It would be too ridiculous to go about seriously to prove that wealth does not consist
in money, or in gold and silver; but in what money purchases, and is valuable only for
purchasing. Money, no doubt, makes always a part of the national capital; but it has
already been shown that it generally makes but a small part, and always the most unprofitable part of it. (Adam Smith dalam Albion Small, Adam Smith and Modern Sociology, p 80, Kitchener Book, 2001, First Edition 1907 (Chicago))
Apa saja yang bisa dibeli dengan uang? Atau dapat dinyatakan dengan tanpa tanda tanya. The Beatles mengatakan money can’t buy me love. Senada dengan itu ilmu ekonomi kelembagaan menyimpulkan bahwa sistem pasar memerlukan sufficient minimum amount of love. Merkantilisme awal yang digagas Adam Smith menyatakan kekayaan suatu bangsa tidak bisa tidak diukur dengan jumlah uang, emas dan perak, namun itu adalah sebagian kecil, dan hampir merupakan bagian yang tidak menguntungkan. Modal nasional yang paling kuat menurut Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiment (buku yang lahir sebelum buku babon merkantilisme yang kemudian menjadi kapitalisme An Inquiry Into the Nature and Causes of The Wealth of Nation, 1776) adalah warga negara yang baik. Smith mengatakan pertimbangan kerja bukanlah untung rugi belaka, namun menjadi warga negara negara yang berjuang untuk kesejahteraan masyarakatnya, kesejahteraan bersama, common good. Merkantilisme awal di Eropa mengajak warganya untuk setia dan mengembangkan negara-semangat nasionalisme. Walaupun bentuknya bisa berubah ketika sampai di Hindia Belanda, menjadi imperialisme ekonomi.
Saat itu Indonesia belum ada, tapi eksis. Indonesia eksis dalam semua percakapan yang menurut Sutardji ‘puitis’. Saat itu yang eksis adalah hukum adat, semangat menjadi, ethos, romantik, andai-andai, pengorbanan, perjuangan, adu argumentasi, nalar, taktik dan strategi, komunikasi, transaksi, konsensi, konvensi. Saat itu tahun 1928. Saya menganggapnya Nol Kilometer Yang Nyata.
Saat ini saya duduk di Nol Kilometer Yang Maya. Garis batas sebelah Barat Indonesia yang dimulai dengan tanda sebuah monumen tempat dimana Indonesia bermula. Indonesia ada. Tapi tidak eksis di benak saya. Gawat. Indonesia tidak lagi puitis. Penjagalan, pembantaian, pembohongan publik, korupsi, adu kuasa, tipu muslihat, represi, meminjam istilah Nawaal el Sadawi, Indonesia di Titik Nol. Nol yang bukan awal, tapi nol yang puitis. Nol untuk menggantikan Nihil. Indonesia yang Nihil.
Seluruh kepercayaan di dunia, saya percaya menempatkan cinta kasih sebagai dasar spiritual. Jika kepercayaan ini nihil maka spiritual juga kosong. Sufficient minimum amount of love, mungkin menarik menjadi khotbah nikah jika saya seorang penghulu. Saya bukan. Tapi menarik bagi saya untuk mengatakan bahwa tempe yang sekarang mahal (karena bahan bakunya sebagian besar dari Amerika Serikat, yang memasok lebih dari separuh kebutuhan kedelai dunia) karena bangsa ini kehilangan cinta. Yang menurut Gombloh seperti tahi kucing rasa coklat. Saya sepakat dengan Gombloh dan Adam Smith (repot kan yang beginian ada di khotbah nikah). Tempe yang insyaallah masih genuine Indonesia (masa iya), paten Indonesia, ternyata sejak jaman orde baru mendapatkan bahan baku berupa kedelai dengan gaya bertransaksi tahun 1700an, transaksi kaum merkantilis. Atau mungkin nilai merkantilis tersebut sudah ada sejak tempe diciptakan.
