Monday, 25 January 2010

TENTANG KOMEDI YANG BERSEMBUNYI DALAM HAL-HAL BUSYET DAH

 

 

Hal Busyet Pendahuluan.

Sejak akhir tahun 2009 lalu, semenjak saya membaca buku Theory of Interpretation karangan Paul Ricoeur—yang hingga sekarang masih saja sulit saya pahami—diikuti dengan perbincangan imajiner saya dengan seorang tokoh berusia 100 tahun penguasa Jurus Tanpa Bentuk di Yawabhumi[1]; mendadak saya dikejutkan dengan peristiwa dekonstruksi sel tahanan Artalyta Suryani di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Untuk sejenak, saya mencoba memikirkan bagaimana kiranya Nietzche menerapkan metode genealoginya untuk membaca serangkai teks yang memiuh dalam ratusan juta pesawat televisi yang ada di sebuah teritori archipelago khatulistiwa planet ketiga galaksi Bimasakti, namanya: Bumi, yang dalam pembahasaan filosofis dari perguruan fenomenologi Husserl harus dikenali sebagai dunia prareflektif, penentu eksistensi kodrati dari pengada yang secara metafisis dikenali sebagai manusia. 

“Pansus Century adalah suatu dekonstruksi, jika engkau mau membacanya dengan cara yang demikian,” kata Der- - - mengikuti ucapan seorang presiden yang menduduki tahta dengan cara tak lazim, yakni melalui pencetakan serangkaian kalimat-kalimat dalam bentuknya yang paling tidak familiar di dalam telinga serta pikiran pembaca (publik mengenalinya sebagai sajak, tetapi seorang lelaki berkacamata dengan cangklong di bibir kadung mengenali setiap ekspresi adalah representasi libido bawahsadar yang sudah disublimasi, disublimasi, disublimasi, disublimasi,…..) …ya, maksud si saya adalah Derrida.

“Aku tak sependapat. Menurutku pansus century adalah pertunjukkan teater kontemporer, yang paling mutakhir, yang menggabungkan teater tradisi semisal wayang orang, mulai dari varian paling adi luhung hingga muncul dalam dagelan seperti yang dipentaskan oleh Srimulat, ada juga unsur opera yang dikombinasikan dengan alam realismenya Stanislavski berbumbukan corak ‘teater tubuh’ yang mengambil genre absurditas ala—kenapa bukan a-do, a-re, a-mi, a-fa, a-sol, a-la, a-si [tampaknya perlu kajian serius apophasis[2] Zizekian]—Beckett,” ucap perempuan yang menghayati seni pernafasan bukan sebagai sarana untuk memperpanjang hidup atau mempersehat tubuh, melainkan untuk menyelami bagaimana rasanya berada di alam yang melampaui alam kasat mata serta takkasat mata.

 

Hal Busyet Budiman.

Ada dua hukum di dunia ini. Hukum tertulis dan hukum taktertulis.[3] “Kalau sampai di sini, kita bicara teks,” tegas seorang lelaki berambut dread-lock yang menyimpan gitar bas elektrik dalam pita suaranya sembari menguarkan harum //mawar melati//semuanya indah[4] dari mulutnya tanpa mengikutsertakan bapak pegang tongkat//ibu pegang sapu. Hukum tertulis adalah teks. Hukum taktertulis adalah seks [ups, tampaknya bagi mereka yang belum tergolong akil baliq (apakah pakai ‘q’ atau pakai ‘k’ atau malah pakai ‘g’ atau malah pakai ‘iks’) seharusnya membaca artikel ini dengan bantuan pengawasan orang tua; dunia tulisan tidak begitu akrab dengan sensor-sensoran sebagaimana dunia pertele-tele-televisi-an hingga layar-layar-layar bioskop-an; dunia tulisan mengakrabi penghancuran berupa pembakaran, pelarangan beredar, sebagaimana yang sekarang ini hendak dilakukan Kejaksaaan –tit…. tit… tit………………….. atas buku karangan sebuah bunga, Maawr.] maksud penulis, yang telah disalahmengerti oleh metapenulis selaku penulis yang sebenarnya menulis artikel ini, sebab metapenulis adalah agensi dari penulis, dan dengan demikian yang mati adalah: metapenulis, bukan penulis. “Maaf pembaca yang budiman, saya David Tobing, agak sulit bertanggungjawab sepenuhnya atas tulisan yang sepenuhnya berada dibawah kendali metapenulis, sebab apa yang saya maksudkan sesungguhnya adalah…,” tiba-tiba metapenulis hadir dan menginterupsi pemberitahuan David Tobing. “Siapa yang mengijinkan Anda masuk ke dalam dunia tulisan yang tengah aku tulis. Tidak seorang pun dapat masuk ke dunia tulisan tanpa izin dari saya. Dan izin tersebut harus Anda dapatkan dari saya apabila Anda mengetahui birokrasi formalisme kritik sastra yang mewajibkan adanya analisis struktural atas pertemuan subjek dan objek, yang tak mengikutsertakan aspek temporalitas, partikularitas. Apakah Anda memiliki izin tersebut? Kalau Anda hanya ingin merusak permainan di dunia saya, METAPENULIS, saya pikir Anda harus angkat kaki, sebab permainan atas dunia saya hanya dapat dilakukan di dunia di luar dunia saya. Ya, di luar dunia sayalah ada teks sejati, sebuah teks di mana segala klarifikasi hanya dikenali sebagai modus penipuan ala 373 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.”

