Thursday, 27 December 2007

susah trah

ada kesepian yang demikian

: saat-saat dimana puisi di kepala gaib tiba-tiba

 

 

dimana-ada. kuasa. tidak satu. tidak seribu. tidak terbeda. diri-yang lain. menolak-menerima. mensyaratkan-membebaskannya. kata-kata terlanjur dimiliki. si-empu. memasuki. ruang-ruang. seperti kosong. dibiarkan sepi. seolah sesak. ruang-ruang tetap. si-empu berganti. bisa jadi berbarengan. datang-pergi. mungkin massal. banyak dan beragam. berjejeran. berbarisan. berkerumunan. di pinggiran dan di pusatan. lisan dan tulisan. kuasa-ada. dimana. penaklukan. pengasingan. atau sekadar kompromi. sadar-tidak. hadir. keumuman. pemakluman. pemberontakan? sebuah kemungkinan. dari dan dengan. makna digoyang. ada-kuasa-tidak-kuasa-ada. masa depan. massa di belakang. sekadar remah-remah. permainan ci luk ba. simbol. tahta. kata. mengalun. senjata. membunuh. hanya dengan tanya. kau siapa, bermain-main dengan kata?

 

selemparan dadu  jatuh perlahan. semua muram.

seperti dekat dengan kekalahan. semua canggung.

kehidupan tak terkejar. dalam permainan. tumpas.

lepas.                                       

    sebagian lancung                                        .

 

widhy | sinau

 

Tuesday, 25 December 2007

ANALISA 'DONGENG IDENTITAS-OTENTIK-SEJATI MULAI DARI KANDUNGAN IBU HINGGA KE PELUKAN BUMI' ATAS FENOMENA SURVEY POLITIK DI TANAH INDONESIA

Saya harus menjelaskan bahwa 'Dongeng Identitas-Otentik-Sejati Mulai Dari Kandungan Ibu Hingga Ke Pelukan Bumi' adalah golok analisa untuk melihat lebih detail apa sesungguhnya yang tengah dikerjakan oleh dua lembaga survey besar di Indonesia. Saya tak perlulah menyebut nama lembaga itu, cukuplah penanda 'dua lembaga survey besar di Indonesia' membantu pembaca mengidentifikasi apa nama institusi-institusi tersebut. Pilihan untuk tak menyebut nama lembaga itu dikarenakan ada rasa takut di dalam diri saya. Rasa takut itu muncul dari kekhawatiran bahwasanya tulisan saya ini dimaknai sebagai pembunuhan karakter bagi institusi-institusi dimaksud. Karena itulah, saya pun meminta bantuan ahli linguistik Ferdinand De Saussure yang menjelaskan konsep trimatra  Tanda--Tanda, Penanda dan Petanda--dimana hubungan antara Penanda dan Petanda bisa terjadi secara arbitrer, konvensi dan sistemik. Dan karena saya dengan pembaca tidak saling mengenal, tak saling jumpa, maka korelasi antara penanda-petanda dalam konteks konvensi tidak bisa dibuktikan. Sedang pilihan sistemik dalam pandangan Ferdinand De Saussure, menurut saya, lebih mengacu pada parole/ujaran dari pada langue/tata-bahasa. Maka pilihannya yang paling mungkin: korelasi antara penanda-petanda ada dalam konteks arbitrer alias semena-mena. Dikarenakan konteks pemaknaan ada dalam ruang arbitrer, maka ketakutan saya akan dicap sebagai 'pencemar nama baik' pun hilang, paling tidak berkurang.

Saya perhatikan, 'dua lembaga survey besar di Indonesia' sering sekali melakukan jajak-pendapat popularitas presiden, popularitas calon gubernur, keinginan masyarakat atas pemimpin, masalah-masalah bangsa yang tak tersentuh penguasa, masalah-masalah bangsa yang tersentuh penguasa dan segudang indikator lainnya. Hasil jajak-pendapat itu pun kemudian dijajakan ke hadapan publik, entah melalui media elektronik semisal televisi, radio, internet, surat elektrik, blog, radio amatir, pun media cetak, umpamanya surat kabar harian, majalah mingguan, tabloid, selebaran, pamflet dan segala macam lainnya. Apa yang dihasilkan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' ini dapat dipandang sebagai teks. Menggunakan pendekatan model Sastra Abrams, teks yang dihasilkan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' dapat dipandang lewat empat perspektif, yakni ekspresi, objektif, mimesis dan pragmatik. Perspektif ekspresi atas teks jajak-pendapat memberikan makna bahwa si pemberi informasi hanya memberikan pesan informasi belaka ke hadapan publik. Bila dipandang lewat perspektif objektif, teks jajak-pendapat adalah teks yang dibangun atas struktur kajian ilmiah, yakni statistik. Bila ditengok lewat perspektif mimesis alias tiruan, maka teks jajak-pendapat adalah citra dari realitas yang sesungguhnya menjadi rujukan dari teks jajak-pendapat tersebut. Terakhir, bila dipandang melalui jalur perspektif pragmatik, teks jajak-pendapat itu memiliki daya guna.
Artikel, opini, partitur, prosa, cerpen, novel, niveau-roman, syair, madah, kidung, berita, features, sajak, naskah drama, atau apapun sebutan dari tulisan yang saya perbuat ini, pada dasarnya diniatkan untuk mendedah sehabis-habisnya perspektif pragmatik atas teks jajak-pendapat. Kira-kira, apakah teks jajak-pendapat itu memang berguna? dan apa bila berguna buat siapakah? saya ataukah orang-orang tertentu? Sebagaimana khitah dari apa yang disebut pragmatik adalah punya daya guna, maka pendekatan pragmatik atas teks jajak-pendapat pastilah memiliki kegunaan. Masalahnya, buat siapakah? Yang jelas, bagi saya pribadi, seorang pekerja di Jakarta dengan gaji yang cukup-membayar kontrakan-membayar makan-menabung sedikit, teks jajak-pendapat itu sama sekali tak ada nilai guna. Maka, teks jajak-pendapat itu berguna hanya bagi orang-orang tertentu saja. Siapakah mereka? Sudah pastilah, mereka itu adalah orang yang dirujuk dalam survey tersebut. Permisalan yang paling sederhana, hasil survey itu mengungkapkan popularitas presiden. Bila hasil survey menunjukkan popularitas presiden berada di bawah 30 persen, maka presiden bersangkutan bisa menggunakan data hasil jajak-pendapat untuk menyusun strategi dalam rangka meningkatkan popularitas.  Apa bila, hasil jajak-pendapat menunjukkan bahwa popularitas berada di angka 90 persen, maka tak perlu ada penambahan strategi penciptaan popularitas. Tapi, bagi saya pribadi, entah itu popularitas di bawah 30 persen atau di atas 90 persen, hasilnya sama saja. Tak ada guna! Saya tidak tahu bagaimana bila saya tidak hidup di Jakarta. Andai saya hidup di Sragen, hidup sebagai seorang buruh tani--bukan pekerja kantoran, hidup bersama istri dan dua anak di rumah kontrakan--bukan bujangan meski sama mengontrak yang dengan biaya yang berbeda, saya tidak tahu apakah data survey yang mungkin saja bisa saya lihat dan dengar melalui televisi di rumah tetangga berguna atau tidak. Yang jelas, dengan status pekerja-bujangan-hidup mengontrak di Jakarta-gaji cukup makan dan sedikit menabung, teks jajak-pendapat itu tak ada gunanya. Maka keberadaan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' hanya berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan pada tataran elit. Dan karena itu, lebih baik saya menyelesaikan kerangka mantap bagi teori 'Dongeng Identitas-Otentik-Sejati Mulai Dari Kandungan Ibu Hingga Ke Pelukan Bumi.'

Selanjutnya, saya pun mempertanyakan status data hasil jajak-pendapat tersebut. Status yang saya maksud bukan dalam kerangka validitas statistikal. Status yang saya maksud hidup dalam konstruksi sadar atau bawah-sadar. Apakah data yang didapat Maka keberadaan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' berasal dari personal-personal atawa individu-individu yang sadar? Asumsi mendasarnya adalah Psikoanalisa yang dibangun oleh Sigmund Freud. Mayoritas manusia dalam bertindak dipengaruhi alam bawah-sadar! Maka, jawaban dari responden yang ditemui Maka keberadaan 'dua lembaga survey besar di Indonesia' hanya menelurkan jawaban yang berasal dari alam bawah-sadar, yang sama sekali sulit dipertanggung-jawabkan oleh si individu-personal-responden itu sendiri. Bila ini terjadi, dan saya merasa kemungkinan seperti ini terjadi mencapai 99,9 persen, maka yang terjadi, tanpa disadari 'dua lembaga survey besar di Indonesia' adalah pelestarian alam bawah-sadar.  Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan konteks demokrasi yang digadang-gadang oleh  'dua lembaga survey besar di Indonesia.' Kondisi seperti ini semakin diperparah dengan dibukanya jasa konsultasi politik atas dasar data survey jajak-pendapat bawah-sadar. Konsekuensi strategi yang dihasilkan konsultan politik terhadap orang yang meminta jasanya pun pastilah berdasarkan memengaruhi bawah-sadar. Dan demokrasi yang muncul adalah demokrasi bawah-sadar, demokrasi yang memang tidak didesain untuk dimintai pertanggung-jawaban. Apa yang dilakukan lembaga survey yang menjadi konsultan politik pun sama tak baiknya dengan lembaga survey yang terus-terusan mengeksploitasi alam bawah-sadar responden, tanpa mengangkat alam sadar. Bila data tersebut berasal dari alam sadar, setidaknya teks jajak-pendapat itu punya daya guna bagi saya pribadi.

Konklusinya, dikarenakan demokrasi yang terjadi di Indonesia adalah demokrasi bawah-sadar, maka saya memilih untuk tidak ikut-ikut dalam demokrasi yang bawah-sadar itu. Sebab, menurut saya, demokrasi adalah cara saya membantu mengurangi pengangguran di Indonesia, menambah perumahan murah di Indonesia, mengurangi gelandangan (kecuali ada orang yang berpikiran bahwa gelandangan adalah takdir bagi dirinya sendiri), harga pangan murah, minyak stabil. Situasi seperti itu terwujud dalam demokrasi sadar, demokrasi yang bisa saya golongkan utopis dan tidak realistis di Indonesia.

Walahuallam!

dvd.tbg

Friday, 14 December 2007

UNESCO

http://portal.unesco.org/culture
By celebrating this Day throughout the world, UNESCO seeks to promote reading, publishing and the protection of intellectual property through copyright. 23 April: a symbolic date for world literature for on this date and in the same year of 1616, Cervantes, Shakespeare and Inca Garcilaso de la Vega all died. It is also the date of birth or death of other prominent authors such as Maurice Druon, K.Laxness, Vladimir Nabokov, Josep Pla and Manuel Mejía Vallejo.he idea for this celebration originated in Catalonia where on 23 April, Saint George's Day, a rose is traditionally given as a gift for each book sold.

Wednesday, 12 December 2007

Pro Resensi

http://proresensi.multiply.com
ProResensi adalah program acara ’mengulik’ isi buku di radio, dengan Lia Achmadi sebagai hostnya. Dengan didukung oleh teman-teman penerbit yang baik hati, acara ini mengudara setiap hari Minggu pukul 15.00 – 18.00 WIB.

ProResensi mengudara di Radio Pro 2 FM Jakarta, channelnya 105,00 FM

Tuesday, 11 December 2007

Post Card

Rating:★★★★★
Category:Other
Kapan terakhir kali berkirim surat.
Mungkin di tahun 2008 setiap bulan kita bisa melakukan old fashioned comm.
Desain by Hendrik. Photo by Widhy.

Harga Rp. 20.000,-/set

Pemesanan:
email kedai_sinau@yahoo.com
hp: echa 0856 1153835
no rek: 006-00-0487276-2 bank mandiri kc jatinegara

tanpa tambahan ongkos kirim!



Monday, 10 December 2007

Yusril Ihza Mahendra

http://yusril.ihzamahendra.com
Saya menciptakan blog saya, sebagai wahana komunikasi bertukar pikiran secara jernih, intelektual dan simpatik, atas dasar prinsip saling menghormati. Melalui blog ini, saya ingin berbagi pemikiran, pengalaman dan gagasan, yang barangkali akan bermanfaat untuk menambah wawasan dalam menyikapi berbagai peristwa yang terjadi di sekitar kita. Apa yang saya ungkapkan, mungkin saja bersifat subyektif, karena didasarkan pada titik pandang, falsafah dan keyakinan keagamaan yang saya anut.

Sunday, 9 December 2007

Naik Juga Temperatur Awak! Soeharto Is Dead!


From Aceh:

Aku di Langsa-Aceh Timur, nelangsa, banjir dimana-mana, sebenarnya bisa jadi lebih hebat dari banjir Jakarta, juga di beberapa tempat di Aceh, sawah-ladang terendam air, juga rumah dan sekolah. Cuma Aceh sepi, tidak seperti Jakarta yang hingar bingar-penduduknya banyak, padat, sehingga kerusakan akibat banjir dilihat dari jumlah harta benda masyarakat yang sudah terbiasa terkena banjir. Santai, bahkan beberapa kawan yang suka membagi-bagi hadiah gagal berbagi, kurang besar banjirnya coy, dana yang turun juga gak jadi. Kawan tadi adalah masyarakat bantaran kali Ciliwung. Mereka punya perhitungan sendiri dengan banjir. Mereka lebih akrab bencana. Mungkin sebagian berkarib.


Di Aceh hutan-hutan masih ada yang perawan, namun di gunung-gunung masih terdengar chinsaw, siang dan malam. Sungai-sungai meluap. Tidak seperti di Bali promosi tentang adat Aceh, mungkin adat-adat daerah lain kurang. Di Aceh ada pengelolaan hutan. Ada penjaga hutan dari masyarakat. Ada aturan adat. Ada juga penguasa. elit dan jelata.


