Thursday, 22 January 2009

Kembali ke Gua

Abstrak

Dalam sudut pandang modern, kota-kota modern dibangun oleh aturan-aturan yang rasional dan diasumsikan mengalami perbedaan dalam hal identitas. Jakarta, demikian besarnya berjalan seolah-oleh tanpa identitas, dan semakin mereduksi perbedaan serta rasionalitas. Orang awam mungkin memandang ‘pragmatisme’ sebagai sebuah gejala ‘mementingkan diri sendiri’ di kalangan kaum urban di Jakarta, sehingga apa yang dipikirkan dan dikerjakan selalu dipandang sebagai sesuatu yang menguntungkan diri sendiri. Sementara kota Jakarta adalah milik bersama. Dalam kajian kontemporer tentang kota Jakarta sesungguhnya persoalan penataan ruang, baik publik maupun privat merupakan permasalahan utama dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat kota, terutama di sektor perumahan (Kusumawijaya (2004), Muttaqien (2004).

 
Rasionalitas


Penduduk Indonesia saat ini berjumlah sekitar 225 juta jiwa. Dari angka itu tercatat 57 juta keluarga, Dalam hal ini seharusnya Indonesia memiliki 57 juta rumah. Namun yang tercatat adalah 51 juta rumah. Berdasarkan data dari Kantor Kementrian Negara Perumahan Rakyat, di Tanah Air terdapat 15.000 kantong permukiman kumuh, menempati area 65.000 hektare dan dihuni sekitar 30 juta jiwa. Mereka terlihat jelas di perkotaan (Kompas, Sabtu 30 Agustus 2008).

Orientasi kaum migran merupakan orientasi kedesaan. Keberhasilan mereka dalammengumpulkan uang tidak serta merta mengubah cara hidup mereka. Berkumuh-kumuh di Jakarta, memiliki ‘rumah gedong’ di desa. Dunia mereka merupakan dunia desanya (Abdul Hamid dan Iman Ahmad, Prisma, LP3ES, 1992) . Lepas dari perdebatan tentang teori dualisme ekonomi (formal-informal/firma dan bazaar) ternyata Jakarta merupakan magnet bagi siapa saja (entah dosen, peneliti, seniman, gembel, pelacur atau pejabat daerah sekalipun) yang memimpikan hidup yang lebih baik, penghasilan yang lebih tinggi (Muttaqien, 2002) .


Masing-masing masyarakat memiliki sendiri tujuan-tujuannya. Dalam setiap masyarakat tujuan-tujuan tersebut adalah rasional. Pada masyarakat primitif terdapat pengetahuan yang tersebar secara merata, dan setiap aspek kehidupan dalam masyarakat primitif merupakan urusan semua orang.  Rumah juga demikian, masyarakat primitif membangun rumah-rumah mereka secara bersama-sama, kebutuhan pertukangan dan sosial ditnaggung bersama. Kebutuhan pertukangan (teknis) menyangkut permasalahan besaran fisik dan perawatan sebuah rumah, sedangkan kebutuhan sosial menyangkut kultural, bentuk dan fungsi sebuah rumah. Pada masyarakat primitif sebuah rumah merupakan identitas bersama, dan semua orang berpartisipasi dalam membangun sebuah rumah.

Pada masyarakat yang masih memegang kuat tradisi-asli (vernacular-indegenous ), rumah-rumah dibangun berdasarkan spesimen (ilustrasi) individu, namun pada dasarnya tipenya tidak dapat dibedakan. Tipe rumah menyangkut pada ukuran (size),  tampilan (shape) dan bentuk keseluruhan (form). Namun secara pasti masing-masing masyarakat primitif memiliki arsiteknya sendiri-sendiri, arsitek inipula yang berfungsi sebagai seorang tukang (yang memiliki kemampuan seni desain dan teknis rekayasa). Namun dalam perkembangan lebih jauh, peran arsitek ini memudar karena polpulasi yang bertambah dan pengetahuan masyarakat mengenai desain dan pertukangan tersebar merata (shared knowledge). Fungsi arsitek berubah pada hal-hal yang lebih luas, permukiman. Arsitek (bukan satu orang) bersama masyarakat menentukan desain, tempat (locale), relasi rumah dengan sebuah tempat (site), da hal lain yang terkait dengan pola-pola permukiman (hirarki, jalan, sempadan rumah, ruang publik, pasar, dll). Kontrol masyarakat ada pada tradisi, adat istiadat.
Pada masyarakat modern perilaku masyarakat hampir sama, namun perbedaan-perbedaan terjadi disebabkan adanya spsesialisasi profesi yang menimbulkan kebutuhan akan ruang yang berbeda, berkurangnya nilai-nilai bersama dalam mengkonstruksi dunia, dan berkurangnya kontrol informal digantikan oleh fungsi birokratis, menghilangnya tradisi yang berfungsi sebagai regulator sehingga tipe rumah menjadi beragam, sesuai dengan konstruksi individu. Rappaport (1969) membagi  pola permukiman terbangun  (built settlement) sebagai berikut:
  1. Primitif: tipe bangunan sedikit, variasi individu sedikit.
  2. Vernakular pra-industrialisai: tipe bangunan sedikit, variasi individu lebih banyak, dibuat oleh pedagang dan mandor.
  3. Modern: tipe bangunan banyak, variasi individu banyak cenderung masing-masing individu memiliki kekhasan, keaslian model, didesain dan dibangun oleh tim spesialis/pengembang.

Pada masyarakat primitif rendahnya diferensiasi dalam bentuk rumah, juga mengambarkan rendahnya diferensiasi dalam wilayah pemikiran dan praktek kebudayaan. Kebudayaan primitif pada suatu masyarakat lebih cenderung homogen, dimana kepercayaan sangat mempengaruhi  kehidupan dan kebutuhan sosial. Sehingga penggunaan ruang dan alat produksi juga cenderung seragam. Sedangkan menuju pembentukkan masyarakat modern penggunaan ruang makin beragam disebebakan pemisahan agama dan kehidupan sosial, relijius dan sekular, privat dan publik. Sehingga pola-pola pemanfaatan ruangpun semakin terpisah secara tegas. Ruang-ruang terfragementasi bukan cuma pada fungsi namun pada kepentingan (kekuasaan) dan gaya hidup. Yang tidak hilang adalah monumen-monumen keagamaan sebagai simbol kehidupan. Bangunan monumen ini cenderung dipertahankan, baik gaya dan skalanya.

Dalam masyarakat modern kebudayaan dan sub kebudayaan hidup berdampingan, hal ini menimbulakn konsekuensi dalam pola penggunaan ruang. Namun dalam perbedaannya masih terdapat persamaan-persamaan, yaitu sifat alamiah dari tempat tinggal, yang dianggap sebagai sebuah kebutuhan dasar.  Masyarakat modern juga cenderung memilih kata ‘kebaruan’ untuk merepresentasikan pandangan hidupnya. Kebaruan ini yang membuat perbedaan dibuat tampak nyata dengan pola primitif  dan vernakular. Namun perbedaan-perbedaan ini akan tampak nyata jika dilihat dari skala yang lebih kecil, yaitu rumah. Kebudayaan berumah baik dalam masyarakat primitif, pra industri dan modern memiliki kesamaan: hubungan antara manusia dan alam.

1.    Manusia:
a.    sifat alamiah, aspirasi, organisasi sosial, pandangan hidup, jalan hidup, kebutuhan sosial dan psikologis, kebutuahn individu dan kelompok, sumberdaya ekonomi, sikap terhadap alam, kepribadian dan fesyen.
b.    kebutuhan fisik
c.    teknik yang tersedia (stock of knowlegde)
2.    Alam:
a.    aspek fisik, seperti cuaca, tempat, bahan baku rumah, hukum alam
b.    lanskap

Lingkungan terbangun selalu berurusan dengan kedua unsur di atas, manusia dan alam. Masyarakat di era primitif vernakular/pra industrial cenderung mepertahankan keseimbangan alam (hukum alam) dibandingkan mengeksploitasinya. pandnagan ini mempengaruhi bangunan dan lingkungan terbangunnya. Ciri lain dalam bangunan pada masyarakat ini adalah kekuatan dan daya tahannya terhadap tantangan alam, hal ini disebabkan oleh  situasi alam yang ekstrim justru menyebabkan bangunan yang ada dibuat untuk pertahanan diri yang pada dasarnya lebih baik dibandingkan masyarakat industri yang berusaha mendominasi alam dan menguasainya.  Ciri lainnya adalah karena tidak adanya catatan tentang sejarah bangunan yang biasanaya dibuat oleh arsitek, maka ada asumsi yang diterima oleh kalangan antropologis bahwa pada masyarakat primitif dan  pra industri yaitu hubungan yang kuat antara kebiasaan dan bentuk. Hubungan ini dapat dilihat dari dua situasi: pertama, situasi dimana pola kebiasaan seperti hasrat, motivasi, dan perasaan adalah suatu hal yang esensial dalam memahami bentuk terbangun, sejak bentuk terbangun ini sudah menubuh dalam pola terbangun ini, dengan kata lain menjadi kesadaran. Kedua, situasi dimana sebuah bentuk, sekali terbangun, mempengaruhi pola kebiasaan dan cara hidup, dengan kata lain siklikal, berulang. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana perubahan dalam kebudayaan mengubah bentuk yang telah ada, dari suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya, dan di dalam masyarakat itu sendiri.
 
Hipotesa awalnya adalah unsur manusia memiliki peranan utama. Manusia dengan sikap dan perilaku yang berbeda akan membuat perbedaan-perbedaan dalam memahami lingkungan terbangun, masyarakat primitif dan pra industri cenderung mempertahankan tradisi dan tidak berubah dengan cepat menyangkut respon mereka terhadap perubahan alam. Pada masa ini alam menentukan pola tingkah laku dan kebiasaan. Kebutuhan pertama adalah tempat berteduh dari pengaruh iklim. bertahan hidup untuk pertama kali adalah bertahan dari iklim yang ekstrim dan pemangsa. Karena iklim ini pula terjadi perbedaan dalam bentuk dan fungsi rumah, juga bahan baku pembuatnya.  Suku bangsa Eskimo memiliki dua material rumah untuk dua iklim yang berbeda, musim dingin dan panas orang Eskimo  menggunakan igloo yang terbuat dari es di musim dingin dan tenda yang terbuat dari kulit binatang untuk musim panas. Perbedaan bahan bangunan ini juga mempengaruhi penggunaan ruang (misalnya fungsi dapur), bahan makanan yang dikumpulkan, dan luas ruang yang digunakan untuk bercengkrama. Di musim dingin ruang cenderung lebih sempit, sedangkan di musim panas cenderung lebih lebar. Ruang menyimpan makanan lebih luas di musim dingin. Pada masyarakat  Iquitos di Peru (hutan basah) perubahan iklim cuma disiasati dengan memberikan ‘dinding’ pada rumah mereka di msuim hujan. Sedangkan di musim panas mereka membuka dinding tersebut. Hal yang sama terjadi di masyarakat Jepang, terutama di pulau Honshu, mereka ‘cukup’ memiliki tirai untuk beradaptasi dalam perubahan suhu di siang hari dan  malam hari. Pada malam hari di saat cuaca dingin maka tirai diturunkan.

Faktor alam yang kedua adalah tempat dan lanskap. Tempat dibuatnya rumah menentukan bentuk rumah. Rumah-rumah di tepi sungai, bahkan di atas laut memiliki pasak-pasak tinggi untuk menghindar dari banjir dan pasang bulan. Ada rumah terapung, dimana tempat merupakan satu-satunya unsur paling dominan dalam bentuk rumah terapung tersebut. Di daerah Cina dan Pualu Gilbert dan Pulau Ellice topografi tempat tidak menentukan bentuk keseluruhan rumah, namun pandangan hidup mereka tentang semesta-kosmos lebih banyak mempengaruhi bentuk rumah, hal yang sama terjadi dalam sistem Hogaku di Jepang dan India.

Faktor alam yang ketiga adalah pemangsa, fauna dan primata mansuia lainnya. Faktor ini mempenagruhi bentuk rumah untuk persediaan makanan, perlindungan jiwa. Fungsi-fungsi rumah panggung di Dayak lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ini dibandingkan oleh cuaca. Penggunaan pagar juga demikian. Pintu masuk di suku-suku Afrika dalam rumah-rumah compound (komunal) selain dipengaruhi unsur pertahanan dari serangan primata manusia lainnya juga dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dan sistem perkawinan (pologami atau monogami). Hal yang sama hampir terjadi di setiap suku primitif, juga di Papua, faktor keamanan lewat pintu, pagar, bahkan tembok sekeliling seperti rumah di Cina dipengaruhi unsur pemangsa. Di Papua ada rumah laki-laki yang mengelilingi rumah perempuan dalam sebuah compound.

Faktor alam keempat adalah ekonomi atau pencarian makanan. Bentuk rumah dipengruhi oleh fungsi-fungsi penyimpanan makanan, kandang ternak, dan alat transportasi seperti kuda dan keledai. Dalam masyarakat primitif biasanya rumah, lumbung makanan, dan ternak menjadi satu bagian dari rumah. Pada masyarakat  modern hal inipun masih terlihat, pada masyarakat dengan sistem komunal yang lebih luas (bukan keluarga per keluarga) namun pada garis matrilineal atau patrilineal biasanya lumbung makanan dan kandang terpisah dari rumah tinggal. 

