Di
Esturia Sampai Siang
Yang
Kecil
(Sebuah Catatan Sepilihan Sajak ‘Cinta Di Usia Paruh Baya’ karya
Widhyanto Muttaqien)
a elwiq pr
Bilakah kita membayangkan, pada hari ini berapa gelintir orang membaca
sajak? Se-RT, satu RW, ada lima atau enam orang di gang rumah kita? Sambil
terus mengkhayalkan buku-buku sajak ada di rak buku setiap rumah tinggal. Tak
terlalu muluk bila saya bicara tentang rak buku sebab kita sudah lama sekali
merdeka.
Pertanyaan berikutnya adalah untuk apa membaca sajak? Manakala
manusia sekadar butuh keperluan dasar. Atau memang masih terlalu pagi dan
begitu berlebihan membicarakan puisi di antara kenyataan yang begini
kalang-kabut. Masih banyak persoalan butuh perhatian ketimbang selarik sajak.
Kebenaran dan kekeliruan masih barang mahal dan rumpil untuk diungkap sebagai menegakkan
keadilan, keharmonisan, apalagi mencapai keindahan setara sajak.
Dua hari lalu saya mengunjungi Yu Sri, tiap pagi ia menyeret
sepedanya yang digantungi sayuran, krupuk, dan ikan pindang tak seberapa lewat
depan rumah. Perabotan rumahnya sederhana, kursi yang ditata berhimpitan,
toples plastik Lebaran, dan di tembok depan rumah dipilok hitam: keluarga di
bawah garis kemiskinan. Berani-beraninya saya bicara tentang rak buku di
rumah-rumah kaum kita, apalagi bicara Sajak. Apakah Yu Sri memerlukan sajak?
Apakah sajak ketika di benak terbayang-bayang deretan huruf
pilokan hitam di atas tembok warna kunyit kusam. Yu Sri, suaminya, dan
saya duduk hadap-hadapan. Kontradiksi di hati kami masing-masing tak bisa
dihindari. Toples plastik mereka masih penuh kue dan cemilan. Tak ada tamu
datang. Demi apa petugas desa memberikan cap demikian di rumah yang mereka
bangun dari keringat mereka sendiri. Saat semacam itu saya merasa sia-sia
dengan apa yang saya lakukan, saya upayakan, saya kerjakan hari ini. Hari yang
suatu saat akan disebut sebagai pada suatu hari.
Menelaah sajak karya Widhyanto Muttaqien dari tempat saya duduk
tak jauh dari rumah Yu Sri. Sedangkan rumah Yu Sri dekat sekali dengan masjid
Tiban. Masjid yang sekali klik di jagat sibernetika niscaya berhamburan
unggahan tentangnya. Rumah Yu Sri sekampung dengan bangunan yang tersohor indahnya.
Adapun keindahan identik dengan segala yang tampil puitis bukan?
Hal itu pernah diamati seorang wartawan dari Jerman, menurutnya
saya hidup di antara dua hingga lebih dari tiga kutub saling bertentangan,
serba tiba-tiba, dan tanpa hitung-hitungan. Bahkan di dekat-dekat saya sebuah
candi abad ke-10 dipandangi si wartawan saat ia berdiri di undakan tertinggi candi.
Ia bilang candi telah dikepung sembilan masjid dengan corong pengeras suara
berlomba-lomba paling jauh daya jangkau panggilan salatnya. Soal suara muazin
merdu atau tidak, soal ke seribu.
Di antara kekalutan doa-doa dikumandangkan siang dan malam tanpa
tenggang apalagi belarasa pada pemeluk keyakinan lain, saat itulah Widhy
meminta saya menulis kesan atas kumpulan sajaknya. Untuk kado ulangtahunnya
ke-49, jelasnya. Sejauh itu ia telah hidup dan memerlukan sedemikian rupa hal
baik atas karyanya sebagai tandamata. Melarungnya di lautan sastra.
Saya membayangkan ketika Anda membaca catatan ini dengan harapan
mengantar Anda membaca bersusun-susun sajak kawan saya ini, penaka saya
mengantar Anda memasuki ruangan demi ruangan museum yang penuh karya indah namun
kesepian. Bukankah hal itu yang kita perlukan untuk sedikit berjarak dari kekalutan
hari-hari dalam bentuk barunya kini? Sepi, butuh dikondisikan. Serba berjarak
yang diupayakan satu tahun lebih belakangan toh tak mengurangi makna guliran
yang serba instan sekarang. Perjumpaan lewat aplikasi zoom bersliweran demi
seminar, studi, pameran hingga arisan ibu-ibu. Keramaian pun tak bisa kita
hindari hingga ke panel-panel ruang pribadi. Melampaui jam kerja terbungkus ruang
perjumpaan.