Tanaman kedelai mulai dijadikan tanaman komersial setelah dibudidayakan di Cina 5000 tahun yang lalu. Disana kedelai merupakan 5 tanaman utama untuk menunjang kesehatan. Kedelai masuk ke Eropa saat awal merkantilisme tahun 1700an, dan masuk ke Amerika pada tahun 1900an. Saya tidak tahu kapan tempe menjadi genuine Indonesia, dengan kedelai asli Indonesia, dan diproduksi oleh Indonesia pribumi (yang mana ya). Yang saya tahu ‘tahu’ asli Cina, juga kudapan kembang tahu. Namun ekonomi institusi dan moral ini tidak berguna jika situasinya seperti ini, dimana individualisasi tinggi, juga dimana transisi ke kapitalisme terkonsolidasi, dan dimana struktur komunitas lemah (Kurtz, M. J. 2000. Understanding Peasant Revolution : from Concept to Theory and Case in Theory and Society (29:93-124)
Ketika Indonsia di Titik Nol, tahi kucing rasa coklat tak ada, jangan bicara masalah ekonomi moral atau kelembagaan, artinya bicaralah dalam bahasa chaos. Mau lebih santai pilih yang oblong.
Menurut mite Yunani Theogony, alam semesta dimulai dari keadaan kekosongan yang disebut Chaos. Bumi muncul dari Chaos. Menurut ilmu pengetahuan modern chaos mempelajari proses yang kompleks dan tidak biasa. Menurut matematikawan chaos mempelajari tentang geometri fraktal dan pola-pola yang terlihat acak, seperti perubahan cuaca dan pasar saham, saya menambahkan kondisi itu dengan konteks ipoleksosbudhankam. Dalam keadaan kosong, kompleks, tidak biasa, tidak normal, acak, dan terfraksi (terbagi-bagi dalam copy-an yang sama). Saya melihat dari Nol Kilometer Yang Maya, untuk refleksi, sebagai berikut.
Saya sedih melihat diri saya tidak bisa memaafkan orang, bapak pembangunan kita (seperti juga Shah Iran yang membangun infrastruktur fisik luar biasa dibawah IMF dan Bank Dunia-menjuluki dirinya Bapak Pembangunan sebelum Ayatullah Khomenei bicara cinta dan jadi revolusi damai pertama yang paling massif di abad ke-20-ini bukan kutipan CNN, BBC atau TV Prancis, atau Metro TV), presiden kedua, Soeharto. Sedih sekali. Saya sudah kehilangan cinta, saya menihilkan apa yang yang pernah dibuat oleh Soeharto, tentu dalam hal kebaikannya. Saya juga bertanya apakah pepatah gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan kebajikan. Begitu saja hilang. Apakah saya merupakan fraksi dari kondisi ipoleksosbudhankam yang ditinggalkan oleh Soeharto, apakah saya bad side dari pembangunan, apakah saya kontra indikasi dari pembangunan, yang seharusnya dilakukan dengan cinta dan kasih sayang. Apakah saya salah memahami orang bernama Soeharto sampai detik hidupnya hampir berakhir. Apakah saya harus mendukung pendapat si A, atau si B, tentang akhir hidup orang yang disebut Soeharto.
Saya sering menyumpahinya agar ia mati, tepatnya meninggalkan dunia kita. Saya tidak tahu persis kajahatan yang dia lakukan kecuali dari bahan bacaan dan analisa kebijakan yang dia buat selama berkuasa yang jelas-jelas membuat sengsara sebagian orang, sebagian besar malah, terutama di luar Jawa. Saya mencoba menalar Soeharto, dan kesimpulannya dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Saya menalarnya, belum pernah sedikitpun menyentuhnya dengan hati, dengan cinta, tahi kucing rasa coklat atau sekarang di gerai cepat saji ada rasa sambal balado. Saya belum pernah sedikitpun memberinya tahi kucing rasa yang dia suka. Sesuai seleranya. Kebencian membungkus saya. Itu menyebabkan saya tidak pernah bisamenjamahnya dengan cara lain.