Hukum tertulis adalah teks. Hukum taktertulis adalah tuturan, ujaran, asbda, (maksud: s-a-b-d-a). Tiba-tiba, kilat menyambar-nyambar di luar kamar pembaca yang berada di lantai 303, kartu-kartu remi berhamburan ke lantai, hujan turun menderas, angin menghantam segala yang menghadang, mulai dari baliho bergambar presiden, spanduk seruan berdamai (juga kecaman) dari kelompok massa yang terinstitusi untuk berdiri di belakang kepentingan politik tertentu, semuanya rubuh, roboh. “Kita mengenali alam dengan mitos, untuk kemudian merestorasinya melalui logos.” Alamakjang. Sosok lelaki [kenapa teramat sering laki-laki muncul dalam tulisan ini? kalau begitu ada baiknya diganti…] Sosok perempuan bernama Nola P.T membicarakan ajaran gurunya yang tak bernama lengkap, hanya bernama panggilan: S. Metha [anekdot: Kalau dibahasajawakan jangan-jangan malah menjadi ‘Slamet’.]  Setelah mengucapkan “Kita mengenali alam dengan mitos, untuk kemudian merestorasinya melalui logos,” perempuan itu pun menghilang.

 

Hal Busyet Keharmonisan Rumah Bersama.

Tahun 1800-an. Sebuah rumah di masa seorang lelaki telah terbukti melakukan hubungan badan sebelum meriah pernikahan digelar. Istrinya marah-marah kepada lelaki itu, sebab si istri baru mengetahui bahwa suaminya telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama, tetapi direstui oleh hasrat, nafsu alamiah. (Kalimat berikut enaknya dibaca sambil membayangkan wajah si istri yang marah-marah, matanya hampir keluar, mukanya merah, nafasnya berkejar-kejar, memburu, jangan lupa ada sorot kebencian di dalam matanya, tangannya membentuk cakar, karena nafasnya memburu-buru, dadanya naik-turun begitu cepat, dan jangan lupa pula: nadanya memekik tinggi hingga terdengar oleh orang-orang yang berada di lantai 303 yang berlatarkan sambaran kilat tadi) “Bebedah [maaf pembacah, maksudnya: Bedebah, harap jangan tertawa, sebab situasi yang hendak saya lukiskan adalah mirip-mirip tragedi, bukan komedi][5] Bajingan. Kau penipu. Bajingan. Seharusnya Tuhan mengutukmu menjadi salah seorang pengikut Lucifer, setan paling dinista di antara segala setan para bajingan. Bertahun-tahun kau mempelajari kecemerlangan Logos hanya demi menutupi perilaku yang bangsat, kau bajingan. Logos yang kau dengungkan adalah mitos tipu daya untuk menyelubungi niat dan laku bejat yang kau perbuat. Tapi, tapi, aletheia itu akan datang. Ketersingkapan kebenaran tidak bisa kau pungkiri. Sekarang, aku perintahkan kau pergi dari rumah ini kutu kupret.”