Meminimalisir perjalanan hingga berdatangan berita tentang
kematian yang tiba-tiba. Saya berpikir, seberapa kadar kesia-siaan yang saya
rasa ini sebagai wujud hal yang melanda jiwa manusiawi memasuki usia paruh
baya. Apa iya sebegitu tak berpengharapannya kami? Kesempatan kembali memintal
sambung rasa di usia likuran bagaikan menegakkan benang basah. Fakta masa lalu,
saya menulis tentang toko buku ‘Kedai Buku Sinau’ yang dikelola Widhy, penulis
kumpulan sajak berjudul “Cinta di Usia Paruh Baya” ini, semasa ia tinggal di
Malang era 2000-an. Sejauh ingatan saya tumbuh, beberapa kawan lingkaran Widhy begitu
menggelora semangatnya pasca reformasi untuk membuka usaha bahu-membahu mengelola
toko buku yang berisi buku-buku terbitan indi (baca: mandiri). Itu semua adalah
kegenitan yang manis.
Beberapa waktu berselang Widhy satu-satunya yang bertahan, yang
lain kembali ke kota asal. Meski pada akhirnya belakangan Widhy berkemas juga
dari Malang atas nasib yang membawanya ke kehidupannya sekarang. Kala itu orbit
kami berlintasan di rumah Diponegoro 3 Malang, kediaman pengarang Indonesia
andal di zamannya, Ratna Indraswari Ibrahim. Kami tidak benar-benar saling
mengenal tapi acapkali bertatap muka dengan latar belakang neka-neka.
Situasi awal 2000-an itu hidup kami dalam isu melulu: ada apa
pasca reformasi, membentuk diri, memahami peta situasi, menghidupi mimpi-mimpi,
dan tentu saja sebagaimana yang ditulis Yudisthira Massardi, generasi ‘Arjuna
Mencari Cinta' memainkan peranannya yang sejati. Memang agak runyam kalau
menyebut kami ini kawan bermain, jalan-jalan ke pasar besar Malang mencari kain
warna merah, agar sofa kedai buku yang buluk nyaman digunakan duduk. Saat itu
saya dibuat cengar-cengir dengan ungkapan: jangan mengaku manusia revolusioner
ketika tempat tinggalmu tak punya sofa merah, seru penyair perempuan negro asal
Amerika.
Apakah situasi kota Malang yang semacam itu turut mengasah rasa
sastra Widhy Muttaqien? Proses kreatif puisi-puisi Widhyanto Muttaqien bisa
jadi serupa Sapardi Djoko Damono ketika menciptakan puisi berjudul Jalan
Jakarta yang mengacu pada sebuah jalan sepi sekitar Universitas Negeri Malang
yang dulunya IKIP Malang. Sedangkan Widhy cukup lama menempati ruang sederhana
beserta buku-bukunya di jalan Bogor Atas Malang, tak jauh dari jalan Jakarta.
Sekian lama tanpa kabar dan tak berhenti di simpang balapan
Malang. Agaknya sesambungan kami justru melintasi ruang-waktu yang panjang. Tak
sedikit makan umur hingga kami mencapai usia paruh baya. Terlintas juga kata
pulang di benak saya ketika Radhar Panca Dahana kawan Widhy berpulang. Dengan
keniscayaan yang begitu rapi. Percakapan-percakapan kecil, agenda yang tak
kunjung terjadi, dan terjadilah yang sebaiknya terjadi sebelum memasuki usia
kepala lima.
Bila pada suatu kurun ia sudah melahirkan dua buku berjudul
‘Percakapan Dengan David Tobing’ dan ‘Bung!’ adalah dua hal penting yang
tampaknya saya lewatkan. Semacam merenggang dan tak mengenal lagi Widhy pada
suatu kurun. Adapun bukunya terhulu masih tersimpan di rak buku saya, berjudul
‘Tiga Cerita’ cetakan November 2006, ia menyebut dirinya WM Ahmad, terbitan
Kedai Buku Sinau, Jl Bekasi Timur 1 no 32A Jakarta, ketika ia mulai hilir-mudik
Malang – Jakarta.
