Rating: | ★ |
Category: | Other |
Tahun 2000, kalo gua kaga salah, WHO rilis data: 18 juta orang mati karena kekurangan gizi. Gua pikir, 'kekurangan gizi' atau 'malnutrisi' bahasa akademis dunia media yang ngetop dengan nama KELAPARAN!!! Kalo gua ga keliru, itulah yang merupakan pembunuh utama umat manusia disamping AIDS, TBC, Malaria, Rokok, kecelakaan lalu lintas, dlsb. Tapi, anehnya, masih ada aja orang yang ngomongin rokok berbahaya dan mengambil data dari WHO bahwa 5,4 juta orang mampus karena rokok, ditambah pula dengan alasan dalam tempo 6,5 detik satu orang mampus karena rokok (tapi, belum ada penjelasan, ini setahu gua, apakah yang mampus itu perokok atau yang bukan perokok. Kalau yang mampus itu perokok, pikiran pendek gua ngomong 'lantas buat apa diributin?' yang ngerokok koq yang mampus. tapi, kalo yang mampus yang bukan perokok, ini perlu menjadi diperhitungkan lebih lanjut. terus apa sebenarnya masalah orang yang kaga merokok melihat orang yang tak merokok sampe ribut-ribut tentang asap rokok? gua pikir, lewat pikiran pendek gua, masalah perasaan, tidak nyaman, asap rokok mengganggu. tapi bagi orang merokok, dia suka dia puas. kalo orang yang tak merokok tak senang ama si perokok, marahin aja, bilang "eh elo kalo ngerokok jangan disini, **i!" dan kalo yang tak suka rokok bisa ngomong begitu, tentunya gua pikir, lagi-lagi lewat pikiran pendek gua, si perokok juga bisa bilang, "siape elo **e*e! emang disini tanah bapak loe, emak loe, engkong loe?")
ANTARA Kelaparan dan merokok ada perbedaan mendasar. Kelaparan, menurut saya, bukan pilihan. Sedangkan merokok, adalah pilihan. 18 juta orang meninggal dunia karena kelaparan. Di sini, kelaparan menjadi situasi ketiadaan harapan. Tidak adanya harapan menihilkan pilihan. Ini adalah masalah mendasar. Make Poverty History. Berbeda dengan merokok yang merupakan pilihan. Terlepas dari apakah pilihan itu sadar atau tidak. Sebab ketika orang mampu memilih, dia punya harapan.
Saya pikir, disinilah keistimewaan ekonom besar semisal Muhammad Yunus, dan Amartya Sen. Bagi Muhammad Yunus, kelaparan dekat dengan kemiskinan. Bagi Amartya Sen, kelaparan dekat dengan ketiadaan kebebasan, dan barangkali itulah yang menyebabkan dia menggagas 'Development as Freedom', Pembangunan sebagai Kebebasan, karena Kebebasan memberikan Pilihan, diikuti dengan Rasionalitas memilih dan bertindak. Pertanyaannya disini, apakah memang kelaparan harus ada? Kalau memang harus ada, tentunya manusia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasinya. Tapi, kalau kelaparan memang bisa dinihilkan, maka manusia masih bisa melakukan sesuatu untuk menihilkan kelaparan. Kalau saya pikir, benarkah pangan merupakan sumber daya yang terbatas, berbeda dengan udara yang katanya merupakan sumber daya tak terbatas? Atau asumsi itu hanyalah ilusi untuk mempermudah pengkategorian barang-barang yang bernilai ekonomis saja? Apakah manusia hanya butuh udara untuk hidup? Apakah manusia tidak butuh makanan untuk hidup? Kalau udara dibutuhkan agar manusia hidup, mengapa pula udara bisa berbeda dengan makanan hanya dengan mengandalkan istilah abstrak 'tak terbatas' dan 'terbatas'? Ah, sampai disini saya pening. Apakah memang rokok masih layak diperdebatkan panjang lebar hingga dihasilkan kebijakan publik yang menyeluruh, komprehensif, global, serta universal untuk mengatur soal rokok, merokok, cukai rokok, usia perokok, lokasi merokok, perdagangan rokok, sanksi merokok? Lantas, kematian yang bagaimanakah yang sebenarnya lebih berbahaya, dari sisi angka,: yang 18 juta atau yang 5,4 juta? Kematian manakah yang sebenarnya lebih dahsyat: karena kelaparan atau karena rokok?
Ah, sepertinya saya harus banyak tanya-tanya dululah sebelum omong. Barangkali saya terkena ilusi globalisasi, ada kelaparan di 'luar' sana hingga menafikan bahwa ada sebuah negara yang berulang tahun 17 agustus memang benar-benar punya kepentingan urgen dan mendesak untuk mengatur kebijakan publik menyangkut rokok; apalagi setelah saya baca puisi salah seorang penyair dari negeri 17-an itu yang berjudul 'Tuhan Sembilan Senti', terus-terang, saya benar-benar terpukau sekaligus terpukul. Di negeri 17-an, seorang sastrawan meluangkan waktunya untuk menghasilkan puisi yang bicara tentang rokok dengan membawa-bawa Tuhan, berhala, rokok, AIDS, ahli hisap atau ahli hisab, ustad, puskesmas, sawah, petani, AC.
dvd.tbg
Tuhan Sembilan Senti
ReplyDeleteKarya Taufik Ismail
Indonesia adalah semacam firdaus jannatuna’im
sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,
............ ......... .........
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil,
pertandingan bulutangkis,
turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,
............ ......... ........
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
ke mana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya
............ .........
Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu ¡alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol,
sudah ada babi,
tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan,
jangan,
Rabbana,
beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.