Di Bali dan Aceh, Indonesia biasa berjualan. Masyarakatnya juga. Sekarang ditambah Papua. Semuanya pesimis pada bangsa sendiri, Pemerintah Pusat. Sehingga  jika ada kesempatan menjumpai  bule-bule yang datang masyarakat seperti melihat  keberadaban, pencerahan. Dan posisi kita seperti tidak memilikinya. KEBERADABAN dan CAHAYA.

Pasca tsunami banyak kayu Australia, jenis pinus masuk ke Acehuntuk membuat barak. Tak banyak yang tahu. Kayu itu dari hasil hutan industri. Kualitas bagus. Tahan rayap. Mereka juga menanam. Mereka memanen. Kesadaran tentulah sebuah sebab. Disini wakil Indonesia  dan yang merasa mewakili di forum dunia saling mendelegitimasi.  Perusahaan yang merusak lingkungan 'jaim'  jaga imej, LSM 'boim' bongkar imej. Indonesia tak perlu imej, karena seluruh dunia sudah memiliki data, tinggal klik google earth kita bisa melihat kerusakan hutan.

Perbedaan iklim di kamar hotel, berharga sekitar 150 ribuan. Yang berAC dan tidak. Perbedaaan iklim di bus kota ekonomi berharga diskon 30-40% dari harga  bus berAC.  Kenyamanan memang dibutuhkan, namun tetap ada tarifnya. Tapi  berAC ataupun tidak  jalanan di Indonesia darat, laut dan udara bukanlah tempat yang aman. Jadi, kenyamanan jelas untuk orang yang mampu membayar.

Perubahan iklim juga disebabkan industri di negara maju. Efek rumah kaca lebih banyak berasal dari manufaktur mereka. Namun ada mekanisme yang mereka tetapkan untuk melindungi warga mereka, kaya dan miskin. Disini subsidi rakyat miskin saja susah untuk diteguhkan pemanfaatannya. Beberapa orang di Medan bilang Naik Juga Temperatur Awak! Ketika premium cuma dijual untuk angkutan umum, padahal banyak pengusaha taksi gelap di Medan dan NAD. Namun untung baru masa percobaan di Jakarta. Belum di Medan, Lae. Temperatur mereka naik lagi ketika diajak bicara  tentang  kondisi ekonomi.  Saya berusaha meyakinkan  bahwa masih ada harapan, apalagi  sudah ada  otonomi. 

Mereka bilang lebih enak jaman Soeharto. Serba murah. Jalan-jalan bagus. Sekarang jalan hanya pas untuk kerbau berkubang. Adek, jalan saja lewat jalan darat trans Sumatra. 1 dekade reformasi, buntutnya adalah kerinduan otoritarian. bukan cuma di Medan, di sebagian pulau Jawa demikian, bahkan koran-koran mempromosikan apakah demokrasi itu benar-benar dibutuhkan, apakah ia tidak kontradiksi dengan kemakmuran, kesejahteraan? Demokrasi itu baik atau buruk, murah atau mahal, atau gratisan, karena ia sumberdaya milik bersama (kesadaran memang mahal. bahkan rezim waktu tidak kuasa melawan). Naik juga temperatur awak kan!

From Wikipedia

Sementara itu, Muhammad Ridwan dengan Anand Krishna, anggota delegasi Indonesia, mengkritik[1] bahwa pemerintah Indonesia hanya mengejar uang kompensasi Rp 37,5 triliun dari negara-negara dunia untuk biaya perawatan hutan di Indonesia. Dijelaksan bahwa perdagangan karbon seperti itu suatu saat dapat menjadi bumerang jika suatu ketika nanti negara-negara maju meminta suatu imbalan atas hutan yang turut mereka biayai. Dijelaskan bahwa dengan menerima uang tersebut negara Indonesia hanya akan menjadi penjaga hutan saja, bukan lagi pemiliknya, sebab seluruh dunia akan merasa turut memiliki hutan Indonesia. Walaupun ini tak tertera diatas kertas, mereka beranggapan bahwa suatu saat nanti jika Indonesia dimintai oleh negara-negara lain untuk berbuat sesuatu yang merugikan kehutanan Indonesia, pemerintah tidak akan dapat berbuat banyak. Dikatakan bahwa jika pemerintah menerima uang kompensasi tersebut, maka mereka akan menjual hutan Indonesia kepada negara-negara lain.

Dijelaskan lebih lanjut solusi yang diambil seharusnya adalah Indonesia memelihara sendiri hutan Indonesia, sementara negara maju harus menanam hutan sendiri di negara mereka, bukannya menyuruh negara lain untuk memelihara hutan. Indonesia dapat memberi contoh kepada dunia dengan cara menghentikan penggunaan plastik dan mengurangi transportasi penghasil emisi karbon.

Mereka juga mencurigai apabila Indonesia jadi menerima uang kompensasi, maka uang tersebut akan digunakan untuk kepentingan para penguasa, terutama mendekati pemilihan umum 2009 nantinya.


Soeharto Not Dead even he's Pass Away!

Seperti rock n roll, Soeharto demikian. Ia akan lebih abadi ketika dinyatakan mati. Bagi yang percaya, kematian adalah sebuah keabadian. Juga Rock n Roll. Hampir seluruh penyanyi rock roll debutan menyanyikan rock n roll is dead! dengan aroma kental Buddy Holly. maka langgam orde baru dinyanyikan oleh penggemar Soeharto untuk menyatakan keabadiannya. Sangat kental walaupun berganti partai.


Saya bermimpi, tiga kali, 2008 Soeharto mati. Semoga. Harapan saya tentu beralasan. Kita tahu bahwa perjuangan dia yang terakhir telah menang, bahkan Time (waktu) telah kalah. Jika mati tentu ia lebih abadi. Dan lebih menghantui. Sebagai hantu tentu lebih mudah kita enyahkan, terutama ketika mendidik anak kita agar tidak percaya takhayul (anak saya baru berumur tiga bulan), setidaknya saya harus berharap jika 25 tahun ke depan ada generasi yang lebih rasional. Bisa baca sejarah, tidak gagap dalam bertindak, dan lepas dari pengaruh dan template orde baru. Dulu orang segenerasi saya para baby boomers 70an, merupakan generasi orde baru. Wajar jika kemudian Soeharto juga jadi ikon kemajuan, bukankah kita mengalami kemajuan pesat? Saya berpikir begitu sampai saat saya memiliki kesempatan untuk keliling dan melihat keterbelakangan di seluruh Indonesia. Dan yang menyedihkan keterbelakangan ini disebabkan oleh negara. Negara dan aparatusnya. Negara dan seluruh Badan Usahanya. Aparat, birokrasi, dan badan usaha milik negara  adalah kunci perubahan. Jika mau berubah harus ada perubahan signifikan dalam tiga bidang ini. Dan Soeharto memiliki ini semua. 1 Dekade tidak ada perubahan. Seperti tak ada jawaban. Kuldesak.

25 tahun ke depan, generasi apa yang berkehendak? Lahir atau dilahirkan? Tentulah mereka akan lahir. Dipaksakan atau tidak. Kecuali kiamat segera datang. Namun jika generasi ini ditakut-takuti seperti kita dulu, awas jangan pakai baju hijau di pelabuhan ratu, nanti ditelan ombak, maka tidak ada perubahan mental dalam aspek kognisi mereka. Awas jangan pakai baju kuning di Jogja (mungkin ia lebih suka dikuburkan di Jogja), tentu orang Jogja akan marah. Awas jangan menyebut Beringin, nanti partai Golkar akan marah, awas-awas was-was. Generasi ke depan janganlah dibuat was-was.

Soeharto is Dead. Tentulah sebuah tahayul. Karena setiap orang akan merindukannya. Siapa lagi yang bisa dijadikan Kambing Hitam. Atau  Satria Dinantikan. Alasan-alasan tersebut  biasa terlontar di kedai-kedai, dalam taksi, atau ruang seminar. Generasi 70an yang malang.

Soeharto is Dead. Seperti Superman tentulah ia akan dihidupkan kembali. Sangat komikal. Namun Superman sekarang  lebih manusiawi. Ia sedih juga melihat Louise dipacari orang lain. Superman juga punya hati. Superman kalah oleh Kiamat (nama seorang jagoan), jika Soeharto is Dead apakah akan kiamat bagi Indonesia, mengingat banyak konflik yang terjadi  sepanjang 1 dekade.  2008 kita harus hati-hati.  Karena  Bang Dedi (Mizwar)  sudah  membuat berulang kali, Kiamat Sudah Dekat.  Di film Kiamat bisa jadi parodi. Juga kematian Superman, seperti parodi. Orang harus memiliki Satria (sebagian kita memilikinya tapi kalah dengan Honda).

Tokoh komik selalu menang.  Baik yang jagoan maupun bukan. Mereka mati dan hidup berkali-kali.

25 tahun ke depan jika bukan generasi Kuli-ner yang lahir, maka harus lepas dari tahayul. Tapi rock n roll is dead terlanjur menjadi kata magis.

2000 MAN
(Jagger/Richards)

Well my name is a number
A piece of plastic film
And I'm growin' funny flowers
In my little window sill

Dont you know I'm a 2000 man
And my kids, they just don't understand me at all

Well my wife still respects me
I really misused her
I am having an affair
With a random computer

Don't you know I'm a 2000 man
And my kids, they just don't understand me at all

Oh daddy, proud of your planet
Oh mummy, proud of your sun
Oh daddy, proud of your planet
Oh mummy proud of your sun
Oh daddy, your brain's still flashin'
Like it did when you were young
Or do you come down crashin'
Seeing all the things you'd done
All was a big put on

Oh daddy, proud of your planet
Oh mummy proud of your son
Oh daddy, proud of your planet
Oh mummy proud of your son

Oh daddy, proud of your planet
Oh mummy proud of your sun
Oh daddy, proud of your planet
Oh mummy proud of your sun

And you know who's the 2000 man
And your kids they just won't understand you at all  

Recorded: August 20 - 30 and September 1 -7, 1967. Released on Their Satanic Majesties Request in December of 1967.
Vocals:
Mick Jagger Bass: Bill Wyman Guitars: Keith Richards Drums: Charlie Watts Organ: Brian Jones




widhy | sinau







SAA#3




Fashion Nation Artikel Tamu: F. Rahardi
Dapatkan di jalanan Jakarta dan Kedai Sinau

Monday, 3 December 2007

IndoPROGRESS

http://indoprogress.blogspot.com
"Fancy a progress? Think differently.
See 'you' and 'I' as 'us'. Together, we can change Indonesia. A new Indonesia we can share: together".

the panas-dalam brengsek

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Indie Music
Artist:the panas dalam
argumentum in absurdum

hmm, kenyataan absurd...atau yang tak nyata yang absurd...atau yang belum terjadi...atau yang tak terkatakan...atau semua bisa terkatakan dan dapat saja terjadi, jika mau, persoalan mampu dan kemampuan sudah tak terbantahkan oleh the panas dalam

Sunday, 18 November 2007

Face Off


Analisa Weberian mengenai organisasi pemerintahan adalah efektifitas birokrasi terletak pada fungsi kontrol dan kendali atasan. Sehingga organisasi seringkali terjebak dalam personalisme dibandingkan profesionalisme. Personalisme yang dimaksud adalah atasan adalah peraturan itu sendiri. Sedangkan profesionalisme adalah kelembagaan yang efektif yang meliputi aturan main, keputusan, dan ketentuan administratif. Dalam beberapa dekade wajah personal birokrasi ini menyebabkan birokrasi publik menjadi kekuasaan, sehingga melupakan tugas kepemerintahan yaitu pelayanan publik (public service). Menyediakan barang publik yang tidak bisa disediakan oleh mekanisme pasar, karena jika 'pasar' berperan besar dalam penyediaan barang publik maka terjadi distribusi ketidakadilan, dalam pengertian pasar akan selalu melayani orang-orang yang sanggup membayar, sedangkan hampir setengah dari pendudukIndonesia bukan dari kalangan berharta, namun di Indonesia maksud dan tujuan untuk membuat birokrasi sebagai pelayan masyarakat kandas, dan distribusi ketidakadilan malah lebih dirasakan masyarakat, sebab utamanya adalah organisasi pemerintah menjadi alat untuk berkuasa. Dan seringkali sangat personal, berwajah kepala desa, bupati, gubernur atau presiden, itu dalam sistem pemilihan langsung. Dalam interior organisasi, birokrasi seringkali berwajah sang menteri atau kepala dinas.

Dengan wajah seperti maka ada perubahan yang dilakukan menyangkut birokrasi, (1) Perubahan Struktur Organisasi: Dari pengajian ulang fungsi pemerintahan yang beradaptasi oleh konteks negara sekarang dan memperhatikan lingkungan strategis luar dan dalam, maka organisasi birokrasi publik dapat dibentuk dengan membagi habis fungsi-fungsi pemerintahan tersebut. Dengan demikian akan tercipta suatu struktur organisasi yang layak dan sesuai dengan dasar pemikiran dan fungsi pemerintahan. (2) Perbaikan SDM: Perbaikan tidak berarti memulai dari nol melainkan penyempurnaan. Artinya SDM yang ada selanjutnya disesuaikan dengan kebutuhan atas kompetensi dalam suatu jabatan pada struktur organisasi birokrasi publik yang telah disempurnakan. Dimasa depan kebijakan mengenai SDM ini menyangkut; (1) pengadaan, (2) pembinaan termasuk karir dan kesejahteraannya, serta (3) peningkatan kompetensinya. Negara-negara Amerika Latin sekarang merubah struktur pemerintahnnya dengan sangat signifikan, dimulai dengan perubahan orang-orang yang oleh demonstran dikenal sebagai 'potong satu generasi' dilakukan. Para pelayan masyarakat diatas umur 50 tahun dapat langsung dipensiunkan dini. Sedangkan sistem rekrutmen sudah sejak awal menerapkan  'hanya' manusia yang memiliki visi masa depanlah yang layak menjadi pelayan masyarakat.  Kelayakan memilih  para abdi masyarakat ini lebih serius ketimbang memilih anggota KPU atau KPK, karena ujung tombak kesejahteraan setiap hari ditentukan oleh kualitas pelayan masyarakatnya, dan itu permanen, bukan ad hoc.

