak rimba menjawab kira-kira begini, “Coba kalau rumah kamu temboknya dirubuhkan satu demi satu, kamu mau lari kemana? Kamu marah tidak? Kami bercawat dan berkemban, bukannya telanjang. Dan coba kalau kamu juga tiba-tiba disuruh makan babi, kamu marah tidak?” (Butet Manurung, 2006)
Memilih sendiri perubahan, mungkin inilah yang ingin disampaikan Butet. Budaya Orang Rimba seperti dalam tulisannya juga berubah. Tidak ada yang kekal, budaya Orang Rimbapun demikian, tidak statis. Secara kritis pendidikan dilakukan terhadap Orang Rimba bukan untuk mengubah mereka dari luar, namun menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang lebih banyak kepada mereka untuk memilih sendiri perubahan yang diinginkan.
Dalam penelitian yang lain Muttaqien (2004) melihat partisipasi pembangunan di kelurah-kelurahan di DKI Jakarta menempati posisi pada tingkat konsultansi, menurut Arnstein (1969) seperti juga Mayer (1997) mengatakan pada tahap ini otoritas (pemerintah) membuat kebijakan yang relevan berdasarkan informasi yang mereka gali di lapangan. Lebih lanjut Nick Wates (2001) mengatakan bahwa pada derajat konsultansi tahapan pembangunan lebih cenderung mengutamakan kepentingan pemerintah walaupun sudah ada dialog diantara masyarakat dan pemerintah; pada tahap ini sesungguhnya otoritas belum memberikan otonomi ataupun pendelegasian kepada masyarakat untuk mencoba mendesain pembangunan di tingkat komunitas. Artinya komunitas tidak diberikan pilihan untuk memilih perubahan yang dikehendakinya.
Pembentukkan wacana seperti yang disebutkan oleh Foucoult (1976) dalam konsep partisipatoris menjadi sebuah produk dalam proses PRA/PAR, tujuan-tujuan percakapan akhirnya membentuk kesadaran baru dalam melihat permasalahan, yang dikaitkan dengan konsep ruang, konsep sejarah. Dibawah ini adalah rangkuman ‘messy text’ dari berupa kartu-kartu berbicara (metaplan) dalam sebuah forum perencanaan wilayah.
Berbagai persoalan di Rawa Bunga dapat diselesaikan oleh warga namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan [1] Adanya keterbatasan wewenang dan kekuasaan dalam organisasi ditingkat komunitas [2] Tingkat kompleksitas masalah [3] Kurangnya pengetahuan masyarakat untuk dalam penyelesaian masalah [4] Kurang kerja sama antara lembaga yang ada dengan pihak luar [terutama dengan pemerintah daerah—Kecamatan dan instansi lain yang terkait].
Hal pertama yang harus dilakukan dalam upaya menyelesaikan permasalahan di Rawa Bunga harus dimulai dengan perencanaan. Sebab perencanaan dibutuhkan untuk mengidentifikasi masalah dan setiap aspek yang menjadi latar belakangnya. Perencanaan yang dilakukan harus memperhatikan berbagai kendala, keterbatasan dan potensi penyelesaian serta dampaknya. Untuk itu setiap upaya penyelesaian harus disertai berbagai pilihan dan dapat ditentukan skala prioritasnya.
Hal terpenting dalam perencanaan adalah partisipasi warga. Sebab warga yang paling mengerti masalah yang ada diwilayahnya dan warga memiliki kesempatan untuk menyampaikan usulan melalui lembaga masyarakat yang ada. Jadi pada dasarnya walaupun setiap lembaga memiliki kewenangan dan hak dalam membuat program kerja, tetap saja program kerja tersebut harus aspiratif dan mengacu pada kebutuhan masyarakat. Karena masyarakat harus dapat menentukan apa yang dibutuhkannya (melalui perencanaan yang partisipatif). Dan dengan demikian masyarakat dapat belajar untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri. Hasil yang optimal dapat dicapai jika perencanaan memperhatikan hal-hal seperti diatas.
