Sebagai bagian dari aksi literasi Kedai Sinau mengajak kutu buku untuk memetakan aktivitasnya yang akan dipublikasikan dalam bentuk peta destinasi wisata
Tuesday, 28 December 2021
Pemetaan Literasi Jakarta
Sebagai bagian dari aksi literasi Kedai Sinau mengajak kutu buku untuk memetakan aktivitasnya yang akan dipublikasikan dalam bentuk peta destinasi wisata
Friday, 23 July 2021
BUKU BARU
MEKANISME & KETENTUAN PEMBAYARAN:
- Nama:
- Alamat Kirim:
- No. HP Tujuan
- Pembayaran via Transfer Rekening Bank BCA KCP Jatinegara No. Rekening 4960050920 a.n Widhyanto Muttaqien
- Barang dikirim ke alamat tujuan, setelah bukti pembayaran telah kami terima/dikonfirmasikan via inbox W.A/IG, SMS/WA:0815 8840310
- Pesanan akan dikirimkan hari yang sama apabila transaksi dilakukan sebelum pukul 15.00 WIB.
- Pengiriman hanya dilakukan saat jam kerja; Sabtu-Minggu dan tanggal merah tutup.
Membaca
“Pos Pamflet”
Surya
Saluang
Selalu menarik untuk
mengulik kemampuan bahasa literer sebagai medium penyimpan ke-subtil-an
realitas dalam formasi subjektif pelakunya sendiri yang mengalami ruangwaktu.
Ketika puisi itu disampaikan kepada khalayak (sebagai publikasi dan lainnya) selanjutnya
kembali membentuk berbagai formasi subjektif yang terus beragam antar tiap
orang dan tempat. Bahasa adalah sistem yang kenyal. Dalam kekenyalan bahasa,
subjektivitas terus berupaya mencari celah untuk membangun keberadaan dirinya.
Praktek berbahasa, menjadi praktek keberadaan yang hulunya ada pada
subjektifitas terdalam. Formasi terdalam itu, kerap hanya bisa terungkap
melalui medium puisi. Tidak hanya bagi penulis puisi, pembaca puisi juga
memerlukan irisan-irisan terdalam dari subjektifitasnya sendiri dalam mencerap
puisi. Seterusnya, berlangsunglah relasi-relasi timbal-balik yang terus semakin
kaya, antara pembaca, penulis dan konteks; pada level kedalaman ini. Level yang
sulit diobjektivasi dengan gamblang.
Setidaknya dalam sepuluh
atau dua puluh tahun belakangan, kita hidup dalam satuan ruang waktu yang
semakin cepat berlipat - berganda secara simultan. Ada begitu banyak satuan
ruangwaktu yang saling berdesakan dalam saat bersamaan, dan semua satuan ini
sama-sama saling berebut bahasa. Ada dunia kerja, dunia pendidikan, dunia
aktivis, dunia hiburan, dunia tempo doeloe, dunia tempat tinggal, dunia
spiritual, dan seterusnya. Berbagai dunia ini adalah ragam dari berbagai satuan
ruangwaktu. Hidup di masa kini, adalah hidup dalam desakan berbagai dunia itu. Semakin
kesini, tiap dunia terus tumbuh semakin kompleks dan menekan. Diri dengan
segala keunikannya seakan tak bisa mengelak sama sekali, sudah tak ada lagi
yang “di luar dunia”, segala apapun adalah suatu dunia. Semua dunia itu selalu
berupaya menjadi yang paling ojektif, satu sama lain saling menuntut ingin
dapat perhatian lebih. Disinilah menariknya puisi dan atau berpuisi, yang
modusnya justru bertumpu pada subjektifitas dan intersubjektifitas. Dalam kata
lain, puisi menjadi salah satu peluang jeda atau cara untuk bisa mengelak dari
berbagai moda objektif demikian.
Dengan kondisi ini saya
jadi tidak yakin kalau ke depan puisi akan mati. Justru, puisi akan semakin
meriah karena memang diperlukan atau menjadi kebutuhan. Bersebab tekanan
objektif keadaan aktual yang semakin menghimpit disana-sini. Ke depan,
medan-medan objektif akan terus menekan. Sehingga orang-orang akan selalu rindu
dan semakin rindu pada subjektifitasnya sendiri. Suatu moda intersubjektif akan
lebih berkembang ketimbang objektif. Dan sesungguhnya kita tak pernah
benar-benar bisa bernafas jika semata hidup di dalam medan objektif, justru
subjektifitas-lah yang memberi pengaruh terbesar terhadap porsi dan ritme nafas
kita dalam hidup konkrit.
Pelipatan ruang waktu tidak
saja semata bersebab dari hal-hal seperti teknologi artifisial, namun teknologi
yang lebih dalam dari itu. Yakni, suatu teknologi kekuasaan yang bekerja di
segenap medan apapun. Modernitas adalah peradaban utama dari teknologi
kekuasaan seperti ini. Teknologi yang bekerja melalui algoritma dan bahasa,
menata-nata dan mereka ulang antara penanda dan petanda; lalu membentuk wacana
dan membimbing (mengarahkan) sikap-sikap kita (putusan-putusan).