Dalam mistis yang berkembang di Indonesia sakratul maut yang demikian panjang menandakan sebuah penghukuman, semacam early purgatory, dimana si dying man, harus diikhlaskan atas kesalahannya, diampunkan atas dosanya. Mistis Islam dan pra Islam di Jawa dapat menjawab apa yang dialami Soeharto sekarang. Penderitaan sakratul maut adalah tanda-tanda hidup yang pernah dilakoni-dengan menyengsarakan yang lain. Jika bukan Soeharto misalnya, Ahmad Albar dan Liem Sio Liong yang keturunan (btw, di sebagian daerah di Indonesia kalangan Arab dibenci secara rasial seperti sebagian orang membenci keturunan Cina) atau Roy Marten yang pribumi pasti orang langsung membuka aibnya, tuh kan suka begini, begitu, bla, bla, bleb seh...Padahal keluarga si dying man wajib mengatakan ke publik (di ajaran Islam), tentang hal ihwal utang piutang, dan masyarakat atau komunitas sekitarnya membantu mendoakan agar Tuhan mengampuni dosanya, bukan nyinyir mempermasalahkan aibnya, seperti pepatah kuno diatas. Kebajikannyalah yang diomongkan. Namun dalam upacara kematian yang pernah saya datangi selalu, tepatnya 98% orang sekitar membicarakan kadar kejahatannya dan sebab-sebab kematian, proses kematian. Semakin sulit semakin mistis. Ada beberapa kematian yang saya kunjungi yang membicarakan kebajikan seseorang, sekitar 2%, kebajikan diperbincangkan bahkan sampai tingkat yang hiperbolik-adi manusia. Taruhannya, adalah sialan juga tetangga dan kawan-kawan kita memperlakukan kita ketika kita mati. Sebab kematian paling utama adalah kehidupan, artinya taruhan itu akan membuat nyaman ketika kita bisa berdamai dengan kehidupan, apakah kita memperlakukan tetangga dan kawan secara sialan. Bagaimana dengan Soeharto (nyambung neh dengan Bagaimana Tentang Leonardo).
Saya khawatir sekali dengan pemberitaan di koran-koran. bagaimana Soeharto dipaksakan untuk hidup, dengan segala upaya medis. Secara moral keluarga Soeharto sangat yakin dengan perlakuan medis yang dilakukan untuk Soeharto, dan itu dibenarkan dan baik. Sangat manusiawi. Yang saya khawatirkan ada dua, pertama kata ‘dipaksakan hidup’ membuat segala usaha yang dilakukan dokter adalah plasebo, sebuah efek yang pura-pura. Dimana usaha dokter adalah memberikan sugesti bahwa yang diberikan adalah obat yang manjur, yang dapat menghentikan sakit. Kedua, dipaksakan hidup, akan mencapai sebuah titik--dokter menyerah, segala mesin dicabut dari tubuh, perlahan otak dan jantung, serta paru-paru tidak lagi bekerja, dan secara medis dinyatakan tidak lagi memiliki kehidupan. Jika demikian, sampai titik ini yang saya sebut sebagai Kilometer Nol Yang Sebenarnya, apakah bukan kebalikannya dari usaha pertama-yang tidak kenal menyerah. Kebalikannya yaitu eutanasia.
Ada ungkapan poetic justice, sebuah keadaan atau situasi dimana seseorang bertemu takdirnya yang terlihat bersesuaian dengan polah tingkah masa lalunya, baik takdir baik (berupa penghargaan) atau takdir buruk (berupa hukuman). Keadilan yang puitis ini sangat cocok untuk menggambarkan situasi sakratul maut Soeharto yang seperti ditunda-tunda, sampai ada kesepakatan ‘nasional’ bahwa Soeharto butuh cinta, karena dia pernah menihilkannya ketika berkuasa. Maka dengan segenap perasaan romantik saya memilih kata cinta dalam kamus kematian ini. Hentikan saja penderitaan Soeharto, cabut segala mesin dari tubuhnya, dan biarkan ia kembali ke awal. Telanjang. Kembali ke Nol Kilometer.
Tindakan ini jika tidak bisa dikatakan eutanasia maka bisa dikatakan sebagai palliative care, yang biasanya dilakukan dokter untuk mengatasi stadium akhir dari suatu penyakit atau kesakitan. Para pendukung tindakan palliative care, ini membedakan antara eutanasia dengan palliative care, dimana tindakan palliative care ini tidak dimaksudkan untuk mengakhiri hidup pasien secara langsung. Namun merawatnya dan membuatnya nyaman, dengan memberitahukan bahwa kematian adalah hal yang teramat biasa. Padanan dari palliative care adalah hospice care, perawatan rumahan, ‘rumah, hommy’ dimana tidak ada bising wartawan dan demonstran. Yang ada cuma keluarga dan kroni yang mencintainya. Inilah tahi kucing selera Soeharto, bukan rumah sakit yang serba steril dari penjenguk yang diinginkan dan tidak oleh orang terdekatnya. Maka, mulailah perjalanan Nol Kilometer Sebenarnya untuk Soeharto, karena dunia cuma tempat singgah.