Dalam perencanaan di tingkat komunitas diperlukan visi bersama. Visi bersama dapat menyatukan langkah berbagai komponen dimasyarakat untuk saling mengisi dalam upaya mencapai tujuan yang dicita-citakan. Untuk mencapai visi tersebut warga dapat berbuat langsung ataupun menyalurkan aspirasinya melalui lembaga-lembaga yang ada. Lembaga yang ada sebenarnya memiliki tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Dengan demikian akan lebih mudah untuk merealisasikan pencapaian visi bersama, karena tidak ada satupun lembaga yang dapat menyelesaikan permasalahan Rawa Bunga sendirian. Karena masalah dan kebutuhan warga sangat beragam maka kebutuhan warga dapat dipenuhi melalui pembangunan. Dengan adanya pembangunan dapat meningkatkan kesejahteraan warga. Hakikat pembangunan itu sendiri adalah untuk melayani masyarakat sehingga hasilnyapun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pelaksanaan pembangunan di wilayah [komunitas] pada hakekatnya dapat dilakukan oleh warga, tetapi karena keterbatasan dan kewenangan warga maka diperlukan kerjasama dengan lembaga yang terkait, juga dibutuhkan tenaga ahli yang terampil agar mendapatkan hasilnya maksimal. Masyarakat dapat berinisiatif melalui partisipasi mereka dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, karena hasil dari pembangunan tersebut untuk dimanfaatkan oleh warga.
Pemantau pembangunan adalah warga sendiri, karena selain sebagai pemilik wilayah, merekalah yang lebih mengerti apa yang terjadi dilapangan, selain itu, jika ada penyimpangan warga dapat melakukan musyawarah untuk mencari penyelesaiannya. Jadi ada pengawasan dan penilaian yang melekat dengan terlibatnya warga didalam perencanaan dan pelaksanaan serta pengawasan pembangunan. Namun bila ada kegiatan pembangunan yang sifatnya diluar wewenang yang dimiliki warga, maka pembangunan itu harus transparan dan diketahui oleh warga, sehingga warga dapat melakukan kontrol atas pelaksanaan pembangunan tersebut.
Pemeliharaan hasil pembangunan juga harus dilakukan oleh warga, selain untuk pemeliharaan warga juga dapat mengembangkan hasil dari pembangunan tersebut, untuk itu partisipasi dari warga mutlak diperlukan.
Pembiayaan pembangunan dapat dilakukan warga dalam bentuk swadaya dan sifatnya partisipatif [ada unsur kerelaan bukan keharusan]. Karena sebenarnya pembangunan yang dilakukan pemerintah merupakan hasil iuran warga [dalam bentuk pajak]. Dan karena warga yang memiliki wilayah tersebut maka wargalah yang bertanggung jawab untuk membangunnya. Namun dilain pihak dengan kemampuan warga yang terbatas hal ini membutuhkan kebijaksanaan dari pihak pemerintah sendiri. Karena ada beberapa program pembangunan yang berskala besar dan dananya harus disediakan oleh pihak luar [komunitas]. Selain swadaya pemerintah juga sudah memiliki anggaran tersendiri untuk membiayai pembangunan, dan itu yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.
Pembangunan tidak selalu berarti menghasilkan sarana fisik. Ada pembangunan yang berorientasi pada hal-hal yang sifatnya non fisik seperti pembangunan mental, spiritual, budaya, dan ekonomi [keuangan]. Pembangunan selain menghasilkan sarana [infrastruktur fisik dan lingkungan] juga diharapkan menghasilkan sumber daya manusia yang handal (Muttaqien, 2004 ).
Kutipan di atas sebenarnya membuktikan versi subversif dari produk PRA/PAR, dapat menghasilkan pengetahuan baru di dalam masayarakat. Dari temuan ini walaupun prosesnya panjang, melalui kompromi-kompromi dengan berbagai pihak, namun metode belajar partisipasi menjadi mudah bagi masyarakat. Partisipasi menjadi sederhana, akal sehat saja cukup sebagai gadgetnya. Pengetahuan seperti ini adalah induktif, diambil dari keseharian, yang remeh temeh, yang kecil-kecil, yang jorok, yang tabu. Sebuah sistem budaya (pengetahuan) tentunya ia dapat dibongkar. Baik penelitian yang etis, maupun emik sesungguhnya dapat membongkar relasi pengetahuan/kekuasaan.