Semua bentuk teknologi
modern, mengalihkan kita dari pengguna menjadi yang yang digunakan. Sebuah handphone dengan fitur yang semakin lengkap,
pada awalnya adalah alat, dalam waktu cepat bisa berbalik menjadi “tuan” pre-referensial
bagi penggunanya. Kita menengok hp sebelum tidur, seketika bangun tidur, sesaat
sebelum mandi, sesaat sebelum bekerja, seketika selesai bekerja, dan
seterusnya. Hp kemudian menjadi salah satu kebutuhan paling dasar di masa ini,
untuk dilihat-lihat.
Bahasa dan algoritma adalah
bahan pokok teknologi kekuasaan. Teknologi yang meresapi semua hal di segenap
hidup kita hari ini, masuk ke dalam benda-benda, lajur-lajur jalanan, menyusupi
ceramah-ceramah agama, menyusun selera kita, menentukan cita-cita yang baik
bagi tiap orang, dan seterusnya. Semakin lama dan dalam kita terlibat, semakin
kita asing dengan diri sendiri. Seperti budak atau orang terjajah yang
ditentukan oleh tuannya. Beruntung jika kita tahu siapa tuan kita itu, dan kebanyakan
malah tak menyadari sama sekali sehingga mengendap perasaan sebal yang tebal di
dalam diri. Dalam saat bersamaan dan sekaligus, pemaknaan atas keberadaan diri
sendiri masih menjadi tumpuan pokok dari semua prosesi ruangwaktu ini. Kita
selalu tak bisa lari dari diri sendiri, kecuali hanya sebentar-bentar saja. Puisi
menjadi satu jalan yang memungkinkan untuk kembali memasuki diri secara wajar, menjadi
medium yang memadai. Menulis puisi menjadi seperti upaya menghadirkan diri
kembali lepas dari berbagai tuan. Memaknai ulang segala tekanan yang dialaminya
secara bebas. Semakin ruangwaktu dibebani berbagai medan kuasa yang beragam dan
saling bersaing, semestinya akan semakin banyak tumbuh puisi dan penyair.
Puisi kemudian menjadi
jendela untuk mengintip konstruksi subjek dan ruang kuasa. Ada sekian satuan
ruangwaktu puisi (sastra) yang terbentuk dalam sejarah Indonesia (dan Nusantara)
sejak Amir Hamzah, Raja Ali Haji, era Balai Pustaka, Pujangga Baru, Manipol-Lekra,
dan seterusnya. Menengok masa Orde Baru memperlihatkan sedikit lain. Memang
masa ini tampilan kuasa dan kekuasaan secara tipologis agak lain dari masa-masa
sebelumnya, pun sesudahnya. Masa ini kekuasaan berlangsung begitu rigor, detail
dan kesan sistematis yang kuat. Masa ini, kita mengenal dua representasi
kepenyairan ikonik, yakni antara kepenyairan
a la Sapardi Joko Damono dan kepenyairan a la Wiji Thukul. Keduanya melakukan proses kreatifnya dalam medan
ruangwaktu linier (linieritas kuasa Orde Baru). Sebuah orde yang begitu tertib
atau malah tegang dengan apa yang boleh dan tidak boleh. Sebuah orde yang
memang memaksimalkan segala medium apapun menjadi bahasa yang mewakili kekuasaan.
Sebuah orde yang merawat senyuman panoptic bapak pembangunan yang (justru)
ditakutkan banyak orang masa itu. Senyuman itu, mimik wajah, cara berjalan,
cara mendehem, intonasi suara, sampai warna rumah, susunan pemukiman, sopan
santun, dan seterusnya, menjadi representasi mengenai kuasa dan ketundukan
secara seragam. Penyeragaman segala sesuatu menjadi sangat khas masa ini.
Lalu ada Wiji Thukul,
yang dikenal sebagai pembongkar berbagai selubung bahasa dan kuasa demikian. Di
tengah hampir keseluruhan rakyat bangsa ini takut pada Orde Baru, justru penguasa
Orde Baru-nya sendiri takut pada Wiji Thukul. Atau juga, Orde Baru selalu takut
dengan mereka yang memiliki kepekaan dan kelugasan bahasa. Tak segan-segan
orang-orang seperti ini ditangkap dan dipersalahkan dengan berbagai delik yang
sumir. Ada serombongan besar penyair masa Orde Baru yang menempuh agenda yang
sama dengan Wiji Thukul, dengan timbangan resiko ditangkap atau selamat merayap.
Di sisi lain ada Sapardi Joko Damono, yang saya rasa agenda kepenulisannya
sepenuhnya bermakna diskursif. Jika kita perhatikan, puisi-puisi Sapardi berorientasi
pada keutuhan bentuk logis abstraktif dari yang direnung-renungkan. Berbeda
dari Wiji, bentuk logisnya berujung-pangkal pada kepentingan menyatakan sikap
atas aktualitas harian yang dihadapi, sehingga kadang terkesan reaktif dengan
kekuatan logisnya adalah tatanan kenyataan itu sendiri, atau pengalaman harian.
Puisi Wiji tumbuh menjadi ekspresi yang menakutkan. Berpuisi a la Wiji Tukul lebih bisa disebut sebagai
tindakan ketimbang konsep, sementara Sapardi lebih sebagai konsep.
