Membaca
“Pos Pamflet”
Surya
Saluang
Selalu menarik untuk
mengulik kemampuan bahasa literer sebagai medium penyimpan ke-subtil-an
realitas dalam formasi subjektif pelakunya sendiri yang mengalami ruangwaktu.
Ketika puisi itu disampaikan kepada khalayak (sebagai publikasi dan lainnya) selanjutnya
kembali membentuk berbagai formasi subjektif yang terus beragam antar tiap
orang dan tempat. Bahasa adalah sistem yang kenyal. Dalam kekenyalan bahasa,
subjektivitas terus berupaya mencari celah untuk membangun keberadaan dirinya.
Praktek berbahasa, menjadi praktek keberadaan yang hulunya ada pada
subjektifitas terdalam. Formasi terdalam itu, kerap hanya bisa terungkap
melalui medium puisi. Tidak hanya bagi penulis puisi, pembaca puisi juga
memerlukan irisan-irisan terdalam dari subjektifitasnya sendiri dalam mencerap
puisi. Seterusnya, berlangsunglah relasi-relasi timbal-balik yang terus semakin
kaya, antara pembaca, penulis dan konteks; pada level kedalaman ini. Level yang
sulit diobjektivasi dengan gamblang.
Setidaknya dalam sepuluh
atau dua puluh tahun belakangan, kita hidup dalam satuan ruang waktu yang
semakin cepat berlipat - berganda secara simultan. Ada begitu banyak satuan
ruangwaktu yang saling berdesakan dalam saat bersamaan, dan semua satuan ini
sama-sama saling berebut bahasa. Ada dunia kerja, dunia pendidikan, dunia
aktivis, dunia hiburan, dunia tempo doeloe, dunia tempat tinggal, dunia
spiritual, dan seterusnya. Berbagai dunia ini adalah ragam dari berbagai satuan
ruangwaktu. Hidup di masa kini, adalah hidup dalam desakan berbagai dunia itu. Semakin
kesini, tiap dunia terus tumbuh semakin kompleks dan menekan. Diri dengan
segala keunikannya seakan tak bisa mengelak sama sekali, sudah tak ada lagi
yang “di luar dunia”, segala apapun adalah suatu dunia. Semua dunia itu selalu
berupaya menjadi yang paling ojektif, satu sama lain saling menuntut ingin
dapat perhatian lebih. Disinilah menariknya puisi dan atau berpuisi, yang
modusnya justru bertumpu pada subjektifitas dan intersubjektifitas. Dalam kata
lain, puisi menjadi salah satu peluang jeda atau cara untuk bisa mengelak dari
berbagai moda objektif demikian.
Dengan kondisi ini saya
jadi tidak yakin kalau ke depan puisi akan mati. Justru, puisi akan semakin
meriah karena memang diperlukan atau menjadi kebutuhan. Bersebab tekanan
objektif keadaan aktual yang semakin menghimpit disana-sini. Ke depan,
medan-medan objektif akan terus menekan. Sehingga orang-orang akan selalu rindu
dan semakin rindu pada subjektifitasnya sendiri. Suatu moda intersubjektif akan
lebih berkembang ketimbang objektif. Dan sesungguhnya kita tak pernah
benar-benar bisa bernafas jika semata hidup di dalam medan objektif, justru
subjektifitas-lah yang memberi pengaruh terbesar terhadap porsi dan ritme nafas
kita dalam hidup konkrit.
Pelipatan ruang waktu tidak
saja semata bersebab dari hal-hal seperti teknologi artifisial, namun teknologi
yang lebih dalam dari itu. Yakni, suatu teknologi kekuasaan yang bekerja di
segenap medan apapun. Modernitas adalah peradaban utama dari teknologi
kekuasaan seperti ini. Teknologi yang bekerja melalui algoritma dan bahasa,
menata-nata dan mereka ulang antara penanda dan petanda; lalu membentuk wacana
dan membimbing (mengarahkan) sikap-sikap kita (putusan-putusan).