Kritik atas teori deteminisme alam ini disampaikan oleh Blache, Febrve, Sorre, dan Brunche yang mengatakan hal-hal diatas alam cuma memberikan kemungkinan-kemungkinan, sedangkan manusialah yang menjadi penentu, bukan alam itu sendiri. Manusia yang menentukan dimana ia akan tinggal, bukan tempat atau iklim. Manusia menurut Mumford  merupakan   pembuat simbol (symbol making) sebelum menjadi pembuat alat (tool making) manusia berhadapan terlebih dahulu dengan pembauatan mitos, kepercayaan dan agama sebelum membuat aspek matei dari kebudayaan. Manusia terlebih dahulu menciptakan ide bukan benda. Fungsi simbol lebih utama dibandingkan fungsi-fungsi praktis seperti adapatasi terhadap alam seperti dijelaskan di atas.

Sedangkan masyarakat modern memiliki kemampuan adaptasi lebih banyak berkenaan dengan perubahan sosial-budaya. Sesuai dengan pernyatan Mumford di atas, maka manusia modern merupakan pencipta sosial (konstruksi ide) dan kebudayaan (material). Bangunan dan permukiman merupakan konstruksi sosial manusia, dibandingkan dengan reaksi instingtif terhadap fenomena alam. Menurut Redfield (1953)  sosio-kultural memiliki empat aspek, yaitu:
  1. Kebudayaan: perangkat total dari ide dan institusi dan aktivitas konvensional dari manusia.
  2. Ethos: organisasi konsepsi mengenai Kebenaran
  3. Pandangan dunia: cara manusia memandang dunia
  4. Karakter kebangsaaan: tipe kepribadian manusia yang hadir dalam kehidupan bermasyarakat

Keempat hal ini merupakan nilai-nilai yang mempengaruhi lingkungan terbangun. Pilihan-pilihan yang dianggap reaksi atas alam, oleh manusia modern dibatalkan. Manusia memiliki kemampuan untuk memilih. Mempengaruhi alam, bukan sebaliknya. Manusia memiliki konsep kehidupan, yaitu:
  1. Kebutuhan dasar
  2. Keluarga
  3. Posisi perempuan
  4. Privasi
  5. Hubungan sosial

Kelima hubungan ini merupakan ide manusia untuk memilih tempat tinggal dan membuat lingkungan binaan mereka (lingkungan terbangun-built environment). Lingkungan terbangun ini tidak bisa dipisahkan dari pola permukiman. Rumah-pribadi merupakan bagian yang tidak terisolasi dari permukiman-sosial. Permukiman dilihat menjadi dua konsepsi. pertama, permukiman dipandang sebagai bagian dari tempat tinggal, yang bersifat privat, terbuka dan bagian dari realitas kehidupan sesungguhnya. Kedua, melihat permukuman dari polai-pola hirarki hubungan sosial-ekonomi dan kawasan, misalnya kawasan desa dan kota.
Pola-pola permukiman dapat dibagi berdasarkan hubungan ‘Saya dan Kamu’ dan ‘Saya dan Benda’, hal ini digambarkan sebagai berikut:

  1. Agama dan kosmos: Lingkungan merupakan hal yang dominan, dan manusia tergantung pada alam.
  2. Simbiotik: Manusia dan alam memiliki peran yang sama, seimbang. Manusia bertanggung jawab kepada Tuhan untuk menjaganya.
  3. Eksploitatif: manusia merupakan penentu perubahan, pencipta, dan penghancur alam.

Bentuk pertama dan kedua adalah memandang alam sebagai Kamu, artinya bagian dari Diri, bernyawa. Manusia bekerjasama dengan alam, koeksistensi. Sedangkan pada nomer tiga hubungan yang dibangun adalah alam diposisikan sebagai benda, tak bernyawa, sehingga dapat diperlakukan semena-mena. Manusia modern, masyarakat industri cenderung menempati temapt ketiga, mereka kehilangan hubungan-hubungan mistisnya dengan alam, manusia modern juga kehilangan visi bersama tentang bagaimana hidup bersama dengan alam. Revolusi industri dianggap titik berangkat dari kerusakan alam.  

Laissez Faire!
Jakarta juga menjadi tempat berbagai dualisme-kontradiksi. Perkampungan kumuh disebelah real estate (yang dipagar tinggi), permukiman padat disela gedung pencakar langit (yang siap digusur), kaum yuppies (young urban professionals) yang senang makan di emper kaki lima (kaki limanya dikejar-kejar tidak boleh berdagang), riuhnya café ditabuhi oleh alunan dzikir di Kemang, goyang dangdut yang menjadi ikon kaum marjinal dan kampungan memassal disetiap stasiun televisi (yang menjadi supremasi pembentuk imaji dan proses imitasi) diskotik dan taman umum. Semuanya mengalir. Menjadi, menjadi, menjadi. Bertentangan atau saling melengkapi. Kacau atau harmoni. Anomali atau kenormalan (Muttaqien, 2002).

Aturan terbaik adalah minim aturan. Kota merupakan kontestasi paling hebat dalam sejarah peradaban. Kota selain merujuk pada peradaban itu sendiri juga merupakan ajang seleksi alam, yang terbaik, tercepat, terkuat lahir sebagai pemenang. Kota menyimpan  kontradiksi yang tak berkesudahan dalam dirinya. Sebagai indikator kemajuan sekaligus tempat dimana nafsu primitif dibiarkan berbiak.

Kota, 3.500 SM mengacu pada negara, negara kota. Awal kota di daerah Sumerian (Irak sekarang) ini dianggap awal peradaban. Namun sesungguhnya egaliter sebagai konsep sederhana tentang kesejahteraan yang relatif homogen justru terdapat dalam masyarakat Neolithikum. Kota dalam sejarah awalnya sudah menciptakan hirarki, elite dan orang kebanyakan. Dimana para elit adalah golongan yang memerintah, mnearik pajak, dan gemar berperang untuk perluasan wilayah. Kota demikian disebutkan dalam berbagai literatur menjadi penanda: sesuatu berjalan tidak lagi sederhana.

Karena peradabannya kota menjadi pemikat bagi pendatang untuk mengadu nasib. Disamping perdesaan dipandang kurang memberiakn kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup. Fenomena urbanisasi dilihat dari sisi budaya memiliki dua situasi; (1) proses sebuah daerah menjadi kota-mengkota, dan (2) proses migrasi orang-orang  dari desa ke kota. Proses mengkota (urbanitas) dilihat dari aspek material kebudayaan dimana fasilitas-fasilitas kota merupakan indikator penting,  infrastruktur jalan, pusat-pusat produksi, pasar. Sedangkan fenomena migrasi atau perpindahan merupakan konsekuensi dari perubahan dari aspek material kebudayaan tersebut.  Konsekuensi tersebut disebabkan oleh pengembangan wilayah dan pembangunan desa-kota yang tidak seimbang.

Anwar (2005)  menjelaskan fenomena sebagai penghisapan sumberdaya dari desa ke kota. Wilayah hinterland perdesaan menjadi melemah karena terjadi pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash) dan pengangguran  besar yang mengakibatkan terjadinya  aliran bersih (net-transfer) dan akumulasi nilai tambah di pusat-pusat pembangunan secara masif dan berlebihan. Namun di sisi lain, terjadinya akumulasi nilai tambah di kawasan-kawasan pusat pertumbuhan yang selanjutnya mengarah kepada proses terjadinya kemisikinan dan keterbelakangan di wilayah belakang/perdesaan. Akhirnya pada keadaan ini mendorong terjadinya migrasi penduduk keluar dari desa ke kawasan kota-kota, sehingga kota-kota besar yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan akhirnya menjadi diperlemah, disebabkan karena timbulnya berbagai “penyakit urbanisasi”  yang luar biasa.

Sedangkan Suparlan (2006)  mendefinisikan kota sebagai sebuah kawasan yang  apapun corak dan besarannya, dibangun untuk kepentingan ekonomi yang menguntungkan bagi para pelaku ekonomi dan bagi warga kota yang bersangkutan.  Oleh karena itu kota dapat didefinisikan sebagai sebuah tempat hunian atau permukiman yang dihuni secara permanen yang warga atau penduduknya membentuk suatu kesatuan kehidupan yang lebih besar pengelompokkannya daripada sebuah keluarga luas, marga, atau klen.  Kota menyajikan berbagai kesempatan ekonomi yang menguntungkan karena letak geogafinya. Ekonomi perkotaan menghasilkan keuntungan yang berkembang secara akmulatif karena corak kegiatan ekonominya pada industri atau manufaktur dan pada berbagai jasa pelayanan, dan pada pasar dan uang.  Karena itu kota adalah juga pusat kegiatan ekonomi dan profesi, dimana semakin besar dan berkembangnya sebuah kota semakin besar pula penduduknya yang berprofesi sebagai pekerja ‘kerah putih’.  Kota juga merupakan sebuah satuan administrasi pemerintahan yang dibangun dan dimantapkan untuk melakukan berbagai kegiatan pelayanan umum bagi kepentingan kesejahteraan hidup warga kota dan para pendatang yang berkunjung atau berbisnis di kota tersebut, sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan mengenai kehidupan perkotaan kota-kota megalopolis dalam tulisan ini.  Kota juga membangun dan mengatur dan mendominasi wilayah-wilayah penyangga yang tercakup sebagai wilayah administrasinya.  Dengan kata lain, kota adalah pusat pendominasian wilayah sekitarnya yang merupakan wilayah penyangga yang tercakup sebagai wilayah administrasi pemerintahannya. Pertumbuhan sektor ekonomi  komersial  dan  pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan  kemampuan daya dukung lahan  berkurang. Lahan  menjadi  obyek  perebutan  antara  berbagai  kepentingan. Akibatnya  harga  lahan menjadi mahal. Sektor  usaha  yang  mampu menghasilkan laba  ( profit margin) tinggi dan   bekerja  dengan skala besar akan memenangkan persaingan, dengan mudah mendapatkan lahan strategis dekat dengan pusat-pusat kegiatan (Richardson, 1972).

Hasil dari urbanisasi ini seperti paradoks. Cavailhes, et.al. ( 2003) dalam Rustiadi (2007) menyatakan bahwa masyarakat desa menginginkan kenyamanan ruang kota di desa seperti pasar yang bersih, jaringan transpotasi, dan jaringan komunikasi. Sebaliknya masyarakat kota menginginkan kenyamanan suasana desa, seperti bebas dari kemacetan, udara bersih, ruang terbuka hijau yang luas.

Rumah
Di Jakarta semuanya terjadi dan menjadi. Jakarta tempat segala sesuatu yang norak menjadi sebuah kelaziman. Dimana bangunannya gagah, menantang langit, dengan arsitektur yang ‘terinspirasi’ dari tempat-tempat yang jauh, namun membuat gagap para penghuninya, menyeramkan bagi ‘orang luar’. Jakarta merupakan tempat orang melakukan pencitraan yang terus menerus terhadap dirinya, sebagai manusia modern? Namun kesehariannya tetap sebagai orang yang sama seperti sebelumnya. Jakarta tempat ‘kemasan’ lebih dihargai dari ‘isi’. Seperti anekdot yang mengisahkan orang yang dipacari kemudian hamil, sang pacar kemudian berkilah isi diluar tanggungan percetakan (Muttaqien, 2002).

Rumah merupakan sebuah teritori yang memiliki sifat diskursif, anatara nilai-nilai dan kebutuhannya—siapa yang dapat tinggal bersama, siapa tetangga kita, sehingga rumah memiliki hubungan erat dengan asal-usul, baik secara budaya maupun spasial.
Kebutuhan akan rumah tinggal, seperti diungkapkan diatas menjadi semakin penting. Jumlah orang yang memiliki rumah 51 juta, dikurangi rumah tidak layak huni 30 juta jiwa. Menyebabkan  kondisi perumahan di Indonesia masih memprihatinkan. Cuma sekitar 21 juta jiwa mendiami rumah dengan lingkungan binaan yang baik. Dalam situasi yang serba kekurangan ini permukiman bagi kaum miskin merupakan hal yang sangat krusial, mengingat rumah adalah salah satu hak azasi manusia yang dijamin oleh negara.

Secara sosiologis dapat dipastikan bahwa lingkungan perumahan secara pasti mengalami penurunan kualitas hidup, dalam hal ini adalah kualitas ruang. Masyarakat kota besar, seperti Jakarta terus menerus tumbuh, sedangkan ruang tetap dan memiliki daya dukung alam yang terbatas. Sebagai akibatnya, kawasan yang dulu dianggap memiliki lingkungan binaan yang baik dan sehat juga memiliki penurunan kualitas ruang. Hal ini nampaknya merata di seluruh kota. Kondisi ini menyebabkan daerah atau kantong-kantong elitepun menjadi tidak nyaman, karena pada situasi tertentu mereka terisolir, seperti waktu banjir. Bencana banjir menyebabkan daerah sekitar kawasan elit terendam, walaupun kawasan elite tersebut tidak terendam, seperti Kelapa Gading, Cibubur, Pantai Indah Kapuk namun daerah sekitar kawasan tersebut dipenuhi air sehingga menutup akses jalan dari dan ke kawasan tersebut. Bahkan sejak tahun 2002 beberapa kawsan yang sebelumnya tidak pernah banjir seperti Cibubur dan Kelapa Gading, karena kerusakan lingkungan di daerah hulu dan pemanfaatan yang tidak sesuai zonasi menyebabkan kawasan-kawasan tersebut terendam banjir.
Penurunan kualitas ruang lebih parah terjadi di kalangan miskin. Kaum miskin memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan kaum elit kota. Mereka tinggal di daerah-daerah yang memang merupakan daerah bahaya, seperti bantaran kali atau sempadan jalan tol. Atau mereka tinggal di lahan-lahan milik umum atau lahan tidur milik swasta.

