Friday, 23 July 2021

 


Di Esturia Sampai Siang

Yang Kecil

(Sebuah Catatan Sepilihan Sajak ‘Cinta Di Usia Paruh Baya’ karya Widhyanto Muttaqien)

a elwiq pr

 

Bilakah kita membayangkan, pada hari ini berapa gelintir orang membaca sajak? Se-RT, satu RW, ada lima atau enam orang di gang rumah kita? Sambil terus mengkhayalkan buku-buku sajak ada di rak buku setiap rumah tinggal. Tak terlalu muluk bila saya bicara tentang rak buku sebab kita sudah lama sekali merdeka.  

Pertanyaan berikutnya adalah untuk apa membaca sajak? Manakala manusia sekadar butuh keperluan dasar. Atau memang masih terlalu pagi dan begitu berlebihan membicarakan puisi di antara kenyataan yang begini kalang-kabut. Masih banyak persoalan butuh perhatian ketimbang selarik sajak. Kebenaran dan kekeliruan masih barang mahal dan rumpil untuk diungkap sebagai menegakkan keadilan, keharmonisan, apalagi mencapai keindahan setara sajak.

Dua hari lalu saya mengunjungi Yu Sri, tiap pagi ia menyeret sepedanya yang digantungi sayuran, krupuk, dan ikan pindang tak seberapa lewat depan rumah. Perabotan rumahnya sederhana, kursi yang ditata berhimpitan, toples plastik Lebaran, dan di tembok depan rumah dipilok hitam: keluarga di bawah garis kemiskinan. Berani-beraninya saya bicara tentang rak buku di rumah-rumah kaum kita, apalagi bicara Sajak. Apakah Yu Sri memerlukan sajak?

Apakah sajak ketika di benak terbayang-bayang deretan huruf pilokan hitam di atas tembok warna kunyit kusam. Yu Sri,  suaminya, dan saya duduk hadap-hadapan. Kontradiksi di hati kami masing-masing tak bisa dihindari. Toples plastik mereka masih penuh kue dan cemilan. Tak ada tamu datang. Demi apa petugas desa memberikan cap demikian di rumah yang mereka bangun dari keringat mereka sendiri. Saat semacam itu saya merasa sia-sia dengan apa yang saya lakukan, saya upayakan, saya kerjakan hari ini. Hari yang suatu saat akan disebut sebagai pada suatu hari.

Menelaah sajak karya Widhyanto Muttaqien dari tempat saya duduk tak jauh dari rumah Yu Sri. Sedangkan rumah Yu Sri dekat sekali dengan masjid Tiban. Masjid yang sekali klik di jagat sibernetika niscaya berhamburan unggahan tentangnya. Rumah Yu Sri sekampung dengan bangunan yang tersohor indahnya. Adapun keindahan identik dengan segala yang tampil puitis bukan?

Hal itu pernah diamati seorang wartawan dari Jerman, menurutnya saya hidup di antara dua hingga lebih dari tiga kutub saling bertentangan, serba tiba-tiba, dan tanpa hitung-hitungan. Bahkan di dekat-dekat saya sebuah candi abad ke-10 dipandangi si wartawan saat ia berdiri di undakan tertinggi candi. Ia bilang candi telah dikepung sembilan masjid dengan corong pengeras suara berlomba-lomba paling jauh daya jangkau panggilan salatnya. Soal suara muazin merdu atau tidak, soal ke seribu.

Di antara kekalutan doa-doa dikumandangkan siang dan malam tanpa tenggang apalagi belarasa pada pemeluk keyakinan lain, saat itulah Widhy meminta saya menulis kesan atas kumpulan sajaknya. Untuk kado ulangtahunnya ke-49, jelasnya. Sejauh itu ia telah hidup dan memerlukan sedemikian rupa hal baik atas karyanya sebagai tandamata. Melarungnya di lautan sastra.

Saya membayangkan ketika Anda membaca catatan ini dengan harapan mengantar Anda membaca bersusun-susun sajak kawan saya ini, penaka saya mengantar Anda memasuki ruangan demi ruangan museum yang penuh karya indah namun kesepian. Bukankah hal itu yang kita perlukan untuk sedikit berjarak dari kekalutan hari-hari dalam bentuk barunya kini? Sepi, butuh dikondisikan. Serba berjarak yang diupayakan satu tahun lebih belakangan toh tak mengurangi makna guliran yang serba instan sekarang. Perjumpaan lewat aplikasi zoom bersliweran demi seminar, studi, pameran hingga arisan ibu-ibu. Keramaian pun tak bisa kita hindari hingga ke panel-panel ruang pribadi. Melampaui jam kerja terbungkus ruang perjumpaan.