Sufficient minimum amount of love, hal yang sangat menarik untuk diamalkan. Sedikit saja. Asal ada cinta. Di titik Nol Kilometer yang Maya saya berhadapan-hadapan dengan Nol Kilometer Yang Nyata dan Nol Kilometer Yang Sebenarnya.
Ternyata di aras ilmiah ukuran terbukti bukanlah segalanya. Apalagi jika diperbandingkan dengan semesta. Bapak pembangunan, pembangunan fisik, rasialisme, kekuatan bersenjata-benteng marinir dan brigade mobil, ribuan milisi yang menyamar rakyat, rumah mewah, pernah tumpul dan tidak berarti-dalam delapan menit. Dua ratus ribu manusia-berangkat ke alam baka-titik Nol Kilometer Yang Sebenarnya, hanya dengan goyangan dan air .
Bencanakah jika sufficient minimum amount of love tidak termaknai lagi. Dua ratus juta-an rakyat Indonesia diambangnya, jika Soeharto tidak ada. Soeharto akan tetap eksis, sampai kita mengatakannya tidak perlu. Biarkan ia sendirian memulai langkah selanjutnya. Secara kolektif Nol Kilometer Yang Nyata patut dimaknai ulang. Berpuisilah kembali. Jangan mau nihil. Money can’t buy me love.
widhy | sinau
Note:
disarankan membaca artikel ini sambil mendengarkan lagu If I Fell-The Beatles atau cover versionnya-Maroon 5, sambil membayangkan duduk diatas bukit sambil mengahadap samudera. Bah, apa yang tidak mungkin!
eu·tha·na·sia n
the act or practice of killing somebody who has an incurable illness or injury, or allowing or assisting that person to die.
Encarta® World English Dictionary © 1999 Microsoft Corporation. All rights reserved. Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing Plc.
eu·tha·na·sia n
Euthanasia, pronounced YOO thuh NAY zhuh, is the practice of painlessly ending the lives of people who have incurable, painful, or distressing diseases or handicaps. It may occur when incurably ill people ask their physician-or a friend or relative-to put them to death or to allow them to die. It may also occur when ill people ask others to help them commit suicide. Euthanasia is sometimes called mercy killing.
The World Book 2005 Multimedia Encyclopedia, developed by Software MacKiev Company
Eutanasia
Tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005)
Many people oppose active euthanasia, such as the injection of a lethal drug, because it requires one person to deliberately kill another. Fewer people oppose passive euthanasia-the withdrawal of life-sustaining medical treatment-for patients who request it. Belgium and the Netherlands are the only countries that have legalized active euthanasia, and in those countries the practice is legal only under certain conditions.
Clinical ethics evaluates the morality of decisions about medical care made by or with patients and their families. Problems of clinical ethics include deciding whether or not to remove life-sustaining treatment, making medical decisions for a newborn with severe mental retardation or an unconscious person, and dealing with requests for euthanasia from patients or their families.
Some people feel that hopelessly ill patients should have the right not only to refuse treatment but also to request physician-assisted suicide. In this type of active euthanasia, a doctor helps a patient by providing the means to die painlessly and with dignity. In the United States, physician-assisted suicide is legal only in Oregon.
Palliative care differs from physician-assisted suicide or euthanasia (helping or allowing people to die). It is not intended to be the direct cause of death. Supporters of palliative care believe that many terminally ill patients ask to die because they suffer from untreated pain, undiagnosed depression, despair, or social isolation. Medical studies have shown that dying patients often do not receive adequate treatment for pain and depression. )
placebo
A placebo is a "dummy treatment" that appears similar to the active treatment but lacks a key element, such as the effective ingredient in a pill.
The World Book 2005 Multimedia Encyclopedia, developed by Software MacKiev Company
Saya sependapat, meski berbeda pendapatan.
ReplyDeleteSoeharto harus kembali ke rumah, untuk kembali mendapatkan Cinta!
(terserah, rumah mau diartikan sebagai apa.)
dvd.tbg
Imagologi Duka Pak Harto
ReplyDeleteSenin, 21 januari 2008 | 04:36 WIB
Yasraf Amir Piliang
Hari-hari ini, perhatian, perasaan, dan pikiran bangsa Indonesia tercurah pada kondisi mantan Presiden Soeharto yang sedang terbaring sakit. Ada ekstra kesibukan di mana-mana. Para dokter rumah sakit sibuk merawat Pak Harto, para wartawan tak henti memberitakan kondisi beliau, para kerabat silih berganti membesuk ke rumah sakit, para politikus tak bosan-bosan memberikan komentar politik, para simpatisan tak putus-putus memanjatkan doa, bahkan para mistikus ambil bagian memberikan analisis gaib.