Pentingnya kemuan politik
Wajah personal birokrasi menunjukkan bahwa sistem politik yang berlaku masih sangat feodal. Walaupun terdapat mekanisme demokratis namun masih dalam tahapan prosedural, belum pada budaya berdemokrasi. Demokrasi tidak lebih sebagai instrumen untuk pergantian kekuasaan, penguasaan atas sektor publik. Bahkan menjadi senjata pamungkas bagi ‘pasar’ (pemilik modal) untuk menguasai akses produksi. Jika dulu dikenal plutokrasi dimana kekuasaan dan kekayaan cuma bermain di sekitar sanak famili dan kerabat, maka kini dikenal persitilahan netocracy dimana kekuasaan dan kekayaan cuma berkeliling di sekitar ‘kawan sepermainan dan seperjuangan’. Dalam budaya seperti ini harapan terhadap birokrasi untuk melayani masyarakat dibebankan. Sehingga wajah yang personal dari birokrasi mau tidak mau harus diganti dengan wajah organisasional. Persoalan pergantian wajah ini bukanlah semacam ‘face off’ dimana para pejabat publik diajarkan untuk memiliki bahasa verbal dan bahasa tubuh yang santun, bukan pula harus memiliki marketing team atau kehumasan yang dahsyat, yang dapat menutupi kecerobohan, kelalaian, dan  kegagalan. Wajah birokarsi yang diinginkan adalah wajah yang memiliki kedekatan dengan urusan pemenuhan kebutuhan publik, bukan pemenuhan atas biaya yang dikeluarkan untuk membuatnya mendapatkan kekuasaan. Kemuan politik tidak mungkin dilakukan jika birokrasi masih asik terlibat dalam ayunan dan buaian kawan sepermainan atau seperjuangan. Karena yang terpenting adalah distribusi keadilan, dengan mendahulukan publik bukan gerombolan.

Setelah melakukan face off, ternyata para birokrat dan politisi salon ini lebih butuh biaya untuk pencitraan anti  penuaan, anti keropos, anti noda, dan tetap terlihat bugar. Sampai tulisan ini dibuat usaha mereka tidak berhasil.

widhy | sinau




Saturday, 3 November 2007

Home - UPC

http://www.urbanpoor.or.id
berbagi lahan berbagi kehidupan

http://www.globaljust.org

http://www.globaljust.org
Globalisasi telah dielu-elukan sebagai sebuah proses yang akan membawa kesejahteraan bagi berbagai bangsa dan komunitas. Walau demikian, dunia kini menghadapi ketidakseimbangan yang luar biasa dan meningkatnya kemiskinan, kekerasan dan pengrusakan lingkungan. Maka kini ada satu kebutuhan untuk menghubungkan globalisasi dengan keadilan ekonomi, sosial, ekologis dan politik, baik pada tingkat global ataupun nasional. Masalah utamanya adalah siapa yang menentukan agenda globalisasi, siapa yang untung dan siapa yang rugi.

human right

http://www.elsam.or.id
Sebagai lembaga advokasi, ELSAM saat ini memiliki beberapa kegiatan yang berkaitan dengan advokasi kebijakan. "Aksi Segera" memerlukan keterlibatan anda, yaitu dengan menghubungi pihak-pihak terkait dari setiap kasus di dalam kategori ini. Dengan menghubungi pihak-pihak terkait tersebut, anda sudah ikut membantu penegakan hak asasi manusia di negara ini.

Greenpeace | Greenpeace USA

http://www.greenpeace.org
Greenpeace hadir karena Bumi yang rentan ini perlu suara. Bumi perlu solusi. Bumi perlu perubahan. Bumi perlu tindakan.

Wednesday, 31 October 2007

vanity ve

http://vehandojo.blogdrive.com

a writer's blog

http://clara-ng.blogdrive.com
Cinta adalah titik-titik hujan yang jatuh dari langit. Bunga bermekaran dan kupu-kupu menari-nari di sekelilingnya."

Suparto Brata

http://supartobrata.blogspot.com
ingin duniakan sastra jawa

KINOYSAN

http://kinoysan.multiply.com
Saya penulis profesional dan menggunakan nama pena Kinoysan. Nama asli Ari Wulandari saya gunakan saat menulis buku-buku anak. Saya menulis cerita pendek, cergam, novel, dan skenario. Kadang-kadang saya juga menulis puisi dan menerjemahkan.

KELUARGA PENGARANG

http://keluargapengarang.wordpress.com
Nama saya 'Gola Gong'. Saya bersama istri; Tias Tatanka dan para relawan mengelola pusat belajar bernama "Rumah Dunia" di Komplek Hegar Alam 40, Kampung Ciloang, Serang Banten. Saya penulis novel, skenario, wartawan tanpa surat kabar, dan Pemimpin Redaksi situs www.rumahdunia.net. Sehari-hari saya bekerja di RCTI Jakarta sebagai tim kreatif. Jika ingin membaca saya dalam versi bahasa Inggris, read me at www.golagong.com.

wufi

http://warungfiksi.wordpress.com
Warung Fiksi (Wufi) bergelut di bidang cerita fiksi. Situs ini BUKAN media kritik. Di sini hanya ada analisis apresiatif terhadap dunia perfiksian, informasi yang mendukung peneliti atau penulis fiksi Indonesia, dan cerita-cerita fiksi itu sendiri. Hak cipta setiap cerita dan tulisan terdapat pada penulis secara individu, demikian pula pertanggungjawaban isinya.

TV Lab Communications Indonesia

http://tvlab.blogspot.com

Tuesday, 30 October 2007

Komunitas Utan Kayu

http://www.utankayu.org
Komunitas Utan Kayu (KUK) terdiri dari Teater Utan Kayu, Galeri Lontar, dan Jurnal Kebudayaan Kalam – ketiganya bergerak di lapangan kesenian. Bila diperluas lagi, KUK juga meliputi lembaga-lembaga lain – Institut Studi Arus Informasi, Kantor berita Radio 68-H, dan, kemudian, Jaringan Islam Liberal.

Saturday, 27 October 2007

Common Ground News Service

http://www.commongroundnews.org
Mitra Kemanusiaan (CGNews-MK)
Bagi Hubungan Muslim-Barat yang Saling Asah, Asih, Asuh

Friday, 26 October 2007

silat di pembangunan



Kemiskinan di perdesaan lebih banyak disalah-artikan oleh para pengamat di luar desa. Pandangan orang luar ini terdistorsi oleh berbagai cara pandang. Kebanyakan pengamat salah
dalam menafsirkan  pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga kebanyakan orang desa terpesona dan mengiyakan apapun yang dibawa oleh orang luar. Terutama ide-ide pembangunan itu sendiri. Padahal orang desa kebanyakan tidak nyaman atas dominasi pengetahuan seperti itu. Untuk mengatasi kegagalan komunikasi seperti diatas maka perlu kiranya para pengamat memahami orang desa dengan belajar dari mereka. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyisihkan konsepsi awal dan prasangka (stereotipe), dan proyek besar rasionalisasi di otak kita. Dengan demikian kemiskinan di perdesaaan dapat dipahami sebagai sebuah kenyataan (yang belum tentu sama di setiap wilayah, dan belum tentu miskin!), bukan sebagai sebuah keterbelakangan dan kepapaan (dengan mengkomparasikannya pada kehidupan kota).

Jebakan kemiskinan seperti sebuah siklus antar generasi, yang dimulai dari ketiadaan akses sumberdaya, kerawanan, kelemahan fisik, kemiskinan, isolasi. Walaupun sebagian orang menganggap siklus ini sebagai lingkaran setan, karena sulitnya orang keluar dari jebakan kemiskinan ini, namun ada usaha untuk menterjemahkan siklus ini sebagai hubungan sebab-akibat dari sebuah relasi kekuasaan yang lebih luas dibandingkan persoalan kemiskinan di sebuah desa. Relasi kekuasaan itulah yang menyebabkan
kemiskinan terus betah berlama-lama, dan diwariskan antar generasi, seperti juga kekuasaan yang terus menerus betah di beberapa gelintir kelompok. Dalam bahasa politik-ekonomi terkini relasi kekuasaan seperti ini disebut pemerintahan netocracy. Dalam bahasa purba bisa juga disebut pornocracy mengingat begitu eksplisitnya dekadensi moral yang dipertontonkan para pelayan masyarakat itu. 

Pembangunan fisik seperti yang digembar-gemborkan selama ini memang teramat dibutuhkan untuk melepaskan diri dari keterisolasian.  Namun itupun harus berdasarkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, bukan pemodal yang selama ini menyertai dan mengarahkan konsep-konsep pembangunan. Karena ada tiga jebakan lain yang serta merta selalu ikut dalam setiap pembangunan, yaitu berkurangnya akses masyarakat terhadap sumberdaya, kerawanan kehidupan (pangan, sosial), hegemoni pengetahuan. Ketiga hal ini seperti
yang telah diungkap di paragraf pertama (salah tafsir, salah aksi) adalah pekerjaan rumah yang paling sulit, mengingat pengamat sebagai orang luar hampir selalu salah tafsir. Apalagi jika pembangunan cuma ditekankan pada nuansa politis (dalam bahasa asli indonesia politik =  berebut kuasa), yang cuma bermuara pada jargon dan janji, yang sekarang diwakili oleh jargon pro growth, pro job, dan pro poor.

Ada kiranya sebuah pepatah Cina, dapat dijadikan perenungan, ’dalam ranah seni tidak ada yang nomer satu, namun dalam ranah bela diri   tidak ada nomer dua’.  Apakah pembangunan itu sebuah pertarungan atau festival bersama yang diselenggarakan masyarakat, untuk
merayakan keberadabannya.

goodweed hunting

foto: kaki petani by pupunk

Thursday, 25 October 2007

tawa

Oleh Ayu Utami

Telah lama saya agak percaya. Puisi Indonesia telah jadi seperti agama. Serius, suci, dan tak suka tawa. Ada satu dua pembaharu, memang. Seperti si Joko atau si Joni.

Tapi sebatas mata memandang, warna dasar cakrawala puisi panggung adalah Rendra dan Tarji. Dan nada dasar puisi halaman adalah Goenawan atau Sapardi. Tak ada yang salah dengan sajaksajak mereka, yang lahir dari sebuah zaman represif yang kasat-mata, yang mengikuti sebuah zaman bergolak. Ialah, ”angkatan 66”, lanjutan ”angkatan 45”—meski saya sangat tak suka memakai istilah angkatan.

Periode itu adalah zaman ketika bahasa dianggap sangat serius. Chairil muncul ketika Bung Karno menaklukkan Indonesia dengan retorika.Rendra dkk lahir ketika kata-kata dianggap senjata—pandangan yang pada pemerintah menghasilkan sensor atas media massa dan pertunjukan puisi.Tak heran—meski saya tak suka konsep angkatan—suasana demikian melahirkan sajak-sajak yang dalam dan tak berjarak dari persoalan.

Apa maksudnya: dalam dan tak berjarak dari persoalan? Kira-kira seperti remaja yang pertama kali jatuh cinta dan patah hati: tak bisa menertawakan diri sendiri. Remaja itu mengira cinta pertama adalah abadi. Dan patah hati adalah akhir dunia.Tak ada yang salah dengan sajak-sajak mereka,sebab sajak-sajak mereka adalah sajak yang kuat.

Tapi ada yang tidak muncul dalam sajaksajak itu, yaitu tawa—sesuatu yang hanya bisa dilakukan jika manusia berhasil menjarakkan diri dari perasaannya. Yang nyaris tak ada pada mereka adalah humor dan ironi. Tentu sajak tak harus berhumor atau berironi.Tapi puisi yang dramatis atau deklamatis—dalam bentuk ekstrimnya: histeris—bukan satu-satunya pilihan. Yang liris dan melankolis juga bukan satu-satunya alternatif.Puisi bisa ironis. Ini,menariknya,belum mengarus utama di Indonesia.

Hanya sedikit sajak Indonesia yang mengadirkan humor dan ironi,di antaranya,ya,sajak si Joko Pinurbo dan Joni Aryadinata.Yang terbanyak adalah yang berdeklamasi.Apalagi kalau dibacakan para selebriti dengan bibir dan tangan bergetar. Saya melihat kontras yang menarik dengan para penyair muda Australia yang sempat saya temui.Saya menonton mereka di dua pesta sastra belakangan ini:Ubud Writers & Readers Festival,25–30 September, serta Bienal Sastra Utan Kayu, akhir Agustus lalu.

Ada tiga penyair Australia yang menakjubkan di atas panggung.Tiga-tiganya memiliki kemiripan: menguasai panggung, bervokal kuat,hafal puisi mereka luar kepala,dan sajak-sajak mereka menghadirkan humor dan ironi. Mereka juga terlibat dalam kelompok musik independen. Mereka bukan dari jenis puisi halaman buku. Mereka adalah jenis yang muncul dalam kompetisi poetry slam, ”bantingan puisi”.