Semua bentuk teknologi
modern, mengalihkan kita dari pengguna menjadi yang yang digunakan. Sebuah handphone dengan fitur yang semakin lengkap,
pada awalnya adalah alat, dalam waktu cepat bisa berbalik menjadi “tuan” pre-referensial
bagi penggunanya. Kita menengok hp sebelum tidur, seketika bangun tidur, sesaat
sebelum mandi, sesaat sebelum bekerja, seketika selesai bekerja, dan
seterusnya. Hp kemudian menjadi salah satu kebutuhan paling dasar di masa ini,
untuk dilihat-lihat.
Bahasa dan algoritma adalah
bahan pokok teknologi kekuasaan. Teknologi yang meresapi semua hal di segenap
hidup kita hari ini, masuk ke dalam benda-benda, lajur-lajur jalanan, menyusupi
ceramah-ceramah agama, menyusun selera kita, menentukan cita-cita yang baik
bagi tiap orang, dan seterusnya. Semakin lama dan dalam kita terlibat, semakin
kita asing dengan diri sendiri. Seperti budak atau orang terjajah yang
ditentukan oleh tuannya. Beruntung jika kita tahu siapa tuan kita itu, dan kebanyakan
malah tak menyadari sama sekali sehingga mengendap perasaan sebal yang tebal di
dalam diri. Dalam saat bersamaan dan sekaligus, pemaknaan atas keberadaan diri
sendiri masih menjadi tumpuan pokok dari semua prosesi ruangwaktu ini. Kita
selalu tak bisa lari dari diri sendiri, kecuali hanya sebentar-bentar saja. Puisi
menjadi satu jalan yang memungkinkan untuk kembali memasuki diri secara wajar, menjadi
medium yang memadai. Menulis puisi menjadi seperti upaya menghadirkan diri
kembali lepas dari berbagai tuan. Memaknai ulang segala tekanan yang dialaminya
secara bebas. Semakin ruangwaktu dibebani berbagai medan kuasa yang beragam dan
saling bersaing, semestinya akan semakin banyak tumbuh puisi dan penyair.
Puisi kemudian menjadi
jendela untuk mengintip konstruksi subjek dan ruang kuasa. Ada sekian satuan
ruangwaktu puisi (sastra) yang terbentuk dalam sejarah Indonesia (dan Nusantara)
sejak Amir Hamzah, Raja Ali Haji, era Balai Pustaka, Pujangga Baru, Manipol-Lekra,
dan seterusnya. Menengok masa Orde Baru memperlihatkan sedikit lain. Memang
masa ini tampilan kuasa dan kekuasaan secara tipologis agak lain dari masa-masa
sebelumnya, pun sesudahnya. Masa ini kekuasaan berlangsung begitu rigor, detail
dan kesan sistematis yang kuat. Masa ini, kita mengenal dua representasi
kepenyairan ikonik, yakni antara kepenyairan
a la Sapardi Joko Damono dan kepenyairan a la Wiji Thukul. Keduanya melakukan proses kreatifnya dalam medan
ruangwaktu linier (linieritas kuasa Orde Baru). Sebuah orde yang begitu tertib
atau malah tegang dengan apa yang boleh dan tidak boleh. Sebuah orde yang
memang memaksimalkan segala medium apapun menjadi bahasa yang mewakili kekuasaan.
Sebuah orde yang merawat senyuman panoptic bapak pembangunan yang (justru)
ditakutkan banyak orang masa itu. Senyuman itu, mimik wajah, cara berjalan,
cara mendehem, intonasi suara, sampai warna rumah, susunan pemukiman, sopan
santun, dan seterusnya, menjadi representasi mengenai kuasa dan ketundukan
secara seragam. Penyeragaman segala sesuatu menjadi sangat khas masa ini.