Kepenyairan Wiji dan
Sapardi dibentuk pada masa yang linier. Lalu, setelah 20 atau 30 tahun masa
keemasan keduanya, dengan begitu cepat kita menghadapi dunia yang dilipat itu,
suatu kerangka ruangwaktu sirkuler. Puisi-puisi Widhi dalam “Pos Pamflet” ini, nampak
sekali jika dihasilkan dari suatu medan ruangwaktu yang tak lagi linier. Pada
banyak puisinya bisa dirasakan hadirnya berbagai medan satuan ruangwaktu yang
beragam secara sekaligus. Dalam keberagaman itu, relasi sebab-akibat non-linier
berlangsung antar satuan ruangwaktu yang berbeda. Suatu sebab bagi akibat
seperti duduk minum kopi di café, bisa jadi bukan sesuatu yang linier dengan
itu, misalnya saja menghindari kemacetan. Semestinya, akan lebih linier jika
kita minum kopi di café bersebab sedang ada obrolan bersama pacar. Putaran
sirkularitas seperti ini terus berlangsung, mengacaukan relasi konvensional
sebab-akibat dalam berbagai segi hidup harian kita saat ini.
Entah bagaimana menurunkan
resonansi yang saya cerap, saya lebih melihat puisi-puisi Widhi adalah suatu
usaha bahasa untuk lepas dari perangkap interseksi antar ruangwaktu yang sudah
saling menumpuk dalam saat bersamaan. Berbagai satuan ruangwaktu itu membawa
atau mengandung satuan bahasanya sendiri-sendiri, tentu dengan sepaket maknanya
sendiri-sendiri pula. Widhi mengalami secara sekaligus, cerapan makna yang
beragam dan bisajadi, satu sama lain saling bertolak-belakang; yang dialami
bersamaan dan sekaligus. Dan nampaknya pada titik tertentu ada proses pemaknaan
yang berlangsung begitu saja, seperti sesuatu yang merembes. Sampai akhirnya
semua sama-sama omong-kosong kembali.
Aktualitas media sosial
mengemuka pada “Pos Pamflet” dalam berbagai kesempatan. Medsos, suatu medium
yang begitu cepat menyerap semua konsentrasi kehidupan ke dalamnya pada sepuluh
tahun belakangan. Kedatangan corona19 memfinalisasi ruangwaktu digital sebagai
interseksi semua skala ruangwaktu aktual. Apa yang aktual adalah apa yang
sedang diributkan di medsos, tidak penting ada atau tidaknya. Yang penting
adalah keributannya, karena yang diperebutkan adalah moda pemaknaan dan bukan
objek korporealnya sendiri. Atau medium digital memperbesar interes kita untuk
terus mengada di dunia. Hingga ada kemuakan pada kompetisi makna dalam
sirkularitas ruangwaktu digital itu, karena yang berlangsung justru sebaliknya.
Ketimbang bisa mengada, diri justru semakin hilang di dalamnya. Semakin melelahkan,
menyebalkan, memuakkan.
Sudah sejak awal dunia
digital ini menyadarkan kita besarnya kekuatan dan pengaruh dari kecepatan
ataupun percepatan. Pada awal kehadirannya, MTV memberi kejutan tentang cara
visual gambar ditampilkan, berupa slide-slide cepat dan sepintas, hanya
beberapa detik sudah berganti gambar baru lainnya, dan begitu seterusnya. Pemirsa
MTV belajar mencerap kilasan-kilasan yang cepat. Hanya kesan visual yang
sesaat. Tak tersimpan utuh dalam ingatan, tapi mengapa begitu “menyenangkan”
(?). Cara penampilan gambar seperti ini, juga berlangsung dalam iklan visual
yang memang berbiaya mahal untuk bisa tampil lebih lama. Dalam iklan semakin
terasa, betapa begitu banyak pesan ingin disampaikan secara cepat dan sependek
mungkin. Semua ini berlangsung kira-kira semenjak era 1980-an.
Iklan dan MTV,
mengandalkan suara dan nada-nada untuk membentuk ritme dan dengan nada-nada itu
pula, semua visualitas yang serba sesaat itu lalu menjadi “masuk akal” melalui
intuisi ritmis kita. Intuisi yang beragam dan subjektif kemudian semakin
terhubung dalam algoritma teknologi yang seragam. Jika tak berhati-hati,
intuisi itu bisa tumpul atau mengeras dan memunculkan pola refleks di luar
kendali diri sendiri (seperti tingkah polah tiktokan dalam berbagai kesempatan
komunikasi saat ini). Refleks tiktokan atau suatu latah yang merupakan penyakit
dalam kacamata psikologi modern. Inilah masa dimana kegiatan berbahasa semakin
rentan menimbulkan penyakit massal.
Sejurus itu, kecepatan a la MTV bukan semata penglihatan lagi,
tapi sudah menjadi pengalaman harian di dunia yang sirkuler ini. Kita bukan
lagi sekedar melihat sekilas-sekilas, tapi mengalami keragaman serba sekilas. Belum
utuh dalam satu konteks, lalu beralih ke konteks lainnya seketika, atau
tercampur sedemikian rupa. Tak ada lagi batasan yang tegas, pun keutuhan kehadiran.
Berlepas-tangkap setiap saat. Serba pengalaman beragam yang pendek-pendek, berlintasan
silang-menyilangi dalam satu konteks waktu dan tempat. Bahasa yang terus membesar
menggelembung, seturut itu mengandaikan kekosongan di dalam gelembung itu.