Kutipan di atas juga memperlihatkan bahwa ketika birokrasi menggantikan sistem musyawarah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dengan kata lain partisipasi yang ideal menjadi semacam rasionalitas teknologis, maka pengetahuan masyarakat , thus, otonominya menjadi hilang atau mandul. Herbert Marcuse (1973) seperti dikutip Habermas (1984), mengenai rasionalitas teknologis (technological rationality) mengatakan bahwa rasionalitas teknologis ini menekankan pada keseragaman -yang pada dasarnya adalah menjalankan fungsi kontrol secara efektif. Rasionalitas seperti ini pada akhirnya cuma akan menghasilkan kesadaran palsu ( false consciosness) dimana masyarakat memandang bahwa kondisi yang mengitari mereka sekarang adalah sebuah kondisi masyarakat yang ideal (dan karenanya tidak perlu diubah). Hal inilah yang kemudian oleh Habermas dibuat antitesisnya sebagai rasionalitas komunikatif yang menekankan pentingnya memahami masalah, kejelasan, konsensus, dan kekuatan argumen. Dominasi dari rasionalitas teknologis yang menguasai informasi dan ilmu pengetahuan adalah bentuk lain dari penguasaan antar manusia. Untuk itu diperlukan ruang untuk membuktikan dan memaparkan ide-ide yang berserakan dan saling bersinggungan. Ruang yang sama (seperti dalam penelitian PRA/PAR) juga disediakan oleh etnografi kritis, hubungan ’observer-partisipant’, pada sebuah lokasi penelitian, dimana etnografer melibatkan diri di dalam masyarakat, menjalin hubungan dan aktif dalam peristiwa-peristiwa serta kegiatan yang ada dalam masyarakat. Komunikasi dan observasi antara peneliti dan subyek penelitian, hubungan antara keduanya bukan hanya penentu dari karakteristik produk penelitian namun juga merupakan ‘arena’ yang mempengaruhi pemahaman selanjutnya tentang metode yang digunakan.
Etnografi kritis juga menyediakan ruang restropektif, menurut Goffman (1989) dalam Vidich dan Lyman (1998) adalah sebentuk integritas primodial dimana peneliti dan proses produksinya tak terpisahkan seperti seniman dengan karyanya. Jika seorang seniman ditanya tentang bagaimana mengerjakannya, maka ‘arena’ yang dimaksud dalam adalah metode yang menjelaskan tentang metode (ex post facto reconstruction). Apa yang dilakukan oleh oleh etnografer ketika di lapangan adalah menyerap apa yang menjadi perhatian masyarakat, yang bermakna dan penting. Namun apa yang bermakna dan penting tersebut tidak terisolir dari penilaian etnografer, yang oleh Goffman (1989) dalam Emerson, et.al (1995) disebut sebagai ” melibatkan subyek diri, sebagai kepribadian, dalam lingkungan sosial tertentu, mengikat diri dengan peristiwa secara fisik dan ekologis dan memaksa masuk dalam lingkungan perasaaan, lingkungan kerja, lingkungan etnik”. Menjadi bagian dari yang lain dan melihat respon mereka.
Hal yang paling sering timbul dalam penelitian etnografi adalah ’Konsekuensi kehadiran’, yang dalam Emerson, et.al (1995) disebut sebagai hubungan dari dampak reaktif (dimana etnograf memiliki dampak pada bagaimana subyek penelitian mengartikulasikan percakapan dan tindakannya). Dampak reaktif ini bukanlah bahan yang terkontaminasi (artinya reaksi masyarakat memiliki hubungan kausal) sehingga harus dihindarkan. Mungkin hal ini tidak terhindarkan. Sehingga tanggapan masyarakat atas kehadiran ’orang luar’ merupakan sumber data dan bukti-bukti yang bisa diajukan dalam sebuah penulisan. Konsekuensi kehadiran ini menurut Geerzt (2001) disebut sense of being members, yang sifatnya sementara, tidak penuh, tidak aman dari sisi moral (nilai yang dianut komunitas tersebut) dan terpenting tidak bisa diabaikan bahwa kenyataannya tidak semua anggota komunitas menerima kehadiran kita. Hal yang sama terjadi dalam penelitian PRA/PAR, konsekuensi kehadiran ini sering menimbulkan kesulitan, jika peneliti/fasilitator tidak ’berada’ di tengah-tengah masyarakat, maka proses belajar di masyarakat seperti terhenti. Perubahan seolah-olah memiliki kaitan emosional dan praktikal dengan kehadiran peneliti/fasilitator. Dari pengalaman yang ada hal seperti ini dapat dihindari dengan melakukan proses pendahuluan yang benar-benar mencari titik masuk (entry point) dimana masyarakat memang sudah terikat oleh sebuah persitiwa, pengetahuan, simbol atau isu. Kemudian melakukan presentasi atau uji publik pada setiap tahapan hasil, sehingga masyarakat dapat mengimbuhi, mengafirmasi hal-hal yang dilakukan peneliti/fasilitator. Dalam etnografi dikenal sebagai refleksifitas. Refleksifitas melibatkan pengakuan atas hasil penelitian sebagai konstruksi kenyataan, bukan sekedar penterjemahan dari peneliti/fasilitator, dengan demikian hasil penelitian merupakan milik bersama, bahkan bisa jadi diposisikan sebagai milik masyarakat.