Terletak di ujung utara kelurahan Rawa Bunga, disebelah Utara bertetangga dengan Kelurahan Kayumanis dipisahkan oleh rel kereta api. Sebelah Barat dan Selatan bertetangga dengan kelurahan Balimester dengan batas alam terusan kali Mookevart atau kali Baru. Disebelah Timur bertetangga dengan Stasiun Kereta Api Jatinegara. Letak RW 01 terpisah dari RW-RW lainnya. Disela oleh jalan propinsi, Jalan Bekasi Barat Raya.

Dikelilingi oleh pasar regional Jatinegara, Plaza Jatinegara, Pertokoan Lokomotif milik PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dan Pasar Burung Jatinegara (dikenal dengan Pasar Kemuning). Warga RW 01 sebagian besar pedagang, baik pedagang formal maupun informal (pedagang kaki lima). Sebagian lain adalah karyawan toko dan pegawai PT. KAI (sebagian wilayah RW 01 dikuasai oleh PT. KAI duluPerusahaan Jawatan Kereta Api/PJKA, diwilayah ini terdapat perumahan pegawai PT. KAI). Perpindahan penduduk di wilayah ini (penduduk musiman) termasuk cepat dan cukup membuat sibuk para pengurus RT. Hal ini disebabkan oleh akses lokasi RW 01 yang sangat strategis. Para penduduk musiman ini biasanya tinggal di rumah saudaranya yang telah menetap sebelumnya, kemudian ‘magang’ dan membuka usaha sendiri. Dari hasil pemetaan masalah, di RW ini ada beberapa isu strategis yang muncul.

Pertama, masalah keamanan. Masalah keamanan merupakan masalah yang cukup mendominasi. Isu keamanan ini berhubungan dengan ketertiban pedagang terutama para pedagang burung yang ada di jalan Kemuning, masalah pungutan liar (pungli) kepada para pedagang, masalah Narkoba dan perjudian. Disini ada arena sabung ayam yang cukup di kenal di Jakarta.

Kedua, masalah kemiskinan. Permasalahan akses kepada sumber daya pembiayaan, akses kepada perumahan yang layak, akses untuk mendapatkan pencaharian hidup yang layak merupakan karakteristik masyarakat migran kota (baca: kaum miskin kota) yang merupakan akar kemiskinan.

Ketiga, masalah pelayanan umum/sosial. Dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan luas lahan yang terbatas serta lokasi yang terpisah dari RW lain maka permasalahan pelayanan umum merupakan masalah yang cukup dominan. Masalah seperti MCK helikopter, fasilitas pertemuan warga yang kurang memadai, sarana olah raga yang kurang layak merupakan sebagian dari permasalahan fasilitas umum/sosial.

Keempat, masalah kelembagaan RW. Masalah pembinaan RW kepada pengurus RT menjadi sebab mengapa banyak pengurus RT tidak memahami fungsinya sebagai wakil rukun tetangga. Masih dalam lingkup RW, ada persoalan kurang aktifnya (responsif) wakil Dewan Kelurahan di RW 01 dalam menjaring aspirasi warga untuk pengambilan keputusan di tingkat kelurahan.

Kelima, masalah eksternal. Masalah eksternal yang muncul antara lain program pemerintah yang dirasakan tumpang tindih. Banyak program yang memiliki sasaran yang sama dengan kegiatan yang ‘hampir’ sama. Masalah eksternal lainnya adalah hubungan dengan stakeholder lain, seperti tembok Perumka yang mau rubuh dan membahayakan orang-orang disekitarnya, permasalahan dengan lembaga lain seperti susahnya untuk memakamkan orang yang meninggal (Profil RW 01 Kelurahan Rawa Bunga, kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, dalam Widhyanto et.al., 2002)

Selain ketiadaan akses untuk memiliki rumah, kaum miskin kota juga tidak memiliki budaya untuk memperbaiki lingkungan binaan mereka. Kebertetanggaan diantara mereka tidak diikuti oleh pemupukan modal sosial dan modal budaya yang kuat. Hal ini disebabkan oleh pembangunan yang meminggirkan mereka. Komunitas tidak memiliki visi bersama untuk lingkungan permukiman mereka . Sejak komunalitas digantikan oleh birokrasi negara, bahkan tidak hanya masyarakat perkotaan, masyarakat perdesaanpun menjadi tumpul kemampuannya dalam menjaga dan membentuk lingkungan binaan mereka untuk kesejahteraan bersama. Hal ini dapat dilihat dari ilustrasi di atas. Masyarakat di Rawa Bunga kehilangan kapasitas self helpnya, kemandiriannya. Widhyanto Muttaqien (2004) menyatakan bahwa tujuan-tujuan dari sebuah pemberdayaan itu sendiri adalah sebagai berikut; (1)  menjaga keberlanjutan program-program yang telah disepakati, (2) saling berbagi sumberdaya diantara para pihak yang terkait (3) merawat aset masyarakat dan mampu mendamaikan konflik-konflik kepentingan atas pemanfaatan aset-aset tersebut (4) mampu melakukan replikasi atas keberhasilan dalam membuat mekanisme keswadayaan (terutama pembelajaran ke luar komunitas dan ke generasi berikutnya (intergeneration learning). Pada tahap keswadayaan tertentu sebuah komunitas yang otonom akan dapat menemukan sendiri mekanisme keswadayaannya (self help) yang akan menjadi jaring pengaman sosial bagi keutuhan komunitas tersebut.

Sebagai akibatnya pola-pola perubahan dalam permukiman memiliki pola-pola seperti dibawah ini . Pertama, perubahan itu mendorong berlangsung pergeseran populasi, yakni proses invasi ke dalam dan proses tergeser ke luar. Ini karena pemusatan aktivitas masyarakat industri   perkotaan merubah pengembangan properti. Kampung-kampung beserta pemiliknya yang masih hidup pada sektor ‘ekonomi tradisional’ secara bertahap tergeser ke pinggiran. Proses jentrifikasi ini terus berlangsung dan mengakibatkan perkampungan akan semakin berkurang. Sementara itu, migran dari pedesaan terus berupaya untuk tetap melakukan invasi ke dalam, bertahan dan bermukim di kampung-kampung serta lorong-lorong publik. Upaya ini dilakukan karena perkembangan kota belum mampu memindahkan pekerjaan dari pusat ke pinggiran. Pusat masih tetap menjadi lokasi mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, perkotaan dipaksa untuk bertransformasi menjadi sebuah urban containment raksasa dengan kepadatan manusia yang makin melampaui ambang batas kewajaran.

Kedua, perubahan populasi itu mendorong adanya perbedaan kesejahteraan. Kelompok mampu cenderung terus berusaha menandai status sosialnya melalui permukiman yang mereka bangun, di samping mendorong munculnya perasaan takut terhadap ancaman yang pincang itu. Implikasi berikutnya  adalah hadirnya usaha untuk menciptakan teritorial yang dipertahankan (defended territory), misalnya dalam bentuk bangunan pagar yang tinggi atau mendirikan gardu satpam.

Sementara itu, paket-paket pembangunan perkotaan juga  menciptakan “pulau-pulau pertahanan” (defended islands), seperti yang terjadi pada sistim kavling dan lainnya. Hubungan antar “pulau-pulau” itu sendiri kemudian hanya bisa dilakukan setelah keluar jalan besar dan berputar balik. Akibatnya, selain memberikan beban transportasi, ruang antar kavling yang menerus menjadi sulit diciptakan. Implikasi lain dari perbedaan tingkat sosial itu adalah terjadinya proses isolasi sosial secara homogen, terutama dalam pembangunan permukiman yang mengelompokkan diri dalam sebuah tenunan sosial yang homogen dan seringkali berwujud sebuah teritorial permukiman dan perkantoran yang terisolasi.
Ketiga, superimposisi urban cotainment, teritorail yang dipertahankan, “pulau-pulau pertahanan” dan berbagai bentuk isolasi-isolasi itu dengan sendirinya akan memunculkan sebuah realitas urban yang dikenal sebagai segregasi kota (urban segregation). Citra yang ditimbulkan kemudian adalah pada terbelahnya lansekap ke dalam variasi permukiman yang kurang menguntungkan secara sosial maupun politis karena adanya kontras antara formal dan informal, tertata dan tidak tertata, industrial dan tradisional, mampu dan tidak mampu dan lain sebagainya.

Keempat, urban containment yang dihuni masyarakat berpenghasilan rendah, baik yang berupa pemukiman kumuh yang dibangun di atas tanah secara legal (slum) maupun  yang dibangun di atas tanah secara illegal (squatter), pada dasarnya merupakan kristalisasi permasalahan permukiman kumuh perkotaan. Bersamaan dengan isu segregasi kota, permasalahan pemukiman kota ini mempunyai nuansa politis. Ini tentu saja memerlukan perhatian serius karena secara inherent akan menjadi persoalan yang sangat pelik. Persoalan yang sangat politis tersebut adalah perebutan ruang kota.

Ritus Hidup

Jakarta tempat para migran dipupur, didesain ulang, dihamili dan melahirkan berbagai persoalan (Muttaqien, 2002).


Salah satu pendekatan untuk melihat bagaimana kemiskinan bertambah buruk  dalam suatu masyarakat, Ocar Lewis (1988)  menawarkan kajian etnografis melihat keluarga sebagai unit analisis. Kehidupan keluarga (cultural shared dan shared knowledge) menyebabkan kemikinan dalam keluarga tetap lestari. Lewis, melihat kemiskinan sebagai way of life. Seperti Putnam (1993) melihat yang menyelidiki permasalahan modal sosial di komunitas dengan studi kasus Italia, menilai ada kontradiksi pola dalam pembangunan ekonomi di Italia. Untuk warga yang sejahtera, komunitas diterjemahkan sebagai katup pengaman dan perluasan privelese yang telah diperoleh. Sementara bagi golongan miskin komunitas diterjemahkan sebagai ‘mengendalikan kekumuhan mereka’.

Lebih kecil dari keluarga, maka terdapat subyek, anggota keluarga yang menghuni sebuah rumah. Subyek ini walaupun memiliki hubungan dengan entitas yang lebih besar dari dirinya (keluarga) namun sebenarnya merupakan ruang tersendiri. Subyek diri merupakan kumpulan hasrat, kesenangan, luka dan cinta. Dalam kajian fenomenologis tubuh dan pikiran dipisahkan. Sehingga terjadi pula pemisahan antara produksi hasrat dan produksi sosial. Levebre (2001)  menyatakan bahwa spatial practice (praktek spasial) merupakan mencakup kegiatan produksi dan reproduksi dan lokasi tertentu dan karakter wilayah dari pembentukkan sosial. Praktek spasial ini menjamin keberlanjutan dan tingkat kohesi sosial. Dalam konteks ruang sosial dan anggota di dalamnya maka kohesi sosial ini berimplikasi pada tingkat kemampuan dan tingkat keragaan (kemampuan mencapai hasil).  Sedangkan representation of space (representasi ruang), berkaitan dengan hubungan-hubungan produksi dan penugasan terkait hubungan tersebut, dan sebagai  hasil dari mengetahui, memberi tanda dan menggerakkan hubungan tersebut. Representasi ruang merupakan ruang yang dikonsepkan oleh subyeknya. Ruang ini merupakan ruang yang dapat dibaca oleh anggotanya lewat sistem tanda. Representational space mengandung simbolisme yang kompleks, terkadang ditandai, kadang tidak, ruang ini terkait dengan bawah sadar dari kehidupan sosial.   Ruang ini merupakan ruang yang dihuni. Jika dilihat dari sisi psikoanalisa maka ketiga ruang tersebut dapat diwakili dengan kata persepsi, mengerti, dan mengalami (perceived-spatial practice, conceived- representation of space, lived- representational spaces). Cara kita berpikir (representation of space) akan mempengaruhi kondisi ruang, pembentukkannya. Kita akan mengisi ruang tersebut dari apa yang kita pikirkan. Hal ini dipengaruhi secara langsung oleh pengetahuan, juga ideologi. Sedangkan representational spaces dipengaruhi oleh  memori masa kecil, impian, simbol dan citra bawaan (uterine). Representational space ini yang terkadang mengabaikan spatial practice (realitas), mendobraknya. 

Perbedaan-perbedaan  dalam masyarakat dipengaruhi oleh konsep triadik ini, dimana identitas akan menemukan perannya. Dalam masyarakat pos modern persoalan berumah-memiliki rumah bahkan menjadi lebih dalam dan kompleks. Dalam karena permasalahan ini sangat pribadi, letaknya pada ritus kehidupan seseorang individu dimana, baik secara kelompok maupun pribadi, kehidupan itu sendiri bertujuan untuk memisahkan diri dan menyatukannya kembali, untuk merubah keadaan, lahir kembali. Inilah ritus hidup manusia pos modern. Semakin asing bagi dirinya, di lain waktu, sangat dekat dengan yang Lain.  Heidegger melihatnya sebagai ada-tidak ada-mengada, dalam faktisitas tertentu dan situasi tertentu manusia ada. Sehingga konsep rumah sekarang adalah proses kehadiran aktif manusia. Sebagai pusat realisasi kehidupan manusia. Sebagai arsenal, dimana manusia menemukan kemanusiaannya kembali.