“aku
tak tahu cara menghabiskan kata, selalu saja ada impian yang jatuh, masa lalu
yang kambuh, dan orang-orang yang jogging di jalan seperti mengajukan
pertanyaan tentang kesehatan, apa jadinya kata-kata tanpa dunia.” (dalam “Menyemangati
orang-orang”)
Orang-orang terus
memproduksi bahasa atau kata-kata sembari selalu kehilangan dunia. Kata-kata
yang terus tumbuh melebihi dunianya sendiri. Apalagi yang bisa seperti itu
kecuali hasrat atau libido. Hanya libido satu-satunya bentuk kekuatan yang bisa
membesar melebihi besaran alat vitalnya sendiri.
“Pos Pamflet” saya rasa muncul
di tengah semua kompleksitas demikian. Konteks ruangwaktu sirkuler, dimana dinding
skalanya tersusun dari kuasa sebagai batas terluar dan libido sebagai batas terdalam.
Walau satuan ruangwaktu itu beragam, tapi mekanisme algoritmiknya sungguh
menyebalkan. Betapa tidak, kita seperti ditekan untuk terus-menerus “sange”
dalam berbagai keadaan, atas segala apapun, dengan ritme yang terus dipercepat.
Sange kepada sesuatu yang kadang dan
seringkali justru tak menggairahkan. Inilah masa dimana bahasa (otoritas wacana)
menjadi begitu memuakkan. Masa yang disebut sebagai era “post-truth”, atau berakhirnya
bahasa sebagai sistem otoritatif. Bukan
karena suatu eviden, tapi sepenuhnya soal suka-suka saja, agar lepas dari
“sange” tak jelas yang berketerusan. Penolakan atas kebenaran keberadaan
covid19, lebih bisa terpahami sebagai ekspresi kemuakan atas bahasa sebagai
medan otoritatif ini. Wajar jika Amerika justru menjadi negara dengan penolakan
tertinggi atas kebenaran adanya covid19. Persoalannya bukan pada soal eviden, rasionalitas
atau adanya magi-magi yang mempengaruhi, tapi saya rasa sekedar muak dengan bahasa
(otoritas) yang terus menekan.
Tekanan yang kita alami
hari ini begitu beragam, menumpuk dan terus-menerus. Saat kita asik minum kopi
di sebuah kafe di pusat Jakarta dengan seorang mantan pacar dan di luaran sedang
terjadi kemacetan parah akibat sekelompok orang memboikot jalan menuntut
keadilan, diri kita mengabur entah ada dimana. Puisi bisa seperti “rembesan” dari
algoritma diri sendiri yang jengah menelusur silang-sengkarut rerantai
peristiwa antara minum kopi, kemacetan atau demonstrasi di luaran. Tiap
peristiwa dengan kompleksitasnya sendiri-sendiri, terus bertaut antar satuan
ruangwaktu yang beragam. Silang-sengkarut. Tentu yang paling kompleks tetaplah
pertemuan dengan mantan pacar. Segala sesuatu indah pada waktunya, tapi menjadi
rumit jika bertumpuk pada tempat yang sama.
“masing-masing membangun kesepian
di tengah keramaian dan deras hujan, ada payung warna-warni yang kembali
mengingatkanku pada sri mulyani, sedang apa kamu sri”. (dalam “rambutku atau
matamu yang kesepian”).
“Sepi” selalu menjadi kode
bersama antar kita secara intersubjektif, bahwa dalam tiap diri kita juga
selalu ada algoritma unik yang sedang dan terus meniti jalan. Melalui algoritma
subjektif itu pembalikan terus berlangsung, percaya menjadi tak percaya, cinta
menjadi benci, benci menjadi rindu, senang menjadi duka, kecewa menjadi bangga,
dan seterusnya. Pada puisi di atas yang memuat nama menteri keuangan terbaik di
dunia, silahkan anda perkirakan dan telusuri melalui algoritma masing-masing,
sedang menjadi apa mentri itu dalam puisi tersebut, dalam algoritma subjektif
penulisnya. Upaya si penulis bisa disebut sebagai suatu perlawanan untuk tak
menerima begitu saja segala algoritma kuasa yang menimpanya. Lalu saya masih
mencari tepian dinding terdalamnya, bagaimana riak-riak libidonya berlangsung? Apa
hubungan menteri itu dengan libido penulis, atau libido kita semua? Mari kita
sama-sama menelusur, mencerap puisi-puisi ini dan semoga bisa menambah
pemahaman pada keadaan, dan terlebih, pemahaman atas diri sendiri yang kerap
menguap dalam percepatan silang-sengkarut jaman.
Di
Esturia Sampai Siang
Yang
Kecil
(Sebuah Catatan Sepilihan Sajak ‘Cinta Di Usia Paruh Baya’ karya
Widhyanto Muttaqien)
a elwiq pr
Bilakah kita membayangkan, pada hari ini berapa gelintir orang membaca
sajak? Se-RT, satu RW, ada lima atau enam orang di gang rumah kita? Sambil
terus mengkhayalkan buku-buku sajak ada di rak buku setiap rumah tinggal. Tak
terlalu muluk bila saya bicara tentang rak buku sebab kita sudah lama sekali
merdeka.