Sang Adi Pahlawan
You got to get yourself together to get out or you stuck in the moment and you can’t get out of it…(Stuck in The Moment, Bono-U2)
Jika pembangunan mengikuti alur kebudayaan komik maka dapatlah dipastikan bahwa setiap ketidakmasukakalan dipandang sebagai kenormalan, bahkan setiap peristiwa dapat begitu saja ditiadakan dengan perantaraan alur cerita atau plot, tidak demikian dengan pembangunan, seringkali sifat dari perubahan adalah irrevisible-tak dapat kembali. Konsekuensi sebuah metodologi merupakan sesuatu yang harus dihadapi, tanpa harus berpretensi menjadi pahlawan, etnografi kritis dan konsep partisipasi dalam pembangunan menyediakan ruang kosong tersebut. Perbedaan mendasar mungkin pada teks etnografi diperlakukan ‘lebih’ sebagai kendaraan untuk sampai pada pengetahuan atau memproduksi tulisan, dibandingkan dengan alat produksi pengetahuan. Sedangkan pendekatan partisipasi bertujuan untuk memproduksi pengetahuan.
Mempersoalkan 'kepahlawanan' dalam status perubahan bukan suatu hal yang penting lagi dalam penelitian antropologi/etnografi ataupun disiplin ilmu lain. Kesulitan yang lebih rumit mungkin bukan pada kata 'pahlawan itu sendiri' namun pada kata 'kemajuan' sebagai sesuatu yang relatif dalam bingkai kebudayaan. Jika pengetahuan yang kita miliki seluruhnya bersesuaian dengan dunia kehidupan kita, apakah lantas kita dapat mengatakan itu juga akan bersesuaian dengan kehidupan yang Lain. Kita sendiri bisa memilih identitas untuk menjadi Batman yang lara, penuh dendam, ingin menyelamatkan orang yang senasib dengannya atau menjadi Benyamin dalam film-filmnya yang secara jitu memerankan orang Indonesia (tahun 1970an) yang terlihat naif, gemar menolong (siapa saja), pemaaf dan menerima keadaan sebagaimana adanya. Sangat komikal memang.
Namun bukan cuma itu, apa yang dibangun oleh Batman dan Benyamin merupakan sebuah evolusi kreasi, proses penciptaan yang panjang, ada keajaiban juga di plot cerita mereka, yang ketika dinalar mengalami kebuntuan, jika bukan kesimpulan: hidup bukan cuma tragedi namun juga komedi. Masyarakat juga terdiri dari subyek-subyek pembelajar, agen-agen yang memiliki kemampuan membuat perubahan. Dan kekesalan masyarakat pada cara-cara melakukan penelitian dan othering dapat dilihat dari puisi di dibawah ini. Bagi masyarakat miskin, memberikan pengetahuan-saling mengisi stock of knowlegde di observer-participant, menenun kembali rasa solidaritas, rasa percaya di antara sesama merupakan pekerjaan yang bagi sebagian orang mungkin heroik. Perjalanan antropologi mengajarkan satu hal: ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai dan kompetisi bukan cuma bergelut di wilayah pemikiran, namun juga di wilayah tindakan.
CERMIN
mirror, mirror
bawakan orang-orang pintar di sekelilingku
biarkan mereka melihat mereka dalam bayang
aku mau tahu apa yang mereka lihat
dalam pantulan
karena mereka mungkin tak pernah
karena mereka terbiasa melihat gambar orang lain
sepertinya mereka dewa ilmu
sepertinya mereka pencipta dunia
mungkin kita cuma rumput kecil di padang savana
hingga biarpun berisi
tak pernah dianggap
lebih jauh adalah
mereka sudah menempelkan
nilai point semua orang
menjadikannya buku suci
untuk beradu dan menjatuhkan
tapi bukankah tiap detik benak berubah
bukankah anak sungaipun pasti
akan selalu mendapat air hujan
dan bisa saja melampaui sungai
tapi bagi mereka
kosong yah kosong
cetek yah cetek
dangkal tak mungkin dalam
Siapa yang pintar?
