Sunday, 28 February 2010
Tuesday, 23 February 2010
Sunday, 21 February 2010
Friday, 12 February 2010
Resep #18 Kopi komuter
Rating: | ★★★ |
Category: | Other |
Pagi hari di kereta listrik Bogor-Jakarta.
Kereta ekonomi, jam 5.00 WIB pagi. Kereta sudah sesak rata-rata tertidur dan turun di destinasi terakhir, stasiun Kota. Para pedagang sayur selalu (hampir) mengalah pada pekerja atau yang berpenampilan lebih rapih dari mereka.
Kereta ekonomi, jam 5.30 WIB pagi. Kereta bertambah sesak rata-rata juga tertidur. Saling memanggil kawan untuk masuk dalam satu kerumunan. Penumpang masih banyak dari kelas pedagang sayur dan buah-buahan.
Kereta ekonomi AC jam 5.45 WIB Kereta sesak dengan para pekerja. Tujuan masih lebih banyak di destinasi terakhir. Lebih banyak yang ngobrol dan saling bercerita tentang kejadian di tempat kerja hari sebelumnya. sebagian membaca koran, jenis Media Indonesia, Jurnal Bogor, Sindo, Koran Tempo. Remaja dan anak muda, laki-laki dan perempuan, usia muda dan tua tidak pernah memberikan kesempatan duduk pada perempuan hamil dan manula. Rata-rata merasa tindakannya sudah tepat, karena mereka menyalahkan penumpang yang mau berdesakkan. “Salah sendiri naik kereta yang penuh”, begini kira-kira celoteh mereka.
Kereta ekonomi jam 6.15 WIB Kereta beraroma shampoo. Kereta bertambah sesak dengan kelas pekerja pasar. mall, pns. hampir tidak ada yang tertidur kecuali penumpang mahasiswa yang masih terkantuk-kantuk. Penumpang yang tidak tidur bercanda, isu terhangat adalah cerita yang berbau mesum, termasuk di dldalamnya celetukan lelaki dan perempuan tetang kabar selingkuh orang yang dikenalnya. Satu-dua orang, biasanya perempuan, memiliki kebiasaan latah yang menyebutkan kontol, ngentot, dan makian yang umum seperti sialan, kurang ajar, mampus. Kereta gaduh dengan canda dan tawa. Lepas dan bebas. Beberapa orang yang jengah akan menghidnar dan bergeser pelan-pelan atau pura-pura tidur dengan mimik sebal yang tidak dapat disembunyikan.
Kereta Pakuan Expres jam 6.45 WIB Kereta sesak dengan kelas pekerja kantoran, pns. Sebagian besar berusaha memejamkan mata. Penumpang laki-laki biasanya membaca koran pagi jenis Media Indonesia , Koran Tempo, Kompas. Perempuan sibuk mengurus celotehan anak dari Hpnya masing-masing dan mengatur pembantu dari jarak jauh. Diskusi kecil jarang dilakukan. Sibuk dengan rencana masing-masing. Jika ada keterlambatan langsung bergumam , sudah mahal gak juga berubah atau bayar sebelas ribu ACnya kaya begini (karena mennggu kereta yang tidak kunjung jalan, AC yang memang tidak dingin-karena kebanyakan peumpang yang menyumbang suhu panas-menjadi terasa). dan berusaha mengajak diskusi rekan sebelahnya tentang kualitas pelayanan publik. Dan menilai betapa parahnya orang Indonesia dalam menjalankan aktivitasnya, baik bisnis maupun sosial. Kesimpulan setiap hari: korupsi membebani aktivitas mereka.
Sore hari di kereta listrik Jakarta-Bogor
Kereta ekonomi jam 15.30 WIB. Kereta ekonomi pertama yang penuh sesak dari Utara menuju Bogor. Penumpang rela duduk di koran yang ditebarkan. Bau keringat menyeruak dalam kelembaban kereta yang cukup tinggi. Kereta tropika ini sungguh bisa dibandingkan dengan gambaran kereta di Dakka, Bangladesh. Perbedaannya tentu pada ciri penumpang yang sepertinya mampu melawan namun tak punya kawan.