Dalam pengantar kumpulan sajak tersebut Widhy menulis:
“Aku
ingin jadi penutur. Mengurai gambar menjadi kata. Menjelaskan mimpi-mimpi yang
pernah aku dan kau punya.”
Adapun terkait buku kumpulan sajak yang Anda pegang ini, ia
kembali menyebut namanya Widhyanto Muttaqien, saya pun kembali menjumpai Widhy
yang berdiri di balik gerai buku-buku di kedai buku Sinau. Ia menunduk nyaris
membungkuk dan wajahnya tertutup rambutnya yang ia biarkan berombak tebal dan
panjang. Sekumpulan sajak serupa merayakan kematangan. Tampak lebih nyata raut
maksud ‘cinta di usia paruh baya’ tanpa huruf kapital. Sedangkan apa
urusan saya dengan sajak-sajaknya ketika saya selalu merasa tak mampu bikin
sajak. Tantangan pun semacam sengaja diciptakan untuk mencari jalan maknanya
sendiri.
Di Esturia
Masuk ke bagian satu, Widhy mengisi Esturia-nya dengan duapuluh
tujuh sajak. Esturia, sebuah kuala yang menyimpan cerita lama dan baru, jauh
dan dekat, kini juga nanti. Menyatu berkecamuk dalam diri sang penutur. ‘Saat
pasang’ yang ia tuturkan sebagai sajak buka, semacam menjaga gairah seorang
pelaut kata-kata. Dengan tanda baca hubung bertebaran. Di mata saya menjelma
teka-teki minta ditebak, di sisi lain sang sajak menelanjangi dirinya sendiri.
angin
laut menggaruk
saat
gelap bulat telanjang
Susul-menyusul, sambung-menyambung, dan memaku ingin untuk mencari
kelanjutannya. Adapun sajak kedua menghadirkan huruf kapital di beberapa kata
dan hal itu menjadi bagian dari keseluruhan maksud atas, ‘disebabkan pantai’.
Sebab
angin, memainkan musik di ranting
Sebab
waktu tak selalu maju
Widhy masih Widhy yang pernah saya jumpai di tikungan umur
likuran. Ia pengendali kata-kata yang baik jalannya. Tutur Widhy memuarakan
suara, rasa asin dan tawar, pada sajak ‘di esturia’. Sajak ini menyaring
ingatan saya pada buku Alkemis, ketika Paulo Coelho baru dikenal di kalangan
terbatas di Indonesia. Buku-buku Coelho belum dicetak oleh penerbit arus besar
tatkala Widhy mengangsurkan buku tersebut pada saya agar saya baca. Ia bukan
sekedar saudagar buku. Ia mengantar pelanggan kedainya mengerti buku baik
sekaligus cocok bagi masing-masing kami. Sampai benar-benar mengenal buku yang
sesuai dan membantu kami mencari arah menemukan diri sebagai seorang pembaca.
Tentu saja tak serta-merta dan butuh waktu. Proses panjang itu menjadi nafas,
menjadi dekat sedekat nadi.
“Ini buku bagus,” anjurnya.
Sewindu yang lain, saya menenteng dari kedainya di jalan Wilis
Malang, dengan lampion di teras warna putih dan hitam. Warna merah mulai sirna
di studio kerjanya. Saya menyomot buku babon tentang sejarah lahirnya Partai
Komunis Indonesia. Memenuhkan rasa keingintahuan sebab saya lahir
berjauh-jauhan dengan yang dimaksudkan: mengapa dan bagaimana kabar politik RI
pada 1965. Mati suri atau sudah datang gelombang baru untuk bernyala dalam
ketel sejarah. Zaman berubah, ini membawa saya pada apa yang saya sebut sebagai
mengantar ke seberang saat saya susuri sajak-sajak Widhy. Mengajuk cuaca, sebut
Widhy. Jika bisa, kita beri nama bintang-bintang di belahan utara dan
bintang-bintang di belahan selatan, di suatu hari ketika libur, serunya menjadi
judul sajak kelima.