Bila mereka melulu melihat satu gambar saja
sedangkan yang digambar kini telah pergi ke langit pemikiran
bukankah takkan
ada artinya lagi si orang pintar
tapi menjadi masalah manakala selalu
mereka berpedoman buku suci kolot sialan mereka itu
apalagi bila keadaan sebenarnya adalah tak ada kepintaran
yang ada hanya pengalaman hidup
atau dari orang memuji
hingga mereka mabuk
atau memang begitu
sama saja
karena melihat teman butuh apa adanya
karena menilai cuma menilai yang ternilai
karena tak berarti apapun jagat raya
di atas jagat lain
karena tak pernah ada yang ter...
akan lebih berarti memberi dengan memberi
hanya memberi, tanpa belagak mendidik
tapi tak mengakui kedalaman samudra lain
(by Ponco anak Rawa Bunga dalam Buku Pintu Partispasi)
Catatan
Gresh, Lois H. and Weinberg, Robert. 2002. The Science of Superhero. John Willey & Son, Inc.
Strauss, S.L. 2005. Mitos dan Makna: Membongkar Kode-kode Budaya. Penerbit Marjin Kiri, Jakarta.
Hegel, G.W.F. 2005. Nalar dalam Sejarah (terjemahan dari Hegel: Reason in History). Penerbit Teraju, Jakarta.
Tsing, Anna Lowenhaupt. 1998. Di bawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Masyarakat Suku Terasing. Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Vidich, A.J. and Lyman, S.M. (1998) “Qualitative Methods: Their History in Sociology and Anthropology”, The Landscape of Qualitative Research. Theories and Issues. Thousand Oaks, London, New Delhi Sage Publication.
Perkembangan ketiga adalah masa perang dingin. Masa perang dingin berakhir setelah Perang Dunia II selesai dan negara bangsa muncul di Asia dan Afrika. Pada masa ini isu kolonialime berakhir. Terminologi primitif pada saat itu diganti oleh kurang berkembang (underdeveloped). Di wilayah bekas jajahan desain ini dinamai ‘Dunia Ketiga’, dan di Amerika dan sebagian Eropa isu yang berkembang adalah ‘kulit berwarna’ atau lebih tepatnya ‘kulit hitam’ (dalam Vidich, A.J. and Lyman, S.M.,1998).
Dalam pengantarnya, Fetterman (1989) menyatakan bahwa seorang etnograf dituntut membuka pikirannya mengenai kebudayaan yang sedang ia pelajari, namun demikian bukan berarti ia tidak memiliki ide apapun (empty head) tentang subyek ataupun materi yang sedang ia pelajari. Sehingga konfrontasi pertama yang dialami oleh etnograf (dan peneliti di semua disiplin ilmu) adalah bias dan prakonsepsi tentang kebudayaan atau perilaku budaya dari subyek dan materi penelitian. Bias dan prakonsepsi ini oleh Levi Strauss dinilai sebagai ‘menjauh dari penalaran’ dan inilah yang hilang dalam pencarian yang benar tentang yang lain. Dalam bukunya itu Levi Strauss menyatakan bahwa cara berpikir masyarakat primitif sebenarnya tidak serta merta lebih kuno dibandingkan masyarakat beradab (Eropa pasca Pencerahan). Pemikiran primitif seperti cara bertahan hidup subsisten dalam alam kehidupan yang keras, mungkin merupakan penalaran ‘primitif’ yang menggunakan perangkat intelektual yang sama dengan yang dilakukan oleh filsuf dan atau seorang ilmuwan. Disini bias dan prakonsepsi yang dilakukan oleh antroplog semasa awal (kaum positivis sampai pada fungsionalisme) memiliki fungsi negatif (karena bersamaan dengannya menjadi dasar pijak bagi kolonialisme dan dehumanisasi).
widhy | sinau
Ferguson, James. 2005. Anthropology and Its Evil Twins, dalam The Anthropology of Development and Globalization: From Classical Political Economy to Contemporary Neoliberalism: edited by Marc Edelman and Angelique Haugerud. Blackwell Publishing.