Karya ketiganya termasuk juga dalam antologi dwibahasa Terra yang bulan lalu diluncurkan di Indonesia. Sam Wagan Watson adalah pemuda bertubuh subur berdarah campuran macam-macam.Kulitnya gelap,matanya hijau-coklat. Ia tampil di Bienal Sastra Utan Kayu dengan beberapa potong sajak pendek yang sangat menyentuh. Beberapa kalimatnya menghantui saya.

Ia mempermainkan kesamaan pengucapan ”terror”dan ”terra”.I’m a Frankenstein of a dreamtime, dari puisi yang berkisah tentang politik identitas pemerintah Australia, ia bacakan tidak dengan menghardik, melainkan dengan suara datar, besar seperti tubuhnya. Kita pun tahu ada yang tidak beres di bawah teks. Sean M Whelan hafal setiap kata sajaksajaknya, seperti seorang penyanyi.

Memang ia seorang pemusik dalam kelompok indie di Australia. Saya tanya bagaimana ia bisa menghafal seluruh sajaknya.”Seperti menghapal syair lagu,” katanya. Sajak datang bersama melodi, maka sajak menetap di kepalanya. Yang ketiga adalah Miles Merill,keturunan Afro-Amerika yang lahir di Chicago. Ia bisa membunyikan pelbagai suara. Angin, tekukur, dan entah bunyi apa itu.Pembacaannya selalu membuat penonton tertawa.

Saya bilang padanya, ”Mendengar Anda, tak bisa tidak, saya terhibur. Tapi, buat Anda pentingkah puisi menghibur atau membikin tawa?” Ia bercerita.Tapi pendek kata: tentu tidak harus.Tak harus sajak membikin pecah tawa.Yang penting puisi itu menguak. Saya catat bagaimana ia merumuskannya: ”Saya ingin melucuti orang dengan tawa.Setelah ia tak berdaya,baru kita pukul ulu hatinya.” Humor membuat kita terbuka. Setelah itu barulah serangan yang sesungguhnya.(*)

:: pondok arsip jokpin ::

http://www.matarindu.blogspot.com
Puisi Telah Memilihku
Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang. (2007)

.:: Mengeja Sastra ::.

http://mengejasastra.blogspot.com

Wednesday, 10 October 2007

mengulang kelahiran?

Start:     Nov 1, '07 4:00p
End:     Nov 30, '07 10:00p
Location:     kedai sinau malang
kedai sinau berulang tahun ke-5
acara:
open house selama sebulan penuh: November
1. diskon buku di kedai sinau malang | jakarta | bogor
2. penerimaan naskah puisi dan novel debutan di kedai sinau malang | jakarta | bogor
3. launching stasiun ayat-ayat majalah sastra di kedai sinau jakarta

percakapan selintas menjelang mudik lebaran dalam sebuah dunia, tepatnya di Yahoo Messenger, yang bagiku adalah Yahoo Messiah

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Action & Adventure
ding juga (buzz di alam aslinya)

BUZZ!!!
8:14 PM
selamat malam pak

nt dimana?

di jakarta

di rumahkah?

yap, di rumah. mungkin lebaran ke bogor, hari ke-dua
8:51 PM
mertua ada di bogor

emang di bogornya dimana?

di taman yasmin, rumah abangnya yuyun

aku hari kedua dini hari ke bandung

eh selamat jalan. sampai ketemu benny and mice ya, salam

Aku kayaknya nggak bakalan ketemu mereka. mereka jail. met lebaran pertama bareng keluarga, bareng mertua, bareng keluarga besar

oceh deh. salam juga buat keluarga besar. he he he gak kebayang ada obrolan diantara kita tentang anak dan rumah tangga. live forever or die young (motto dulu) sekarang ...

ha...ha...ha.... dunia tambah tua dan lu pun kebawa tua jadinya. sampai ketemu tgl 18. jaga anak bini.

Lebaran: dari bahasa jawa artinya bertambah lapang. Hati yang bertambah lapang. Dengan cara memaafkan.
Iedul Fitri di daerah Jawa juga dikenal dengan Sugeng Riyadi (pernah punya kawan bernama sama, ia tentu lahir di hari iedul fitri) selamat hari raya. Kenapa hari raya. Karena telah berpuasa. Dengan tujuan memaafkan.
Siapa yang dimaafkan? Bagiku adalah diri sendiri. Diri yang kelewat jumawa. Padahal tempat berkubang salah dan lupa. Puasa yang dilakukan satu bulan penuh adalah untuk melihat lebih dalam tentang interior diri sendiri. Maka puasa sama sekali bukan sebuah tampilan apalagi performance atau pertunjukkan. Puasa juga tidak perlu dijaga. Karena itu tidak berguna. Puasa untuk diri sendiri. Bukan orang lain. Motifnya adalah transenden. Absolut transenden. Vertical unlimit. Dan maaf demikian pula halnya. Dalam keluasan dan kedalaman yang tak berhingga.

Lebaran jangan pula membuat batas baru. Karena batas-batas tersebut sesungguhnya buatan manusia. Selamat!

Selamat merenovasi interior anda. Semoga semakin banyak ruang untuk yang lain disana. Jangan takut sesak atau terdesak. Shalom, Shanty, Salam. Piss kata Slank!





OPERATOR SELULER DAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

OPERATOR SELULER DAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL:
MEMBANGUN KARAKTER OPERATOR SELULER
SEBAGAI AGEN PEMBANGUNAN BANGSA



Latar Belakang
    Dalam khasanah ilmu sosial, dikenal konsep agen sosial. Yang dimaksud dengan ‘agen sosial’ itu ialah individu atau kelompok sosial yang sadar akan interaksi dirinya dengan dunia sosialnya, dan kemudian secara sadar bertindak secara tertentu agar konsekuensi yang diinginkannya bisa tercipta. Konsep ‘agen sosial’ ini dihadirkan sebagai pembeda dari individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang tak sadar dan tak memahami kaitan antara tindakannya dengan konsekuensinya terhadap dunia sosial. Golongan yang kedua ini tak sadar betapa setiap tindakannya senantiasa memiliki dampak atau konsekuensi terhadap dunia sosialnya, dan dengan demikian tak sadar akan kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial yang tertentu. Karena lupa akan kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial itu, maka kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial menjadi tak berkembang, menjadi kerdil. Sementara ‘agen sosial’, karena sadar akan kemampuannya untuk turut mempengaruhi berlangsungnya proses sosial, maka secara sadar pula dia akan terus-menerus mengembangkan kemampuannya untuk bisa semakin efektif membentuk dunia sosial seperti yang diinginkannya. Karena kemampuan yang semakin efektif itu selalu menciptakan karakter diri yang kuat, maka otomatis ‘agen sosial’ selalu punya karakter pribadi dan kerja yang kuat. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa yang maju selalu terdiri atas individu-individu maupun lembaga-lembaga yang punya karakter kuat. Termasuk lembaga-lembaga usahanya. Karakter yang kuat ini menjadikan bangsa-bangsa yang maju bisa tumbuh menjadi bangsa yang digerakkan oleh sedemikian berlimpah agen-agen sosial yang terus-menerus secara sinergis membangun dunia sosialnya. Mereka sadar bahwa keruntuhan sosial-ekonomi masyarakat adalah juga keruntuhan sosial-ekonomi seluruh bagian di dalamnya, termasuk unsur dunia usaha. Sebaliknya, kemajuan sosial-ekonomi masyarakat akan juga berarti kemajuan dari seluruh bagiannya, termasuk dunia usaha. Tak ada dunia usaha yang bisa lestari berdiri jika daya beli masyarakatnya terus merosot.
    Hukum sosial yang sama juga berlaku di seluruh dunia. Bangsa yang besar selalu berisikan agen-agen sosial yang dinamis dan sinergis, sementara bangsa-bangsa yang terbelakang selalu berisikan individu dan kelompok sosial yang saling parasit dan menghambat satu sama lain. Pertanyaannya ialah: termasuk bangsa yang manakah bangsa Indonesia?
    Dalam proses pembangunan sekian lama, tak bisa diingkari masih ada  persoalan pembangunan di negeri ini. Di antaranya ialah masih adanya daerah-daerah tertinggal, yang jika dibandingkan dengan dinamika kehidupan kota-kota besar, seolah-olah tertinggal sekian puluh tahun jaraknya. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) sendiri menggunakan enam kriteria untuk mengukur ketertinggalan suatu daerah (kabupaten) dengan daerah lain, yaitu kondisi ekonomi, sosial masyarakat, infrastruktur, keuangan, pemerintahan, dan geografis wilayah. Dari kriteria tersebut digunakan indikator-indikator kemiskinan, indeks pembangunan manusia, infrastruktur, celah fiskal, aksesibilitas, dan karakteristik wilayah. Berdasarkan kriteria dan indikator di atas, KPDT menetapkan 199 kabupaten yang tergolong tertinggal di 31 provinsi. Penyebaran daerah tertinggal terutama masih di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebanyak 123 kabupaten (62%), Sumatra 58 kabupaten (29%), dan Jawa Bali 18 kabupaten (9%).
    Aspek infrastruktur sendiri meliputi di antaranya ketersediaan jalan, alat komunikasi, pasar, listrik, perbankan dan sebagainya. Dengan kata lain, daerah-daerah tertinggal adalah daerah yang menghadapi permasalahan di bidang ketersediaan infrastruktur. Salah satu infrastruktur yang vital bagi dinamika pembangunan ekonomi di daerah tentu saja ialah jaringan telekomunikasi. Jika hubungan komunikasi antara daerah tersebut dengan daerah lain begitu sulit, bagaimana mungkin pengusaha-pengusaha dari luar daerah akan tertarik untuk berbisnis di daerah tersebut? Selain itu, jika hubungan komunikasi begitu sulit, bagaimana mungkin wawasan dan aktivitas masyarakat di daerah tersebut akan bisa dinamis dan berkembang?
    Di era dimana aktivitas ekonomi telah begitu menyatukan berbagai ruang dan waktu, daerah-daerah tertinggal seperti ketinggalan kereta. Hanya tergagap dan menjadi penonton pasif dari arus ekonomi yang luas. Berharap menunggu tetesan kue ekonomi. Situasi ini tentu tak sehat bagi kemajuan ekonomi bangsa secara keseluruhan. Kesenjangan yang begitu besar akan mudah melahirkan begitu banyak problem sosial dan ekonomi. Bahkan politik dan keamanan. Karena itu, sudah saatnya situasi ini diubah.
    Membangun ketersediaan jaringan telekomunikasi merupakan salah satu kerja yang bisa dilakukan untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal. Di sinilah peran operator seluler sebagai penyedia jasa layanan komunikasi seluler sangat vital. Tulisan ini akan membahas secara garis besar strategi apa yang bisa dilakukan oleh operator seluler dalam perannya sebagai agen sosial dalam pembangunan bangsa, terutama dalam hal percepatan pembangunan daerah tertinggal. Selain strategi, juga dirumuskan filosofi apa yang mungkin bisa diadopsi oleh operator seluler dalam menjalankan perannya sebagai agen pembangunan bangsa.    