Tak hanya sampai di sini. Perjumpaan kami adalah mimpi. Pergi tak
pamit, datang lagi tanpa basa-basi kecuali bermaksud.
aku
berpikir bukan tentang akhir
tapi,
untuk apa ada di sini
semetara
bumi bulat
rasi
mengajak kita menjelajahi angkasa
perasaan
kita terarah tak ke mana-mana
Pada sajak kedelapan di bagian
Esturia ini, saya membayangkan bagaimana bila tak mengenal Widhy lebih dahulu,
apakah memahami apa yang ia katakan dalam sajak-sajaknya? Ketika kata dirangkai
tanpa penjelasan berbait-bait setara prosa. Sedangkan disebut sajak pun ia
menjelma barisan kata liris nyaris bercerita. Adalah di puisi ketigabelas saya
berhenti lama. Sebuah sajak yang gamblang tapi tidak benar-benar nyata
disuarakan. Serupa bisikan. Sayup-sayup.
Judul sajak tersebut ‘Permanent
Traveler’. Sedikit saya kutipkan untuk Anda.
Sejak
Adam sebagai pendatang, ia pun menyiapkan semua barang bawaan. Koper dan
ransel, keramah-tamahan, sisa ego untuk dipertemukan kepada kenalan. Flora dan
Fauna [...]
Lalu sejumput puisi itu diakhiri
dengan tiga kata kunci: Hawa, Tuhan, Pulang. Ini bukan lagi tentang kenaifan
lelaki paruh baya. Saya mau katakan apalagi tentang perjalanan yang telah
sampai di Esturia? Sebuah Kuala sebagai akhirkah? Ternyata juga tidak, sebagai
manusia dalam wujudnya yang paling pendiam dan tak ke mana-mana, senyatanya
adalah permanent traveler di dalam tempurung kepalanya.
Pada Asylum, di suatu suaka, yang
mungkin kemudian tersebut sebagai dunia, tentang Adam dinubuatkan.
Setelah
mencari kata pertama Adam memilih menjadi jendela Mengajak daun berbicara Lebih
tua dari mimpinya Hasrat tumbuh lebih merah dari mata Lebih hijau dari kemarin
[...]
Sajak dengan atau tanpa rima
berhamburan keluar dari rambut keriting Widhy, demikian dalam khayal nyataku.
Manusia yang sarat keterbatasan, bila telah akrab dengan kata-kata senyatanya
menjadi mahluk tak kenal batas. Kebebasannya merangkaikan apa yang berhamburan
itu dengan tak banyak cingcong. Semua mendapat tempat. Semua memiliki
kesempatan andai sempat.
Pada Kesempatan Lain
Sampai di sini, belum menyerah untuk menikmati sajak ya? Bagian
kedua, dijuduli ‘pada kesempatan lain’ dengan masih tanpa huruf kapital.
Terdiri dari 22 sajak. Dibuka dengan sajak yang kemudian menjadi judul besar
buku: cinta di usia paruh baya.
Saya punya sungkan juga untuk menyatakan begini-begitunya. Apakah
ini artinya jelek? Lha apa cuma ada dua opsi ketika kita diberi kebebasan untuk
menyusuri pantai hingga bertemu esturia untuk kemudian berjalan mengikuti alur
sungai ke arah hilir. Bagus atau jelek pada karya puisi adalah ukuran wacana
kita belaka, seberapa banyak puisi yang sudah kita nikmati, seberapa beragam
yang kita kenali.
Dua halaman sebagai sebuah pernyataan ihwal cinta di usia paruh
baya membawa saya pada lintasan pikiran; puisi tak lagi indah bila ia
sudah diniatkan sebagai propaganda.
Apakah puisi Widhy tak luput dari maksud mempropagandakan ideologinya?
Bawah sadar penyair, tentu ada mau dan maksud. Bagaimana ia terbebas dari
kata-kata propaganda, karena puisi pada dasarnya adalah perasan kata yang bisa
jadi serba terlalu, penuh muatan kritik kritis, dan berjubel keinginan untuk
dipahami. Jadi?
tulisan
di tangan
kita
lawan, prerogratif tuhan.