Pertanyaan berikutnya adalah untuk apa membaca sajak? Manakala
manusia sekadar butuh keperluan dasar. Atau memang masih terlalu pagi dan
begitu berlebihan membicarakan puisi di antara kenyataan yang begini
kalang-kabut. Masih banyak persoalan butuh perhatian ketimbang selarik sajak.
Kebenaran dan kekeliruan masih barang mahal dan rumpil untuk diungkap sebagai menegakkan
keadilan, keharmonisan, apalagi mencapai keindahan setara sajak.
Dua hari lalu saya mengunjungi Yu Sri, tiap pagi ia menyeret
sepedanya yang digantungi sayuran, krupuk, dan ikan pindang tak seberapa lewat
depan rumah. Perabotan rumahnya sederhana, kursi yang ditata berhimpitan,
toples plastik Lebaran, dan di tembok depan rumah dipilok hitam: keluarga di
bawah garis kemiskinan. Berani-beraninya saya bicara tentang rak buku di
rumah-rumah kaum kita, apalagi bicara Sajak. Apakah Yu Sri memerlukan sajak?
Apakah sajak ketika di benak terbayang-bayang deretan huruf
pilokan hitam di atas tembok warna kunyit kusam. Yu Sri, suaminya, dan
saya duduk hadap-hadapan. Kontradiksi di hati kami masing-masing tak bisa
dihindari. Toples plastik mereka masih penuh kue dan cemilan. Tak ada tamu
datang. Demi apa petugas desa memberikan cap demikian di rumah yang mereka
bangun dari keringat mereka sendiri. Saat semacam itu saya merasa sia-sia
dengan apa yang saya lakukan, saya upayakan, saya kerjakan hari ini. Hari yang
suatu saat akan disebut sebagai pada suatu hari.
Menelaah sajak karya Widhyanto Muttaqien dari tempat saya duduk
tak jauh dari rumah Yu Sri. Sedangkan rumah Yu Sri dekat sekali dengan masjid
Tiban. Masjid yang sekali klik di jagat sibernetika niscaya berhamburan
unggahan tentangnya. Rumah Yu Sri sekampung dengan bangunan yang tersohor indahnya.
Adapun keindahan identik dengan segala yang tampil puitis bukan?
Hal itu pernah diamati seorang wartawan dari Jerman, menurutnya
saya hidup di antara dua hingga lebih dari tiga kutub saling bertentangan,
serba tiba-tiba, dan tanpa hitung-hitungan. Bahkan di dekat-dekat saya sebuah
candi abad ke-10 dipandangi si wartawan saat ia berdiri di undakan tertinggi candi.
Ia bilang candi telah dikepung sembilan masjid dengan corong pengeras suara
berlomba-lomba paling jauh daya jangkau panggilan salatnya. Soal suara muazin
merdu atau tidak, soal ke seribu.
Di antara kekalutan doa-doa dikumandangkan siang dan malam tanpa
tenggang apalagi belarasa pada pemeluk keyakinan lain, saat itulah Widhy
meminta saya menulis kesan atas kumpulan sajaknya. Untuk kado ulangtahunnya
ke-49, jelasnya. Sejauh itu ia telah hidup dan memerlukan sedemikian rupa hal
baik atas karyanya sebagai tandamata. Melarungnya di lautan sastra.
Saya membayangkan ketika Anda membaca catatan ini dengan harapan
mengantar Anda membaca bersusun-susun sajak kawan saya ini, penaka saya
mengantar Anda memasuki ruangan demi ruangan museum yang penuh karya indah namun
kesepian. Bukankah hal itu yang kita perlukan untuk sedikit berjarak dari kekalutan
hari-hari dalam bentuk barunya kini? Sepi, butuh dikondisikan. Serba berjarak
yang diupayakan satu tahun lebih belakangan toh tak mengurangi makna guliran
yang serba instan sekarang. Perjumpaan lewat aplikasi zoom bersliweran demi
seminar, studi, pameran hingga arisan ibu-ibu. Keramaian pun tak bisa kita
hindari hingga ke panel-panel ruang pribadi. Melampaui jam kerja terbungkus ruang
perjumpaan.
Meminimalisir perjalanan hingga berdatangan berita tentang
kematian yang tiba-tiba. Saya berpikir, seberapa kadar kesia-siaan yang saya
rasa ini sebagai wujud hal yang melanda jiwa manusiawi memasuki usia paruh
baya. Apa iya sebegitu tak berpengharapannya kami? Kesempatan kembali memintal
sambung rasa di usia likuran bagaikan menegakkan benang basah. Fakta masa lalu,
saya menulis tentang toko buku ‘Kedai Buku Sinau’ yang dikelola Widhy, penulis
kumpulan sajak berjudul “Cinta di Usia Paruh Baya” ini, semasa ia tinggal di
Malang era 2000-an. Sejauh ingatan saya tumbuh, beberapa kawan lingkaran Widhy begitu
menggelora semangatnya pasca reformasi untuk membuka usaha bahu-membahu mengelola
toko buku yang berisi buku-buku terbitan indi (baca: mandiri). Itu semua adalah
kegenitan yang manis.