Filosofi dan Strategi Operator Seluler dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal    
    “Bambang Riyadhi Oemar, Ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), mengatakan sampai akhir Maret 2007 pengguna ponsel di Indonesia telah mencapai 75 juta. Hal ini, ujarnya, adalah peningkatan dari perhitungan terakhir di 2006 yang mencapai 70 juta,” demikian isi berita di situs Detikinet.com Rabu 27 Juni 2007. Jumlah itu sungguh luar biasa besar. Apa yang bisa kita tangkap dari besarnya jumlah pengguna ponsel itu, terutama jika dikaitkan dengan proses pembangunan ekonomi bangsa, dan terutama dengan proses pembangunan daerah tertinggal?
    Dalam iklim ekonomi yang sedemikian cepat dan dinamis ini, penggunaan sarana komunikasi yang memungkinkan orang saling berhubungan secara cepat dan mobile sungguh amat vital. Telepon seluler bukan saja memungkinkan orang untuk bisa berkomunikasi secara cepat dan mobile, namun juga bisa terus-menerus memonitor, bahkan mengontrol usahanya dari manapun dan kapan pun. Ruang kantor dan waktu kerja tiba-tiba saja meluas. Tak terbatas dinding gedung kantor maupun jam kerja kantor. Kekuatan yang dimiliki oleh penggunaan telepon seluler sungguh mengagumkan, sehingga siapapun yang berusaha berbisnis dengan meninggalkan telepon seluler akan dengan perlahan atau cepat akan kalah bersaing dengan pesaing-pesaingnya yang menggunakan fasilitas telepon seluler. Mengapa? Karena orang semakin tak sabar untuk menunggu. Orang semakin membutuhkan layanan yang cepat dan mungkin setiap saat. Bisnis berbasis kantor dan jam kerja yang konvensional, kini telah bergeser ke arah bisnis berbasis komunikasi yang mobile dan 24 jam. Meski ini tidak berarti bahwa bisnis berbasis kantor dan jam kerja kemudian akan lenyap, namun kekuatan bisnis saat ini tidaklah terutama terletak pada kestatisannya, namun pada kedinamisannya. Pada unsur mobile dan layanan tiada hentinya. Mereka yang mengandalkan kekuatannya pada kantor dan jam kerja, akan dengan segera kalah bersaing merebut konsumen-konsumen baru, dan bahkan mungkin akan ditinggalkan oleh konsumen-konsumen lamanya jika tak segera memutakhirkan basis kerjanya. Inilah dampak budaya berbisnis yang diciptakan oleh telepon seluler. Sebuah dampak yang bukan hanya mengubah budaya kerja, namun juga menentukan nasib sebuah usaha.
    Dengan memahami dampak teknologi terhadap budaya bisnis dan konsekuensi ekonominya, maka kita akan bisa memahami mengapa daerah tertinggal yang tidak memiliki ketersediaan fasilitas komunikasi seluler sungguh merana ekonominya. Bahkan, usaha-usaha yang sejak lama berdiri pun bisa runtuh dengan cepat saat gagal mengintegrasikan diri dengan budaya bisnis yang baru, yang berbasis komunikasi seluler.       
    Ada 75 juta pengguna ponsel di negeri ini. Anggap saja 1%-nya adalah pebisnis, jadi ada sekitar 7,5 juta pebisnis yang menjalankan usahanya berbasis komunikasi seluler. Namun, bagaimana dengan sekian banyak pengusaha lain, terutama di daerah-daerah yang masih belum tersedia fasilitas komunikasi selulernya, atau setidaknya fasilitas komunikasi selulernya masih buruk kualitasnya? Kekalahan maupun ketakberkembangnya bisnis dan ekonomi di daerah-daerah tertinggal bisa dikatakan merupakan konsekuensi salah satunya dari ketiadaan fasilitas komunikasi seluler yang memadai.
    Dalam konteks inilah, peran operator seluler sungguh amat penting. Peran operator seluler sesungguhnya tidaklah sekedar pasif dalam artian hanya sekedar memberikan jasa layanan komunikasi seluler kepada pengguna telepon seluler, namun juga bersifat aktif-konstruktif karena seperti yang telah dijelaskan di atas, teknologi seluler telah turut mengubah budaya bisnis dan nasib ekonomi yang ada. Kemampuan operator seluler untuk turut membentuk budaya bisnis yang mobile itulah yang sungguh bernilai. Pembangunan ekonomi daerah tertinggal tak akan berhasil manakala budaya bisnis yang ada tak adaptif dengan kompleksitas dan dinamika bisnis lokal, regional bahkan global. Hanya ketika budaya bisnis berubah mengikuti irama dunia bisnis yang lebih luas, ada harapan cerah bahwa suatu daerah akan dengan cepat terintegrasi dengan arus ekonomi dan bisnis yang lebih luas dan dengan demikian mampu mencapai taraf kemakmuran dan kesejahteraan seperti yang dicitakan. Peran konstruktif dalam membangun budaya bisnis inilah yang dimiliki oleh operator seluler, dan kemampuan konstruktif ini pula yang patut menjadi filosofi dasar dari operator seluler dalam turut membangun daerah tertinggal.
    Selama ini secara sadar atau tak sadar, sengaja atau tak sengaja, operator seluler telah turut membantu kemajuan proses pembangunan budaya bisnis yang baru di negeri ini. Bahkan, operator-operator seluler juga telah menunjukkan kepeduliannya pada pembangunan masyarakat lewat program-program corporate social responsibility (CSR). Hanya saja, program-program CSR itu seringkali terkesan lebih bersifat kuratif sebagai penyeimbang dari aktivitas bisnis perusahaan. Dengan kata lain, seolah-olah ada dua aktivitas yang punya tujuan masing-masing. Satunya bertujuan mencari laba, sementara yang lain untuk membagikan sebagian laba tersebut. Meski hal tersebut patut dipuji, namun sesungguhnya antara CSR dan aktivitas bisnis tak perlu dipahami sebagai sesuatu yang berjalan di lajurnya masing-masing jika kita memahami kekuatan konstruktif yang dimiliki oleh operator-operator seluler dalam membangun budaya bisnis dan ekonomi bangsa. Manakala filosofi “Turut Membangun Budaya Bisnis dan Ekonomi Bangsa Ke Arah Kemajuannya” telah disadari dan diadopsi, maka tak akan ada kesan keterpisahan di antara aktivitas mencari laba dan aktivitas sosial. Filosofi tersebut memahami bahwa pencarian laba yang benar ialah yang turut membangun kemajuan dan kekuatan bisnis dan ekonomi bangsa yang hebat, dan sekaligus pembangunan sosial hanya akan bisa dicapai secara sejati lewat profesionalisme usaha dan kerja.
    Filosofi itu pula yang ada baiknya menjadi filosofi operator seluler dalam turut membangun percepatan kemajuan daerah tertinggal. Dengan filosofi tersebut, operator seluler akan bisa melihat bahwa aktivitasnya turut membangun daerah tertinggal sesungguhnya bukan merupakan aktivitas kuratif, namun merupakan investasi. Tentu dengan syarat bahwa pihak operator seluler paham bahwa jika kehidupan bisnis dan ekonomi di daerah tertinggal tersebut berkembang, maka siapa pula yang akan menikmati pertambahan pelanggan bisnis baru? Investasi yang dijalankan dengan strategi yang benar, niscaya akan menghasilkan buah bagi penanamnya.
    Bagaimana strateginya?
    Secara sederhana, strateginya meliputi 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Strategi penyediaan dan penyempurnaan BTS. Strategi ini jelas bersifat teknis, namun amat penting demi kepuasan dan kenyamanan pelanggan di daerah tertinggal. Bagaimana mungkin pelanggan akan senang jika setiap kali sinyal yang didapatnya putus-putus? Menciptakan pelanggan yang loyal memang penting, namun lebih penting lagi untuk menciptakan pelanggan yang advokatif. Pelanggan yang loyal barangkali memang puas, namun cukup sekedar puas. Sementara pelanggan yang advokatif bukan hanya puas, namun menyebarluaskan kepuasannya itu ke sekelilingnya, dan dengan demikian turut mempromosikan operator seluler yang dianggapnya memuaskan. Pelanggan advokatif ini akan tercipta manakala kualitas hubungan seluler yang didapatnya begitu unggul sehingga mendorongnya ingin orang lain mengikuti jejaknya menggunakan operator seluler yang sama. Penyediaan dan penyempurnaan BTS merupakan salah satu cara terbaik untuk menciptakan pelanggan-pelanggan yang advokatif. Jadi, dengan strategi pertama ini, pelanggan punya insentif untuk mengadopsi budaya bisnis baru, di sisi lain operator seluler bisa menjaring pelanggan-pelanggan baru, yang seiring dengan kemajuan ekonomi daerah, akan semakin membesar jumlahnya. Kedua pihak sama-sama senang.
2. Strategi pengayaan layanan pelanggan. Pelanggan advokatif juga bisa diciptakan dengan cara penyediaan layanan pelanggan yang bermutu dan simpatik. Sikap responsif dan komunikatif, apalagi terhadap kebutuhan kalangan pebisnis dari daerah-daerah tertinggal, sungguh amat bernilai artinya guna menciptakan pelanggan yang advokatif. Usulan, kritik maupun pengaduan dari pelanggan haruslah menjadi alat evaluasi yang berguna untuk semakin menyempurnakan diri menjadi perusahaan yang lebih efektif dan komunikatif. Sikap komunikatif dan bersahabat ini akan bisa menjadi insentif lain bagi pelanggan untuk semakin mantap berbisnis dengan mengandalkan kepercayaan dukungan dari pihak operator seluler.  
3. Strategi pembangunan kemasyarakatan. Karena membangun budaya bisnis dan ekonomi daerah tertinggal itu bukan saja harus diarahkan pada kalangan pengusaha saja, namun pada seluruh lapisan masyarakat sebagai bagian dari mata rantai ekonomi, maka strategi pembangunan kemasyarakatan sangatlah penting juga artinya. Budaya bisnis dan ekonomi yang maju didasarkan pada kualitas-kualitas kecerdasan dan kreativitas. Karena itulah, pihak operator seluler juga perlu turut serta berpartisipasi membangun tradisi berprestasi dan kreatif dari seluruh lapisan masyarakat di daerah tertinggal, terutama kalangan generasi muda. Ketika kualitas kecerdasan dan kreativitas masyarakat daerah berkembang, kualitas kecerdasan dan kreatif itu juga akan merembes ke dalam aktivitas berekonomi mereka, termasuk dalam aktivitas konsumsi. Ketika aktivitas berekonomi semakin cerdas dan kreatif, maka aktivitas itu akan berlangsung dinamis dan progresif. Kebutuhan-kebutuhan baru akan muncul. Agar kebutuhan-kebutuhan baru ini bisa terpenuhi, maka dibutuhkan alat komunikasi untuk bisa berhubungan dengan peyedia-penyedia kebutuhan baru tersebut. Komunikasi seluler jelas jadi pilihan utamanya karena sifatnya yang mobile dan praktis. Jadi, secara tak langsung muncullah kebutuhan komunikasi baru di masyarakat daerah tertinggal. Lagi-lagi, baik pihak masyarakat daerah tertinggal maupun pihak operator seluler senang.        

Penutup
    Tentu saja, kenyataan tak semudah dan seindah gagasan. Namun, membangun daerah tertinggal sekaligus meletakkan dasar kelestarian bisnis perusahaan operator seluler bukanlah suatu hal yang tak mungkin diwujudkan. Keduanya bahkan harus selalu berjalan sinergis satu sama lain. Perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju telah lama memahami hal ini dengan membangun masyarakat dan bangsanya, lantas mengapa kita tak mulai meneladaninya?

Eko Prasetyo Dharmawan

Friday, 5 October 2007

NOTULENSI FRAGMEN DOKUMENTA 12 DARI GOETHE

 

Enin     : Bode, seniman yang juga penggagas Dokumenta merumuskan Dokumenta sebagai exhibition without form.

 

FX Harsono    : Ada tiga landasan kuratorial (leiftmotifs) Dokumenta 12, 1) Apakah modernitas adalah masa lalu kita?, 2) Apakah masih ada keutamaan hidup setelah hedonisme mendominasi tata nilai kehidupan? Dimanakah seni dalam soal ini?, 3) Apakah pendidikan seni dan estetika sudah mampu memecahkan segala permasalahan dalam kehidupan kita?

 

FX Harsono    : Setelah mengunjungi pameran Dokumenta 12, pertanyaan itu malah tak terjawab, atau bisa dibilang malah terlupa.

 

Enin     : 1) Modernitas memang ada disekitar kita. Permadani, karya seniman permadani, memasukkan modernitas dalam karyanya. Karya permadani yang biasanya berisi hiasan ornament geometrik berubah menjadi lukisan taman. Memang, di pameran Dokumenta tak ada bentuk. Instalasi Relax Only Ghost yang digabung dengan permadani menggambarkan keterpecahan konsep dalam satu ruang pameran. Bahkan, karya lukis abad renaisans pun digabungkan dengan kanvas lukis era modern. 2) Hedonisme lahir dari demokrasi yang membawa kebebasan dan kemanusiaan sebagai nilai paling dasar. 3) Formulasi sederhana pertanyaan itu adalah: apakah demokrasi sebagai sistem nilai masih relevan? Bukankah hedonisme yang merupakan anak kandung demokrasi menampilkan sisi buruknya? Kira-kira begitulah.

 

FX Harsono    : Memang tak mudah.

 

David Tobing : Bode sebagai penggagas memang cerdas. Exhibition without border! Aku pikir Bode sadar, bentuk dan isi tak bisa dilepas hidup sendiri-sendiri. Setiap seniman pastilah tahu pergulatannya tak lepas dari bentuk dan isi. Dominasi sejarah seni didominasi sejarah perubahan bentuk. Aku pikir inilah yang dasar pikiran Bode, seorang seniman yang kehidupan kreatifitasnya tak bisa pisah dari upaya pengolahan abstraksi-kesadaran (baca: isi) menjadi produk (baca: bentuk). 1) Modernitas memang masih mendefenisikan dirinya. Tak seperti tradisional yang sudah mapan sebagai nilai dan sedang asik-asiknya digugat sistem nilai peradaban kini semisal post-moderisme, feminisme dan lainnya. Bicara ‘Jawa’ sudah masuk konteks tradisional. Sedang ngomong ‘Indonesia’ belum tentu dianggap modern pun ketinggalan zaman. Tradisional dan modern, ternyata nilai yang dilekatkan manusia pada suatu hal. Dan perlu diingat, pelekatan nilai tradisional atau modern pada suatu hal tidaklah berarti menyatakan suatu hal tersebut baik atau buruk. Tradisional dan modern sebagai nilai memang tidak berhubungan langsung dengan baik atau buruk yang juga merupakan sistem nilai. Karena itu, setelah suatu hal diberi nilai (dalam bahasa kecaman bisa juga dikatakan: pelabelan/stereotip) tradisional atau modern, suatu hal tersebut masih harus menjalani serangkaian perenungan lagi yang mengakibat subjek perenung dengan penuh kesadaran dan keikhlasan memberi nilai baik atau buruk. 2) Enin bilang : pertanyaan aslinya dari landasan kuratorial kedua adalah apakah yang dimaksud dengan kehidupan sederhana? Ini sesungguhnya pertanyaan yang tradisional. Cara berpikir tradisional, contohnya Jawa, sangat lekat dengan masalah itu. Irup mampir ngombe misalnya merupakan representasi dari konsep kesederhanaan yang luas luar biasa. Konsep semacam itu tentunya tak mengenal istilah ‘menguasai alam’. Sejak zaman pencerahan hadir di Bumi dengan keagungan rasionalitasnya, manusia memandang alam sudah tak lagi sebagai kekuatan besar yang tak terkendalikan. Laku sub-ordinasi alam terhadap manusia hilang. Manusia adalah super-ordinat alam. Manusia bisa berbuat sesuka apa saja pada alam. [Aku merasa bule-bule di luar sana malah tak mengerti apa itu tradisional. Bentuk konkrit tradisional di tanah bule-bule sana tak ada, tak seperti di Indonesia, bila kita masuk ke Yogyakarta masih bisa melihat orang pakai blangkon dan berkebaya jalan-jalan di Malioboro. Bahkan saya pernah jumpa nenek tua berbusana kebaya menjadi sales promotion girl di salah satu pusat perbelanjaan di Malioboro. Nenek itu berdiri di pintu masuk toko! Konkritisasi tradisional tidak ditemukan di tanah bule-bule. Karena itu, bule-bule pun merumuskan pertanyaan: apakah hidup sederhana, yang lahir sebagai antitesis dari norma hedonisme yang marak menyala di tanah bule-bule.] 3) Enin ngomong apakah demokrasi bisa menawarkan sistem nilai ideal? Tentunya, belum tentu! Tapi sebelum aku jabarkan penjelasan terkait problem begitu, aku terpikat pada proposisi implisit penyetaraan demokrasi dengan sistem nilai. Penyetaraan itu berarti memandang demokrasi sebagai kebudayaan, tepatnya produk kebudayaan. Ini luar biasa! Demokrasi sebagai kebudayaan menawarkan dua hal utama, kemanusiaan dan kebebasan. Padahal bila dilihat secara politis belaka, demokrasi tak lain dari pertarungan merebut kekuasaan yang dilengkapi dengan segala macam prosedur seperti pemilihan umum. Aku berpikir, memang demokrasi sebagai sistem nilai bagi peradaban kini masih menghadapi ujian. Misal saja di Myanmar. Junta yang mundur-mundur meski rakyat sudah unjuk rasa mati-mati [bahkan biksu sebagai pengusung nilai-nilai keagamaan pun turun tangan untuk membantu demokasi hidup membangun sistem nilai demokrasi sendiri]. Memang, ada juga yang menyangkut-pautkan India, Cina, dan satu negara lainnya yang aku lupa dalam persoalan pelik gejolak Myanmar. Pendekatan pemikiran dengan melihat tiga negara tersebut justru menimbulkan konflik sendiri di dalam pengembangan demokrasi. Lewat tiga negara, persoalan Myanmar jatuh pada ekonomi. Artinya, ada sistem nilai lain dalam kehidupan yang harus diperhatikan. Sebenarnya, lewat pengejawantahan ini, persoalannya bukanlah lagi demokrasi sebagai sistem nilai masih layak atau tidak, melainkan: bagaimana sesungguhnya menata keselarasan antar segala macam nilai yang ada, demokrasi, ekonomi, agama, Ketuhanan, bahkan militerisme. Produk sampingan lain dari penjabaran pemikiran yang bertolak dari gejolak Myanmar mengarahkan saya pada kesimpulan: demokrasi bukanlah pertanda beradabnya suatu bangsa. Kecuali Cina, penganut komunisme yang berarti otoriter, India dan negara satunya tak angkat suara memecahkan kebuntuan gejolak Myanmar. Padahal sistem pemerintahan di India memilih demokrasi sebagai sistemnya. Ada perwakilan rakyat, ada eksekutif dan ada pula yudikatif. Petanda ini membawa saya pada dugaan bahwa demokrasi masih sebatas pertarungan kekuasaan. Demokrasi belum menjadi kebudayaan. Kemanusiaan dan kebebasan yang menjadi inti terdalam demokrasi tidak mengalir di dalam pembuluh darah di dua negara itu.      