Kereta ekonomi AC jam 17.30 WIB. Penumpang berjejer duduk, di bawah dengan kursi lipat dan koran yang ditebarkan. Obrolan terkini tentang kejadian di kantor, bukan tentang pekerjaan, tapi pada tawaran barang kreditan. Beberapa masih ke-GeEr-an membicarakan kawan kantor, karyawan toko sebelah yang menggoda dirinya. Mengajak selingkuh. Penumpang laki-laki masih terus bertaruh bola untuk pertandingan nanti malam.
Kereta Pakuan Expres jam 17.00 WIB. Penumpang berjejalan dengan AC yang tidak seberapa dingin. Beberapa perempuan sibuk mematut-matut di depan kaca rias. Sebelumnya, seperti biasa, sebelum keluar kantor telah menebarkan parfum, mungkin ketiga kalinya (pagi, menjelang keluar makan siang, dan menjelang pulang). Penumpang laki-laki cekatan menebar koran, sebagian lagi memasang bangku lipat seharga sepuluh ribu. Obrolan seperti dihindarkan, namun beberapa sibuk memencet-mencet Blackberry (dan subtitusinya) mereka atau mendengar musik.
MEMAKSA MASUK KE DALAM REALITA BUSYET DEH
Membaca peristiwa sebagai teks. Terlebih peristiwa yang penuh dengan ‘mengada-ada’, ‘berbelit-belit’, ‘dan ‘tidak sepenuhnya membantu dalam pemahaman’, seperti banyak kisah persidangan, opera sabun di DPR, dan yang paling ‘intim’ adalah kejadian kawan saya, J.J. Rizal seorang penulis, editor, sejarahwan, yang dipermalukan dan digebuki polisi, kemudian dipersetankan hakim atas peristiwa yang dialaminya (sebagai tersangka pencopet di sebuah mal di Depok), sekadar contoh teks yang tafsirnya bisa kita konstruksikan sesuai dengan pengetahuan, kepentingan, dan ketidaktahuan kita atas penyaksian kita (baca: saksi mata di tkp) karena gagal dalam melakukan translasi budaya. Jika kita tidak sedang berada disana, berada di entah, maka tentu saja tafsir kita bisa meninggalkan jejak zig-zag, antara fiksi dan non fiksi (belum tentu ilmiah-seperti percakapan penuh pikatan Ethan Hawke dan Maggie Q dalam New York I Love You). Namun dengan semangat ‘peristiwa’ yang faktual nyata-nyata ‘mengada-ada’, ‘penuh tipu lay…’, ‘absurd’ untuk sebagian orang yang rajin berpikir, maka sejumlah nama yang memegang kendali wacana (seperti Ricouer, Joyce, Zizek, Foucoult, Freud, Barthes, Saussure, tak kurang tokoh rekaan Spongebob, Donald Bebek, dll) tentu akan mengambil ikon (dalam bayangan saya, Smiley-capek deh) dan untuk menggambarkan kejadian keseharian (everyday life) di Indonesia, saya menyarankan kepada pemilik paten Smiley untuk membuat simbol ‘busyet deh’-lebih capek dari capek.