Permasalahan permukiman dalam masa pos modern tidak cukup dilihat dari kebutuhan dasar yang bersifat almiah saja, atau dari sisi relasi sosial (konstruksi sosial). Penemuan jati diri dan kebebasan menjadi isu utama dalam  era sekarang. Secara asimetris hal ini dapat diumpamakan seperti kembali ke masa lalu-retrospektif. Dimana gua-gua merupakan tempat terbaik untuk memahami diri sendiri. Dari kecenderungannya yang terasing dan mengasingkan diri manusia Jakarta seperti sedang membangun gua di tengah kota.

widhy | sinau

Hamid, Abdul dan Ahmad, Iman 1992. Perubahan Ekonomi dan Resistensi Budaya,Prisma, LP3ES, Jakarta dalam Muttaqien (2002).

Muttaqien, Widhyanto, Andit, Abdurahman dan Baehaqie, Ahmad. 2002. Mendobrak Kebiasaan: Belajar Bertatakrama dalam Pembangunan di Kelurahan Rawa Bunga. Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemda Provinsi DKI Jakarta-Program Perencanaan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Redfield, Robert. Peasant Society and Culture dalam Amos Rappaport. 1969. House Form and Culture. Prentice Hall.

Lawan vernacular (indigenous) biasanya disebut popular, vernakular merujuk pada bentuk asli, digunakan masyarakat tanpa diketahui secara pasti asal-usulnya, anonim, tanpa authorship. Sedangkan popular merujuk pada penggunaaan oleh orang kebanyakan, dan dapat dibedakan pad abagian-bagian tertentu, sedangkan folk digunakan oleh lebih banyak orang (dari kebudayaan yang lebih rendah)

Mumford, Lewis. 1952. Art and technics. columbia University Press.

Redfiled, Robert. 1953. The Primitive Worlds and It’s Transformations. Cornell University Press.

Anwar, Affendi. 2005. Tinjauan Kritis Kebijakan Pembangunan Perdesaan Di Indonesia. Crestpent Press, Bogor.

Suparlan, Parsudi. 2006. Megalopolis: S ebuah Peluang Vs  Ancaman Bagi Peningkatan  Kesejahteraan Masyarakat. Makalah Seminar: Wahy Megalopolis. Jakarta, 5 April 2006. Tidak dipublikasikan.

Muttaqien, Widhyanto. 2004. Tingkat Partisipasi Pembangunan pada Perencanaan Pembangunan di Tingkat Komunitas: Studi Kasus Kelurahan Rawa Bunga, Jakarta Timur. Tesis tidak dipublikasikan. Program Perencanaan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2001. Forum Pengkajian Perencanaan Provinsi DKI Jakarta. Bappeda DKI Jakarta.

Lewis, Oscar. 1988, Kisah Lima Keluarga. Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Yayasan Obor, Jakarta.

Levebre, Henry. 2001 (reprinted). The Production of Space. Blackwell.

Putnam, Robert. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy, Princenton.


 

 

Indonesia Young Planners Blog

http://perencanamuda.wordpress.com

Tuesday, 20 January 2009

Website Resmi | Gerakan Rakyat Anti Pemiskinan Jakarta

http://garapjakarta.blogspot.com

Earth Hour

Start:     Mar 28, '09 8:30p
End:     Mar 28, '09 8:30p
Location:     Maunya Jakarta Juga
Join us for Earth Hour at 8:30pm Saturday March 28 2009!
n 2007, 2.2 million people took part in the world's first Earth Hour in Sydney Australia. Just one year later, 50 million people in 370 cities and towns, in more than 35 countries worldwide switched off their lights for Earth Hour.

Earth Hour 2009 aims to reach more than one billion people in 1000 cities around the world, inviting communities, business and governments to switch off lights for one hour at 8:30pm on Saturday March 28 and sending a powerful global message that we care enough about climate change to take action.

Thursday, 8 January 2009

resep #10 kembali ke titik nol

Rating:★★★★
Category:Other
We're leaving together,
But still it's farewell
And maybe we'll come back,
To earth, who can tell?
I guess there is no one to blame
We're leaving ground
Will things ever be the same again?

It's the final countdown...

Final Countdown

Jika takdir kita sudah ditentukan, maka kita menjalaninya mulai dari angka yang telah ditentukan sampai di titik nol, 'final countdown' meledak, melesat. Tapi itu baru awal untuk suatu hal yang baru. Jasad dikubur, namun sebenarnya kita cuma berpindah ke alam lain, seperti juga kita tak pernah tahu darimana asalnya keingintahuan kita akan sesuatu, segala sesuatu. Karena kita tidak memiliki waktu, nol dan sampai yang tak terhingga hanyalah angka-angka buatan kita...juga bumi, apapun sebutannya, bumi ini nyaris sama dengan bumi yang akan kita kunjungi atau tempati. Titik nol seperti yang disebut Al Farabi 'bukanlah kosong', namun aksara yang membuat sesuatu bisa 'tak berhingga', inilah dasar filsafat keTuhanan pasca Yunani, yang bersumber pada 'dzat Tuhan' tidak dapat diperdebatkan, 'tandanya' yang kita bisa dekati. Nol adalah sebuah 'tanda'.

Dalam garis bilangan kemudian dikenal 'bilangan bulat negatif'-'minus' untuk mengadakan yang tidak terlihat, yang maya, kita meminjamnya dari bilangan minus-di sisi kiri bilangan nol, untuk menyatakan 'minus', 'kurang dari nol' dalam timbangan kemudian kita kenal 'kurang'. Dalam agama, nol dan bilangan bulat positif dan negatif merupakan dasar dari silogisme benar dan salah. Dimulainya dari pertanyaan apa yang bisa dibuktikan dari kata 'kurang'?.

'Tak berhingga' kemudian menjadi deretan kualitas, sebuah gradasi, sebuah momen, untuk menyatakan bahwa hidup menuju ultimate goals, yang dilacak lewat angka nol. Di statistik menjadi rataan, yang awam-ada yang lebih dan ada yang kurang, ada yang rataan. Bisa jadi awam. Benar dan salah tidaklah menyediakan ruang yang abu-abu, di antaranya. Benar dan salah menyediakan ruang untuk mendekati keduanya, fuzzy logic. Dimana pecahan, yang remahan, juga ikut dihitung.

Kembali ke titik nol bisa dilihat dari mana kita datang, dari kekurangan kita atau kelebihan kita. Nol 'tanda' untuk membantu, bahwa dunia bisa dikalkulasikan, setidaknya tidak dalam oposisi biner, cuma hitam-putih, dan benar-salah. Abu-abu sama dengan hitam, sama dengan putih, sama dengan kuning, sama dengan merah...

deliver us, oh Allah, from the sea of names!
Ibnu Al Arabi

widhy | sinau

anti antihero




imagine yourself suddenly setdown by all your gears, alone (malinowsky)


 
Adi Pahlawan

Salah satu ikon dalam kebudayaan komik adalah Batman, adi pahlawan tanpa adi daya. Batman ketika menghadapi para penjahat cuma mengandalkan aneka  perkakas. Batman tidak memiliki kekuatan yang serba maha, kekuatan dari langit. Pekerjaannya adalah atletik dan olah tubuh, hanya itu yang membuatnya kuat. Lantas apa yang membuat Batman begitu spesial? Batman hidup karena dendam. 

Kaum Indian sekarang mengajarkan kembali mitos-mitos yang selama ini cuma diteliti oleh para antropolog seperti Boas dan Tate, mitos-mitos diajarkan di sekolah-sekolah dasar anak-anak Indian. Dengan tujuan yang berbeda mitos-mitos diajarkan untuk melakukan kontra-klaim terhadap sejarah yang dibuat oleh kulit putih (klaim teritorial, klaim politik, dsb) . Ketika mitos-mitos menggantikan sejarah artinya ada perbedaan antara yang dikumpulkan dari dalam dan dari luar. Orang Indian tidak sedang menihilkan sejarah atau menyudahinya, mereka sedang menguji sejarah dengan sejarah. Bahkan sejarah tidak berakhir disini, sejarah disulam dengan kondisi sekarang dengan pola harapan.

Ketika sepatu wartawan Irak dilempar ke arah pemimpin negara adi daya, George W. Bush, apakah berakhir sejarah Amerika di Irak? Televisi menyiarkan masyarakat  Irak berpesta, tertawa, dan berteriak-teriak mendukung keberanian sang wartawan sambil mengerek sepatu dan membakar bendera Amerika. George W. Bush membuat pernyataan yang mengatakan bahwa ini bukanlah representasi masyarakat Irak dan dia tidak merasa terancam dengan insiden itu. Sementara masyarakat Amerika tertawa melihat hiburan dadakan, dengan mengatakan, “Presiden telah mengendalikan keadaan dengan sangat baik.” Lagi, televisi memberikan ulasan mengenai hal tersebut dengan mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan ucapan selamat tinggal yang paling kasar terhadap orang yang telah membantu mereka lepas dari rezim tiran. Televisi juga menggambarkan betapa tidak berdayanya masyarakat Irak menghadapi perang saudara dan melesetnya janji Amerika untuk mensejahterakan masyarakat Irak pasca kepemimpinan Sadam Hussein sang Tiran Babilonia yang oleh George W. Bush disebutkan sebagai salah satu tiang dari Poros Setan. Dua tahun sebelumnya masyarakat Shiah Irak dan etnis Kurdi di Utara Irak berpesta-pora atas eksekusi Presidennya. Saddam dan Bush datang dengan pesta dan pergi juga dengan pesta. Ada ironi heroisme disini, menang bukan segalanya.

Dari riwayat yang rusak manusia membayangkan satu titik di depan yang sempurna. Titik itu seringkali ditegaskan, tetapi sebenarnya, memakai kata-kata Laclau, sebuah “penanda yang kosong”. Kekosongan ini bukan berarti sesuatu yang sepenuhnya negatif, justru penanda ini begitu menggetarkan dan menggerakkan kita, dan lahirlah damba. Dengan damba itu kita membuat sejarah untuk mengisi penanda kosong itu dengan sesuatu  yang bisa ditandai dengan memadai. (Goenawan Mohamad, 2007).

Bagi Hegel, pahlawan adalah yang berdiri di antara moralitas sosial dan  moralitas personal, antara warga negara dan pribadi. Pahlawan adalah orang yang menjadi sintesa, dari Ide dan Alam. Ia hidup dalam Waktu, menguasainya. Pahlawan memiliki sifat yang khas, ia bebas. Dialah Sejarah. Dalam konsep triadik Hegelian (ada-tidak ada-mengada) letak pahlawan adalah mengada-menjadi ada (becoming) . Mengada bukanlah akhir, jika diberikan tanda titik seperti yang diutarakan oleh Goenawan Mohamad maka mengada menjadi ada—tak ada—ada. Artinya, proses mengada itu selalu ‘dialektis’. Dan pahlawan tak perlu ditampik, bahkan kebudayaan komik mengharamkan kematian pahlawan. Superman pernah dibikin mati oleh pengarangnya, dibunuh oleh Doomsday (Kiamat), namun pembaca protes- (jika demikian) sejarah telah berakhir. Superman kemudian dihidupkan kembali.

Yang rudin
Identifikasi korban bagi masyarakat modern selalu ‘yang tidak mampu bersaing’. Sedangkan kekalahan adi manusia tidak dibenarkan dalam sejarah, sebab itu adi manusia harus dirawat dan diruwat. Korban selalu diposisikan sebagai yang kalah dalam sejarah, Batman betapapun telah memenjarakan banyak penjahat selalu ditampilkan sisi masa lalunya, ada yang membuatnya selalu lara: kematian dari orang-orang yang dicintainya. Ia adalah korban. Demikian halnya Rambo.