Beberapa waktu berselang Widhy satu-satunya yang bertahan, yang
lain kembali ke kota asal. Meski pada akhirnya belakangan Widhy berkemas juga
dari Malang atas nasib yang membawanya ke kehidupannya sekarang. Kala itu orbit
kami berlintasan di rumah Diponegoro 3 Malang, kediaman pengarang Indonesia
andal di zamannya, Ratna Indraswari Ibrahim. Kami tidak benar-benar saling
mengenal tapi acapkali bertatap muka dengan latar belakang neka-neka.
Situasi awal 2000-an itu hidup kami dalam isu melulu: ada apa
pasca reformasi, membentuk diri, memahami peta situasi, menghidupi mimpi-mimpi,
dan tentu saja sebagaimana yang ditulis Yudisthira Massardi, generasi ‘Arjuna
Mencari Cinta' memainkan peranannya yang sejati. Memang agak runyam kalau
menyebut kami ini kawan bermain, jalan-jalan ke pasar besar Malang mencari kain
warna merah, agar sofa kedai buku yang buluk nyaman digunakan duduk. Saat itu
saya dibuat cengar-cengir dengan ungkapan: jangan mengaku manusia revolusioner
ketika tempat tinggalmu tak punya sofa merah, seru penyair perempuan negro asal
Amerika.
Apakah situasi kota Malang yang semacam itu turut mengasah rasa
sastra Widhy Muttaqien? Proses kreatif puisi-puisi Widhyanto Muttaqien bisa
jadi serupa Sapardi Djoko Damono ketika menciptakan puisi berjudul Jalan
Jakarta yang mengacu pada sebuah jalan sepi sekitar Universitas Negeri Malang
yang dulunya IKIP Malang. Sedangkan Widhy cukup lama menempati ruang sederhana
beserta buku-bukunya di jalan Bogor Atas Malang, tak jauh dari jalan Jakarta.
Sekian lama tanpa kabar dan tak berhenti di simpang balapan
Malang. Agaknya sesambungan kami justru melintasi ruang-waktu yang panjang. Tak
sedikit makan umur hingga kami mencapai usia paruh baya. Terlintas juga kata
pulang di benak saya ketika Radhar Panca Dahana kawan Widhy berpulang. Dengan
keniscayaan yang begitu rapi. Percakapan-percakapan kecil, agenda yang tak
kunjung terjadi, dan terjadilah yang sebaiknya terjadi sebelum memasuki usia
kepala lima.
Bila pada suatu kurun ia sudah melahirkan dua buku berjudul
‘Percakapan Dengan David Tobing’ dan ‘Bung!’ adalah dua hal penting yang
tampaknya saya lewatkan. Semacam merenggang dan tak mengenal lagi Widhy pada
suatu kurun. Adapun bukunya terhulu masih tersimpan di rak buku saya, berjudul
‘Tiga Cerita’ cetakan November 2006, ia menyebut dirinya WM Ahmad, terbitan
Kedai Buku Sinau, Jl Bekasi Timur 1 no 32A Jakarta, ketika ia mulai hilir-mudik
Malang – Jakarta.
Dalam pengantar kumpulan sajak tersebut Widhy menulis:
“Aku
ingin jadi penutur. Mengurai gambar menjadi kata. Menjelaskan mimpi-mimpi yang
pernah aku dan kau punya.”
Adapun terkait buku kumpulan sajak yang Anda pegang ini, ia
kembali menyebut namanya Widhyanto Muttaqien, saya pun kembali menjumpai Widhy
yang berdiri di balik gerai buku-buku di kedai buku Sinau. Ia menunduk nyaris
membungkuk dan wajahnya tertutup rambutnya yang ia biarkan berombak tebal dan
panjang. Sekumpulan sajak serupa merayakan kematangan. Tampak lebih nyata raut
maksud ‘cinta di usia paruh baya’ tanpa huruf kapital. Sedangkan apa
urusan saya dengan sajak-sajaknya ketika saya selalu merasa tak mampu bikin
sajak. Tantangan pun semacam sengaja diciptakan untuk mencari jalan maknanya
sendiri.
Di Esturia
Masuk ke bagian satu, Widhy mengisi Esturia-nya dengan duapuluh
tujuh sajak. Esturia, sebuah kuala yang menyimpan cerita lama dan baru, jauh
dan dekat, kini juga nanti. Menyatu berkecamuk dalam diri sang penutur. ‘Saat
pasang’ yang ia tuturkan sebagai sajak buka, semacam menjaga gairah seorang
pelaut kata-kata. Dengan tanda baca hubung bertebaran. Di mata saya menjelma
teka-teki minta ditebak, di sisi lain sang sajak menelanjangi dirinya sendiri.
angin
laut menggaruk
saat
gelap bulat telanjang
Susul-menyusul, sambung-menyambung, dan memaku ingin untuk mencari
kelanjutannya. Adapun sajak kedua menghadirkan huruf kapital di beberapa kata
dan hal itu menjadi bagian dari keseluruhan maksud atas, ‘disebabkan pantai’.