Sebenarnya tulisan ini cuma ingin memaksa masuk dalam bagian paling busyet (baca -lebih capek dari capek) dari tulisan David Tobing (yang hadir dalam ceritanya sendiri). Sayangnya, saya tidak sempat membaca cermat, mungkin tidak ingin, atau keburu dingin, karena tulisan tersebut ‘terlalu’ menyimpan potensi pengendapan, bukan jalan sepi tanpa momen ataupun ornamen. Begini saja, supaya tulisan ini tidak sia-sia, anggap saja ini sehelai tissue untuk menyeka keringat di kening yang memaksa keluar disebabkan luncuran kata-kata busyet ini. Keringat yang merupakan buah dari bacaan (sementara saya menulis, kata-kata ‘busyet dong’, keluar dari mulut Iwan Fals yang menyanyikan lagu ‘Joni Kesiangan’ dari album Canda Dalam Nada). Ratusan lagu Iwan Fals dalam MP3, hujan, tape ketan, pengamen perempuan, yang syairnya seperti syiar mempertanyakan ‘nasib dirinya atas perlakuan lakinya yang punya istri dua-mas yo opo perasaan sampeyan, tentang aku, sebab bojone sampeyan loro judulnya Bojo Loro’ dan kopi Gayo adalah pihak yang perlu ditanyakan perannya jika tulisan ini dianggap mubazir, karena semuanya berawal dan berakhir dalam situasi sore ini. Karena pikiran saya sekarang-di Malang, inginnya dihibernasi sebelum tanda ‘update from your multiply’ muncul di e-mail saya.
Rosemary Dobson, melukiskan kondisi eksistensial sebagai ‘karena sajak yang ada, takkan pernah menyamai sajak yang tak ada/objek yang ada, katakan saja sebuah gelas atau sebuah botol adalah selangkah lebih jauh dari objek yang tak ada.Dan metafora sebagai ‘membawa kabar dari sajak yang tak ada, yang berdenyut bagai bintang, merah dan hijau, nir-wana/putih menyilaukan berlatar putih’. Tugas peristiwa dan fakta, saya kira, dalam Dobson ini, adalah menyampaikan maksud dan tujuan. Ia mewujud nyata. Sedangkan tugas metafora (masih merujuk cuplikan Dobson) adalah memperluas ‘kemungkinan’ membaca, ia menyebutnya ‘mendengung dan menderum’ layaknya David ‘mengintip dengar’.
Dobson menyihir saya dengan kata-kata ‘dengarkan semesta—itu adalah kemungkinan tatanan/kerangka ketiadaan bisa ditangkap oleh mata batin’ (yang tidak terjelaskan letaknya namun setiap orang melakukan klaim atas wilayah dan kepemilikannya). Tatanan, sebuah ‘struktur’ dimana ‘dunia’ ada, berada, diadakan, mengada, yang kemudian kita tercemplung di dalamnya dan tekun membuat ketegori (tepatnya dikenalkan oleh ‘parent’ tentang segala hal, batasan, hukuman, sanksi dan sangsi, ‘parent’ yang ‘di atas’, jika merujuk tempat, jika merujuk ruang ia menjadi ‘atap’ dan ‘sangat diharapkan’ berfungsi sebagai atap), mensistematisasikannya, walaupun terkadang gagap juga untuk-menarik-ulur, membuang-pungut, seperti kelakar David tentang subversi. Jika bisa, atap diganti, sebaiknya diganti jika sudah bocor. Atap bocor ini pula yang kemudian dimaknai oleh sebagian yang lahir kemudian sebagai keusangan (sekarang atap bocor sering disebabkan salah-pasang, salah konstruksi, atau produk gagal sebuah ‘proyek rakit-ulang’). Maka setiap peristiwa baik yang ada secara harafiah dan ada secara batiniah (bisa dibaca sebagai tidak ada jika suka) tetap bisa dibongkar, seperti argumen di pengadilan yang ‘mengada-ada’ atau bukti dalam pansus century yang ‘ada’ namun penuh kepentingan politik, seperti halnya pernyataan ‘tidak tahu’ yang juga mengandung ‘pengetahuan yang disembunyikan’, maka ‘peristiwa yang menjadi teks’ tersebut dapat diperluas semua kemungkinannya, bahkan menjadi tiada atau sama sekali tidak relevan dengan ‘dunia nyata’, semacam ‘benar’ yang cuma disebabkan oleh otoritas hakim atau membongkar imaji jaksa dengan menghadirkan kenyataan lain, semisal kekuasaan yang menjadi atap sang jaksa, atau ‘menghadirkan’ kartun Benny and Mice, Panji Koming sebagai ‘suatu teks yang menjadi peristiwa’, yang memiliki ‘rasa kolektif’atau mewakili perasaan orang kebanyakan (Hal yang sama bisa juga dikenakan oleh syair Bojo Loro tentang perasaan perempuan, tapi saya tetap jarang bahkan belum pernah membaca kartunis perempuan dalam comicstrip harian di Indonesia-entah jika memakai alias).