Korban lainnya adalah massa dalam budaya massa. Massa terus-menerus harus harus dibela, karena dianggap tidak memiliki landasan pilihan dalam masyarakat kapitalis. Mereka korban kebohongan iklan. Iklan para adi pahlawan menyebabkan terjadinya proses imitasi dan lokalisasi dalam kebudayaan komik, Maza misalnya memiliki kisah seperti Tarzan, Pangeran Mlaar memiliki kesamaan dengan Plastic Man, Gundala karakternya mirip Captain America. Perbedaan mendasar dari asal-usul ke-adi manusiaan mereka adalah adi pahlawan di Barat (baca: Amerika) memiliki unsur-unsur ilmu pengetahuan (science), setidaknya dalam budaya adiluhung mereka ilmu pengetahuan diposisikan sebagai nilai utama (core value). Nilai yang bisa mengangkat derajat kehidupan manusia. Dalam komik Indonesia latar belakang ilmu pengetahuan ini tidak dijumpai, asal-usul mereka adalah kemiskinan, wajah yang buruk, ketidakpopuleran di kalangan perempuan, berkelahi kalah terus, dan tiba-tiba mendapatkan sesuatu yang ajaib-adi dunia-merekapun menjadi pahlawan pembela kebenaran, dambaan perempuan, ganteng dengan topengnya, berkelahi menang terus, soal asal-usul kemiskinan terlupakan.  Di budaya komik Indonesia terdapat beberapa yang khas Indonesia, setidaknya diwariskan dari nenek moyang sebagian orang Indonesia-yang dipercaya adalah migran dari bangsa Cina; para jagoan silat. Mereka sering digambarkan bagian dari trah kebangsawanan dan menolak kemewahan, lebur bersama korban-masyarakat yang dianiaya oleh raja-raja.
Dalam realitanya di masyarakat sekarang, unsur manusiawi para adi manusia lebih ditonjolkan, Superman menangis ditinggal menikah oleh Lois Lane, Batman mengalami keterbatasan dalam memerangi kejahatan dan memerlukan bantuan orang lain,  pahlawan perang Vietnam bukan lagi pahlawan bagi anak muda di tahun 1990an, dan mereka perlu kelanjutan dari kehidupan mereka dengan menuntut pihak-pihak yang mereka kirim ke Vietnam sebagai ‘pembohong besar’ lihat genre film perang 1980-1990an seperti Born at The 4th of July, The Casualties of War

Para korban (dan penjahat) juga dilihat  sisi baiknya.  Selain kehidupan pribadi mereka yang normal seperti warga negara lainnya, hampir tidak ada penjahat yang lahir sebagai orang jahat, mereka terpaksa, tak punya pilihan-setidaknya kegilaan hanyalah akibat masa lalu yang buruk (bahasa gaulnya ‘masa kecil kurang bahagia’), seperti prekuel Hannibal dalam Hannibal Rising. Yang jahat adalah sistem bukan agen. Sebaliknya, genre film tentang teror (atau perjuangan?) yang dilakukan oleh ‘militan muslim fundamentalis=teroris?’ dibuat dengan menyembunyikan sisi manusiawi teroris, mereka digambarkan sebagai orang-orang yang memiliki pilihan tapi memilih untuk membunuh orang tak berdosa, dan itu dilatabelakangi dengan ideologi jika bukan agama (lihat film-film tentang Sudan, Afganistan dan Irak seperti Kandahar), para teroris (muslim ini) memiliki satu versi cerita: dididik untuk menihilkan yang lain, radikal, dan berbeda dari ideal masyarakat sipil Barat.

Dalam tulisan Tsing (1998)  nyanyian dukun, tokoh spiritual seperti Ada Umang di pegunungan Meratus merupakan  tokoh yang mewakili sikap masyarakat yang melakukan perlawanan dan juga akomodasi terhadap kekuasaan yang lebih besar. Ama Umang diyakini oleh penduduk setempat sebagai penyembuh tradisional yang dapat berkomunikasi dengan kekuatan gaib. Dikatakannya, ‘sejarah’ menurut penuturan Uma Adang membawa masa depan dan masa lalu ke dalam masa kini.

Tsing membuat tulisan mengenai perlawanan Meratus tidak cukup dengan teori dikotomis penjajah dan yang dijajah, pahlawan dan korban,  pandangan masyarakat menurut Tsing seperti pandangan Uma Adang terhadapnya adalah “melihat saya sebagai wanita yang luar biasa dengan kekuatan yang diketahui, pengetahuan kebudayaan yang tak jelas, dan semangat yang tak mau kalah.” Tsing berpandangan yang sama terhadap Uma Adang. Tsing percaya pada ekletisme, manusia butuh lebih banyak cahaya dalam ruang gelap mereka.


Uma Adang: Menghitung langkah adalah bagian yang sejati dalam menyelidiki sejarah, tetapi engkau dan saya memiliki metode yang berbeda. Engkau menghitung setiap langkah, sedangkan saya dengan cepat mengetahui berapa langkah yang saya tempuh ketika tiba di suatu tempat. Misalnya saya tahu bahwa saya menempun 222  langkah dari rumah yang terakhir di permukiman tersebut.

Tsing: Sebenarnya saya menghitung 947 langkah dari rumha itu.
Uma Adang: (tersenyum lebar) Kalau begitu langkah saya lebih lebar (dalam Tsing, 1998).


Yang rudin adalah ketika menutup dialog pada sesuatu yang diskursif. Kehilangan segalanya. 
 
Tautan Ruang dan Waktu

Sekarang dunia bergerak ke arah disintegrasi dari nilai-nilai bersama dan dekonstruksi masyarakat konsensual, artinya dunia sekarang memandang keberadaan  ‘kenyataan’ secara lebih beragam bahkan saling mengukuhkan superioritas. Oleh Vidich, A.J. dan Lyman, S.M. (1998)  keadaan ini digambarkan sebagai situasi dalam kutipan Milan Kundera ‘moving through the void without any master’. Dengan konteks yang berbeda ruang kosong tanpa tuan tersebut menjadi raison d’etre dari ideologi pembangunan pasca kolonialisme. Pembangunan di Dunia Ketiga  setelah terbitnya negara-negara bangsa sebagai sebuah negara modern yang berdaulat merupakan kesempatan bagi para imperialis untuk kembali menjajah: dengan kolonialisasi pengetahuan. Anggur lama dalam botol baru: negara-negara bekas jajahan tidak akan mampu membangun dirinya sendiri, bekas negara-negara kolonial belum merdeka sepenuhnya. Dalam Tsing diungkapkan pergulatan pemikiran ini, Edward Said meneguhkan peran penjajah dalam pembangunan, “kekuasaan dan tindakan selalu dimiliki oleh penjajah.”
Dalam kerangka sejarah kebudayaan konstruksi masyarakat Barat terhadap ‘yang Lain’ dapat dilihat dari perkembangan penelitian sosial seperti yang diringkas dari Vidich, A.J. dan Lyman, S.M. (1998) seperti sebagai berikut.

Pasca Era Pencerahan, yaitu dimulainya pencarian dunia baru, dikenal dengan kolonialisme. Di era awal ini para etnograf berhadapan dengan ‘pemilik pengetahuan ’ yang diwakili oleh kolonialis dan ‘pemilik kedaulatan’ yang diwakili oleh ‘pribumi’, yang dalam daerah kolonialisasi  isu utamanya adalah revolusi antikolonial, nasionalisme, dan penentuan nasib sendiri. Beberapa etnograf awal melihat kondisi ini dengan memihak pada ‘pribumi’ dan mencari ‘modernisasi kehidupan’ pribumi, beberapa terutama penganut Marxist melihat situasi antikolonial sebagai perjuangan dalam mempertahankan ‘gaya hidup’ pribumi, yang dalam kontinum perubahan masyarakat disebut masyarakat pra kapitalis. Beberapa melihat ranah etnografi sebagai wilayah akulturasi antara norma oksidental yang dibawa oleh kaum kolonialis dengan norma pribumi, dan nilai-nilai apa yang hidup dan bisa dipertukarkan, ‘new live for old’. Dari satu momen ini, etnograf dapat melihat siapa ‘master of the world’.  

Perkembangan kedua adalah metode komparasi Comtean, yang diilhami oleh dominasi oksidental atas ‘yang lain’, sehingga August Comte melakukan studi evolusi kebudayaan dan peradaban. Comte menilai peradaban secara serial dan tak terulang melalui tiga tahapan kebiadaban (savegery), barbarisme (barbarism) dan peradaban (civilization), dalam Comte tiga tahap tersebut sejalan dengan perkembangan agama Kristen. Sehingga isu saat itu masih bias oksidental, namun  banyak hasil karya etnografi saat itu memberi kontribusi atas konstruksi awal sejarah peradaban   dan asal-usul moral dalam perspektif Eropa.

Perkembangan ketiga adalah masa perang dingin. Masa perang dingin berakhir setelah Perang Dunia II selesai dan negara bangsa muncul di Asia dan Afrika. Pada masa ini isu kolonialime berakhir. Terminologi primitif pada saat itu diganti oleh kurang berkembang (underdeveloped). Di wilayah bekas jajahan desain ini dinamai ‘Dunia Ketiga’, dan di Amerika dan sebagian Eropa isu yang berkembang adalah ‘kulit berwarna’ atau lebih tepatnya ‘kulit hitam’. Isu ini yang dikembangkan dalam riset sosial terutama etnografi. Etnograf menilai yang harus bertanggung jawab atas semua ini adalah kekuatan kolonial dan pendukungnya. Standar yang digunakan dalam mengukur kemajuan adalah Amerika, dimana hubungan-hubungan dalam kelembagaan sosial, politik, ekonomi hadir bersamaan dengan kemajuan yang dicapai oleh penegakan hak asasi, demokratisasi dan kapitalisme. Permasalahannya asal mula bangsa Amerika adalah kaum oksidental yang pertama kali berhadap-hadapan, dengan apa yang disebut sebagai primitif, barbar, dan kurang berkembang.

Perkembangan keempat adalah kebudayaan yang berkembang didasarkan urban, rural, dan peripherial-perkotaan, perdesaan dan pinggiran. Etnograf melihat dan membandingkan perkembangan sosial, politik dan ekonomi di daerah ini. Primitif digantikan dengan eksotik. Namun eksotisme inipun perlu direformasi, padahal sebelumnya berkembang sosiologi pemahaman (sociology of understanding-Weber, verstehende sociology) dan masalah nilai-nilai yang tak dapat dipertukarkan. Permasalahan reformasi nilai dan penyesuaian sosial dalam sosiologi perkotaan ini berakar pada Missi Kristen (pada kasus-kasus Ghetto, kantong kemiskinan dan daerah kumuh perkotaan Amerika, yang dihuni oleh kelompok minoritas tertentu).

Perkembangan kelima adalah etnografi asimilasi. Permasalahan asimilasi merupakan ‘kelanjutan’ dari permasalahan ‘reformasi nilai dan penyesuaian kebudayaan’, perkembangan ini menyebabkan menurunnya peran WASP (White Anglo Saxon Protestanism) di Amerika dan berkembangnya paham ‘unmeltable ethnics’, yang menarik dari perkembangan  di era ini adalah menurut Kivisto and Blanck (1990) generasi ketiga di Amerika berusaha mengenalkan kembali, mencari, dan menemukan kebiasaaan-kebiasaan mereka yang lama yang dibawa oleh nenek moyang mereka. Generasi ketiga disebutkan sebagai ‘children of gilded ghetto’, artinya generasi yang cuma disepuh tipis (oleh proyek reformasi nilai sebelumnya), problem inilah yang hadir dalam perkembangan etnografi di masa itu, permasalahan presentasi, representasi, dan disintegrasi. 

Perkembangan keenam adalah tantangan posmodern, yaitu ilusi masa lalu dan utopia masa depan. Masa lalu tak dapat ditelan, masa depan tak dapat dikunyah. Beaudillard menyebutnya sebagai tematisasi dari representasi sebagai fiksi persuasif. Tema dari etnograf di masa ini adalah  partikularisme versus metanarasi, lokal versus global, relatif versus generalisasi dan gradual versus temporal. Atau menurut Lash (2003) tema dari posmodern adalah (1) mempertahankan humanisme, (2) mencoba membangun kembali dimensi historis, (3) menolak konvensi, (4)  bukan self referential namun others referential. Sehingga Geerzt (1973) mengatakan etnografi berubah dari ‘thick description’ menuju ‘thick interpretation’. Tugasnya menterjemahkan kembali narasi yang ada, sambil membuka selimut kebenaran yang tersembunyi, kemudian mempersoalkan selimutnya. Mempertanyakan kembali apa yang disepakati merupakan tugas dari ilmu sosial kontemporer, dimana konvensi yang berlaku harus dilihat sebagai hubungan-hubungan kekuasaan.

Sedangkan jika dilihat dari sisi perkembangan ekonomi, perkembangan pemikiran kebudayaan tersebut dapat diringkas lewat pernyataan Arturo Escobar seperti kutipan berikut:

Anthroplologist, for the most part, have take taken post WWII “development”, for granted; they have accepted it as the normal state of affairs and have thus contributed to its naturalization. How unanthropological, one might say, to accept an entire historically produced cultural field without probing its depth (Arturo Escobar seperti dikutip James Ferguson, 2005) 

Antropologi seperti yang dikhawatirkan diatas adalah antropologi pembangunan, dimana Koentjaraningrat (1990)  mengklasifikasikannya sebagai berikut:
1.    Masalah teori dan metodologi pembangunan
a.    Masalah dualisme ekonomi, atau kesenjangan antara ekonomi perdesaan dan ekonomi industri di negara-negara sedang membangun.
b.    Masalah  kesenjangan kemajuan sosial budaya antara berbagai golongan sosial dan bagian-bagian tertentu dalam negera-negara yang sedang membangun.
c.    Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang mendorong kemakmuran.
d.    Masalah peranan agama dalam pembangunan.
2.    Masalah kebijakan pembangunan
a.    Aspek manusia dan model-model dalam perencanaan pembangunan.
b.    Masalah arah pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju masyarakat serupa masyarakat Eropa Barat dan Amrika.
c.    Kajian antropologi mengenai pembangunan ekonomi Marxisme.
d.    Aspek pembangunan padat karya dan padat modal.
3.    Masalah sektor-sektor serta unsur-unsur yang dibangun dan akibat-akibat sosial politiknya
a.    Masyarakat desa.
b.    Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB).
c.    Lingkungan.
d.    Kepemimpinan dan pembangunan.
e.    Pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan.
f.    Perubahan sosial budaya akibat pembangunan.
g.    Aspek manusia dalam reorganisasi administrasi dan pemerintahan.
h.    Masyarakat majemuk dan integrasi nasional.  