Sebab
angin, memainkan musik di ranting
Sebab
waktu tak selalu maju
Widhy masih Widhy yang pernah saya jumpai di tikungan umur
likuran. Ia pengendali kata-kata yang baik jalannya. Tutur Widhy memuarakan
suara, rasa asin dan tawar, pada sajak ‘di esturia’. Sajak ini menyaring
ingatan saya pada buku Alkemis, ketika Paulo Coelho baru dikenal di kalangan
terbatas di Indonesia. Buku-buku Coelho belum dicetak oleh penerbit arus besar
tatkala Widhy mengangsurkan buku tersebut pada saya agar saya baca. Ia bukan
sekedar saudagar buku. Ia mengantar pelanggan kedainya mengerti buku baik
sekaligus cocok bagi masing-masing kami. Sampai benar-benar mengenal buku yang
sesuai dan membantu kami mencari arah menemukan diri sebagai seorang pembaca.
Tentu saja tak serta-merta dan butuh waktu. Proses panjang itu menjadi nafas,
menjadi dekat sedekat nadi.
“Ini buku bagus,” anjurnya.
Sewindu yang lain, saya menenteng dari kedainya di jalan Wilis
Malang, dengan lampion di teras warna putih dan hitam. Warna merah mulai sirna
di studio kerjanya. Saya menyomot buku babon tentang sejarah lahirnya Partai
Komunis Indonesia. Memenuhkan rasa keingintahuan sebab saya lahir
berjauh-jauhan dengan yang dimaksudkan: mengapa dan bagaimana kabar politik RI
pada 1965. Mati suri atau sudah datang gelombang baru untuk bernyala dalam
ketel sejarah. Zaman berubah, ini membawa saya pada apa yang saya sebut sebagai
mengantar ke seberang saat saya susuri sajak-sajak Widhy. Mengajuk cuaca, sebut
Widhy. Jika bisa, kita beri nama bintang-bintang di belahan utara dan
bintang-bintang di belahan selatan, di suatu hari ketika libur, serunya menjadi
judul sajak kelima.
Tak hanya sampai di sini. Perjumpaan kami adalah mimpi. Pergi tak
pamit, datang lagi tanpa basa-basi kecuali bermaksud.
aku
berpikir bukan tentang akhir
tapi,
untuk apa ada di sini
semetara
bumi bulat
rasi
mengajak kita menjelajahi angkasa
perasaan
kita terarah tak ke mana-mana
Pada sajak kedelapan di bagian
Esturia ini, saya membayangkan bagaimana bila tak mengenal Widhy lebih dahulu,
apakah memahami apa yang ia katakan dalam sajak-sajaknya? Ketika kata dirangkai
tanpa penjelasan berbait-bait setara prosa. Sedangkan disebut sajak pun ia
menjelma barisan kata liris nyaris bercerita. Adalah di puisi ketigabelas saya
berhenti lama. Sebuah sajak yang gamblang tapi tidak benar-benar nyata
disuarakan. Serupa bisikan. Sayup-sayup.
Judul sajak tersebut ‘Permanent
Traveler’. Sedikit saya kutipkan untuk Anda.
Sejak
Adam sebagai pendatang, ia pun menyiapkan semua barang bawaan. Koper dan
ransel, keramah-tamahan, sisa ego untuk dipertemukan kepada kenalan. Flora dan
Fauna [...]
Lalu sejumput puisi itu diakhiri
dengan tiga kata kunci: Hawa, Tuhan, Pulang. Ini bukan lagi tentang kenaifan
lelaki paruh baya. Saya mau katakan apalagi tentang perjalanan yang telah
sampai di Esturia? Sebuah Kuala sebagai akhirkah? Ternyata juga tidak, sebagai
manusia dalam wujudnya yang paling pendiam dan tak ke mana-mana, senyatanya
adalah permanent traveler di dalam tempurung kepalanya.
Pada Asylum, di suatu suaka, yang
mungkin kemudian tersebut sebagai dunia, tentang Adam dinubuatkan.
Setelah
mencari kata pertama Adam memilih menjadi jendela Mengajak daun berbicara Lebih
tua dari mimpinya Hasrat tumbuh lebih merah dari mata Lebih hijau dari kemarin
[...]
Sajak dengan atau tanpa rima
berhamburan keluar dari rambut keriting Widhy, demikian dalam khayal nyataku.
Manusia yang sarat keterbatasan, bila telah akrab dengan kata-kata senyatanya
menjadi mahluk tak kenal batas. Kebebasannya merangkaikan apa yang berhamburan
itu dengan tak banyak cingcong. Semua mendapat tempat. Semua memiliki
kesempatan andai sempat.
Pada Kesempatan Lain
Sampai di sini, belum menyerah untuk menikmati sajak ya? Bagian
kedua, dijuduli ‘pada kesempatan lain’ dengan masih tanpa huruf kapital.
Terdiri dari 22 sajak. Dibuka dengan sajak yang kemudian menjadi judul besar
buku: cinta di usia paruh baya.
Saya punya sungkan juga untuk menyatakan begini-begitunya. Apakah
ini artinya jelek? Lha apa cuma ada dua opsi ketika kita diberi kebebasan untuk
menyusuri pantai hingga bertemu esturia untuk kemudian berjalan mengikuti alur
sungai ke arah hilir. Bagus atau jelek pada karya puisi adalah ukuran wacana
kita belaka, seberapa banyak puisi yang sudah kita nikmati, seberapa beragam
yang kita kenali.
Dua halaman sebagai sebuah pernyataan ihwal cinta di usia paruh
baya membawa saya pada lintasan pikiran; puisi tak lagi indah bila ia
sudah diniatkan sebagai propaganda.
