Friday, 23 July 2021

 

Membaca “Pos Pamflet”

Surya Saluang

 

Selalu menarik untuk mengulik kemampuan bahasa literer sebagai medium penyimpan ke-subtil-an realitas dalam formasi subjektif pelakunya sendiri yang mengalami ruangwaktu. Ketika puisi itu disampaikan kepada khalayak (sebagai publikasi dan lainnya) selanjutnya kembali membentuk berbagai formasi subjektif yang terus beragam antar tiap orang dan tempat. Bahasa adalah sistem yang kenyal. Dalam kekenyalan bahasa, subjektivitas terus berupaya mencari celah untuk membangun keberadaan dirinya. Praktek berbahasa, menjadi praktek keberadaan yang hulunya ada pada subjektifitas terdalam. Formasi terdalam itu, kerap hanya bisa terungkap melalui medium puisi. Tidak hanya bagi penulis puisi, pembaca puisi juga memerlukan irisan-irisan terdalam dari subjektifitasnya sendiri dalam mencerap puisi. Seterusnya, berlangsunglah relasi-relasi timbal-balik yang terus semakin kaya, antara pembaca, penulis dan konteks; pada level kedalaman ini. Level yang sulit diobjektivasi dengan gamblang.  

Setidaknya dalam sepuluh atau dua puluh tahun belakangan, kita hidup dalam satuan ruang waktu yang semakin cepat berlipat - berganda secara simultan. Ada begitu banyak satuan ruangwaktu yang saling berdesakan dalam saat bersamaan, dan semua satuan ini sama-sama saling berebut bahasa. Ada dunia kerja, dunia pendidikan, dunia aktivis, dunia hiburan, dunia tempo doeloe, dunia tempat tinggal, dunia spiritual, dan seterusnya. Berbagai dunia ini adalah ragam dari berbagai satuan ruangwaktu. Hidup di masa kini, adalah hidup dalam desakan berbagai dunia itu. Semakin kesini, tiap dunia terus tumbuh semakin kompleks dan menekan. Diri dengan segala keunikannya seakan tak bisa mengelak sama sekali, sudah tak ada lagi yang “di luar dunia”, segala apapun adalah suatu dunia. Semua dunia itu selalu berupaya menjadi yang paling ojektif, satu sama lain saling menuntut ingin dapat perhatian lebih. Disinilah menariknya puisi dan atau berpuisi, yang modusnya justru bertumpu pada subjektifitas dan intersubjektifitas. Dalam kata lain, puisi menjadi salah satu peluang jeda atau cara untuk bisa mengelak dari berbagai moda objektif demikian.

Dengan kondisi ini saya jadi tidak yakin kalau ke depan puisi akan mati. Justru, puisi akan semakin meriah karena memang diperlukan atau menjadi kebutuhan. Bersebab tekanan objektif keadaan aktual yang semakin menghimpit disana-sini. Ke depan, medan-medan objektif akan terus menekan. Sehingga orang-orang akan selalu rindu dan semakin rindu pada subjektifitasnya sendiri. Suatu moda intersubjektif akan lebih berkembang ketimbang objektif. Dan sesungguhnya kita tak pernah benar-benar bisa bernafas jika semata hidup di dalam medan objektif, justru subjektifitas-lah yang memberi pengaruh terbesar terhadap porsi dan ritme nafas kita dalam hidup konkrit.

Pelipatan ruang waktu tidak saja semata bersebab dari hal-hal seperti teknologi artifisial, namun teknologi yang lebih dalam dari itu. Yakni, suatu teknologi kekuasaan yang bekerja di segenap medan apapun. Modernitas adalah peradaban utama dari teknologi kekuasaan seperti ini. Teknologi yang bekerja melalui algoritma dan bahasa, menata-nata dan mereka ulang antara penanda dan petanda; lalu membentuk wacana dan membimbing (mengarahkan) sikap-sikap kita (putusan-putusan).

Semua bentuk teknologi modern, mengalihkan kita dari pengguna menjadi yang yang digunakan. Sebuah handphone dengan fitur yang semakin lengkap, pada awalnya adalah alat, dalam waktu cepat bisa berbalik menjadi “tuan” pre-referensial bagi penggunanya. Kita menengok hp sebelum tidur, seketika bangun tidur, sesaat sebelum mandi, sesaat sebelum bekerja, seketika selesai bekerja, dan seterusnya. Hp kemudian menjadi salah satu kebutuhan paling dasar di masa ini, untuk dilihat-lihat.