Ketiga pokok masalah tersebut berkaitan erat. Proses marjinalisasi yang terjadi disebabkan oleh politik pembangunan ekonomi yang pro-positivist orthodoxy. Dimana sejarah dilihat linear, homogen, di semua bangsa, sehingga pasca Perang Dunia ke-2 hampir seluruh negara-negara bekas jajahan memiliki agenda yang sama, seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat di atas. Positivist orthodoxy yang melihat sejarah linear dan seragam mensyaratkan kemajuan sebagai ‘the west is the best, others were rest”.

Sepuhan Tipis

Seeking to be anybody’s house it becomes nobody’s.
(Dally, 1989)


Pembangunan yang bias telah menimbulkan berbagai konflik, maka diperlukan pendekatan pembangunan yang mampu menghilangkan konflik sekaligus meningkatkan sumberdaya sosial. Perkembangan paradigma pembangunan sekitar tahun 1960 sampai 1970 dikendalikan dari peraturan kolonial, khususnya sistem perencanaan sekitar periode akhir tahun 1930-an dan pasca peran dunia ke II. Konsep yang dilakukan adalah pendekatan atas-bawah (sebuah usaha pembangunan dimana pemerintah melakukannya untuk rakyat), dan bahasa yang digunakan adalah bahasa militer-birokrasi oleh PD II, yang menurut pustaka disebut tujuan, sasaran, strategi, kemampuan. Namun hal ini mengalami kegagalan untuk meningkatkan hidup dari mayoritas yang lemah/miskin di dunia berkembang. Pengembangan pola pembangunan partisipatif muncul sebagai reaksi pada perwujudan kegagalan ini, dipopulerkan terutama sekali oleh Gordon Conway dan Robert Chambers (1992), dan David Korten (1996) .

Partisipasi ini berbeda dengan dengan konsep awal mengenai partisipant-observer bertujuan pada tindakan-tindakan sosial dan aksi kolektif. Bukan sekadar mendeskripsikan secara detil (thick description). Namun metode yang digunakannya masih sama, let others speak. Bagi Habermas  dua pilihan tersebut (bertindak dan memahami) merupakan dua pilihan dalam kerangka teori aksi komunikatifnya, ’berorientasi pada keberhasilan’ dimana subyek individual mengejar tujuan-tujuannya dalam relasinya dengan lingkungan, baik fisik dan sosial yang dihayatinya sebagai obyek yang asing. Tindakan kedua adalah tindakan-tindakan agen terlibat diarahkan bukan pada perhitungan-perhitungan keberhasilan egosentris, namun oleh tindakan-tindakan untuk mencapai pemahaman, dimana pemahaman tersebut merupakan ’telos inheren dari perbicangan manusia’, yaitu pencapaian kesepakatan di antara subyek-subyek yang bertemu dan bertindak. Tindakan pertama lebih mendekati pada konsep participant-observer dimana subyek-subyek yang berbincang masih diberikan ruang untuk memahami masalah secara etik, dan melebur dalam situasi yang intim. Sedang  pendekatan kedua lebih dekat pada participatory approach dimana ruang yang hadir bertujuan membangun kesepakatan.

Paulo Freire (1998)  menyebutkan kesederhanaan, keingintahuan yang belum memiliki peralatan, yang dihubungkan dengan akal sehat, adalah keingintahuan yang dapat mengembangkan kemungkinan-kemungkinan kritisnya. Geerzt (2000)  dengan cara yang sama mengatakan bahwa untuk memasuki wilayah masyarakat sebagaimana adanya kita perlu memahami bahasa mereka: akal sehat sebagai sistem budaya. Kenyataan di lapangan adalah begitu kuatnya proses konstruksi dan rekonstruksi di masyarakat terhadap individu. Sehingga akal sehat dan rasa ingin tahu tidak serta merta menjadi kritis. Dalam Guba (1990)  akar dari konsep partisipasi ini dapat dilacak lebih jauh, yaitu persoalan epistemologi dan metodologi yang digunakan. Secara paragdimatik maka ada dua paradigma berpikir yang menjadi landasan dari teori-teori partisipasi yaitu: teori kritis dan konstruktivis. Secara epistemologi sifat dari teori kritis ini adalah menempatkan partisipan sebagai subjek, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam ucapan, pandangan hidup subjek menjadi utama dalam proses selanjutnya, pengambilan tindakan. Metodologi yang digunakan bertujuan untuk mengubah keadaan menurut kesadaran subjek. Caranya dengan mengkondisikan subyek pada keadaan dimana subyek merasa leluasa menjadi dirinya sendiri dan ’terpisah dari pandangan umum’ (dalam konteks produksi kekuasaan/pengetahuan).  Pendekatan kedua adalah konstruktivis, secara epistemologi maksud dari pendekatan ini adalah melakukan konstruksi atas realitas, konstruksi dilakukan melalui perspektif nilai-nilai (pandangan hidup), sehingga sama dengan teori kritis maka konstruktivis juga memandang partisipan sebagai subyek, atau agen yang memiliki otonomi. Metodologi konstruktivis ini adalah mengidentifikasi variasi dari konstruksi subyek-subyek yang berbeda dan  membawa mereka dalam sebuah konsensus. Caranya dengan melakukan (secara ketat) interpretasi atas ucapan dan tindakan individu dan dikonfrontasikan dengan individu lainnya, dan hal ini dilakukan terus menerus secara dialektis sampai pada sebuah konsensus di antara subyek.

Dimana saat manusia menjadi kritis. Dalam konteks partisipasi jawabannya adalah pada kesadaran sejarahnya-mengada. Manusia yang demikian adalah pahlawan dalam tradisi Hegelian. Manusia yang terus-menerus menjadi subyek yang dapat mengubah realitas eksistensialnya. Secara praktis ajaran utama dari partisipasi adalah mendorong cara berpikir benar, yang intinya adalah sanggup menolak setiap diskriminasi manapun. Menolak prasangka ras, jenis kelamin, kelas dan ideologi. Konsekuensi dari cara berpikir seperti ini adalah mengubah-transformasi atau merekonstruksi-konsensus. Keduanya bermuara pada persoalan tindakan. Walaupun terkesan hebat, kepahlawanan merupakan persoalan tindakan, memberikan teladan.

Bagaimana sejarah bisa direkonstruksi pada metode-metode partisipatif? Participatorry Action Research (PAR) atau Participatory Rural Appraisal (PRA) melangkah dengan pandangannya tentang sejarah. Konsep ini seperti yang diungkapkan oleh Chambers (1992) dalam Kumar (2001)  memposisikan kesadaran sejarah dengan peralatan-peralatan analisa sebagai berikut.

1.     Metode PRA/PAR Terkait Ruang
Metode PRA terkait ruang berguna untuk mengeksplorasi dimensi spasial dari realitas masyarakat. Metode ini berhubungan dengan pemetaan dan fokusnya adalah pada bagaimana masyarakat melihat dan mengaitkan diri dengan ruang dan bukan hanya dengan aspek-aspek fisik. Metode terkait ruang yang biasa digunakan adalah peta sosial, peta sumberdaya, metode permodelan partisipatoris, peta mobilitas, peta layanan dan kesempatan, dan transek.

Peta sosial digunakan untuk menggambarkan pola hunian sementara peta sumber daya berfokus pada sumber daya alam. Permodelan partisipatoris adalah penggambaran daerah secara tiga dimensi. Pemetaan mobilitas digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa pola mobilitas masyarakat lokal sementara peta layanan dan kesempatan membantu dalam pengenalan ketersediaan berbagai layanan dan kesempatan di suatu wilayah. Transek menyediakan lintas-bagian dari suatu daerah dan terutama berguna dalam manajemen sumber daya alam/lingkungan.

2.     Metode terkait Waktu
Metode PRA/PAR terkait waktu digunakan untuk mengeksplorasi dimensi realitas masyarakat. Yang unik dari metode PRA/PAR ini adalah bahwa metode ini membolehkan masyarakat menggunakan konsep waktu mereka sendiri. Metode terkait waktu yang biasa digunakan mencakup time-line, analisa trend, transek historis, diagram musiman, jadwal aktivitas sehari-hari, silsilah partisipatoris dan peta impian.

Time-line biasa digunakan untuk menggambarkan kumpulan berbagai kejadian besar sementara analisa trend berfokus pada perubahan yang terjadi sepanjang waktu tertentu. Transek historis, metode ‘dulu dan sekarang’ dan ‘masa lalu, sekarang, masa depan’ adalah varian dari analisa tren. Jadwal aktivitas harian menggambarkan bagaimana masyarakat menghabiskan hari mereka dari waktu mereka bangun sampai mereka tidur. Diagram musiman menggambarkan perubahan dalam kehidupan masyarakat sepanjang siklus tahunan dan sepanjang musim atau bulan. Metode silsilah partisipatoris membantu dalam menunjukkan berbagai generasi, keturunan dan perubahan yang terjadi dalam berbagai generasi. Peta impian menggambarkan visi dan aspirasi masa depan masyarakat.

3.    Metode Hubungan
Metode PRA/PAR ini mencakup diagram alur seperti diagram sebab-akibat, diagram dampak, diagram sistem, diagram jaringan, dan peta proses; dan juga metode pe-rangking-an kehidupan (well-being ranking method), diagram Venn, metode ranking pasangan (pair-wise ranking method), pengkajian matriks/metode ranking, analisa kekuatan (force field analysis), diagram pie, analisa kehidupan, diagram laba-laba, dan pemetaan tubuh. Metode ini biasa digunakan untuk mempelajari hubungan antar berbagai hal atau berbagai aspek dari hal yang sama.

Sedangkan dalam antropologi dikenal konsep etnogarfi kritis yang memiliki kesamaan-kesamaan pada pemihakkannya terhadap marjinalisasi dan kolonialisasi terhadap yang lain. Sekarang antropologi kontemporer bertujuan menemukan garis lintas budaya,  yang menurut Geoge, E. Markus (1998)  dilalui dengan (1) Menemukan kembali tradisi dalam konteks lokal, menjadikan seseorang atau komunitas atau bangsa memiliki keyakinan. Ada tiga syarat yang dibutuhkan agar pekerjaan etnografi dapat melibatkan subyek penelitian secara maksimal, hal ini disebut sebagai remaking observed;
1.    Mempersoalkan ruang: terobosan ke dalam ‘bahasa (trope)’ dalam komunitas dalam etnografi realis
Konsep etnografi  awal melihat komunitas sebagai  nilai-nilai bersama, identitas bersama, dan budaya bersama. Semuanya memiliki konotasi soliditas dan homogenitas, yang memiliki implikasi pada ruang yang terkonsentrasi. Sekarang implikasi ruang tersebut berubah, komunitas tidak lagi terkonsentrasi, melainkan saling berhubungan, dimana nilai-nilai bersama, identitas bersama, dan budaya bersama dapat diproduksi terus menerus oleh agen yang berbeda, di tempat yang berbeda, dan tujuan-tujuan yang berbeda. Konsekuesninya identitas berubah-ubah sesuai tempat, atau lebih tepatnya identitas  menjadi tidak satu dalam etnografi.
2.    Mempersoalkan kesementaraan: terobosan ke dalam ‘bahasa’ sejarah dalam etnografi realis
Terobosan ini bukanlah kesadaran sejarah, atau persepsi umum mengenai masa lalu dalam situs tertentu dalam etnografi, namun merupakan determinasi sejarah sebagai penjelas utama dalam konteks teks etnografi. Representasi kolektif  dapat dilakukan melalui representasi personal.  Seni ingatan merupakan problem modernitas dimana telah terjadi pengikisan dan penggantian teknologi dari fungsi bahasa oral dan pendongengan (storytelling) dengan media elektronik.
3.    Mempersoalkan perspektif/suara: terobosan ke dalam bahasa struktur dalam etnografi realis
Etnografi melihat pemahaman perspektif sebagai suara yang berbeda dengan pengelihatan. perspektif dapat menembus yang zahir, menembus struktur, baik struktur sosial yang diturunkan dari pola kebiasaan dari subyek penelitian maupun struktur sebagai sebuah sistem makna atau tanda yang mengorganisasikan bahasa dan diskursus sosial. Terobosan yang dilakukan melalui pencarian dominasi dalam pembentukan dan representasi diskursus.    
Bagi entografer sendiri dibutuhkan juga penemuan kembali identitas mereka sebagai antropolog, pararel dengan membangun kembali pemahaman mengenai subyek penelitian, proses ini dinamakan sebagai remaking obeserver.