Meminimalisir perjalanan hingga berdatangan berita tentang kematian yang tiba-tiba. Saya berpikir, seberapa kadar kesia-siaan yang saya rasa ini sebagai wujud hal yang melanda jiwa manusiawi memasuki usia paruh baya. Apa iya sebegitu tak berpengharapannya kami? Kesempatan kembali memintal sambung rasa di usia likuran bagaikan menegakkan benang basah. Fakta masa lalu, saya menulis tentang toko buku ‘Kedai Buku Sinau’ yang dikelola Widhy, penulis kumpulan sajak berjudul “Cinta di Usia Paruh Baya” ini, semasa ia tinggal di Malang era 2000-an. Sejauh ingatan saya tumbuh, beberapa kawan lingkaran Widhy begitu menggelora semangatnya pasca reformasi untuk membuka usaha bahu-membahu mengelola toko buku yang berisi buku-buku terbitan indi (baca: mandiri). Itu semua adalah kegenitan yang manis.

Beberapa waktu berselang Widhy satu-satunya yang bertahan, yang lain kembali ke kota asal. Meski pada akhirnya belakangan Widhy berkemas juga dari Malang atas nasib yang membawanya ke kehidupannya sekarang. Kala itu orbit kami berlintasan di rumah Diponegoro 3 Malang, kediaman pengarang Indonesia andal di zamannya, Ratna Indraswari Ibrahim. Kami tidak benar-benar saling mengenal tapi acapkali bertatap muka dengan latar belakang neka-neka.

Situasi awal 2000-an itu hidup kami dalam isu melulu: ada apa pasca reformasi, membentuk diri, memahami peta situasi, menghidupi mimpi-mimpi, dan tentu saja sebagaimana yang ditulis Yudisthira Massardi, generasi ‘Arjuna Mencari Cinta' memainkan peranannya yang sejati. Memang agak runyam kalau menyebut kami ini kawan bermain, jalan-jalan ke pasar besar Malang mencari kain warna merah, agar sofa kedai buku yang buluk nyaman digunakan duduk. Saat itu saya dibuat cengar-cengir dengan ungkapan: jangan mengaku manusia revolusioner ketika tempat tinggalmu tak punya sofa merah, seru penyair perempuan negro asal Amerika.

Apakah situasi kota Malang yang semacam itu turut mengasah rasa sastra Widhy Muttaqien? Proses kreatif puisi-puisi Widhyanto Muttaqien bisa jadi serupa Sapardi Djoko Damono ketika menciptakan puisi berjudul Jalan Jakarta yang mengacu pada sebuah jalan sepi sekitar Universitas Negeri Malang yang dulunya IKIP Malang. Sedangkan Widhy cukup lama menempati ruang sederhana beserta buku-bukunya di jalan Bogor Atas Malang, tak jauh dari jalan Jakarta.

Sekian lama tanpa kabar dan tak berhenti di simpang balapan Malang. Agaknya sesambungan kami justru melintasi ruang-waktu yang panjang. Tak sedikit makan umur hingga kami mencapai usia paruh baya. Terlintas juga kata pulang di benak saya ketika Radhar Panca Dahana kawan Widhy berpulang. Dengan keniscayaan yang begitu rapi. Percakapan-percakapan kecil, agenda yang tak kunjung terjadi, dan terjadilah yang sebaiknya terjadi sebelum memasuki usia kepala lima.

Bila pada suatu kurun ia sudah melahirkan dua buku berjudul ‘Percakapan Dengan David Tobing’ dan ‘Bung!’ adalah dua hal penting yang tampaknya saya lewatkan. Semacam merenggang dan tak mengenal lagi Widhy pada suatu kurun. Adapun bukunya terhulu masih tersimpan di rak buku saya, berjudul ‘Tiga Cerita’ cetakan November 2006, ia menyebut dirinya WM Ahmad, terbitan Kedai Buku Sinau, Jl Bekasi Timur 1 no 32A Jakarta, ketika ia mulai hilir-mudik Malang – Jakarta.