Lalu ada Wiji Thukul,
yang dikenal sebagai pembongkar berbagai selubung bahasa dan kuasa demikian. Di
tengah hampir keseluruhan rakyat bangsa ini takut pada Orde Baru, justru penguasa
Orde Baru-nya sendiri takut pada Wiji Thukul. Atau juga, Orde Baru selalu takut
dengan mereka yang memiliki kepekaan dan kelugasan bahasa. Tak segan-segan
orang-orang seperti ini ditangkap dan dipersalahkan dengan berbagai delik yang
sumir. Ada serombongan besar penyair masa Orde Baru yang menempuh agenda yang
sama dengan Wiji Thukul, dengan timbangan resiko ditangkap atau selamat merayap.
Di sisi lain ada Sapardi Joko Damono, yang saya rasa agenda kepenulisannya
sepenuhnya bermakna diskursif. Jika kita perhatikan, puisi-puisi Sapardi berorientasi
pada keutuhan bentuk logis abstraktif dari yang direnung-renungkan. Berbeda
dari Wiji, bentuk logisnya berujung-pangkal pada kepentingan menyatakan sikap
atas aktualitas harian yang dihadapi, sehingga kadang terkesan reaktif dengan
kekuatan logisnya adalah tatanan kenyataan itu sendiri, atau pengalaman harian.
Puisi Wiji tumbuh menjadi ekspresi yang menakutkan. Berpuisi a la Wiji Tukul lebih bisa disebut sebagai
tindakan ketimbang konsep, sementara Sapardi lebih sebagai konsep.
Kepenyairan Wiji dan
Sapardi dibentuk pada masa yang linier. Lalu, setelah 20 atau 30 tahun masa
keemasan keduanya, dengan begitu cepat kita menghadapi dunia yang dilipat itu,
suatu kerangka ruangwaktu sirkuler. Puisi-puisi Widhi dalam “Pos Pamflet” ini, nampak
sekali jika dihasilkan dari suatu medan ruangwaktu yang tak lagi linier. Pada
banyak puisinya bisa dirasakan hadirnya berbagai medan satuan ruangwaktu yang
beragam secara sekaligus. Dalam keberagaman itu, relasi sebab-akibat non-linier
berlangsung antar satuan ruangwaktu yang berbeda. Suatu sebab bagi akibat
seperti duduk minum kopi di café, bisa jadi bukan sesuatu yang linier dengan
itu, misalnya saja menghindari kemacetan. Semestinya, akan lebih linier jika
kita minum kopi di café bersebab sedang ada obrolan bersama pacar. Putaran
sirkularitas seperti ini terus berlangsung, mengacaukan relasi konvensional
sebab-akibat dalam berbagai segi hidup harian kita saat ini.
Entah bagaimana menurunkan
resonansi yang saya cerap, saya lebih melihat puisi-puisi Widhi adalah suatu
usaha bahasa untuk lepas dari perangkap interseksi antar ruangwaktu yang sudah
saling menumpuk dalam saat bersamaan. Berbagai satuan ruangwaktu itu membawa
atau mengandung satuan bahasanya sendiri-sendiri, tentu dengan sepaket maknanya
sendiri-sendiri pula. Widhi mengalami secara sekaligus, cerapan makna yang
beragam dan bisajadi, satu sama lain saling bertolak-belakang; yang dialami
bersamaan dan sekaligus. Dan nampaknya pada titik tertentu ada proses pemaknaan
yang berlangsung begitu saja, seperti sesuatu yang merembes. Sampai akhirnya
semua sama-sama omong-kosong kembali.