Lelaki yang disebut bajingan itu pun pergi. Barangkali karena ia memang bajingan dan mengakui bahwa dirinya adalah bajingan. Sebab, adakah alasan yang lebih masuk akal untuk menjelaskan kepergiannya? Bukankah dengan kepergiannya, lelaki itu membenarkan segala kata ganti yang dilekatkan pada dirinya, untuk kemudian menerima perintah dari istrinya, perempuan yang telah dia bohongi? [Tidak ada seorang pun yang dapat membohongi perempuan, kecuali ia seorang pembohong. ‘ia’ yang dimaksud dalam konteks ini adalah si perempuan, bukan yang lain.] Sepeninggalan lelaki bajingan yang pergi melangkah keluar rumah dan berjalan di tengah derasnya hujan, sambaran-sambaran kilat (ketika itu, Thomas Alfa Edison entah berada di mana. Saya tidak tahu, apakah ada yang tahu? “Oi, turun dulu, makanan sudah siap. Kau makanlah dulu.”) angin kencang, si perempuan yang bernama Puan Putri Mekar Mewangi Sepanjang Abad Hingga Akhir Nanti masuk ke dalam kamar, lalu menulis di atas secarik kertas:

 

Sebagaimana Logos menciptakan Mitos, begitulah sesungguhnya Mitos mengembalikan Logos. Inilah pengalamanku.

 

Tertanda,

Puan Putri Mekar Mewangi Sepanjang Abad Hingga Akhir Nanti

 

            Logos dan Mitos.

            Paradigma strukturalitas yang juga berakar pada psikoanalisis Freudian tampaknya masih bisa dipergunakan untuk menganalisis pertautan antara Logos dan Mitos. Sebuah strukturalitas, yang juga berakar pada pendekatan kajian politik-ekonomi Marxian dalam hierarki struktural antara suprastruktur dan basis. Ah, kalau kita mau menarik lebih jauh [“Ah, sedang ngapain kau di dalam kamar. Keluarlah dulu. Kita kumpul-kumpul sebentar.”]

 

Hal Khusus Dari Telinga Yang Mengintip.

            “Aku tak percaya.”

            “Sudahlah, tak perlu lagi kita berdebat. Aku pikir sudah jelas.”

            “Sudah berkali-kali kubilangin ke dia. Entahlah, dia tampaknya lebih yakin dengan apa yang dia pikir benar, padahal segala pertimbangan yang kami sampaikan menyatakan hal sebaliknya.”

            “Siapa sih yang tak terpesona dengan kecerdasannya, apalagi wajahnya yang tampan.”

            “Saya tidak bisa menjawab hal itu dengan tuntas. Tetapi, memang hal ini bukan bidang saya secara spesifik. Saya mengkaji ini lebih dikarenakan saya menyenanginya. Saya menyukai puisi, saya menyukai metafora. Memang, adalah aneh untuk berpikir, katakanlah, ‘Kalau memang dapat dikatakan dengan sebenarnya, apa adanya, lantas buat apa kita bermetafora? Apakah hanya mencari sensasi belaka? Apakah keindahan itu adalah sarana yang paling tepat untuk menyampaikan makna? Atau, jangan-jangan kebenaran itu hanyalah sebersit cahaya yang memancar dari keindahan? Atau, keindahan itu adalah kebenaran yang ilutif, kebenaran yang emosional, kebenaran yang belum merupakan episteme?’ Memang, ada banyak sekali hal yang dapat dipertanyakan, atau pun, kalau memang ada yang mau, dapat juga untuk digugat. Tetapi, pada akhirnya realitas bahwasanya ada, meminjam dari khasanah pengetahuan astronomi sekarang, lubang hitam dalam bahasa perlu untuk direnungkan lebih lanjut.”

            “Dekonstruksi saja.”

            Dia hanya tersenyum. Manis sekali.

            “Oh…, Patrick…”

            “Ini urusan gua. Orang lain tak perlu tahu. Dan, sekali lagi, gua bilang ke elu, ini bukan masalah kebenaran yang harus elu ungkapkan ke publik. Anjing lu!”

            Suara saksofon. Miles Davis tengah berduet dengan Jhon Lee Hooker, adapun Rendra masih berada di Iowa untuk menyerap atmosfir blues demi menuliskan sajak Bonnie yang merayap dalam sejarah kelam kapitalisnya Amerika.

            “Sedikit banyak memang berhubungan. Coba kita perhatikan kembali,”

            Suprastruktur. Basis. Logos diparalelkan dengan suprastruktur. Mitos diparalelkan dengan basis. Sebaliknya pun dapat dilakukan. Konsekuensi dari pendekatan strukturalis begini, ada anasir tertentu yang berperan sebagai pelakon subversif atas yang telah mapan. Dalam strukturisasi Logos/Mitos, maka mitos berupaya mensubversi logos. Dalam strukturisasi Mitos/Logos, maka logos berupaya mensubversi mitos. Tidak jauh berbeda dengan mekanisasi yang berlangsung dalam kesadaran Freudian.

            “Sudah malam.” (Apakah Anda belum mengantuk?)

            “Kalau belum, bacalah dulu Senja Di Pelabuhan Kecil[6].”