Serunya. Propaganda bagaimana? Lha menyebut 30 Oktober segala pada
puisi ke-enam pada bagian ini, bisa jadi ditulis dengan maksud. Dan kita akan
pusing tujuh keliling kalau sekedar mencari tahu pihak mana dan berdiri di mana
penyair kita ini. Apakah Yu Sri mengerti kaitan tanggal dan bulan pada
judul puisi Widhy?
lidah
tajam
mengiris
ikan
menyiapkan
sarapan
berburu,
menghidangkan makan siang
ucapan
cinta tanpa suara
membunuh
waktu
Sampai di sini masih mempertanyakan apa pentingnya puisi bagi
kehidupan sehar-hari Yu Sri? Widhy tak menjelas-jelaskan tapi cukup kita rasa
dan bahkan tak perlu dipikirkan. Kita arungi saja. Seperti pada puisi ‘di
antara nota dan catatan’.
di
bangku itu, tak ada kebetulan, ketika kau
mengembangkan
senyum, dan aku merasakan
jantung,
mencuri ujung anjung, melamun andaikata
tak
ada kalimat terucap, tubuhku seperti bangku itu,
pasrah
menerima pantat bulat, seperti tekad. Terus
berbunga
melahirkan beragam cita-cita. kau tahu,[…]
Lima larik selanjutnya menjadikan puisi yang ini menawarkan
kejutan. Tak perlu takut pada hal muluk. Ia menjadi biasa ketika dikatakan
dengan tutur apa adanya. Begitulah puisi lahir.
Siang Yang Kecil
Ya, bagian ini benar-benar membawa kita ke hilir. Pulang.
Sebagaimana Yu Sri mengatakan padaku, bahwa ia pernah membantu mengurusi rumah
buku. Saya semacam manusia amnesia yang tak sedikit pun menemukannya di alam
ingatan.
“Mosok, Yu Sri?” ujarku, semena-mena.
Yu Sri dengan riang membangun jembatan ingatan. Sebagaimana saya
mencoba membangun jembatan agar pembaca tersambung dengan sajak-sajak dalam
buku ini.
Mungkin bisa, mungkin tidak seperti saya yang tak kunjung ingat,
ia katakan dengan tanpa kecewa bahwa tak apa-apa tak ingat.
“Ayo nang omahku,” balasnya. Mari ke rumah saya sebagai daya,
kehidupan kita teruskan saja.
Seperti yang disampaikan Widhy pada ‘kisah sebuah rumah’
[…]
dia
yang
selalu memasang jaring kerinduan dalam setiap
musim
tanam, memuja masa depan, seperti upacara
menabur
benih dalam kerahiman, sebuah rumah
sesungguhnya
berisi –hanya perempuan –, penganyam
mata
jala, menciptakan berbagai umpan masa depan,
segaram
rahasia niscaya abadi bersamanya
Nukilan puisi di atas membuka bagian
ketiga, menyusul sembilanbelas puisi sebagai sajak yang menyerupai cerita:
dalam sakit, siang yang kecil, Blues Gang Senggol, Taab, Easy, Tanpa jaringan,
Memahami tradisi, Cinta di makanan sisa, Keluarga, Penglaris, Momen, Lebaran di
rumah ibu, tentang sajak keluarga karbondioksida, tentang sajak riang dalam
kunci G, sajak tentang jiwa, homo ludens, Vox, pertalian dan diakhiri dengan
masih ada suara.
Lalu sudah? Tak sudah
dikunyah-kunyah. Puisi-puisi dalam sekali rangkul, menemani tiap-tiap kita
menarik nafas dalam dan kita lepaskan pelan-pelan. Deretan kata berpengharapan
dan tentu saja mengandung makna meskipun tampak tak berpola. Dan sejatinya pola
itu sudah tersusun alami sedang manusia suka ruwet sendiri. Tak mengapa juga,
tidak semua-semua mesti kita ketahui juntrung hilir ke hulunya hingga terjadi
siklus, dipertemukan dengan esturia kembali.
di
jalan yang kelewat ramai. Kadang pagi seperti ini
kami
menjadi kalimat, memandang pada apapun
yang
sisa, segera menyelesaikannya
Dari ‘cinta di makanan sisa’,
manusia sajalah kita. Saat ini dan semakin memanusia ketika puisi kita dekati.
Berdekat-dekatan dengan puisi. Bersama Yu Sri pagi tadi kubacakan selarik puisi
di atas, ia pun menyampaikan seulas senyuman. Hal yang baru saya sadari, nyaris
tak pernah ia tunjukkan di kesehariannya: tersenyum.
Untuk Anda
selamat menuang puisi
panas-panas ke dalam pisin
sebelum disruput,
sembari membaca
secangkir kopi
Malang
Selatan, akhir Mei 2021
No comments:
Post a Comment