Bahasa dan algoritma adalah bahan pokok teknologi kekuasaan. Teknologi yang meresapi semua hal di segenap hidup kita hari ini, masuk ke dalam benda-benda, lajur-lajur jalanan, menyusupi ceramah-ceramah agama, menyusun selera kita, menentukan cita-cita yang baik bagi tiap orang, dan seterusnya. Semakin lama dan dalam kita terlibat, semakin kita asing dengan diri sendiri. Seperti budak atau orang terjajah yang ditentukan oleh tuannya. Beruntung jika kita tahu siapa tuan kita itu, dan kebanyakan malah tak menyadari sama sekali sehingga mengendap perasaan sebal yang tebal di dalam diri. Dalam saat bersamaan dan sekaligus, pemaknaan atas keberadaan diri sendiri masih menjadi tumpuan pokok dari semua prosesi ruangwaktu ini. Kita selalu tak bisa lari dari diri sendiri, kecuali hanya sebentar-bentar saja. Puisi menjadi satu jalan yang memungkinkan untuk kembali memasuki diri secara wajar, menjadi medium yang memadai. Menulis puisi menjadi seperti upaya menghadirkan diri kembali lepas dari berbagai tuan. Memaknai ulang segala tekanan yang dialaminya secara bebas. Semakin ruangwaktu dibebani berbagai medan kuasa yang beragam dan saling bersaing, semestinya akan semakin banyak tumbuh puisi dan penyair.

Puisi kemudian menjadi jendela untuk mengintip konstruksi subjek dan ruang kuasa. Ada sekian satuan ruangwaktu puisi (sastra) yang terbentuk dalam sejarah Indonesia (dan Nusantara) sejak Amir Hamzah, Raja Ali Haji, era Balai Pustaka, Pujangga Baru, Manipol-Lekra, dan seterusnya. Menengok masa Orde Baru memperlihatkan sedikit lain. Memang masa ini tampilan kuasa dan kekuasaan secara tipologis agak lain dari masa-masa sebelumnya, pun sesudahnya. Masa ini kekuasaan berlangsung begitu rigor, detail dan kesan sistematis yang kuat. Masa ini, kita mengenal dua representasi kepenyairan ikonik, yakni antara kepenyairan a la Sapardi Joko Damono dan kepenyairan a la Wiji Thukul. Keduanya melakukan proses kreatifnya dalam medan ruangwaktu linier (linieritas kuasa Orde Baru). Sebuah orde yang begitu tertib atau malah tegang dengan apa yang boleh dan tidak boleh. Sebuah orde yang memang memaksimalkan segala medium apapun menjadi bahasa yang mewakili kekuasaan. Sebuah orde yang merawat senyuman panoptic bapak pembangunan yang (justru) ditakutkan banyak orang masa itu. Senyuman itu, mimik wajah, cara berjalan, cara mendehem, intonasi suara, sampai warna rumah, susunan pemukiman, sopan santun, dan seterusnya, menjadi representasi mengenai kuasa dan ketundukan secara seragam. Penyeragaman segala sesuatu menjadi sangat khas masa ini.  

Lalu ada Wiji Thukul, yang dikenal sebagai pembongkar berbagai selubung bahasa dan kuasa demikian. Di tengah hampir keseluruhan rakyat bangsa ini takut pada Orde Baru, justru penguasa Orde Baru-nya sendiri takut pada Wiji Thukul. Atau juga, Orde Baru selalu takut dengan mereka yang memiliki kepekaan dan kelugasan bahasa. Tak segan-segan orang-orang seperti ini ditangkap dan dipersalahkan dengan berbagai delik yang sumir. Ada serombongan besar penyair masa Orde Baru yang menempuh agenda yang sama dengan Wiji Thukul, dengan timbangan resiko ditangkap atau selamat merayap. Di sisi lain ada Sapardi Joko Damono, yang saya rasa agenda kepenulisannya sepenuhnya bermakna diskursif. Jika kita perhatikan, puisi-puisi Sapardi berorientasi pada keutuhan bentuk logis abstraktif dari yang direnung-renungkan. Berbeda dari Wiji, bentuk logisnya berujung-pangkal pada kepentingan menyatakan sikap atas aktualitas harian yang dihadapi, sehingga kadang terkesan reaktif dengan kekuatan logisnya adalah tatanan kenyataan itu sendiri, atau pengalaman harian. Puisi Wiji tumbuh menjadi ekspresi yang menakutkan. Berpuisi a la Wiji Tukul lebih bisa disebut sebagai tindakan ketimbang konsep, sementara Sapardi lebih sebagai konsep.