Apakah puisi Widhy tak luput dari maksud mempropagandakan ideologinya?
Bawah sadar penyair, tentu ada mau dan maksud. Bagaimana ia terbebas dari
kata-kata propaganda, karena puisi pada dasarnya adalah perasan kata yang bisa
jadi serba terlalu, penuh muatan kritik kritis, dan berjubel keinginan untuk
dipahami. Jadi?
tulisan
di tangan
kita
lawan, prerogratif tuhan.
Serunya. Propaganda bagaimana? Lha menyebut 30 Oktober segala pada
puisi ke-enam pada bagian ini, bisa jadi ditulis dengan maksud. Dan kita akan
pusing tujuh keliling kalau sekedar mencari tahu pihak mana dan berdiri di mana
penyair kita ini. Apakah Yu Sri mengerti kaitan tanggal dan bulan pada
judul puisi Widhy?
lidah
tajam
mengiris
ikan
menyiapkan
sarapan
berburu,
menghidangkan makan siang
ucapan
cinta tanpa suara
membunuh
waktu
Sampai di sini masih mempertanyakan apa pentingnya puisi bagi
kehidupan sehar-hari Yu Sri? Widhy tak menjelas-jelaskan tapi cukup kita rasa
dan bahkan tak perlu dipikirkan. Kita arungi saja. Seperti pada puisi ‘di
antara nota dan catatan’.
di
bangku itu, tak ada kebetulan, ketika kau
mengembangkan
senyum, dan aku merasakan
jantung,
mencuri ujung anjung, melamun andaikata
tak
ada kalimat terucap, tubuhku seperti bangku itu,
pasrah
menerima pantat bulat, seperti tekad. Terus
berbunga
melahirkan beragam cita-cita. kau tahu,[…]
Lima larik selanjutnya menjadikan puisi yang ini menawarkan
kejutan. Tak perlu takut pada hal muluk. Ia menjadi biasa ketika dikatakan
dengan tutur apa adanya. Begitulah puisi lahir.
Siang Yang Kecil
Ya, bagian ini benar-benar membawa kita ke hilir. Pulang.
Sebagaimana Yu Sri mengatakan padaku, bahwa ia pernah membantu mengurusi rumah
buku. Saya semacam manusia amnesia yang tak sedikit pun menemukannya di alam
ingatan.
“Mosok, Yu Sri?” ujarku, semena-mena.
Yu Sri dengan riang membangun jembatan ingatan. Sebagaimana saya
mencoba membangun jembatan agar pembaca tersambung dengan sajak-sajak dalam
buku ini.
Mungkin bisa, mungkin tidak seperti saya yang tak kunjung ingat,
ia katakan dengan tanpa kecewa bahwa tak apa-apa tak ingat.
“Ayo nang omahku,” balasnya. Mari ke rumah saya sebagai daya,
kehidupan kita teruskan saja.
Seperti yang disampaikan Widhy pada ‘kisah sebuah rumah’
[…]
dia
yang
selalu memasang jaring kerinduan dalam setiap
musim
tanam, memuja masa depan, seperti upacara
menabur
benih dalam kerahiman, sebuah rumah
sesungguhnya
berisi –hanya perempuan –, penganyam
mata
jala, menciptakan berbagai umpan masa depan,
segaram
rahasia niscaya abadi bersamanya
Nukilan puisi di atas membuka bagian
ketiga, menyusul sembilanbelas puisi sebagai sajak yang menyerupai cerita:
dalam sakit, siang yang kecil, Blues Gang Senggol, Taab, Easy, Tanpa jaringan,
Memahami tradisi, Cinta di makanan sisa, Keluarga, Penglaris, Momen, Lebaran di
rumah ibu, tentang sajak keluarga karbondioksida, tentang sajak riang dalam
kunci G, sajak tentang jiwa, homo ludens, Vox, pertalian dan diakhiri dengan
masih ada suara.
Lalu sudah? Tak sudah
dikunyah-kunyah. Puisi-puisi dalam sekali rangkul, menemani tiap-tiap kita
menarik nafas dalam dan kita lepaskan pelan-pelan. Deretan kata berpengharapan
dan tentu saja mengandung makna meskipun tampak tak berpola. Dan sejatinya pola
itu sudah tersusun alami sedang manusia suka ruwet sendiri. Tak mengapa juga,
tidak semua-semua mesti kita ketahui juntrung hilir ke hulunya hingga terjadi
siklus, dipertemukan dengan esturia kembali.
di
jalan yang kelewat ramai. Kadang pagi seperti ini
kami
menjadi kalimat, memandang pada apapun
yang
sisa, segera menyelesaikannya
Dari ‘cinta di makanan sisa’,
manusia sajalah kita. Saat ini dan semakin memanusia ketika puisi kita dekati.
Berdekat-dekatan dengan puisi. Bersama Yu Sri pagi tadi kubacakan selarik puisi
di atas, ia pun menyampaikan seulas senyuman. Hal yang baru saya sadari, nyaris
tak pernah ia tunjukkan di kesehariannya: tersenyum.
Untuk Anda
selamat menuang puisi
panas-panas ke dalam pisin
sebelum disruput,
sembari membaca
secangkir kopi
Malang
Selatan, akhir Mei 2021