1.    Melakukan apropriasi melalui dialog dengan teks sebagai organ konseptual
Etnograf sering membuat karya dari simbol-simbol yang asli dan menyisipkannya ke dalam skema analisa penelitian. Otoritas ini dimiliki oleh etnograf, mengenal dan memilih konsep kunci dalam kebudayaan yang ditelitinya.
Etnografi modern kemudian membangun konsep penulisan dalam karya etnografi dengan pendekatan dialog penuh dalam bingkai analisis mereka. Tujuannya dari dialog penuh tersebut adalah tidak mengubah pemahaman dari simbol-simbol asli tersebut, namun menghadirkannya (bukan cuma menyisipkannya) ke dalam karya sebagai diskursus terbuka diantara etnograf, intelektual organik dan pembaca karya etnografi.
2.    Bifokal
Dalam dimensi perbandingan seringkali sang Liyan diabaikan. Karya etnograf memisahkan antara kehidupan etnograf dengan kehidupan subyek penelitian, seolah-oleh keterpisahan itu merupakan keterpisahan waktu dan tempat. Hal ini disebabkan sejarah kolonialisme dan dominasi pengetahuan. Antropologis modern menempatkan peneliti dan subyek penelitian sebagai saling terhubung secara budaya.
3.    Juktaposisi Kritik dan Kontemplasi dari Alternatif Kemungkinan
Fungsi dari etnografi modern antara lain melakukan kritik kebudayaan. Kritik dilakukan melalui identifikasi identitas dan ekspresinya dari sudut pandang lokal dan suara dalam situasi tertentu. Eksplorasi melalui juktaposisi pada semua peristiwa aktual dan kemungkinan hasil yang akan di dapatkan merupakan metode sendiri untuk melakukan kritik kebudayaan, bertentangan  dengan pola lama yang melihat identitas dominan sebagai sesuatu yang apa adanya (given) bukan sebuah konstruksi budaya yang berubah, lintas budaya. Giddens (1984) melakukan teorisasi strukturasi yang mendamaikan dan mencari jalan tengah antara dunia dan pengalaman, teks dan realitas, struktur dan aksi yang selama ini seolah-olah terpisah, dan tak tertata, padahal semuanya saling berhubungan.

Kekuasaan/Pengetahuan
“Kenapa kami ini masih primitif begitu, tinggal di hutan, telanjang-telanjang, sudah dibikinkan rumah  dan dikasihkan baju, eh malah kembali ke hutan, kenapa masih makan babi, itu haram, tahu tidak?”
Si anak rimba menjawab kira-kira begini, “Coba kalau rumah kamu temboknya dirubuhkan satu demi satu, kamu mau lari kemana? Kamu marah tidak? Kami bercawat dan berkemban, bukannya telanjang. Dan coba kalau kamu juga tiba-tiba disuruh makan babi, kamu marah tidak?” (Butet Manurung, 2006)


Memilih sendiri perubahan, mungkin inilah yang ingin disampaikan Butet. Budaya Orang Rimba seperti dalam tulisannya juga berubah. Tidak ada yang kekal, budaya Orang Rimbapun demikian, tidak statis. Secara kritis pendidikan dilakukan terhadap Orang Rimba bukan untuk mengubah mereka dari luar, namun menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang lebih banyak kepada mereka untuk memilih sendiri perubahan yang diinginkan.

Dalam penelitian yang lain Muttaqien (2004)  melihat partisipasi pembangunan di kelurah-kelurahan di DKI Jakarta menempati posisi pada tingkat konsultansi, menurut Arnstein (1969) seperti juga Mayer (1997) mengatakan pada tahap ini otoritas (pemerintah) membuat kebijakan yang relevan berdasarkan informasi yang mereka gali di lapangan. Lebih lanjut Nick Wates (2001) mengatakan bahwa pada derajat konsultansi tahapan pembangunan lebih cenderung mengutamakan kepentingan pemerintah walaupun sudah ada dialog diantara masyarakat dan pemerintah; pada tahap ini sesungguhnya otoritas belum memberikan otonomi ataupun pendelegasian kepada masyarakat untuk mencoba mendesain pembangunan di tingkat komunitas. Artinya komunitas tidak diberikan pilihan untuk memilih perubahan yang dikehendakinya.

Pembentukkan wacana  seperti yang disebutkan oleh Foucoult (1976) dalam konsep partisipatoris menjadi sebuah produk dalam proses PRA/PAR, tujuan-tujuan percakapan akhirnya membentuk kesadaran baru dalam melihat permasalahan, yang dikaitkan dengan konsep ruang, konsep sejarah. Dibawah ini adalah rangkuman ‘messy text’ dari berupa kartu-kartu berbicara (metaplan) dalam sebuah forum perencanaan wilayah.

Berbagai persoalan di Rawa Bunga dapat diselesaikan oleh warga namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan [1] Adanya keterbatasan wewenang dan kekuasaan dalam organisasi ditingkat komunitas [2] Tingkat kompleksitas masalah [3] Kurangnya pengetahuan masyarakat untuk dalam penyelesaian masalah [4] Kurang kerja sama antara lembaga yang ada dengan pihak luar [terutama dengan pemerintah daerah—Kecamatan dan instansi lain yang terkait].
Hal pertama yang harus dilakukan dalam upaya menyelesaikan permasalahan di Rawa Bunga harus dimulai dengan perencanaan. Sebab perencanaan dibutuhkan untuk mengidentifikasi masalah dan setiap aspek yang menjadi latar belakangnya. Perencanaan yang dilakukan harus memperhatikan berbagai kendala, keterbatasan dan potensi penyelesaian serta dampaknya.  Untuk itu setiap upaya penyelesaian harus disertai berbagai pilihan dan dapat ditentukan skala prioritasnya.  
 
Hal terpenting dalam perencanaan adalah partisipasi warga.  Sebab warga yang paling mengerti masalah yang ada diwilayahnya dan warga memiliki kesempatan untuk menyampaikan usulan melalui lembaga masyarakat yang ada. Jadi pada dasarnya walaupun setiap lembaga memiliki kewenangan dan hak dalam membuat program kerja, tetap saja program kerja tersebut harus aspiratif dan mengacu pada kebutuhan masyarakat. Karena masyarakat harus dapat menentukan apa yang dibutuhkannya (melalui perencanaan yang partisipatif). Dan dengan demikian masyarakat dapat belajar untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri.  Hasil yang optimal dapat dicapai jika perencanaan memperhatikan hal-hal seperti diatas.   

Dalam perencanaan di tingkat komunitas diperlukan visi bersama. Visi bersama dapat menyatukan langkah berbagai komponen dimasyarakat untuk saling mengisi dalam upaya mencapai tujuan yang dicita-citakan. Untuk mencapai visi tersebut warga dapat berbuat langsung ataupun menyalurkan aspirasinya melalui lembaga-lembaga yang ada. Lembaga yang ada sebenarnya memiliki tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Dengan demikian akan lebih mudah untuk merealisasikan pencapaian visi bersama, karena tidak ada satupun lembaga yang dapat menyelesaikan permasalahan Rawa Bunga sendirian. Karena masalah dan kebutuhan warga sangat beragam maka kebutuhan warga dapat dipenuhi melalui pembangunan. Dengan adanya pembangunan dapat meningkatkan kesejahteraan warga. Hakikat pembangunan itu sendiri adalah untuk melayani masyarakat sehingga hasilnyapun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.   

Pelaksanaan pembangunan di wilayah  [komunitas] pada hakekatnya dapat dilakukan oleh warga, tetapi karena keterbatasan dan kewenangan warga maka diperlukan kerjasama dengan lembaga yang terkait, juga dibutuhkan tenaga ahli yang terampil agar mendapatkan hasilnya maksimal. Masyarakat dapat berinisiatif melalui partisipasi mereka dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, karena hasil dari pembangunan tersebut untuk dimanfaatkan oleh warga.   

Pemantau pembangunan adalah warga sendiri, karena selain sebagai pemilik wilayah, merekalah yang lebih mengerti apa yang terjadi dilapangan, selain itu, jika ada penyimpangan warga dapat melakukan musyawarah untuk mencari penyelesaiannya. Jadi ada pengawasan dan penilaian yang melekat dengan terlibatnya warga didalam perencanaan dan pelaksanaan serta pengawasan pembangunan. Namun bila ada kegiatan pembangunan yang sifatnya diluar wewenang yang dimiliki warga, maka pembangunan itu harus transparan dan diketahui oleh warga, sehingga warga dapat melakukan kontrol atas pelaksanaan pembangunan tersebut.   

Pemeliharaan hasil pembangunan juga harus dilakukan oleh warga, selain untuk pemeliharaan warga juga dapat mengembangkan hasil dari pembangunan tersebut, untuk itu partisipasi dari warga mutlak diperlukan.

Pembiayaan pembangunan dapat dilakukan warga dalam bentuk swadaya dan sifatnya partisipatif [ada unsur kerelaan bukan keharusan]. Karena sebenarnya pembangunan yang dilakukan pemerintah merupakan hasil iuran warga [dalam bentuk pajak]. Dan karena warga yang memiliki wilayah tersebut maka wargalah yang bertanggung jawab untuk membangunnya. Namun dilain pihak dengan kemampuan warga yang terbatas hal ini membutuhkan kebijaksanaan dari pihak pemerintah sendiri. Karena ada beberapa program pembangunan yang berskala besar dan dananya harus disediakan oleh pihak luar [komunitas]. Selain swadaya pemerintah juga sudah memiliki anggaran tersendiri untuk membiayai pembangunan, dan itu  yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.

Pembangunan tidak selalu berarti menghasilkan sarana fisik. Ada pembangunan yang berorientasi pada hal-hal yang sifatnya non fisik seperti pembangunan mental, spiritual, budaya, dan ekonomi [keuangan]. Pembangunan selain menghasilkan sarana [infrastruktur fisik dan lingkungan] juga diharapkan menghasilkan sumber daya manusia yang handal (Muttaqien, 2004 ).

Kutipan di atas sebenarnya membuktikan versi  subversif dari  produk PRA/PAR, dapat menghasilkan pengetahuan baru di dalam masayarakat. Dari temuan ini walaupun prosesnya panjang, melalui kompromi-kompromi dengan berbagai pihak, namun metode belajar partisipasi menjadi mudah bagi masyarakat.  Partisipasi menjadi sederhana, akal sehat saja cukup sebagai gadgetnya. Pengetahuan seperti ini adalah induktif, diambil dari keseharian, yang remeh temeh, yang kecil-kecil, yang jorok, yang tabu. Sebuah sistem budaya (pengetahuan) tentunya ia dapat dibongkar. Baik penelitian yang etis, maupun emik sesungguhnya dapat membongkar relasi pengetahuan/kekuasaan.

Kutipan di atas juga memperlihatkan bahwa ketika birokrasi menggantikan sistem musyawarah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, dengan kata lain partisipasi yang ideal menjadi semacam rasionalitas teknologis, maka pengetahuan masyarakat , thus, otonominya menjadi hilang atau mandul.  Herbert Marcuse (1973) seperti dikutip Habermas (1984), mengenai rasionalitas teknologis (technological rationality) mengatakan bahwa rasionalitas teknologis ini menekankan pada keseragaman -yang pada dasarnya adalah menjalankan fungsi kontrol secara efektif. Rasionalitas seperti ini pada akhirnya cuma akan menghasilkan kesadaran palsu ( false consciosness) dimana masyarakat memandang bahwa kondisi yang mengitari mereka sekarang adalah sebuah kondisi masyarakat yang ideal (dan karenanya tidak perlu diubah). Hal inilah yang kemudian oleh Habermas dibuat antitesisnya sebagai rasionalitas komunikatif  yang menekankan pentingnya memahami masalah, kejelasan, konsensus, dan kekuatan argumen. Dominasi dari rasionalitas teknologis yang menguasai informasi dan ilmu pengetahuan adalah bentuk lain dari penguasaan antar manusia. Untuk itu diperlukan ruang untuk membuktikan dan memaparkan ide-ide yang berserakan dan saling bersinggungan. Ruang yang sama (seperti dalam penelitian PRA/PAR) juga disediakan oleh etnografi kritis, hubungan ’observer-partisipant’, pada sebuah lokasi penelitian, dimana etnografer melibatkan diri di dalam masyarakat, menjalin hubungan dan aktif dalam peristiwa-peristiwa serta kegiatan yang ada dalam masyarakat.  Komunikasi dan observasi antara peneliti dan subyek penelitian, hubungan antara keduanya bukan hanya penentu dari karakteristik produk penelitian namun juga merupakan ‘arena’ yang mempengaruhi pemahaman selanjutnya tentang metode yang digunakan.

Etnografi kritis juga menyediakan ruang restropektif, menurut Goffman (1989) dalam Vidich dan Lyman (1998)  adalah sebentuk integritas primodial dimana peneliti dan proses produksinya tak terpisahkan seperti seniman dengan karyanya. Jika seorang seniman ditanya tentang bagaimana mengerjakannya, maka ‘arena’ yang dimaksud dalam adalah metode yang menjelaskan tentang metode (ex post facto reconstruction). Apa yang dilakukan oleh oleh etnografer ketika di lapangan adalah menyerap apa yang menjadi perhatian masyarakat, yang bermakna dan penting. Namun apa yang bermakna dan penting tersebut tidak terisolir dari penilaian etnografer, yang oleh Goffman (1989) dalam Emerson, et.al  (1995)  disebut sebagai ” melibatkan subyek diri, sebagai kepribadian, dalam lingkungan sosial tertentu, mengikat diri dengan peristiwa secara fisik dan ekologis dan memaksa masuk dalam lingkungan perasaaan, lingkungan kerja, lingkungan etnik”. Menjadi bagian dari yang lain dan melihat respon mereka.