Koentjaraningrat. (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Muttaqien, Widhyanto. (2004). Pintu Partisipasi. Modul Pelatihan Perencanaan Partisipatif.
Habermas, Jurgen. 1984. The Theory of Communictive Action. Vol. 1. Beacon Press. Boston.
Freire, Paulo. 1998. Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage. Oxford: Rowman & Littlefield Publishers Incorporation.
Geerzt, Clifford. 2000 (revisited). Local Knowledge. Basic Books.
Guba, Egon G. 1990. The Paradigm Dialog. Sage Publication.
Kumar, Somesh. 2002. Methods of Community Participa¬tion.Sage Publication.New Delhi.
Geoge, E. Markus. (1998) [1] Requirement for Etnographies of Late Twentieth-Centuries Modernity Worldwide, Etnography trough Thick and Thin: Chapter 2, p57-74, Princenton University, 1998.
Manurung, Butet. 2006. Mendampingi Komunitas Adat Menghadapi Perubahan Lingkungan Melalui Akses Pendidikan: Pengalaman Mendampingi Orang Rimba di kawasan Bukit Dua Belas, dalam Perubahan Lingkungan dalam Perspektif Sejarah. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta.
Muttaqien, Widhyanto. 2004. Tingkat Partisipasi Pembangunan pada Perencanaan Pembangunan di Tingkat Komunitas: Studi Kasus Kelurahan Rawa Bunga, Jakarta Timur. Tesis tidak dipublikasikan. Program Perencanaan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Wacana menghasilkan hubungan antara subyektivitas dan kekuasaan. Pengetahuan, menurut pendapat Foucoult tak bisa dipisahkan dari kekuasaan, keduanya dua aspek yang berasal dalam satu proses. Kekuasaaan menghasilkan pengetahuan dan pengetahuan menghasilkan kekuasaaan, dan gabungan keduanya menghasilkan suatu wacana. Menurut pandangan ini definisi subyek tergantung oleh mereka yang memiliki kekuasaan, dan sama sekali tidak berhubungan dengan bahasa itu sendiri. Mka ide-ide, fakta-fakta, bukti-bukti dan kebenaran harus dilihat hubungannya dengan kekuasaan. Siapa yang menyatakan fakta-fakta, apa posisi mereka, dan atas kekuasaan apa mereka melakukannya (dalam Foucoult, M. The Archeology of Knowledge. Harper and Row, New York.
Muttaqien Widngyanrto. 2003. Hasil Rembung Warga Kelurahan Rawa Bunga, Jakarta Timur. 2003. Tidak dipublikasikan.
Kesadaran palsu adalah akibat langsung dari penyeragaman yang dipaksakan oleh penguasa-negara, sehingga masyarakat ‘tunduk dan patuh’, kesadaran palsu ini pada akhirnya membuat masyarakat bodoh dan tidak memiliki daya kritis sama sekali, dan secara kolektif menerima keadaaan sebagaimana adanya tanpa pernah berpikir bagaimana seharusnya. Proses penyeragaman dalam masyarakat kita dapat dikenali mulai dari tampilan fisik (pakaian seragam, warna cat seragam di semua kampung, bentuk gapura seragam dll) dan pemikiran, program kerja yang seragam. Penyeragaman ini tidak memberi sedikitpun ruang terhadap perbedaaan.
Geerzt, C. 1973. Thick Description dalam Interpretation of Culture. Berkeley: University of California Press.
Emerson, R.M., Frezt, R.I, and Shaw, L.L. 1995. Writing Etnografi Fieldnotes. The University of Chicago Press.
Attachment: modul partisipasi.pdf
tak ada rotan, akar pun jadilah
ReplyDeletetak ada akar, rotan tak jadilah
tak ada pahlawan, idih-idih
[Note: Pahlawan, kalau tak keliru asal katanya: Pahala ditambah akhiran wan, sebagaimana warta+wan. Pahala erat pula kaitannya dengan Dharma (artinya: Pegangan). Bicara Dharma, masuknya ke Kurusetra, kabarnya ada di Bhagawad Gita, percakapan antara Arjuna dengan Kresna. Hanya Dhestrarasta yang butalah tahu arti masa lalu dan masa kini dan masa depan.]