[1] Ajidarma, Seno Gumira, Nagabumi I, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.

[2] Myers, Tony, Slavoj Žižek, London: Routledge, 2003, hal.3. “There is a rhetorical figure which approximates to this disavowal called apophasis. Apophasis is the device of mentioning a subject by saying you will not mention it-for example, 'under no circumstances will I be drawn to discuss the minister's infidelity'. Apophasis thus articulates a kind of hole in a discourse. By saying you will not mention something, you trace the contours of what you will not mention.

[3] Merujuk pada pernyataan Arswendo Atmowiloto saat menjadi narasumber dalam acara DEMOCRAZY di MetroTV paska terbongkarnya sel tahanan istimewa milik Artalyta Suryani alias Ayin. 

[4] Lagu anak-anak. Saya lupa judulnya. Mohon maaf.

[5] Hal yang menyebalkan. Tetapi, dalam penulisan, komentar-komentar begini perlu diperhitungkan. Alasannya: membuka celah kreatifitas.

[6] Salah satu sajak Chairil Anwar

Thursday, 21 January 2010

resep #17 kopi peneliti

Rating:★★★★
Category:Other
dari obrolan di kantor yang pucat. beberapa kawan mendiskusikan kemampuannya yang diatas 'common sense' awam. orang awam yang dimaksud adalah--persepsi orang biasa dalam memaknai setiap fenomena di depannya. sedangkan kawan-kawan yang intelektual, selalu meributkan metode dan metodologi ilmiah untuk membuktikan apa yang telah dibuktikan oleh 'common sense' sebagai sesuatu masalah, sesuatu sebab, sesuatu akibat, sesuatu dampak, sesuatu konsekuensi, dan sesuatu tentang tindakan yang harus dilakukan. parahnya metode dan metodologi ilmiah ini tidak pernah diuji untuk dirinya sendiri oleh kawan-kawan saya sebagai suatu yang memiliki nilai guna bagi orang kebanyakan. namun lebih banyak digunakan sebagai nilai tukar untuk mendapatkan penghasilan dari para 'bohir'. proyek sia-sia seperti inilah yang menjadi kebanggaan para peneliti kita yang tidak pernah punya mimpi seperti layaknya Newton.

seorang kawan lama mengingatkan. kalau teori dan praktek itu tidak terpisahkan. dalam setiap praktek sesungguhnya inheren, melekat sebuah teori. sehingga pemisahan praktek dengan teori, idealita dengan realita menjadi upaya yang sia-sia, bukan karena ketidakmungkinannya...namun pada kemungkinannya untuk menjadikan kita mengalami dehumanisasi, melakukan praktek yang nyata-nyata tidak sesuai dengan idealita kita...

kawan dari 'dunia lain' mengingatkan habituasi seperti inilah yang menyebabkan akademisi semakin berjarak dengan masyarakat.sebuah pengkhianatan intelektual.

sayapun mulai dengan arsip lama. betapa miskinnya kita terhadap kesenjangan antara teori dan praktek. dan parahnya bukan karena kita tidak memahami teori beserta implikasinya, namun karena kita mengkhianati keberuntungan kita, mengkhianati apa yang kita tahu dan pahami.

Sunday, 10 January 2010

Resep #16 Kopi Karma

Rating:★★★
Category:Other
Anak : Papa, jam berapa pulang?
Orangtua : Aku tak tau Nak! Kamu tau, Papa kan sibuk!
Anak : Tapi Pa, boleh duduk bentar, ceritakan sebuah cerita untukku!
Orangtua : Iya, tapi Papa tak bisa. Maafkan Papa ya Nak, Papa sudah
ada janji di kantor.

Setelah Papa pensiun...

Orangtua : Nak, kapan kamu akan pulang?
Anak : Aku tak tau Pah! Papa tau, kerjaanku begitu menyita waktu.
Orangtua : Nak, mau kemana? Boleh duduk bicara-bicara sebentar sama Papa?
Anak : Iya, tapi aku tak bisa. Maafkan Aku ya Pa, aku sudah ada
janjian dengan kawan.

************ ********* ********* ******

Orangtua saat kelahiran anak:
Sungguh perasaan ini haru melihat kelahiran anak kami. Oh ya ustadz,
ustadzah, apa yang harus kami lakukan setelah anak kami lahir? Boleh
bantu doakan? Boleh bantu guntingkan rambutnya? Boleh bantu aqiqahkan?
Sekalian kalau sudah tumbuh besar nanti tolong ajarkan ya Al-Qur’an!
Karena kami kurang mengerti, kami belum memersiapkan ilmu mendidik
anak kami. Insya Allah bayaran bisa di belakang!

