Friday, 12 February 2010

MEMAKSA MASUK KE DALAM REALITA BUSYET DEH

Membaca peristiwa sebagai teks. Terlebih peristiwa yang penuh dengan ‘mengada-ada’, ‘berbelit-belit’, ‘dan ‘tidak sepenuhnya membantu dalam pemahaman’, seperti banyak kisah persidangan, opera sabun di DPR, dan yang paling ‘intim’ adalah kejadian kawan saya, J.J. Rizal seorang penulis, editor, sejarahwan, yang dipermalukan dan digebuki polisi, kemudian dipersetankan hakim atas peristiwa yang dialaminya (sebagai tersangka pencopet di sebuah mal di Depok), sekadar contoh teks yang tafsirnya bisa kita konstruksikan sesuai dengan pengetahuan, kepentingan, dan ketidaktahuan kita atas penyaksian kita (baca: saksi mata di tkp) karena gagal dalam melakukan translasi budaya. Jika kita tidak sedang berada disana, berada di entah, maka tentu saja tafsir kita bisa meninggalkan jejak zig-zag, antara fiksi dan non fiksi (belum tentu ilmiah-seperti percakapan penuh pikatan Ethan Hawke dan Maggie Q dalam New York I Love You). Namun dengan semangat ‘peristiwa’ yang faktual nyata-nyata ‘mengada-ada’, ‘penuh tipu lay…’, ‘absurd’ untuk sebagian orang yang rajin berpikir, maka sejumlah nama yang memegang kendali wacana (seperti Ricouer, Joyce, Zizek, Foucoult, Freud, Barthes, Saussure, tak kurang tokoh rekaan Spongebob, Donald Bebek, dll) tentu akan mengambil ikon (dalam bayangan saya, Smiley-capek deh) dan untuk menggambarkan kejadian keseharian (everyday life) di Indonesia, saya menyarankan kepada pemilik paten Smiley untuk membuat simbol ‘busyet deh’-lebih capek dari capek.

Sebenarnya tulisan ini cuma ingin memaksa masuk dalam bagian paling busyet (baca -lebih capek dari capek) dari tulisan David Tobing (yang hadir dalam ceritanya sendiri). Sayangnya, saya tidak sempat membaca cermat, mungkin tidak ingin, atau keburu dingin, karena tulisan tersebut ‘terlalu’ menyimpan potensi pengendapan, bukan jalan sepi tanpa momen ataupun ornamen. Begini saja, supaya tulisan ini tidak sia-sia, anggap saja ini sehelai tissue untuk menyeka keringat di kening yang memaksa keluar disebabkan luncuran kata-kata busyet ini. Keringat yang merupakan buah dari bacaan (sementara saya menulis, kata-kata ‘busyet dong’, keluar dari mulut Iwan Fals yang menyanyikan lagu ‘Joni Kesiangan’ dari album Canda Dalam Nada). Ratusan lagu Iwan Fals dalam MP3, hujan, tape ketan, pengamen perempuan, yang syairnya seperti syiar mempertanyakan ‘nasib dirinya atas perlakuan lakinya yang punya istri dua-mas yo opo perasaan sampeyan, tentang aku, sebab bojone sampeyan loro judulnya Bojo Loro’ dan kopi Gayo adalah pihak yang perlu ditanyakan perannya jika tulisan ini dianggap mubazir, karena semuanya berawal dan berakhir dalam situasi sore ini. Karena pikiran saya sekarang-di Malang, inginnya dihibernasi sebelum tanda ‘update from your multiply’ muncul di e-mail saya.

Rosemary Dobson, melukiskan kondisi eksistensial sebagai ‘karena sajak yang ada, takkan pernah menyamai sajak yang tak ada/objek yang ada, katakan saja sebuah gelas atau sebuah botol adalah selangkah lebih jauh dari objek yang tak ada.Dan metafora sebagai ‘membawa kabar dari sajak yang tak ada, yang berdenyut bagai bintang, merah dan hijau, nir-wana/putih menyilaukan berlatar putih’. Tugas peristiwa dan fakta, saya kira, dalam Dobson ini, adalah menyampaikan maksud dan tujuan. Ia mewujud nyata. Sedangkan tugas metafora (masih merujuk cuplikan Dobson) adalah memperluas ‘kemungkinan’ membaca, ia menyebutnya ‘mendengung dan menderum’ layaknya David ‘mengintip dengar’.