Dalam pengantar kumpulan sajak tersebut Widhy menulis:

“Aku ingin jadi penutur. Mengurai gambar menjadi kata. Menjelaskan mimpi-mimpi yang pernah aku dan kau punya.”

 

Adapun terkait buku kumpulan sajak yang Anda pegang ini, ia kembali menyebut namanya Widhyanto Muttaqien, saya pun kembali menjumpai Widhy yang berdiri di balik gerai buku-buku di kedai buku Sinau. Ia menunduk nyaris membungkuk dan wajahnya tertutup rambutnya yang ia biarkan berombak tebal dan panjang. Sekumpulan sajak serupa merayakan kematangan. Tampak lebih nyata raut maksud ‘cinta di usia paruh baya’ tanpa huruf kapital. Sedangkan apa urusan saya dengan sajak-sajaknya ketika saya selalu merasa tak mampu bikin sajak. Tantangan pun semacam sengaja diciptakan untuk mencari jalan maknanya sendiri.

 

Di Esturia

Masuk ke bagian satu, Widhy mengisi Esturia-nya dengan duapuluh tujuh sajak. Esturia, sebuah kuala yang menyimpan cerita lama dan baru, jauh dan dekat, kini juga nanti. Menyatu berkecamuk dalam diri sang penutur. ‘Saat pasang’ yang ia tuturkan sebagai sajak buka, semacam menjaga gairah seorang pelaut kata-kata. Dengan tanda baca hubung bertebaran. Di mata saya menjelma teka-teki minta ditebak, di sisi lain sang sajak menelanjangi dirinya sendiri.

angin laut menggaruk

saat gelap bulat telanjang

Susul-menyusul, sambung-menyambung, dan memaku ingin untuk mencari kelanjutannya. Adapun sajak kedua menghadirkan huruf kapital di beberapa kata dan hal itu menjadi bagian dari keseluruhan maksud atas, ‘disebabkan pantai’.

Sebab angin, memainkan musik di ranting

Sebab waktu tak selalu maju

 

Widhy masih Widhy yang pernah saya jumpai di tikungan umur likuran. Ia pengendali kata-kata yang baik jalannya. Tutur Widhy memuarakan suara, rasa asin dan tawar, pada sajak ‘di esturia’. Sajak ini menyaring ingatan saya pada buku Alkemis, ketika Paulo Coelho baru dikenal di kalangan terbatas di Indonesia. Buku-buku Coelho belum dicetak oleh penerbit arus besar tatkala Widhy mengangsurkan buku tersebut pada saya agar saya baca. Ia bukan sekedar saudagar buku. Ia mengantar pelanggan kedainya mengerti buku baik sekaligus cocok bagi masing-masing kami. Sampai benar-benar mengenal buku yang sesuai dan membantu kami mencari arah menemukan diri sebagai seorang pembaca. Tentu saja tak serta-merta dan butuh waktu. Proses panjang itu menjadi nafas, menjadi dekat sedekat nadi.

“Ini buku bagus,” anjurnya.

Sewindu yang lain, saya menenteng dari kedainya di jalan Wilis Malang, dengan lampion di teras warna putih dan hitam. Warna merah mulai sirna di studio kerjanya. Saya menyomot buku babon tentang sejarah lahirnya Partai Komunis Indonesia. Memenuhkan rasa keingintahuan sebab saya lahir berjauh-jauhan dengan yang dimaksudkan: mengapa dan bagaimana kabar politik RI pada 1965. Mati suri atau sudah datang gelombang baru untuk bernyala dalam ketel sejarah. Zaman berubah, ini membawa saya pada apa yang saya sebut sebagai mengantar ke seberang saat saya susuri sajak-sajak Widhy. Mengajuk cuaca, sebut Widhy. Jika bisa, kita beri nama bintang-bintang di belahan utara dan bintang-bintang di belahan selatan, di suatu hari ketika libur, serunya menjadi judul sajak kelima.