 

Notulen : Ada juga yang mempermasalahkan kok tidak ada satu pun seniman Indonesia di ajang Dokumenta 12. Informasi saja, Dokumenta 12 menghadirkan 500 karya lebih dari 122 seniman di seantero muka Bumi. Seorang yang ada disamping saya berkata, pertanyaan seperti punya kecenderungan narsis. Tiba-tiba muka seorang yang berkata pada saya pucat pasi. “Narsis. Narsis. Ra-sis!” kata dia mendesis di telinga saya. Dia bilang, narsis punya kedekatan emosional dengan rasis lewat pertanyaan ‘kok tidak ada satu pun seniman Indonesia di ajang dunia Dokumenta?’ “Ra-sis-so-nal-lis-me.” Dia mendesis seperti ular di telinga saya. “Nas-sis-si-o-nal-lisme.” Itulah desisan terakhir yang dia di telinga saya. Dia diam sejenak sambil memijat-mijat keningnya, memukul-mukul tengkuk dan ubun-ubun kepala, menunduk bahkan sampai mengantuk-ngantukkan kepala ke tembok batu. “Apakah rasis juga seperti demokrasi? Sama-sama kebudayaan?” katanya di depan muka saya. Saya pun melihat pesawat supersonic, Sputnik, Challengger, Apollo, Pertamina, Petroleum, Menara Eiffel, Monas, The Thinker, Guernica, M-16, rudal Patriot, Jupiter, sarung tinju, televisi, telepon genggam, satelit Palapa, Telkomsel, CNN, Nike, blangkon, merah, pemilu 2009, laser, bom atom, Einstein, gravitasi, emas, kereta api, asap knalpot, jalan aspal, harimau, lampu merah, undang-undang, joglo, Menara BNI ’46, menhir, Pulau Paskah, huruf paku, Piramida, senat, Plato, situs internet, konferensi pers Presiden, bendera, baju mini, sepatu karet, kolam renang, pohon pinus, Gunung Kelud, gempa bumi, tsunami, sumbangan kemanusiaan, kecelakaan lalu lintas, kamar jenazah, Hotel Sultan, White House, Paus Johanes Paulus II, Chairil Anwar, Lelaki Tua dan Laut, Samudera Hindia, kuburan Jeruk Purut, Tongging, Bali, Piala Dunia, Fransesco Totti, gitar elektrik, gambus, B.B King, This Is England, Catfish Blues, boneka kayu, kapak batu, rumah panggung, perahu, kapal selam, kuda nil, mammoth, piano, garpu tala, piring makan, lampu hias, kemeja, serbet, kaos kaki, Phitecantropus, filantropi, api, es, bir Bintang, kecoak, ladam kuda, cermin, di muka dia.     

 

[DeiF-FeiL]

Monday, 24 September 2007

ayat-ayat stasiun

Start:     Sep 27, '07 6:00p
End:     Sep 27, '07 10:00p
Location:     kedaisinau jakarta
sekumpulan puisi jeda

Wednesday, 19 September 2007

Fragmen: Sepulang Menjenguk Titarubi Di Bentara Budaya

 

Sudah malam rupanya. Sambil melihat taman berpohon rindang yang begitu tenang aku dengar Alia bicara di atas lori kereta  Lelaki asal Eropa asyik bercanda dengan teman perempuannya yang berbaju hitam. Rokokku sudah tinggal puntung tewas dalam pijakan sepatu. Silahkan menikmati pameran tunggal Titarubi berbaur dengan gemuruh riuh telapak tangan yang beradu.

HERSTORY. Ah, aku sedang tak ingin mengkritik. Tak ingin pula aku berbual di hadapan instalasi rel keretaapi berjudul Kisah Tanpa Narasi. Alia masih ada dalam telingaku. Dia pun masih ada dalam mataku. Serupa taman berpohon rindang yang begitu tenang serta dua potong bakpau goreng dan sesendok Chinese kung pao. Atau senyum Mas Ipung serta segelas bir kaleng di tangan Redana. Tak maksud aku mencela, sungguh. Tapi jiwa selalu menawarkan garam yang asing. Garam asing yang melahirkan kejut dan takut. Alia, kacamatamu sama indah dengan sepatu kets yang engkau pakai.

Titarubi mengingatkan aku pada kehidupan kota di Inggris yang pernah kudiami hanya beberapa bulan saja. Di sana, para bangsawan begitu senang berkereta kuda di sekitar istana ratu dan raja. Aku hanya bisa iri melihat busana mereka. Paduan kain yang penuh kerumitan. Entahlah, aku rasa mereka memang senang bercanda dengan senjata atau pena. Para lelaki memang senang menulis di atas pakaian yang bukan hanya miliknya sendiri. Sekarang, aku kembali ingat pada ucapan Romo Franz. “Kita bisa mempertanyakan mengapa hanya ada ‘history’. Bagaimana dengan ‘herstory’? Tapi bagaimana pula dengan ‘sejarah’?” Aih Alia, aku memang merasa ada yang kurang dengan ketimuranku. Tapi bukannya ketimuranku tak indah. Sebagaimana maha karya terindah yang engkau tulis dalam hatimu, demikianlah keindahan ketimuran yang ada dalam diriku. Keindahan dan kesempurnaan adalah dua hal yang berbeda. Maafkan aku.

Aku tidak tahu harus memanggil apa padamu. Tita atau Rubi? Mbak Tita atau Mbak Rubi? Ibu Tita atau Ibu Rubi? Aku sangat bodoh karena tak tahu harus memanggil apa padamu. Aku ingin bertanya padamu. Adakah diantara kata-kata yang tadi kusebutkan mampu menampung rasa hormat dan takzimku kepadamu? Titarubi, perempuan kelahiran Bandung pada 15 Desember 1968, terimalah hormat dan takzimku padamu.

Kisah adalah kejadian. Narasi adalah penceritaan suatu kisah. Aku kagum ketika engkau mampu memilih judul Kisah Tanpa Narasi. Kata-kata yang engkau pilih, secara harafiah mampu menerjemahkan diri sendiri. Di dalam batinku, bahkan, kata pilihanmu sudah menjadi metafora dari dirimu yang sangat-sangat personal. Melalui kata-katamu, aku melihat gelisah dan berontak menyala-nyala dalam dirimu. Dua jalan kereta yang saling melintasi satu sama lainnya. Tapi aku tak menemukan rel yang saling tikam di titik temu perlintasan. Aku malah melihat persimpangan. Entahlah. Persimpangan memang tempat yang menakutkan. Tapi, tak jarang pula persimpangan adalah tempat pengalaman. Persimpangan adalah tantangan.

Titarubi, Titarubi. Di dalam mataku masih tersimpan instalasimu. Ada lori keranjang gigan penuh manekin keramik. Tapi, ada pula lori yang kosong. Manekin keramik engkau tumpuk seakan penuh kekesalan. Tak ada manekin yang utuh aku perhatikan. Selalu saja ada cacat. Entah tangannya patah, pinggangnya patah, atau kakinya patah, kepalanya retak, atau malah telinganya sudah rompal. Tumpukan manekin keramik yang menjelma menjadi pemandangan penumpang kereta api kelas ekonomi Jabodetabek, dalam pembahasaan Efix Mulyadi. Tapi aku tak melihat seperti Efix. Aku mendengar. Aku mendengar jerit dari manekin-manekin keramikmu. Rasanya, seperti melihat para arwah menari-nari di taman berpohon rindang yang begitu tenang. Jerit manekin keramikmu membawa pikiranku menerabas waktu. Jerit-jerit dari masa lalu. Jerit-jerit dari masa kini. Jerit-jerit dari masa depan! Jerit, dari, keranjang. Hmm, keranjang.

Titarubi, Titarubi, Titarubi. Keranjang. Hmm, siapakah kini yang tak mengenal benda itu? Siapakah kini yang tak lepas dari benda itu? Siapakah pencipta benda itu. Aku menjadi teringat ketika mengambil mata kuliah kebudayaan kontemporer. Keranjang adalah simbol dari budaya belanja manusia metropolitan. Sedang belanja adalah simbol dari psikologis kekuatan materi. Ada engkau ingin mempersamakan kekuatan materi dengan tuhan? Aku lagi tak ingin bertaruh. Biarkan aku hanya mendekatkan siapa pada manusia. Aih Alia, semoga saja aku tak salah. Ada karpet merah yang mengalasi jalan kereta api. Adakah itu darahku, darahmu, atau malah darah semua manusia? Seperti fitrah kereta di atas rel: selalu berjalan. Sedang Kisah Tanpa Narasi mengingatkan: mungkin manusia tak butuh kereta, tak butuh keranjang; meski persimpangan tak bisa dipunahkan.

Titarubi, Titarubi, Titarubi, Titarubi. Aku duga, engkau tak bakal melupakan THE SILENT SOUND OF WAR, LINDUNGI AKU DARI KEINGINANMU, I WISH I HAD A RIVER, HERSTORY ABOUT FOOT: DI BAWAH KAKIMU BUNGA-BUNGA SUDAH MATI, SELAPUT, VAGINA BROCADE, HERSTORY ON WHITE: BAJU YANG KAU PINTAL TERLALU BERAT BAGIKU, BAYANG-BAYANG MAHA KECIL #2, HERSTORY ABOUT FINGER, BAYANG-BAYANG MAHA KECIL, yang sudah menyatu di dalam Kisah Tanpa Narasi.

Alia, inilah kiranya kekurangan dari ketimuranku. Mungkin ada baiknya—mudah-mudahan apa yang aku sebutkan bukanlah bualan terhebat yang pernah aku ucapkan—tajuk pameran tunggal Titarubi bertajuk HERSTORY digubah menjadi HERSTORY: Kisah Tanpa Narasi. Maafkan aku Alia. Maafkan aku Titarubi. Ini semua karena aku hanya ingin memaknai apa itu HERSTORY.