Aktualitas media sosial
mengemuka pada “Pos Pamflet” dalam berbagai kesempatan. Medsos, suatu medium
yang begitu cepat menyerap semua konsentrasi kehidupan ke dalamnya pada sepuluh
tahun belakangan. Kedatangan corona19 memfinalisasi ruangwaktu digital sebagai
interseksi semua skala ruangwaktu aktual. Apa yang aktual adalah apa yang
sedang diributkan di medsos, tidak penting ada atau tidaknya. Yang penting
adalah keributannya, karena yang diperebutkan adalah moda pemaknaan dan bukan
objek korporealnya sendiri. Atau medium digital memperbesar interes kita untuk
terus mengada di dunia. Hingga ada kemuakan pada kompetisi makna dalam
sirkularitas ruangwaktu digital itu, karena yang berlangsung justru sebaliknya.
Ketimbang bisa mengada, diri justru semakin hilang di dalamnya. Semakin melelahkan,
menyebalkan, memuakkan.
Sudah sejak awal dunia
digital ini menyadarkan kita besarnya kekuatan dan pengaruh dari kecepatan
ataupun percepatan. Pada awal kehadirannya, MTV memberi kejutan tentang cara
visual gambar ditampilkan, berupa slide-slide cepat dan sepintas, hanya
beberapa detik sudah berganti gambar baru lainnya, dan begitu seterusnya. Pemirsa
MTV belajar mencerap kilasan-kilasan yang cepat. Hanya kesan visual yang
sesaat. Tak tersimpan utuh dalam ingatan, tapi mengapa begitu “menyenangkan”
(?). Cara penampilan gambar seperti ini, juga berlangsung dalam iklan visual
yang memang berbiaya mahal untuk bisa tampil lebih lama. Dalam iklan semakin
terasa, betapa begitu banyak pesan ingin disampaikan secara cepat dan sependek
mungkin. Semua ini berlangsung kira-kira semenjak era 1980-an.
Iklan dan MTV,
mengandalkan suara dan nada-nada untuk membentuk ritme dan dengan nada-nada itu
pula, semua visualitas yang serba sesaat itu lalu menjadi “masuk akal” melalui
intuisi ritmis kita. Intuisi yang beragam dan subjektif kemudian semakin
terhubung dalam algoritma teknologi yang seragam. Jika tak berhati-hati,
intuisi itu bisa tumpul atau mengeras dan memunculkan pola refleks di luar
kendali diri sendiri (seperti tingkah polah tiktokan dalam berbagai kesempatan
komunikasi saat ini). Refleks tiktokan atau suatu latah yang merupakan penyakit
dalam kacamata psikologi modern. Inilah masa dimana kegiatan berbahasa semakin
rentan menimbulkan penyakit massal.
Sejurus itu, kecepatan a la MTV bukan semata penglihatan lagi,
tapi sudah menjadi pengalaman harian di dunia yang sirkuler ini. Kita bukan
lagi sekedar melihat sekilas-sekilas, tapi mengalami keragaman serba sekilas. Belum
utuh dalam satu konteks, lalu beralih ke konteks lainnya seketika, atau
tercampur sedemikian rupa. Tak ada lagi batasan yang tegas, pun keutuhan kehadiran.
Berlepas-tangkap setiap saat. Serba pengalaman beragam yang pendek-pendek, berlintasan
silang-menyilangi dalam satu konteks waktu dan tempat. Bahasa yang terus membesar
menggelembung, seturut itu mengandaikan kekosongan di dalam gelembung itu.
“aku
tak tahu cara menghabiskan kata, selalu saja ada impian yang jatuh, masa lalu
yang kambuh, dan orang-orang yang jogging di jalan seperti mengajukan
pertanyaan tentang kesehatan, apa jadinya kata-kata tanpa dunia.” (dalam “Menyemangati
orang-orang”)
Orang-orang terus
memproduksi bahasa atau kata-kata sembari selalu kehilangan dunia. Kata-kata
yang terus tumbuh melebihi dunianya sendiri. Apalagi yang bisa seperti itu
kecuali hasrat atau libido. Hanya libido satu-satunya bentuk kekuatan yang bisa
membesar melebihi besaran alat vitalnya sendiri.