Kepenyairan Wiji dan Sapardi dibentuk pada masa yang linier. Lalu, setelah 20 atau 30 tahun masa keemasan keduanya, dengan begitu cepat kita menghadapi dunia yang dilipat itu, suatu kerangka ruangwaktu sirkuler. Puisi-puisi Widhi dalam “Pos Pamflet” ini, nampak sekali jika dihasilkan dari suatu medan ruangwaktu yang tak lagi linier. Pada banyak puisinya bisa dirasakan hadirnya berbagai medan satuan ruangwaktu yang beragam secara sekaligus. Dalam keberagaman itu, relasi sebab-akibat non-linier berlangsung antar satuan ruangwaktu yang berbeda. Suatu sebab bagi akibat seperti duduk minum kopi di café, bisa jadi bukan sesuatu yang linier dengan itu, misalnya saja menghindari kemacetan. Semestinya, akan lebih linier jika kita minum kopi di café bersebab sedang ada obrolan bersama pacar. Putaran sirkularitas seperti ini terus berlangsung, mengacaukan relasi konvensional sebab-akibat dalam berbagai segi hidup harian kita saat ini.

Entah bagaimana menurunkan resonansi yang saya cerap, saya lebih melihat puisi-puisi Widhi adalah suatu usaha bahasa untuk lepas dari perangkap interseksi antar ruangwaktu yang sudah saling menumpuk dalam saat bersamaan. Berbagai satuan ruangwaktu itu membawa atau mengandung satuan bahasanya sendiri-sendiri, tentu dengan sepaket maknanya sendiri-sendiri pula. Widhi mengalami secara sekaligus, cerapan makna yang beragam dan bisajadi, satu sama lain saling bertolak-belakang; yang dialami bersamaan dan sekaligus. Dan nampaknya pada titik tertentu ada proses pemaknaan yang berlangsung begitu saja, seperti sesuatu yang merembes. Sampai akhirnya semua sama-sama omong-kosong kembali.




Aktualitas media sosial mengemuka pada “Pos Pamflet” dalam berbagai kesempatan. Medsos, suatu medium yang begitu cepat menyerap semua konsentrasi kehidupan ke dalamnya pada sepuluh tahun belakangan. Kedatangan corona19 memfinalisasi ruangwaktu digital sebagai interseksi semua skala ruangwaktu aktual. Apa yang aktual adalah apa yang sedang diributkan di medsos, tidak penting ada atau tidaknya. Yang penting adalah keributannya, karena yang diperebutkan adalah moda pemaknaan dan bukan objek korporealnya sendiri. Atau medium digital memperbesar interes kita untuk terus mengada di dunia. Hingga ada kemuakan pada kompetisi makna dalam sirkularitas ruangwaktu digital itu, karena yang berlangsung justru sebaliknya. Ketimbang bisa mengada, diri justru semakin hilang di dalamnya. Semakin melelahkan, menyebalkan, memuakkan. 

Sudah sejak awal dunia digital ini menyadarkan kita besarnya kekuatan dan pengaruh dari kecepatan ataupun percepatan. Pada awal kehadirannya, MTV memberi kejutan tentang cara visual gambar ditampilkan, berupa slide-slide cepat dan sepintas, hanya beberapa detik sudah berganti gambar baru lainnya, dan begitu seterusnya. Pemirsa MTV belajar mencerap kilasan-kilasan yang cepat. Hanya kesan visual yang sesaat. Tak tersimpan utuh dalam ingatan, tapi mengapa begitu “menyenangkan” (?). Cara penampilan gambar seperti ini, juga berlangsung dalam iklan visual yang memang berbiaya mahal untuk bisa tampil lebih lama. Dalam iklan semakin terasa, betapa begitu banyak pesan ingin disampaikan secara cepat dan sependek mungkin. Semua ini berlangsung kira-kira semenjak era 1980-an.

Iklan dan MTV, mengandalkan suara dan nada-nada untuk membentuk ritme dan dengan nada-nada itu pula, semua visualitas yang serba sesaat itu lalu menjadi “masuk akal” melalui intuisi ritmis kita. Intuisi yang beragam dan subjektif kemudian semakin terhubung dalam algoritma teknologi yang seragam. Jika tak berhati-hati, intuisi itu bisa tumpul atau mengeras dan memunculkan pola refleks di luar kendali diri sendiri (seperti tingkah polah tiktokan dalam berbagai kesempatan komunikasi saat ini). Refleks tiktokan atau suatu latah yang merupakan penyakit dalam kacamata psikologi modern. Inilah masa dimana kegiatan berbahasa semakin rentan menimbulkan penyakit massal.

Sejurus itu, kecepatan a la MTV bukan semata penglihatan lagi, tapi sudah menjadi pengalaman harian di dunia yang sirkuler ini. Kita bukan lagi sekedar melihat sekilas-sekilas, tapi mengalami keragaman serba sekilas. Belum utuh dalam satu konteks, lalu beralih ke konteks lainnya seketika, atau tercampur sedemikian rupa. Tak ada lagi batasan yang tegas, pun keutuhan kehadiran. Berlepas-tangkap setiap saat. Serba pengalaman beragam yang pendek-pendek, berlintasan silang-menyilangi dalam satu konteks waktu dan tempat. Bahasa yang terus membesar menggelembung, seturut itu mengandaikan kekosongan di dalam gelembung itu.