 

[Deif-Feil]

Monday, 17 September 2007

dhia antar satir

frase ketakterhinggaan

teruntuk:
yang terlahir dan yang mati
yang berani dan yang takut
yang tampak dan yang tersembunyi


sebelum # 1
sajak ini belum dimulai
batas-batas baru disisihkan
kini dituai dini hari
tandanya menangis

#1
cahaya-cahaya dipancarkan oleh seorang pemberani yang menutupi dirinya dari kelemahan-kelemahan jiwa. cahaya-cahaya dipancarkan oleh seorang pemberani yang berperang melawan dirinya yang manusia. cahaya-cahaya dipancarkan oleh kealpaan yang diberikan kata maaf. berkilo meter tahun cahaya menuju kepadamu. dalam satu malam hadir sebuah penghiburan. yang lebih dekat dengan ajal dan lebih nyata dari kehidupan. cahaya-cahaya memenuhi janjinya. juga peperangan yang sesungguhnya. mengenali. lalu. menyingkap. nyawa. tanda-tanda. raga. cahaya-cahaya mengantar titik-titik pertemuan. mata. hati. ditempat yang begitu dekat. lebih singkat dari perjalanan cahaya. lebih pekat dari jalurnya. lebih indah dari jejaknya. lebih purba dari pengalamannya. cahaya-cahaya dan pejuang-pejuang. menutupi dirinya dengan zirah yang bermartabat. kemilaunya cuma terlihat diakhir peperangan. diantara keyakinan dan keterasingan.

setelah #1
sajak ini baru saja dimulai
batas-batas ditegaskan
kini tandanya menangis
memandang yang tak hingga

terberi:
yang berbatas dan tak berbatas
yang berpendar dan yang kusam
yang asal dan yang bermuasal

bebatuan, pasir dan buih

hanya bukit-bukit percakapan yang tidak bisa bertambah tinggi. rasa ampang kopi nomer satu. dan seseorang atau lebih tepatnya sebuah suku yang keras, terhampar dan semakin  misteri. dengan rupa malam, pesisir ini semakin gelap. menyembunyikan yang seharusnya terkatakan. seperti dulu. ketika perang masih berkecamuk. ketika orang dicor dalam tong. dipisahkan raganya 200 km dari kepala. semuara dengan darah tentara yang baru dilatih, menyewakan nyawa untuk tujuan mulia negara.  yang tidak serupa dengan wajah manusia. memiliki kepala-kepala yang sangat panjang, begitu panjang. sepanjang masa pancaroba. sebuah musim dimana air melimpah namun tenggorokan kerontang. minyak bergalon namun tubuh-tubuh bersisik. rumah-rumah terbangun namun tidak ada yang merasa betah. sebuah musim dimana orang-orang menyimpan suara dalam pita-pita memori terabyte. dan mengharuskan mereka berbusana yang menutupi sisik-sisik mereka. dan bekerja untuk keluarga besar dalam rumah-rumah di sebuah kompleks yang dijaga keamanannya. dari suara, pakaian, tamu dan para undangan yang berkunjung. memotret keindahan wajah berkerudung. dari wajah-wajah yang menua dengan cepat dalam pancaroba yang teramat lama. dan tangan-tangan mungil yang mengais ingatan dari ledakan dan jerit yang tertahan. terekam kuat di bebatuan, pasir dan buih. di pinggiran gelas ingatan disisakan. dipinggiran itu semua berawal. tempat perjumpaan dengan bebatuan gunung. semua dihempaskan dari pinggir ke gunung. dalam hitungan manusia. berlari, meloncat, memanjat. dalam harapan manusia. semua berubah. menjadi bebatuan, pasir dan buih. tersisa cuma negara yang bukan manusia. yang tidak berbuat apapun. kecuali berisik. mengendap-ngendap namun sangat berisik. sampai manusia dari tempat yang jauh berdatangan, memunguti ingatan-ingatan. tubuh-tubuh yang kehilangan sisik, rumah-rumah menjadi abadi. dan suara-suara seperti rasa kangen yang begitu lama membatu di gunung mulai mencair.  suara-suara melaut di samudera. berkeliling ke semua arah. pancaroba berangsur ingsut. perlahan. percakapan demi percakapan landai dan tenang. gelas-gelas mulai berdenting. pecah oleh kesibukan. wajah-wajah berkerudung mulai tersenyum. anak-anak bermain sampai malam di pelataran. kedai dan hari pasar mulai penuh. negara hilang, yang ada manusia-manusia. bangsa-bangsa. suku-suku. sampai suatu ketika. sesuatu bernama pilkada. menggemakan kembali cerita dari bebatuan, pasir dan buih. negara kembali dihadirkan. begitu cepat. menggeser cerita tentang bencana. pancaroba kedua mulai bermusim. negara mengambil tempatnya yang begitu sempurna. mengubah bebatuan. menjadi arca. serupa dengan tugu peringatan. dan orang-orang kembali bersisik. jika bukan arca. seperti ikan. laut pasang tidak mampu menggarami mereka. begitu ampang. dan mereka bergerak begitu tergesa. nyata dan tergesa. juga berisik. sangat berisik. negara tidak lagi bergerilya. di perbukitan percakapan tidak lagi menarik. hanya suara-suara angin. dan perempuan dibalik kerudung  bertambah tua oleh beban hidup. yang hanya menyisakan harapan pada bebatuan, pasir dan buih. beberapa diantaranya seperti berharap laut kembali lagi membawa kenangan mereka. kenangan saudaranya yang bukan negara. dimana semua manusia bersisik. atau laut menjemput mereka. karena cuma samudera yang bisa melahap negara. dan kedamaian bersemayam di sana.

calang, 16 September 2007

Sunday, 9 September 2007

TITIKNOL Project

http://titiknol.com
TITIKNOL Project adalah sebuah proyek pribadi TS Pinang, seorang pecinta puisi yang lebih suka bermain dengan medium website internet. Semula TITIKNOL Project dimaukan untuk dokumentasi naskah-naskah tulisan TSP sendiri sebelum akhirnya berkembang dengan proyek-proyek lainnya yang dikerjakan secara amatir, secara pecinta.

Selamat Datang Kekasih :: TANDABACA.COM

http://tandabaca.com
dunia menulis kreatif

ayat-ayat stasiun: luka hutan hujan




sekumpulan puisi jeda

graphic: by drik hen

Friday, 31 August 2007

Masalah Tidak Tahu dan Masalah Yang Saya Mau

Saya memang tak bisalah ekonomi. Hitungan marjin, suplai sama dimand buat kepala pusing tujuh keliling. Belum lagi perhitungan harga rata-rata, harga optimum dan segala macam suku bunga interest yang buat otak kelimpungan. Saya cuma tahu, uang Rp10 ribu bisa beli Marloboro Lights sebungkus sama geretan merk Tokai.

Saya memang bukan birokrat. Saya tidak tahu apa itu administrasi pemerintahan, apa itu prosedur, apa itu golongan IV B, apa itu jabatan, apa itu kebijakan. Saya juga bukan orang politik yang sering bicara soal kemakmuran, kesejahteraan, keselamatan, kemaslahatan, dan segala ke- ke- ke- ke- lainnya yang membuat saya ter ke-ke-ke-ke-ke-keh-keh-keh.

Saya juga bukan presiden yang ngerti rapat kabinet, rapat terbatas, pidato kenegaraan, berempati sama rakyat. Saya juga bukan menteri yang punya staf ahli yang bisa memberikan sekian ratus alternatif pilihan dengan sekian ratus pula varian pelaksanaan berbeda yang kesemuanya tergantung berapa banyak dana tersedia yang bisa dipergunakan untuk membiayai pilihan keputusan (jangan terlalu sulit membaca kalimat ini. Intinya, menteri itu punya ahli yang bisa memberikan masukan dan keluaran, titik.).

Saya juga bukan Amerika yang selalu mengumandangkan demokrasi dan hak asazi. Saya pun tidak tahu apakah Air Force One itu memang ada atau rekayasa belaka. Saya pun tak tahu apakah di Amerika sana juga ada benda cair yang dinamakan minyak tanah. Saya pun tak tahu apakah disana ada pula yang memasak pakai kayu bakar. Saya sungguh tidak tahu.

Saya juga bukan teknokrat yang ngerti cara buat senjata serta amunisi, buat pesawat, buat kapal selam, buat pesawat antariksa, buat reaktor nuklir, buat pulpen yang bisa menulis di dalam air, buat komputer yang tebalnya seperti sehelai kertas.

Saya cuma tahu, 1 September 2007 harga elpiji 50 kilogram Rp320 ribu. Sedang gas elpiji 12 kilogram Rp55 ribu. Dan saya tahu, harga gas elpiji per-kilogram sesungguhnya bagi saya adalah Rp4.600.

Monday, 27 August 2007

suatu ketika, sesering itu kudengar

semua harus diselesaikan
‘siapa takut ombak, jangan berumah di tepi laut’

kala menghilang batu-batu menghitam
angin cuma bisa bertemu bayang-bayang
senjata bertemu rencong di ujung sumbu kemarahan
lantas suara-suara marah meriah memerih berkelindan
ke tepi para bocah mensunyikan tuhan

tuhan itu warna-warni sinis
pakar yang menetakkan damai
lewat perantara dan perang
sementara tahun-tahun terkuak
para bocah bercerita tentang orang tua

cerita tentang kapak menancap pohon
dan perjalanan satu hari adalah masa depan
ketika hutan masih diam dan laut belum mengamuk
anak lelaki menjaga perawan
saat perang diceritakan lewat hikayat

peristiwa-peristiwa bercerita tentang hakikat
dan hidup mulai dinyatakan
tuhan itu seperti dongengan
bergerak erotik membosankan
segala aturan hilang gerak

para bocah takut keluar rumah
gadis tak suci anak laki-laki berdarah
hutan berseru dalam timbunan lumpur
mengubur permata dengan batu-batu
dan laut perlahan mengakumulasikan dendam

yang alim yang ulama mulai mengatakan
ketika tuhan bertemu tuhan
lahirlah tidak

semua harus diselesaikan
‘jika takut pada kematian, jangan bicara tentang masa depan’

para bocah jadi amunisi
laki-laki dan perempuan berjalan di depan
orang tua menulis kembali hakikat perang
nyanyian para penyair
bagai pedang di negeri seberang

sepetak demi sepetak tanah terambil kembali
hutan menyemai kini
kehijauan rimbun hati
batu-batu hitam kebenaran
dikikis angin musim cerah

cahaya-cahaya dibawa ombak
yang tiba-tiba pasang bergunung
tuhan yang berselancar
menjadi peluru menjadi pemburu
satu-satu hidup tersisa hanya laut

dan hikayat perang berhenti dituliskan
jika kiamat maka tuhan itu benar adanya
40 hari kebenaran menggigil
menahan kabar dari langit
sambil mengguncang tubuh yang terjaga

awan-awan matahari arak-arakan tubuh
ditimbun tanah merah berlapis keyakinan
sekeping-sekeping mulai membara
membungkus kesombongan yang mati
menyerah pada garis hidup

semua harus diselesaikan
‘cuma kehidupan yang melahirkan kematian’

rencana-rencana yang mulai merayap
keraguan kawan seperjalanan mulai menyergap
jeda dahsyat dari ombak yang tiba-tiba pasang
melenyap seperti waktu senja
kembali malam merekam misterinya terkelam

Calang, Aceh Jaya

Friday, 10 August 2007

Achilles Last Stand

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Classic Rock
Artist:led zeppelin
It was an April morning when they told us we should go.
As I turned to you, you smiled at me; how could we say no?
Whoa, the fun to have! To live the dreams we always had.
Whoa, the songs to sing! When we at last return again.

Swept New York with a glancing kiss to those who claim they know
Below the streets that steam and hiss, the devil's in his home.
Whoa, to sail away! Sandy lands and other days.
Whoa, to touch the dream! That hides inside and is never seen, yeah.

Into the sun of south and north at last the birds have flown.
The shackles of commitment fell in pieces on the ground.
Whoa, to ride the wind! To tread the air above the din.
Whoa, to laugh aloud! Dancing high above the crowd.

Seek the man whose pointing hand the giant step unfolds.
With guidance from the curving path that churns up into stone!
If one bell should ring, celebration for a king.
So fast the heart should beat, as proud the head with heavy feet, yeah.

[Solo]

Days went by when you and I made an eternal summer's glow
As far away and distant, our mutual time to grow.
Whoa, the sweet refrain! It soothes the soul and calms the pain.
Oh, Albion remains! Sleeping now to rise again.

Wandering the wanderings. What place to rest the search?
Where the mighty arms of Atlas hold the heavens from the earth!
Where the mighty arms of Atlas hold the heavens from the earth!
From the earth!

I know the way, know the way, know the way, know the way.
I know the way, know the way, know the way, know the way.

Where the mighty arms of Atlas hold the heavens from the earth!

Tuesday, 31 July 2007

Komunitas Puisi

http://apresiasipuisi.multiply.com
Tuangkan baris-baris puisi kamu di sini...

Bermainlah dengan riang dan jangan mengotori ruang ini,
jadilah teman yang menyenangkan dengan belajar saling
menghargai. Kalau anda mau iseng ( baca jail ) carilah
tempat lain. Ingat! anda juga tak ingin diganggu orang lain
bukan?

Silahkan kirim puisi kamu ke kolom PUISI Komunitas Puisi
Caranya : klik Post lalu klik Blog dan ketiklah puisi kamu di situ
kamu juga bisa taruh gambar sebagai penguat puisi atau yang
berkaitan dengan puisinya. Oiy kamu harus menjadi member
dulu agar bisa upload puisi dan info sastra kamu.

Nah Mudahkan caranya? :) Selamat berkarya dan bersenang-
senang di situs ini ya.

Salam Kreatif!

Administrator Komunitas Puisi

Saturday, 28 July 2007

pidato kebudayaan yang disyiarkan untuk diri sendiri dan dimaksudkan untuk tidak dikomentari orang lain kecuali komentar dalam bentuk pidato yang serupa namun tak sama

***
selamat ulang tahun! bagi siapa saja yang memiliki masa kini, masa depan dan masa lalu. dan menganggapnya serius

***
Bahwa dalam narasi Foucoultian dijelaskan bahwa pengetahuan bertujuan mereproduksi yang sosial. Mengambil konsep Nietzsche tentang konsep ingatan maka ingatan yang dalam tataran tak sadar pada saat yang sama menjadi pelaksana kontrol sosial, sekaligus berfungsi demi reproduksi sosial. Pengetahuan yang menjadi teks penting untuk mereproduksi yang sosial tersebut. Sebagai habit, sekaligus (pada saat yang sama) mereproduksi kembali teks-teks itu.