Pemberitaan intensif kondisi harian Pak Harto di aneka media mengubah sakit Pak Harto menjadi ”dramatis”. Istilah ”normal”, ”stabil”, ”kritis”, ”ventilator”, ”cairan tubuh”, ”memaafkan” kini menjadi bagian sentral drama publik.
Sakit hiper-real
Sakit itu menjadi sebuah ”wacana” (discourse), ”teks”, dan kumpulan ”tanda-tanda” (sign) untuk dimaknai setiap orang. Sakit itu kini menjadi ’imagologi kesakitan’ (imagology of sickness): keprihatinan, kedukaan, dan empati yang dibangun melalui citra-citra media.
Sakit Pak Harto dimuati pula dengan tafsir-tafsir politik, ekonomi, sosial, spiritual, bahkan mistis. Sakit itu kini dikaitkan dengan kesalahan politik, dosa sosial, peristiwa mistik, bahkan fenomena-fenomena spiritual. Sakit itu tidak saja membentuk opini publik (pro-kontra antara diadili/dibebaskan, dihukum/diampuni), tetapi juga ”histeria massa” (mass hysteria): gejolak keprihatinan, kedukaan, dan empati mendalam.
Sakit Pak Harto kini menjadi hiperteks (hypertext), yaitu kesakitan yang dinarasikan dari hari ke hari melalui media elektronik-digital. Sakit itu pun kini menjadi sakit ”hiper-real”, di mana organ-organ dalam tubuh Pak Harto (jantung, lambung, paru-paru, ginjal, saluran pencernaan) dinarasikan menit per menit dalam format citra virtual-digital di dalam aneka media elektronik, yang memperbesar ”efek” sakit dan kesakitan itu sendiri bagi publik—hyperreality of sickness.
Publisitas duka
Realitas sakit Pak Harto kini menjadi citra duka publik di dalam layar elektronik. Naik turun detak jantung Pak Harto seakan menjadi naik turun detak jantung publik; harap-cemas para dokter seakan menjadi harap-cemas publik; komat-kamit doa keluarga kini menjadi komat-kamit doa publik. Sakit Pak Harto membangun sebuah ruang ”publisitas” duka, keprihatinan dan doa.
Sebagaimana dikatakan Susan Sontag dalam Regarding the Pain of Others (2003), abad informasi mampu menghadirkan kesakitan dan duka seseorang ke hadapan mata setiap orang sehingga membentuk ”duka publik”. Akan tetapi, teknologi informasi tidak saja mampu memindahkan informasi dengan kecepatan tinggi dan secara real time, tetapi juga mampu memberi ”pembesaran efek” (amplifier effect) sehingga duka diri kini menjadi duka setiap orang.
Akan tetapi, citra visual itu tidak selalu merupakan cermin realitas. Citra-citra ”dipilih” untuk satu tujuan tertentu. Mengambil foto berarti membingkai (to frame) dan meminggirkan (exclusion), yaitu menyembunyikan realitas-realitas lain dari mata publik. Narasi visual Pak Harto yang terbaring sakit dibingkai bersama narasi-narasi visual masa kecil, kegigihan, keberanian, dan kepahlawanannya sehingga menggugah empati di hati publik.
Julia Kristeva dalam Black Sun: Depression and Melancholia (1989) mengatakan, duka tidak sekadar fenomena psikis, tetapi menuntut diekspresikan. Duka tidak mungkin hanya disimpan dalam hati, tetapi harus diungkapkan melalui tanda-tanda sehingga menjadi sebuah ”semiotika duka” (semiotics of melancholia). Membesuk, berdoa, meruwat, mengirim bunga, menyampaikan pesan duka adalah bagian dari ’semiotika duka’ itu.
Semiotika duka di abad informasi dapat memberi efek ganda. Di satu pihak, melalui tanda duka, orang mengungkapkan rasa simpati. Di pihak lain, ungkapan duka dapat menjadi media ”publisitas rasa duka”, yaitu memperlihatkan ”ungkapan duka” pada publik untuk mendapatkan efek sosial, ekonomi, poli