Tak hanya sampai di sini. Perjumpaan kami adalah mimpi. Pergi tak pamit, datang lagi tanpa basa-basi kecuali bermaksud.

aku berpikir bukan tentang akhir

tapi, untuk apa ada di sini

semetara bumi bulat

rasi mengajak kita menjelajahi angkasa

perasaan kita terarah tak ke mana-mana

 

Pada sajak kedelapan di bagian Esturia ini, saya membayangkan bagaimana bila tak mengenal Widhy lebih dahulu, apakah memahami apa yang ia katakan dalam sajak-sajaknya? Ketika kata dirangkai tanpa penjelasan berbait-bait setara prosa. Sedangkan disebut sajak pun ia menjelma barisan kata liris nyaris bercerita. Adalah di puisi ketigabelas saya berhenti lama. Sebuah sajak yang gamblang tapi tidak benar-benar nyata disuarakan. Serupa bisikan. Sayup-sayup.

 

Judul sajak tersebut ‘Permanent Traveler’. Sedikit saya kutipkan untuk Anda.

 

Sejak Adam sebagai pendatang, ia pun menyiapkan semua barang bawaan. Koper dan ransel, keramah-tamahan, sisa ego untuk dipertemukan kepada kenalan. Flora dan Fauna [...]

 

Lalu sejumput puisi itu diakhiri dengan tiga kata kunci: Hawa, Tuhan, Pulang. Ini bukan lagi tentang kenaifan lelaki paruh baya. Saya mau katakan apalagi tentang perjalanan yang telah sampai di Esturia? Sebuah Kuala sebagai akhirkah? Ternyata juga tidak, sebagai manusia dalam wujudnya yang paling pendiam dan tak ke mana-mana, senyatanya adalah permanent traveler di dalam tempurung kepalanya.

 

Pada Asylum, di suatu suaka, yang mungkin kemudian tersebut sebagai dunia, tentang Adam dinubuatkan.

 

Setelah mencari kata pertama Adam memilih menjadi jendela Mengajak daun berbicara Lebih tua dari mimpinya Hasrat tumbuh lebih merah dari mata Lebih hijau dari kemarin [...]

 

Sajak dengan atau tanpa rima berhamburan keluar dari rambut keriting Widhy, demikian dalam khayal nyataku. Manusia yang sarat keterbatasan, bila telah akrab dengan kata-kata senyatanya menjadi mahluk tak kenal batas. Kebebasannya merangkaikan apa yang berhamburan itu dengan tak banyak cingcong. Semua mendapat tempat. Semua memiliki kesempatan andai sempat.

 

 

Pada Kesempatan Lain

Sampai di sini, belum menyerah untuk menikmati sajak ya? Bagian kedua, dijuduli ‘pada kesempatan lain’ dengan masih tanpa huruf kapital. Terdiri dari 22 sajak. Dibuka dengan sajak yang kemudian menjadi judul besar buku: cinta di usia paruh baya.

Saya punya sungkan juga untuk menyatakan begini-begitunya. Apakah ini artinya jelek? Lha apa cuma ada dua opsi ketika kita diberi kebebasan untuk menyusuri pantai hingga bertemu esturia untuk kemudian berjalan mengikuti alur sungai ke arah hilir. Bagus atau jelek pada karya puisi adalah ukuran wacana kita belaka, seberapa banyak puisi yang sudah kita nikmati, seberapa beragam yang kita kenali.

Dua halaman sebagai sebuah pernyataan ihwal cinta di usia paruh baya membawa  saya pada lintasan pikiran; puisi tak lagi indah bila ia sudah diniatkan sebagai propaganda.

Apakah puisi Widhy tak luput dari maksud mempropagandakan ideologinya? Bawah sadar penyair, tentu ada mau dan maksud. Bagaimana ia terbebas dari kata-kata propaganda, karena puisi pada dasarnya adalah perasan kata yang bisa jadi serba terlalu, penuh muatan kritik kritis, dan berjubel keinginan untuk dipahami. Jadi?

tulisan di tangan

kita lawan, prerogratif tuhan.