Maka, ‘serdadu bayaran’ menjadi laku, ketika ‘ingatan’ dalam teks sejarah, dengan tanpa darah bersedia menjadi yang terdepan. Bayangkan, artefak (...mulai dari masa Lekra hingga masuk ke era serat-serat di tanah Jawa pun ragam artefak para pendahulu para kita...) menjadi yang terdepan (walaupun dalam kenyataannya lebih sering tafsiran atas artefak, motif, konteks, terhadap masa lalu yang menjadi acuan, bukan yang tekstual). Maka untuk melawan ‘ingatan’, narasi Foucoultian memilih ranah sastra sebagai kritik non diskursif terhadap rasionalitas diskursus ilmu humoniora (terutama sejarah-penulis) yang sering menindas. Paradoksnya adalah bahwa yang diskursif semacam itu merupakan bagian dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari.  Selebihnya, maksud dari ‘pernyataan sastra menjadi sekadar teks belaka’ otomatis tidak bisa diterima, sesungguhnya, oleh kedua ‘Para Kita’, pemberangus dan promotor ‘seks (d/s)alam sastra’, karena dalam institusi sosial yang mapan, fungsi sastra (narasi Foucoultian), memiliki agenda tersembunyi (yang berfungsi sama dengan ‘ingatan’ sejarah-penulis), yaitu memproduksi ingatan, dalam bentuk kontra ingatan, dalam semangat perlawanan atas yang berlangsung dan berkuasa. Atau dengan kata lain, sastra sebagai sumberdaya untuk kuasa untuk melawan kekuasaan.  Jadi, ‘mengaitkan sastra dengan kenyataan, sastra yang teks itu mampu mempengaruhi kehidupan kepala serta tubuh para pembacanya’, bisa jadi benar adanya (juga bakupukul yang bohong-bohongan, yang belum bisa dinalar anak kecil, dan ironisnya dilakukan oleh ‘Para orangtua” melalui teks lisan dan perbuatan. “Para orangtua’ ini sesungguhnya tidak sedang mengharamkan kekerasan, sebaliknya mempertontonkannya secara vulgar).

Teks yang tak mampu memberikan daya pukau menurut penulis adalah teks yang gagal. Teks yang tidak menciptakan inspirasi, tidaklah mungkin dijadikan acuan. Teks berupa pemaparan Nyata (fotografis, seperti yang diangankan penulis semisal Enni Arrow, ada apa dengan kau Monyet!) memiliki daya pukau tersendiri, terhadap hasrat yang tersembunyi yang dialami ‘golongan remaja’, dimana pencarian mereka, merupakan, ‘ketololan yang menyenangkan’, memperlakukan teks tanpa daya pukau (baik dalam tulisan, dan audio, serta audio visual), lepas dari kenyataan materinya, sama saja mensahkan subjek tanpa libido yang tidak mampu melawan dan tidak mampu memobilisasi sumberdayanya. Maka baik penyair maupun semua jenis seniman harus bertanggungjawab atas hasil karyanya di masyarakat, yang sosial itu, baik dalam semiotika tulisan maupun film (berbeda dengan pidato kebudayaan Sutarji Calzoum Bachri- SCB, di perayaan hari ulang tahunnya, 19 Juli 2007, yang menyatakan ‘penyetaraan’; ...sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya, begitu pula secara ekstrim boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya), kecuali, alam pikir seniman dan konsumennya sudah homogen (setidaknya dalam diskursus) menyatakan kata sama sekali lepas dari maknanya, (bahkan kata-kata dalam puisi SCB, dapat ditelusuri, ditunda dan diganti maknanya, yang mengukuhkan lekatnya tanggungjawab sosial penulis atas kondisi lingkungan non fiksinya, tanpa harus berapologi atas ‘pilihan tak terhindarkan’ dari sebuah kerja seni untuk seni, ars erotica). Jika teks terlepas dari ‘kenyataan sosial’ (artinya tidak terjadi hubungan dua arah yang saling timbal balik, bakupukul diantara keduanya), maka tidak diperlukan,  pernyataan, ‘para kita yang sudah mampu menerabas ruang dan waktu hingga sampai di masa depan malah mundur ke masa kini. Sedang para kita yang berada di masa kini pun ternyata mundur juga ke masa lampau’. Karena sesungguhnya tidak ada batas yang bisa dikatakan tegas, dalam hal ini batas selalu relatif (digeser kiri-kanan) dan temporer (bergerak maju-mundur), antara lampau, kini dan masa depan, jika dikaitkan dengan produksi dan reproduksi nilai-nilai. Perlawanan (dalam pengulangan gaya dan cara) dan ulang-alik waktu seperti ini adalah permanen. Toh, tugas perlawanan bukan cuma dibebankan pada setiap manusia di abad ini dan disini (sebab itu saya tidak setuju dengan pernyataan ‘kawanan’ SCB yang menyatakan dengan gagah Sutarji Calzoum Bachri lebih besar dari Chairil Anwar, seperti juga Chairil Anwar/SCB tidak bisa lebih besar dari siapapun kecuali dari kepala mereka berdua!).

Dari titik ini saya juga mentertawakan diri sendiri, jika bisa memaklumkan ‘seks (d/s)alam sastra’, jika definisi tersebut mengacu pada habit (bukan sekadar praktek) sosial yang memberikan pengkodean terhadap tubuh perempuan dan laki-laki, sedemikian hingga tercitrakan dan diterjemahkan sebagai teraniaya, terperkosa. Dan saya terpuaskan. Jika demikian, perlawanan apa yang saya berikan. Bahkan saya jatuh pada kondisi artlessness. Pada kepapaan atas capaian budaya (sama seperti David, saya menganut azas sastra adalah nama yang diberikan atas salah satu produk kebudayaan yang dihasilkan manusia). Bahkan lebih jauh, sudah mencederai tugas humanis sastra dimana prinsip anti aniaya, anti kekerasan, dan emansipatoris. Dengan kata lain, habit saya, objek ciptaan saya, secara timbal balik mempengaruhi kebudayaan yang ada disekitar saya. Dan itu semua adalah apa yang saya katakan, lihat, perbuat, dengar, rasakan, bayangkan, teraduk dengan mengapa dan bagaimana secara timbal-balik, dan menerus. Untuk tidak jatuh pada kepapaan budaya itu, maka saya harus aktif pula menentukan apa, mengapa, dan bagaimana -mempertanggungjwabkan dan mengkonteskannya dalam wilayah sosial yang lebih luas. Persoalan ‘pemberangusan’ dalam wacana pilihan otonomi individu wajib ditentang, sebagaimana persoalan ‘budaya massa’ yang jatuh pada  ‘dipilihkan’ oleh ‘yang lain’, dipilihkan oleh ‘budaya industri’ juga wajib dilawan. Problem yang dibicarakan sesungguhnya bagi saya bukan pada persoalan kategori tinggi-rendahnya kualitas seni, namun pada apakah yang disebut ‘produk budaya’ tersebut menghancurkan nilai-nilai manusia (seperti anti kekerasan, anti pembunuhan, anti aniaya) dan secara pragmatis tidak menjadikan saya sebagai objek, yang selalu dipilihkan (pasif) atau membuat saya tidak memiliki pilihan (non eksis). (tiba-tiba terbersit syair yang ‘bukan posmo’ ...segala produksi ada disini, menggoda kita untuk memiliki, hari-hari kita diisi hasutan, hingga kita tak tahu diri sendiri...-mimpi yang terbeli-iwan fals).

***
Berkaitan dengan itu, fungsi pertanggungjawab saya, jika itu dituntut, sama halnya dengan bertanggungjawabnya Tuhan atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya. Karena serangkaian sebab dari kreasi yang saya lakukan, akan berujung pada efek yang saya inginkan (ketidaksengajaan atau efek yang tidak diperkirakan/dihitung sebelumnya, saya percaya cuma ada di manusia). Tuhan yang tidak bertanggungjawab seperti kontraktor perbaikan jalan di Indonesia (juga Lapindo, juga industri penerbangan, juga ritel hypermart yang menjual barang kadaluarsa danlainlainsebagainyaserupatapitaksama). Selesai bekerja, masyarakat disuruh merasakan efeknya, yang rata-rata dibawah standar proyek, standar keselamatan kerja, standar layanan purna jual. Maka Tuhan yang tidak bertanggungjawab atas ciptaannya itu cuma akal-akalan dari kejenuhan menalar Tuhan. Jika teks saja bisa terbongkar, kata kehilangan makna, maka Tuhanpun bisa dibongkar jadi tuhan-tuhan. Tapi, persoalan ini menjadi klasik, dan membuat malas untuk diperdebatkan, karena sejak jaman Aristoteles-sampai SCB fungsi syair memang tidak lain sebagai mantra-ada yang mencari Ada, ada yang cuma mengada, lebih banyak yang ‘ada-ada saja’.

Mengapa koreksi teks pidato SCB menjadi penting bagi saya? Semata-mata untuk saya. Karena SCB sudah lebih dulu mencerahkan saya dengan sajak keTuhanannya, ...namanama kalian bebas/carilah tuhan semaumu. Dan teks pidato tersebut justru mengganggu saya, yang sebagai konsumen mempertanyakan kualitas produk dari produsen esei dan puisi ini, yang dalam halaman selanjutnya menuntut ‘politisi’ (kok ya ‘politisi’, bukan jejaring ‘kawanan-kawanan’ lain yang bukan sejenis ‘binatang jalang’ dari kumpulan massa yang terpesan), untuk memperhatikan ilham, yang tersirat  dari puisi untuk perbaikan mutu kemanusiaan atau bangsa.

SCB mungkin lupa sejak 1928, isyarat keIndonesiaan yang puitis itu terus menerus diexercise oleh penyair dan bukan penyair, politisi dan bukan politisi, namun teks Sumpah Pemuda yang ‘metonimia’ tersebut seperti halnya kata-kata, kalimat dalam puisi SCB,  telah melahirkan dan membesarkan kata Indonesia (yang dibayangkan-walaupun Ignas Kleden dalam forum yang sama menjelaskan bahwa puisi SCB adalah sebuah perlawanan atas teks mapan, sejarah dan perilaku kontemporer hipokrisi rekan sebangsanya. Teks Sumpah Pemuda waktu itu mengisi perlawanan ‘bersama’ anti imperialisme, kolonisasi dengan pecah-belah, sejarah yang dipilihkan penjajah, sehingga butuh semacam penanda, yang menyusun dan menggerakkan yang tidak sadar dan hasrat-pada waktu itu berhasil, imajinasi puitis itu menjadi masyarakat Indonesia) . Di masa SCB teks Sumpah Pemuda itu bekerja untuk teks. Bukan untuk sosial. Dia memang tersudut dan berdiri di situ. Teks yang kehilangan konteks, kecuali bekerja untuk kemapanan kekuasaan. Tidak lucu jika SCB ingin mengatakan kegelisahan atas otonomi daerah, otonomi manusia, bergenang sejak ada perpuisian tahun 70-an. Lalu, bagaimana dengan perjuangan yang belum selesai dari subtansi UUD RIS yang federal, sampai perjuangan ‘politisi daerah’ yang berkeliling di sekitar pusat, yang kandas oleh Dekrit Presiden 1959? Apakah otonomi daerah sekarang merupakan hasil perjuangan kritik pada puisi 70-an, yang sub kultur, sarat dengan akar budaya. Atau ia menemukan momentumnya sekarang, dimana rumusan momentum itu tidak bisa dipaksakan, termasuk oleh para penyair. Atau mungkin ada sihir lain dalam benak kebanyakan orang Indonesia, yang bukan mantra? Sihir itu yang harus dipatahkan tanpa harus memanggil Harry Potter, karena seperti yang SCB katakan lokalitas kita, kekayaan budaya, seharusnya cukup menjadikan manusia Indonesia sempurna. Berkarakter. Kecuali kita, (kelihatannya) kebanyakan dari kita, lebih menyukai utang, sebagai tambal sulam dari kebangkrutan budaya. Sehingga yang laku adalah lembaga gadai kebudayaan-yang saya belum berani memastikan-bentuk organnya. Yang pasti jika seniman memang bekerja untuk masyarakat dan kemanusiaan, maka akuntabilitas karya mereka harus dikembalikan pada konstituen mereka, konsumen mereka, maka ada dua syarat perlu (necessary conditions) yang harus dipenuhi adalah (i) tahu kemana tujuan, (ii) tahu dari mana lokasi keberangkatan. Singkatnya pemosisian, (i) ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai untuk keteraturan sosial (dalam konteks menjadi Indonesia), (ii) ada sumberdaya yang dimiliki (dalam hal ini kekayaan budaya) Namun inipun belum cukup, karena seniman juga bergerak di wilayah sosial, ada konvensi, kontrak sosial. Tersisa yang harus dipenuhi adalah syarat lengkap (sufficient conditions) Mengapa karya harus dilahirkan? Inilah mandat. Mandat utamanya datang dari konstituen, konsumen, masyarakatkah-kemanusiaankah. Mandat tidak hanya datang dari dalam, yang secara narsistik diwakilkan oleh kondisi hasrat sang seniman (yang memang memiliki energi kreatif berlebih), karena kondisi di luarlah (struktur sosial-seperti masyarakat, agama, ilmu pengetahuan) yang lebih sering  menjadi sumber mandat. Dalam literatur ekonomi manajemen dua syarat itu sering disebut sebagai dasar perencanaan strategis, mungkin ini pula yang disebut sebagai strategi budaya. Dan itu butuh kerjasama, kerja baik, dari pihak-pihak yang dulu didahului dengan kata Jong, sekarang mungkin didahului dengan kata komunitas sastra bla..bla..bla, lembaga kesenian tra..la..la, lembaga kebudayaan daerah da.. da..da..

***
Saya (kalau ditanya) memahami sastra dengan cara apa, maka jawabannya dengan melakukan kritik (pada diri sendiri-mirip Tukul tapi belum komersil). Membuat yang mungkin dilakukan menjadi semakin mungkin.


widhy   sinau