“aku tak tahu cara menghabiskan kata, selalu saja ada impian yang jatuh, masa lalu yang kambuh, dan orang-orang yang jogging di jalan seperti mengajukan pertanyaan tentang kesehatan, apa jadinya kata-kata tanpa dunia.” (dalam “Menyemangati orang-orang”)

 

Orang-orang terus memproduksi bahasa atau kata-kata sembari selalu kehilangan dunia. Kata-kata yang terus tumbuh melebihi dunianya sendiri. Apalagi yang bisa seperti itu kecuali hasrat atau libido. Hanya libido satu-satunya bentuk kekuatan yang bisa membesar melebihi besaran alat vitalnya sendiri.

“Pos Pamflet” saya rasa muncul di tengah semua kompleksitas demikian. Konteks ruangwaktu sirkuler, dimana dinding skalanya tersusun dari kuasa sebagai batas terluar dan libido sebagai batas terdalam. Walau satuan ruangwaktu itu beragam, tapi mekanisme algoritmiknya sungguh menyebalkan. Betapa tidak, kita seperti ditekan untuk terus-menerus “sange” dalam berbagai keadaan, atas segala apapun, dengan ritme yang terus dipercepat.  Sange kepada sesuatu yang kadang dan seringkali justru tak menggairahkan. Inilah masa dimana bahasa (otoritas wacana) menjadi begitu memuakkan. Masa yang disebut sebagai era “post-truth”, atau berakhirnya bahasa sebagai sistem otoritatif.  Bukan karena suatu eviden, tapi sepenuhnya soal suka-suka saja, agar lepas dari “sange” tak jelas yang berketerusan. Penolakan atas kebenaran keberadaan covid19, lebih bisa terpahami sebagai ekspresi kemuakan atas bahasa sebagai medan otoritatif ini. Wajar jika Amerika justru menjadi negara dengan penolakan tertinggi atas kebenaran adanya covid19. Persoalannya bukan pada soal eviden, rasionalitas atau adanya magi-magi yang mempengaruhi, tapi saya rasa sekedar muak dengan bahasa (otoritas) yang terus menekan. 

Tekanan yang kita alami hari ini begitu beragam, menumpuk dan terus-menerus. Saat kita asik minum kopi di sebuah kafe di pusat Jakarta dengan seorang mantan pacar dan di luaran sedang terjadi kemacetan parah akibat sekelompok orang memboikot jalan menuntut keadilan, diri kita mengabur entah ada dimana. Puisi bisa seperti “rembesan” dari algoritma diri sendiri yang jengah menelusur silang-sengkarut rerantai peristiwa antara minum kopi, kemacetan atau demonstrasi di luaran. Tiap peristiwa dengan kompleksitasnya sendiri-sendiri, terus bertaut antar satuan ruangwaktu yang beragam. Silang-sengkarut. Tentu yang paling kompleks tetaplah pertemuan dengan mantan pacar. Segala sesuatu indah pada waktunya, tapi menjadi rumit jika bertumpuk pada tempat yang sama.

“masing-masing membangun kesepian di tengah keramaian dan deras hujan, ada payung warna-warni yang kembali mengingatkanku pada sri mulyani, sedang apa kamu sri”. (dalam “rambutku atau matamu yang kesepian”).

“Sepi” selalu menjadi kode bersama antar kita secara intersubjektif, bahwa dalam tiap diri kita juga selalu ada algoritma unik yang sedang dan terus meniti jalan. Melalui algoritma subjektif itu pembalikan terus berlangsung, percaya menjadi tak percaya, cinta menjadi benci, benci menjadi rindu, senang menjadi duka, kecewa menjadi bangga, dan seterusnya. Pada puisi di atas yang memuat nama menteri keuangan terbaik di dunia, silahkan anda perkirakan dan telusuri melalui algoritma masing-masing, sedang menjadi apa mentri itu dalam puisi tersebut, dalam algoritma subjektif penulisnya. Upaya si penulis bisa disebut sebagai suatu perlawanan untuk tak menerima begitu saja segala algoritma kuasa yang menimpanya. Lalu saya masih mencari tepian dinding terdalamnya, bagaimana riak-riak libidonya berlangsung? Apa hubungan menteri itu dengan libido penulis, atau libido kita semua? Mari kita sama-sama menelusur, mencerap puisi-puisi ini dan semoga bisa menambah pemahaman pada keadaan, dan terlebih, pemahaman atas diri sendiri yang kerap menguap dalam percepatan silang-sengkarut jaman.

 

No comments:

Post a Comment