 

Serunya. Propaganda bagaimana? Lha menyebut 30 Oktober segala pada puisi ke-enam pada bagian ini, bisa jadi ditulis dengan maksud. Dan kita akan pusing tujuh keliling kalau sekedar mencari tahu pihak mana dan berdiri di mana penyair kita ini.  Apakah Yu Sri mengerti kaitan tanggal dan bulan pada judul puisi Widhy?

lidah tajam

mengiris ikan

menyiapkan sarapan

berburu, menghidangkan makan siang

ucapan cinta tanpa suara

membunuh waktu

 

Sampai di sini masih mempertanyakan apa pentingnya puisi bagi kehidupan sehar-hari Yu Sri? Widhy tak menjelas-jelaskan tapi cukup kita rasa dan bahkan tak perlu dipikirkan. Kita arungi saja. Seperti pada puisi ‘di antara nota dan catatan’.

di bangku itu, tak ada kebetulan, ketika kau

mengembangkan senyum, dan aku merasakan

jantung, mencuri ujung anjung, melamun andaikata

tak ada kalimat terucap, tubuhku seperti bangku itu,

pasrah menerima pantat bulat, seperti tekad. Terus

berbunga melahirkan beragam cita-cita. kau tahu,[…]

 

Lima larik selanjutnya menjadikan puisi yang ini menawarkan kejutan. Tak perlu takut pada hal muluk. Ia menjadi biasa ketika dikatakan dengan tutur apa adanya. Begitulah puisi lahir.

 

Siang Yang Kecil

Ya, bagian ini benar-benar membawa kita ke hilir. Pulang. Sebagaimana Yu Sri mengatakan padaku, bahwa ia pernah membantu mengurusi rumah buku. Saya semacam manusia amnesia yang tak sedikit pun menemukannya di alam ingatan.

“Mosok, Yu Sri?” ujarku, semena-mena.

Yu Sri dengan riang membangun jembatan ingatan. Sebagaimana saya mencoba membangun jembatan agar pembaca tersambung dengan sajak-sajak dalam buku ini.

Mungkin bisa, mungkin tidak seperti saya yang tak kunjung ingat, ia katakan dengan tanpa kecewa bahwa tak apa-apa tak ingat.

“Ayo nang omahku,” balasnya. Mari ke rumah saya sebagai daya, kehidupan kita teruskan saja.

Seperti yang disampaikan Widhy pada ‘kisah sebuah rumah’

[…] dia

yang selalu memasang jaring kerinduan dalam setiap

musim tanam, memuja masa depan, seperti upacara

menabur benih dalam kerahiman, sebuah rumah

sesungguhnya berisi –hanya perempuan –, penganyam

mata jala, menciptakan berbagai umpan masa depan,

segaram rahasia niscaya abadi bersamanya

 

Nukilan puisi di atas membuka bagian ketiga, menyusul sembilanbelas puisi sebagai sajak yang menyerupai cerita: dalam sakit, siang yang kecil, Blues Gang Senggol, Taab, Easy, Tanpa jaringan, Memahami tradisi, Cinta di makanan sisa, Keluarga, Penglaris, Momen, Lebaran di rumah ibu, tentang sajak keluarga karbondioksida, tentang sajak riang dalam kunci G, sajak tentang jiwa, homo ludens, Vox, pertalian dan diakhiri dengan masih ada suara.

 

Lalu sudah? Tak sudah dikunyah-kunyah. Puisi-puisi dalam sekali rangkul, menemani tiap-tiap kita menarik nafas dalam dan kita lepaskan pelan-pelan. Deretan kata berpengharapan dan tentu saja mengandung makna meskipun tampak tak berpola. Dan sejatinya pola itu sudah tersusun alami sedang manusia suka ruwet sendiri. Tak mengapa juga, tidak semua-semua mesti kita ketahui juntrung hilir ke hulunya hingga terjadi siklus, dipertemukan dengan esturia kembali.

 

di jalan yang kelewat ramai. Kadang pagi seperti ini

kami menjadi kalimat, memandang pada apapun

yang sisa, segera menyelesaikannya

 

Dari ‘cinta di makanan sisa’, manusia sajalah kita. Saat ini dan semakin memanusia ketika puisi kita dekati. Berdekat-dekatan dengan puisi. Bersama Yu Sri pagi tadi kubacakan selarik puisi di atas, ia pun menyampaikan seulas senyuman. Hal yang baru saya sadari, nyaris tak pernah ia tunjukkan di kesehariannya: tersenyum.

 

Untuk Anda

selamat menuang puisi

panas-panas ke dalam pisin

sebelum disruput,

sembari membaca

secangkir kopi

 

Malang Selatan, akhir Mei 2021

No comments:

Post a Comment