“Pos Pamflet” saya rasa muncul
di tengah semua kompleksitas demikian. Konteks ruangwaktu sirkuler, dimana dinding
skalanya tersusun dari kuasa sebagai batas terluar dan libido sebagai batas terdalam.
Walau satuan ruangwaktu itu beragam, tapi mekanisme algoritmiknya sungguh
menyebalkan. Betapa tidak, kita seperti ditekan untuk terus-menerus “sange”
dalam berbagai keadaan, atas segala apapun, dengan ritme yang terus dipercepat.
Sange kepada sesuatu yang kadang dan
seringkali justru tak menggairahkan. Inilah masa dimana bahasa (otoritas wacana)
menjadi begitu memuakkan. Masa yang disebut sebagai era “post-truth”, atau berakhirnya
bahasa sebagai sistem otoritatif. Bukan
karena suatu eviden, tapi sepenuhnya soal suka-suka saja, agar lepas dari
“sange” tak jelas yang berketerusan. Penolakan atas kebenaran keberadaan
covid19, lebih bisa terpahami sebagai ekspresi kemuakan atas bahasa sebagai
medan otoritatif ini. Wajar jika Amerika justru menjadi negara dengan penolakan
tertinggi atas kebenaran adanya covid19. Persoalannya bukan pada soal eviden, rasionalitas
atau adanya magi-magi yang mempengaruhi, tapi saya rasa sekedar muak dengan bahasa
(otoritas) yang terus menekan.
Tekanan yang kita alami
hari ini begitu beragam, menumpuk dan terus-menerus. Saat kita asik minum kopi
di sebuah kafe di pusat Jakarta dengan seorang mantan pacar dan di luaran sedang
terjadi kemacetan parah akibat sekelompok orang memboikot jalan menuntut
keadilan, diri kita mengabur entah ada dimana. Puisi bisa seperti “rembesan” dari
algoritma diri sendiri yang jengah menelusur silang-sengkarut rerantai
peristiwa antara minum kopi, kemacetan atau demonstrasi di luaran. Tiap
peristiwa dengan kompleksitasnya sendiri-sendiri, terus bertaut antar satuan
ruangwaktu yang beragam. Silang-sengkarut. Tentu yang paling kompleks tetaplah
pertemuan dengan mantan pacar. Segala sesuatu indah pada waktunya, tapi menjadi
rumit jika bertumpuk pada tempat yang sama.
“masing-masing membangun kesepian
di tengah keramaian dan deras hujan, ada payung warna-warni yang kembali
mengingatkanku pada sri mulyani, sedang apa kamu sri”. (dalam “rambutku atau
matamu yang kesepian”).
“Sepi” selalu menjadi kode
bersama antar kita secara intersubjektif, bahwa dalam tiap diri kita juga
selalu ada algoritma unik yang sedang dan terus meniti jalan. Melalui algoritma
subjektif itu pembalikan terus berlangsung, percaya menjadi tak percaya, cinta
menjadi benci, benci menjadi rindu, senang menjadi duka, kecewa menjadi bangga,
dan seterusnya. Pada puisi di atas yang memuat nama menteri keuangan terbaik di
dunia, silahkan anda perkirakan dan telusuri melalui algoritma masing-masing,
sedang menjadi apa mentri itu dalam puisi tersebut, dalam algoritma subjektif
penulisnya. Upaya si penulis bisa disebut sebagai suatu perlawanan untuk tak
menerima begitu saja segala algoritma kuasa yang menimpanya. Lalu saya masih
mencari tepian dinding terdalamnya, bagaimana riak-riak libidonya berlangsung? Apa
hubungan menteri itu dengan libido penulis, atau libido kita semua? Mari kita
sama-sama menelusur, mencerap puisi-puisi ini dan semoga bisa menambah
pemahaman pada keadaan, dan terlebih, pemahaman atas diri sendiri yang kerap
menguap dalam percepatan silang-sengkarut jaman.
No comments:
Post a Comment