Kegagalan polisi dalam menafsir dan mengamati (atas kasus yang dialami kawan saya, seorang editor yang oleh hakim dinyatakan ‘luka yang Anda alami karena kekerasan polisi tidak mempengaruhi kerja Anda sebagai editor’dan suatu peristiwa lain terjadi karena hal ini, yaitu permintaan maaf dari istri-istri para polisi yang menggebuk kawan saya) tentu selalu dapat dihubungkan dengan ‘metafora’ barang bukti yang diadakan di persidangan (pengadilan, kantor polisi, dan razia jalanan) dengan menyebut kasus semisal seorang kawan dekat yang tiba-tiba dianggap sebagai ‘pengedar ganja’ karena ‘kenal dengan bandar ganja’. Atau berita acara pemeriksaan yang merupakan (serupa) fiksi. Kenyataan bahwa David Tobing ‘ada’ sudah cukup bagi saya untuk menanggapi undangannya untuk masuk pada tulisan yang busyet deh.
Dobson, Rosemary. Menyeberangi Batas: Renungan Atas Sebuah Sajak Zbigniew Herbert, dalam kumpulan sajak Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak Dari Australia. YOI, 1991.
Sebenarnya tulisan ini cuma ingin memaksa masuk dalam bagian paling busyet (baca -lebih capek dari capek) dari tulisan David Tobing (yang hadir dalam ceritanya sendiri). Sayangnya, saya tidak sempat membaca cermat, mungkin tidak ingin, atau keburu dingin, karena tulisan tersebut ‘terlalu’ menyimpan potensi pengendapan, bukan jalan sepi tanpa momen ataupun ornamen. Begini saja, supaya tulisan ini tidak sia-sia, anggap saja ini sehelai tissue untuk menyeka keringat di kening yang memaksa keluar disebabkan luncuran kata-kata busyet ini. Keringat yang merupakan buah dari bacaan (sementara saya menulis, kata-kata ‘busyet dong’, keluar dari mulut Iwan Fals yang menyanyikan lagu ‘Joni Kesiangan’ dari album Canda Dalam Nada). Ratusan lagu Iwan Fals dalam MP3, hujan, tape ketan, pengamen perempuan, yang syairnya seperti syiar mempertanyakan ‘nasib dirinya atas perlakuan lakinya yang punya istri dua-mas yo opo perasaan sampeyan, tentang aku, sebab bojone sampeyan loro judulnya Bojo Loro’ dan kopi Gayo adalah pihak yang perlu ditanyakan perannya jika tulisan ini dianggap mubazir, karena semuanya berawal dan berakhir dalam situasi sore ini. Karena pikiran saya sekarang-di Malang, inginnya dihibernasi sebelum tanda ‘update from your multiply’ muncul di e-mail saya.
Rosemary Dobson, melukiskan kondisi eksistensial sebagai ‘karena sajak yang ada, takkan pernah menyamai sajak yang tak ada/objek yang ada, katakan saja sebuah gelas atau sebuah botol adalah selangkah lebih jauh dari objek yang tak ada.Dan metafora sebagai ‘membawa kabar dari sajak yang tak ada, yang berdenyut bagai bintang, merah dan hijau, nir-wana/putih menyilaukan berlatar putih’. Tugas peristiwa dan fakta, saya kira, dalam Dobson ini, adalah menyampaikan maksud dan tujuan. Ia mewujud nyata. Sedangkan tugas metafora (masih merujuk cuplikan Dobson) adalah memperluas ‘kemungkinan’ membaca, ia menyebutnya ‘mendengung dan menderum’ layaknya David ‘mengintip dengar’.