Dobson menyihir saya dengan kata-kata ‘dengarkan semesta—itu adalah kemungkinan tatanan/kerangka ketiadaan bisa ditangkap oleh mata batin’ (yang tidak terjelaskan letaknya namun setiap orang melakukan klaim atas wilayah dan kepemilikannya). Tatanan, sebuah ‘struktur’ dimana ‘dunia’ ada, berada, diadakan, mengada, yang kemudian kita tercemplung di dalamnya dan tekun membuat ketegori (tepatnya dikenalkan oleh ‘parent’ tentang segala hal, batasan, hukuman, sanksi dan sangsi, ‘parent’ yang ‘di atas’, jika merujuk tempat, jika merujuk ruang ia menjadi ‘atap’ dan ‘sangat diharapkan’ berfungsi sebagai atap), mensistematisasikannya, walaupun terkadang gagap juga untuk-menarik-ulur, membuang-pungut, seperti kelakar David tentang subversi. Jika bisa, atap diganti, sebaiknya diganti jika sudah bocor. Atap bocor ini pula yang kemudian dimaknai oleh sebagian yang lahir kemudian sebagai keusangan (sekarang atap bocor sering disebabkan salah-pasang, salah konstruksi, atau produk gagal sebuah ‘proyek rakit-ulang’). Maka setiap peristiwa baik yang ada secara harafiah dan ada secara batiniah (bisa dibaca sebagai tidak ada jika suka) tetap bisa dibongkar, seperti argumen di pengadilan yang ‘mengada-ada’ atau bukti dalam pansus century yang ‘ada’ namun penuh kepentingan politik, seperti halnya pernyataan ‘tidak tahu’ yang juga mengandung ‘pengetahuan yang disembunyikan’, maka ‘peristiwa yang menjadi teks’ tersebut dapat diperluas semua kemungkinannya, bahkan menjadi tiada atau sama sekali tidak relevan dengan ‘dunia nyata’, semacam ‘benar’ yang cuma disebabkan oleh otoritas hakim atau membongkar imaji jaksa dengan menghadirkan kenyataan lain, semisal kekuasaan yang menjadi atap sang jaksa, atau ‘menghadirkan’ kartun Benny and Mice, Panji Koming sebagai ‘suatu teks yang menjadi peristiwa’, yang memiliki ‘rasa kolektif’atau mewakili perasaan orang kebanyakan (Hal yang sama bisa juga dikenakan oleh syair Bojo Loro tentang perasaan perempuan, tapi saya tetap jarang bahkan belum pernah membaca kartunis perempuan dalam comicstrip harian di Indonesia-entah jika memakai alias).

Kegagalan polisi dalam menafsir dan mengamati (atas kasus yang dialami kawan saya, seorang editor yang oleh hakim dinyatakan ‘luka yang Anda alami karena kekerasan polisi tidak mempengaruhi kerja Anda sebagai editor’dan suatu peristiwa lain terjadi karena hal ini, yaitu permintaan maaf dari istri-istri para polisi yang menggebuk kawan saya) tentu selalu dapat dihubungkan dengan ‘metafora’ barang bukti yang diadakan di persidangan (pengadilan, kantor polisi, dan razia jalanan) dengan menyebut kasus semisal seorang kawan dekat yang tiba-tiba dianggap sebagai ‘pengedar ganja’ karena ‘kenal dengan bandar ganja’. Atau berita acara pemeriksaan yang merupakan (serupa) fiksi. Kenyataan bahwa David Tobing ‘ada’ sudah cukup bagi saya untuk menanggapi undangannya untuk masuk pada tulisan yang busyet deh.


Dobson, Rosemary. Menyeberangi Batas: Renungan Atas Sebuah Sajak Zbigniew Herbert, dalam kumpulan sajak Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak Dari Australia. YOI, 1991.

1 comment:

  1. dvd.tbg@gmail.com: Selain 'Amuk,' 'BUSYET' adalah bahasa Indonesia yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris.

    ReplyDelete