Hal yang paling sering timbul dalam penelitian etnografi adalah  ’Konsekuensi kehadiran’, yang dalam Emerson, et.al  (1995) disebut sebagai hubungan dari dampak reaktif (dimana etnograf memiliki dampak pada bagaimana subyek penelitian mengartikulasikan percakapan dan tindakannya). Dampak reaktif ini bukanlah bahan yang terkontaminasi (artinya reaksi masyarakat memiliki hubungan kausal) sehingga harus dihindarkan. Mungkin hal ini tidak terhindarkan. Sehingga tanggapan masyarakat atas kehadiran ’orang luar’ merupakan sumber data dan bukti-bukti yang bisa diajukan dalam sebuah penulisan.  Konsekuensi kehadiran ini menurut Geerzt (2001) disebut sense of being members, yang sifatnya sementara, tidak penuh, tidak aman dari sisi moral (nilai yang dianut komunitas tersebut) dan terpenting tidak bisa diabaikan bahwa kenyataannya tidak semua anggota komunitas menerima kehadiran kita. Hal yang sama terjadi dalam penelitian PRA/PAR, konsekuensi kehadiran ini sering menimbulkan kesulitan, jika peneliti/fasilitator tidak ’berada’ di tengah-tengah masyarakat, maka proses belajar di masyarakat seperti terhenti. Perubahan seolah-olah memiliki kaitan emosional dan praktikal dengan kehadiran peneliti/fasilitator. Dari pengalaman yang ada hal seperti ini dapat dihindari dengan melakukan proses pendahuluan yang benar-benar mencari titik masuk  (entry point) dimana masyarakat memang sudah terikat oleh sebuah persitiwa, pengetahuan, simbol atau isu. Kemudian melakukan presentasi atau uji publik pada setiap tahapan hasil, sehingga masyarakat dapat mengimbuhi, mengafirmasi hal-hal yang dilakukan peneliti/fasilitator. Dalam etnografi dikenal sebagai refleksifitas. Refleksifitas melibatkan pengakuan atas hasil penelitian sebagai konstruksi kenyataan, bukan sekedar penterjemahan dari peneliti/fasilitator, dengan demikian hasil penelitian merupakan milik bersama, bahkan bisa jadi diposisikan sebagai milik masyarakat.

Sang Adi Pahlawan
You got to get yourself together to get out or you stuck in the moment                                      and you can’t get out of it…(Stuck in The Moment, Bono-U2)

Jika pembangunan mengikuti alur kebudayaan komik maka dapatlah dipastikan bahwa setiap ketidakmasukakalan dipandang sebagai kenormalan, bahkan setiap peristiwa dapat begitu saja ditiadakan dengan perantaraan alur cerita atau plot, tidak demikian dengan pembangunan, seringkali sifat dari perubahan adalah irrevisible-tak dapat kembali.  Konsekuensi sebuah metodologi merupakan sesuatu yang harus dihadapi, tanpa harus berpretensi menjadi pahlawan, etnografi kritis dan konsep partisipasi dalam pembangunan menyediakan ruang kosong tersebut. Perbedaan mendasar mungkin pada  teks etnografi diperlakukan ‘lebih’ sebagai kendaraan untuk sampai pada pengetahuan atau memproduksi tulisan, dibandingkan dengan alat produksi pengetahuan. Sedangkan pendekatan partisipasi bertujuan untuk memproduksi pengetahuan.

Mempersoalkan 'kepahlawanan' dalam status perubahan bukan suatu hal yang penting lagi dalam penelitian antropologi/etnografi ataupun disiplin ilmu lain. Kesulitan yang lebih rumit mungkin bukan pada kata 'pahlawan itu sendiri' namun pada kata 'kemajuan' sebagai sesuatu yang relatif dalam bingkai kebudayaan. Jika pengetahuan yang kita miliki seluruhnya bersesuaian dengan dunia kehidupan kita, apakah lantas kita dapat mengatakan itu juga akan bersesuaian dengan kehidupan yang Lain. Kita sendiri bisa memilih identitas untuk menjadi Batman yang lara, penuh dendam, ingin menyelamatkan orang yang senasib dengannya atau menjadi Benyamin dalam film-filmnya yang secara jitu memerankan orang Indonesia (tahun 1970an) yang terlihat naif, gemar menolong (siapa saja), pemaaf dan menerima keadaan sebagaimana adanya. Sangat komikal memang.

Namun bukan cuma itu, apa yang dibangun oleh Batman dan Benyamin merupakan sebuah evolusi kreasi, proses penciptaan yang panjang, ada keajaiban juga di plot cerita mereka, yang ketika dinalar mengalami kebuntuan, jika bukan kesimpulan: hidup bukan cuma tragedi namun juga komedi. Masyarakat juga terdiri dari subyek-subyek pembelajar, agen-agen yang memiliki kemampuan membuat perubahan. Dan kekesalan masyarakat pada cara-cara melakukan penelitian dan othering dapat dilihat dari puisi di dibawah ini. Bagi masyarakat miskin, memberikan pengetahuan-saling mengisi stock of knowlegde di observer-participant, menenun kembali rasa solidaritas, rasa percaya di antara sesama merupakan pekerjaan yang bagi sebagian orang mungkin heroik. Perjalanan antropologi mengajarkan satu hal: ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai dan kompetisi bukan cuma bergelut di wilayah pemikiran, namun juga di wilayah tindakan.


CERMIN

mirror, mirror
bawakan orang-orang pintar di sekelilingku
biarkan mereka melihat mereka dalam bayang
aku mau tahu apa yang mereka lihat
dalam pantulan
karena mereka mungkin tak pernah
karena mereka terbiasa melihat gambar orang lain
sepertinya mereka dewa ilmu
sepertinya mereka pencipta dunia
mungkin kita cuma rumput kecil di padang savana
hingga biarpun berisi
tak pernah dianggap
lebih jauh adalah
mereka sudah menempelkan
nilai point semua orang
menjadikannya buku suci
untuk beradu dan menjatuhkan
tapi bukankah tiap detik benak berubah
bukankah anak sungaipun pasti
akan selalu mendapat air hujan
dan bisa saja melampaui sungai
tapi bagi mereka
kosong yah kosong
cetek yah cetek
dangkal tak mungkin dalam
Siapa yang pintar?
Bila mereka melulu melihat satu gambar saja
sedangkan yang digambar kini telah pergi ke langit pemikiran
bukankah takkan
ada artinya lagi si orang pintar
tapi menjadi masalah manakala selalu
mereka berpedoman buku suci kolot sialan mereka itu
apalagi bila keadaan sebenarnya adalah tak ada kepintaran
yang ada hanya pengalaman hidup
atau dari orang memuji
hingga mereka mabuk
atau memang begitu
sama saja
karena melihat teman butuh apa adanya
karena menilai cuma menilai yang ternilai
karena tak berarti apapun jagat raya
di atas jagat lain
karena tak pernah ada yang ter...
akan lebih berarti memberi dengan memberi
hanya memberi, tanpa belagak mendidik
tapi tak mengakui kedalaman samudra lain

(by Ponco anak Rawa Bunga dalam Buku Pintu Partispasi)




 
Catatan
 Gresh, Lois H. and Weinberg, Robert. 2002. The Science of Superhero. John Willey & Son, Inc.

  Strauss, S.L. 2005. Mitos dan Makna: Membongkar Kode-kode Budaya. Penerbit Marjin Kiri, Jakarta.

  Hegel, G.W.F. 2005. Nalar dalam Sejarah (terjemahan dari Hegel: Reason in History). Penerbit Teraju, Jakarta.

  Tsing, Anna Lowenhaupt. 1998. Di bawah Bayang-bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi Masyarakat Suku Terasing. Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

  Vidich, A.J. and Lyman, S.M. (1998) “Qualitative Methods: Their History in Sociology and Anthropology”, The Landscape of Qualitative Research. Theories and Issues. Thousand Oaks, London, New Delhi Sage Publication. 

  Perkembangan ketiga adalah masa perang dingin. Masa perang dingin berakhir setelah Perang Dunia II selesai dan negara bangsa muncul di Asia dan Afrika. Pada masa ini isu kolonialime berakhir. Terminologi primitif pada saat itu diganti oleh kurang berkembang (underdeveloped). Di wilayah bekas jajahan desain ini dinamai ‘Dunia Ketiga’, dan di Amerika dan sebagian Eropa isu yang berkembang adalah ‘kulit berwarna’ atau lebih tepatnya ‘kulit hitam’ (dalam Vidich, A.J. and Lyman, S.M.,1998).

  Dalam pengantarnya, Fetterman  (1989) menyatakan bahwa seorang etnograf dituntut membuka pikirannya mengenai kebudayaan yang sedang ia pelajari, namun demikian bukan berarti ia tidak memiliki ide apapun (empty head) tentang  subyek ataupun materi yang sedang ia pelajari. Sehingga konfrontasi pertama yang dialami oleh etnograf (dan peneliti di semua disiplin ilmu) adalah  bias dan prakonsepsi tentang kebudayaan atau perilaku budaya dari subyek dan materi  penelitian. Bias dan prakonsepsi ini oleh Levi Strauss  dinilai sebagai ‘menjauh dari penalaran’ dan inilah yang hilang dalam pencarian yang benar tentang yang lain. Dalam bukunya itu Levi Strauss menyatakan bahwa cara berpikir masyarakat primitif sebenarnya tidak serta merta lebih kuno dibandingkan masyarakat beradab (Eropa pasca Pencerahan). Pemikiran primitif seperti cara bertahan hidup subsisten dalam alam kehidupan yang keras, mungkin merupakan penalaran ‘primitif’ yang menggunakan perangkat intelektual yang sama dengan yang dilakukan oleh filsuf dan atau seorang ilmuwan. Disini bias dan prakonsepsi yang dilakukan oleh antroplog semasa awal (kaum positivis sampai pada fungsionalisme) memiliki fungsi negatif (karena bersamaan dengannya menjadi dasar pijak bagi kolonialisme dan dehumanisasi).


widhy | sinau

  Ferguson, James. 2005. Anthropology and Its Evil Twins, dalam The Anthropology of Development and Globalization: From Classical Political Economy to Contemporary Neoliberalism: edited by Marc Edelman and Angelique Haugerud. Blackwell Publishing.

  Koentjaraningrat. (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

  Muttaqien, Widhyanto. (2004). Pintu Partisipasi. Modul Pelatihan Perencanaan Partisipatif.

  Habermas, Jurgen. 1984. The Theory of Communictive Action. Vol. 1. Beacon Press. Boston.

  Freire, Paulo. 1998. Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage. Oxford: Rowman & Littlefield Publishers Incorporation.

  Geerzt, Clifford. 2000 (revisited). Local Knowledge. Basic Books.

  Guba, Egon G. 1990. The Paradigm Dialog. Sage Publication.

  Kumar, Somesh. 2002. Methods of Community Participa¬tion.Sage Publication.New Delhi.

  Geoge, E. Markus. (1998) [1] Requirement for Etnographies of Late Twentieth-Centuries Modernity Worldwide, Etnography trough Thick and Thin: Chapter 2, p57-74, Princenton University, 1998.

  Manurung, Butet. 2006. Mendampingi Komunitas Adat Menghadapi Perubahan Lingkungan Melalui Akses Pendidikan: Pengalaman Mendampingi Orang Rimba di kawasan Bukit Dua Belas, dalam Perubahan Lingkungan dalam Perspektif Sejarah. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta.

  Muttaqien, Widhyanto. 2004. Tingkat Partisipasi Pembangunan pada Perencanaan Pembangunan di Tingkat Komunitas: Studi Kasus Kelurahan Rawa Bunga, Jakarta Timur. Tesis tidak dipublikasikan. Program Perencanaan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

  Wacana menghasilkan hubungan antara subyektivitas dan kekuasaan. Pengetahuan, menurut  pendapat Foucoult tak bisa dipisahkan dari kekuasaan, keduanya dua aspek yang berasal dalam satu proses. Kekuasaaan menghasilkan pengetahuan dan pengetahuan menghasilkan kekuasaaan, dan gabungan keduanya menghasilkan suatu wacana. Menurut pandangan ini definisi subyek tergantung oleh mereka yang memiliki kekuasaan, dan sama sekali tidak berhubungan dengan bahasa itu sendiri. Mka ide-ide, fakta-fakta, bukti-bukti dan kebenaran harus dilihat hubungannya dengan kekuasaan. Siapa yang menyatakan fakta-fakta, apa posisi mereka, dan atas kekuasaan apa mereka melakukannya (dalam Foucoult, M. The Archeology of Knowledge. Harper and Row, New York.

  Muttaqien Widngyanrto. 2003. Hasil Rembung Warga Kelurahan Rawa Bunga, Jakarta Timur. 2003. Tidak dipublikasikan.

  Kesadaran palsu adalah akibat langsung dari penyeragaman yang dipaksakan oleh penguasa-negara, sehingga masyarakat ‘tunduk dan patuh’, kesadaran palsu ini pada akhirnya membuat masyarakat bodoh dan tidak memiliki daya kritis sama sekali, dan secara kolektif menerima keadaaan sebagaimana adanya tanpa pernah berpikir bagaimana seharusnya.  Proses penyeragaman dalam masyarakat kita dapat dikenali mulai dari tampilan fisik (pakaian seragam, warna cat seragam di semua kampung, bentuk gapura seragam dll) dan pemikiran, program kerja yang seragam. Penyeragaman ini tidak memberi sedikitpun ruang terhadap perbedaaan.

  Geerzt, C. 1973. Thick Description dalam Interpretation of Culture. Berkeley: University of California Press.

  Emerson, R.M., Frezt, R.I, and Shaw, L.L. 1995. Writing Etnografi Fieldnotes. The University of Chicago Pr
ess.