Dobson menyihir saya dengan kata-kata ‘dengarkan semesta—itu adalah kemungkinan tatanan/kerangka ketiadaan bisa ditangkap oleh mata batin’ (yang tidak terjelaskan letaknya namun setiap orang melakukan klaim atas wilayah dan kepemilikannya). Tatanan, sebuah ‘struktur’ dimana ‘dunia’ ada, berada, diadakan, mengada, yang kemudian kita tercemplung di dalamnya dan tekun membuat ketegori (tepatnya dikenalkan oleh ‘parent’ tentang segala hal, batasan, hukuman, sanksi dan sangsi, ‘parent’ yang ‘di atas’, jika merujuk tempat, jika merujuk ruang ia menjadi ‘atap’ dan ‘sangat diharapkan’ berfungsi sebagai atap), mensistematisasikannya, walaupun terkadang gagap juga untuk-menarik-ulur, membuang-pungut, seperti kelakar David tentang subversi. Jika bisa, atap diganti, sebaiknya diganti jika sudah bocor. Atap bocor ini pula yang kemudian dimaknai oleh sebagian yang lahir kemudian sebagai keusangan (sekarang atap bocor sering disebabkan salah-pasang, salah konstruksi, atau produk gagal sebuah ‘proyek rakit-ulang’). Maka setiap peristiwa baik yang ada secara harafiah dan ada secara batiniah (bisa dibaca sebagai tidak ada jika suka) tetap bisa dibongkar, seperti argumen di pengadilan yang ‘mengada-ada’ atau bukti dalam pansus century yang ‘ada’ namun penuh kepentingan politik, seperti halnya pernyataan ‘tidak tahu’ yang juga mengandung ‘pengetahuan yang disembunyikan’, maka ‘peristiwa yang menjadi teks’ tersebut dapat diperluas semua kemungkinannya, bahkan menjadi tiada atau sama sekali tidak relevan dengan ‘dunia nyata’, semacam ‘benar’ yang cuma disebabkan oleh otoritas hakim atau membongkar imaji jaksa dengan menghadirkan kenyataan lain, semisal kekuasaan yang menjadi atap sang jaksa, atau ‘menghadirkan’ kartun Benny and Mice, Panji Koming sebagai ‘suatu teks yang menjadi peristiwa’, yang memiliki ‘rasa kolektif’atau mewakili perasaan orang kebanyakan (Hal yang sama bisa juga dikenakan oleh syair Bojo Loro tentang perasaan perempuan, tapi saya tetap jarang bahkan belum pernah membaca kartunis perempuan dalam comicstrip harian di Indonesia-entah jika memakai alias).
Kegagalan polisi dalam menafsir dan mengamati (atas kasus yang dialami kawan saya, seorang editor yang oleh hakim dinyatakan ‘luka yang Anda alami karena kekerasan polisi tidak mempengaruhi kerja Anda sebagai editor’dan suatu peristiwa lain terjadi karena hal ini, yaitu permintaan maaf dari istri-istri para polisi yang menggebuk kawan saya) tentu selalu dapat dihubungkan dengan ‘metafora’ barang bukti yang diadakan di persidangan (pengadilan, kantor polisi, dan razia jalanan) dengan menyebut kasus semisal seorang kawan dekat yang tiba-tiba dianggap sebagai ‘pengedar ganja’ karena ‘kenal dengan bandar ganja’. Atau berita acara pemeriksaan yang merupakan (serupa) fiksi. Kenyataan bahwa David Tobing ‘ada’ sudah cukup bagi saya untuk menanggapi undangannya untuk masuk pada tulisan yang busyet deh.
Dobson, Rosemary. Menyeberangi Batas: Renungan Atas Sebuah Sajak Zbigniew Herbert, dalam kumpulan sajak Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak Dari Australia. YOI, 1991.
Subscribe to:
Posts (Atom)