Anak saat kematian orangtua:
Sungguh perasaan ini sedih ditinggalkan orangtua kami. Oh ya ustadz,
ustadzah, boleh bantu kami mandikan orangtua kami? Kafankan orantua
kami? Sholatkan orangtua kami? Kuburkan jenazah orangtua kami?
Sekalian nanti kalau sudah selesai tolong tahlilkan ya orangtua kami!
Karena kami kurang mengerti, kami belum siap ditinggalkan orangtua
kami. Insya Allah bayaran bisa di belakang!

************ ********* ********* ******

Orangtua dari Balita:
Maafkan kami ya Nak. Kami terpaksa menyerahkan dan membesarkanmu hanya
dengan pembantu di rumah saat kamu masih Balita. Kami kan sibuk
bekerja. Mau bagaimana lagi, daripada tidak ada yang menjaga? Kami
hanya ingin memastikan ada yang mengurus kebutuhanmu. Demi kamu
sendiri.

Anak dari Lansia:
Maafkan kami ya Pa Ma. Kami terpaksa memakai jasa panti jompo untuk
menjaga Papa Mama. Kami kan sibuk bekerja. Mau bagaimana lagi,
daripada tidak ada yang menjaga? Kami hanya ingin memastikan ada yang
mengurus kebutuhan Papa Mama. Demi Papa Mama sendiri.


************ ********* ********* ******

Balita : Ini warna apa Ma?
Orangtua : Putih sayang....
Anak : Warna apa?
Orangtua : Putih.....
Anak : Warna apa?
Orangtua : Pu...tih.... ..
Anak : Apa?
Orangtua : Putih!
Anak : Apa?
Orangtua : Aduh....Putih. ....putihh. ... putih.....jangan tanya
berulang-ulang begitu. Kamu
pura-pura nggak dengar ya? Jangan buat Mama kesel dong!

45 tahun kemudian

Lansia : Ini warna apa Nak?
Anak : Putih Mama....
Lansia : Warna apa?
Anak : Putih.....
Lansia : Warna apa?
Anak : Pu...tih.... ..
Lansia : Apa?
Anak : Putih!
Lansia : Apa?
Anak : Aduh....Putih. ....putih. ... putih.....jangan tanya
berulang-ulang begitu. Mama ini
pura-pura nggak dengar apa? Jangan buat aku kesel dong!


Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Pendiri Sekolah Orangtua PSPA

Friday, 8 January 2010

resep #15 Kopi Lobi

Rating:★★★
Category:Other
DI KEDAI KOPI semuanya terjadi. Kafe, sebutannya, biasa digunakan orang untuk bertemu. Budaya Amerika, terutama di kalangan urban, dimana para lajang hanya menghuni apartemen kelas STUDIO atau sekitar 36-45 meter persegi, kafe menjadi tempat favorit untuk bertemu. Kafe menjadi ruang tamu. Gejala tersebut juga sudah lumrah di Indonesia, khususnya untuk kalangan pekerja di kota besar.

Jika Anda diposisikan sebagai 'asing' maka lebih baik menerima tamu di kafe. Beranda kafe memang sangat nyaman bertemu dengan orang-orang yang tidak dikenal atau baru dikenal. Dalam ruang yang seperti ini keterasingan membuat kedua pihak dapat menjalin keintiman.

Lepas dari kebiasaan bertemu dengan orang asing, ada budaya lain yang berkembang, terutama dalam membuat kesepakatan. Dalam forum-forum resmi biasanya jarang banyak pihak yang menggunakan kesempatan pertemuan untuk membuat kesepakatan. Mereka lebih banyak menggunakan kesempatan untuk 'penjajakan'. Dengan beragam cara, seperti 'memancing perdebatan yang tidak perlu', 'membuat lelucon yang tidak lucu', atau 'berlagak menjadi orang terpintar sedunia' untuk menemukenali orang pintar sesungguhnya. Cara-cara ini cukup melelahkan. Dan kesepakatan (berdasarkan pengalaman saya) dibuat di KEDAI KOPI, sebelum atau sesudah acara. Jika bukan merujuk pada tempat sesungguhnya, maka kesepakatan justru lebih banyak dilakukan lewat obrolan a la WARUNG KOPI.

Berbagai pertemuan nampaknya cuma arena teater bagi para aktor yang ingin membuat kesepakatan. Sehingga wajar banyak muka yang berganti di setiap pertemuan.