Sunday, 27 January 2008
Jakarta 27
siang ini masih ampang
tapi ini berita serak
disini
awal parade bukan semata duka
ada air mata
masih muda
menghentikan sementara percakapan
dengan tunduk
tengadah
atau lupa
pada buku terlentang
“apa yang bisa kulakukan tanpa yang absurd dan yang sementara?”
jika bukan kau yang mendesak di lengkung senja
sore ini masih sama
disana
aku bisa saja menemani kau menemui kekasihmu
dan masih mungkin bercakap-cakap
layaknya temu wicara
mungkin
aku sebagian yang datang
dan bersimpuh
di tilam yang lama
salah satu dari kita
pastilah bertanda luka
“kalau kau mau kuterima kau kembali/untukku sendiri/tapi sedang dengan cermin aku enggan berbagi"
jika bukan kau
pasti aku
yang hanya khayal
atau sekadar sembunyi
pada yang harum
pada yang darah
yang kuingin
telanjang
bukan klimaks yang terjuntai
mungkinkah bila
bukan aku tujuanmu
“terbangnya burung/hanya bisa dijelaskan/dengan bahasa batu”
jika di angka ini kau berdiam
mungkin aku menujumu
dengan terseret
dengan terserak
buka kembali tilam tua
dan mulai mengeja
angka-angka
batu-batu
dan sihirmu
kubingkai sempurna
widhy I sinau
Gunawan Mohamad, dalam Untuk Frida Kahlo
Chairil Anwar, dalam Penerimaan
Sapardi Joko Damono, dalam Terbangnya Burung
...sejarah membuktikan bahwa gerakan sastra yang tidak memiliki landasan ideologi yang kuat akan sulit melahirkan suatu karya besar...
Puisi Berdengung di Langit Kudus
Rabu, 23 Januari 2008 | 17:40 WIB
Acara tersebut diawali dengan kongres komunitas itu pada Sabtu kemarin yang akhirnya memilih Ahmadun Yosi Herfanda sebagai ketua umumnya. Lalu, malamnya diadakan dialog interaktif tentang komunitas sastra dengan narasumber penyair Sutardji Calzoum Bahri, kritikus sastra Maman S. Mahayana, Direktur Utama RRI Parni Hadi, Surya Yoga dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan Adi Suyatno dari Lembaga Pertahanan Nasional.
Dalam dialog yang disiarkan oleh RRI secara nasional itu mengemuka wacana untuk lebih memperhatikan sastra komunitas, tidak hanya komunitas sastra. Sastra komunitas, menurut Parni Hadi, adalah karya-karya sastra yang ada dalam komunitas di masyarakat, misalnya sastra tradisi. Karya-karya seperti itu jarang muncul. Ia berharap kongres komunitas sastra itu bisa menjadi tonggak kebangkitan sastra komunitas.
Usai dialog, acara beralih ke pembacaan puisi. Sejumlah sastrawan yang tampil antara lain Sutardji Calzoum Bahri, Jumari H.S., Thomas Budi Santoso, Sudjiwo Tedjo, dan KH Mustofa Bisri. Malam itu ditampilkan pula kesenian tradisi dari Kudus. Tengah malam, pentas baru ditutup, tapi orang-orang tetap berada di sana hingga dini hari.
Besoknya, acara berganti dengan seminar sastra selama sehari penuh. Ada sejumlah pembicara yang tampil, antara lain Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Dendy Sugono, Ahmadun Yosi Herfanda, Maman S. Mayahana dari Universitas Indonesia, Korie Layun Rampan, Habiburrahman el Shirazi, dan Shiho Sawai dari Tokyo University of Foreigh Studies.
Ada beragam topik yang dikedepankan, yakni "Komunitas Sastra sebagai Basis Ideologi Kesusastraan", "Komunitas Sastra sebagai Basis Estetika Penciptaan", "Sastra dan Kebutuhan Masyarakat Pembaca", dan "Perayaan Komunitas Sastra di Daerah". Salah seorang pembicara, Shiho Sawai, mengatakan komunitas sastra adalah bentuk pelaksanaan kegiatan sastra yang khas Indonesia.
Di Indonesia, komunitas sastra berupa sekelompok atau sejumlah orang yang bertujuan melakukan kegiatan sastra, seperti menerbitkan, membaca, mendengar, serta membahas teks sastra. Kelompok semacam ini sudah eksis di Nusantara sejak zaman kolonial, supaya orang bisa mendapat akses untuk membaca dan membahas buku bersama-sama saat kebanyakan orang kesulitan memperoleh buku.
Setelah Orde Baru runtuh, jumlah komunitas sastra bertambah drastis dengan kegiatan yang makin beragam. Pertumbuhan komunitas sastra ini sebagian didukung oleh perkembangan ekonomi dan perbaikan standar pendidikan warga negara. Selain itu, didorong oleh perkembangan sosial yang memungkinkan bertambahnya orang yang mampu membeli buku atau sudah terbiasa membaca dan menulis.
Adapun Ahmadun Yosi Herfanda melihat komunitas sastra, disadari dan diumumkan ataupun tidak atau menggelinding begitu saja, merupakan tempat pengembangan sebuah ideologi kesusastraan. Bagi komunitas sastra yang bersikap menggelinding saja atau yang terlalu moderat dalam menyiasati "ideologi kesusastraan", persoalan ideologi di dalamnya akan cenderung mencair.
Sementara itu, komunitas yang dengan sadar berada pada ideologi tertentu, semacam agenda perjuangan, ideologi yang dipilihnya akan cenderung mengental. "Sejarah membuktikan bahwa gerakan sastra yang tidak memiliki landasan ideologi yang kuat akan sulit melahirkan suatu karya besar," kata Ahmadun. Sebab, dia menambahkan, mereka tidak memiliki semangat juang untuk memenangkan ideologi tersebut.
Setelah seminar yang melelahkan selama sehari penuh itu, kembali puisi diperdengarkan pada malamnya. Ada sejumlah penyair yang membaca puisi, antara lain Yose Rizal Manua, Sosiawan Leak, Gunoto Saparie, Fatin Hamama, dan Fikar W. Eda. Pertunjukan baca puisi ditutup dengan wayang Klitik. Malam itu, juga diluncurkan buku berjudul Komunitas Sastra Indonesia, yang berisi kisah perjalanan komunitas sastra tersebut, beserta karya-karya para anggotanya berupa puisi, cerpen, dan esai.
Senin, 21 Januari, pagi, bait-bait puisi kembali menggema di langit Kudus. Dalam wisata budaya, sejumlah sastrawan kembali membaca puisi. Kali ini bukan di pentas biasa, melainkan di ruang pabrik rokok kretek PT Jarum, di tengah-tengah ribuan buruh yang tengah melinting rokok. Tidak hanya membaca puisi di panggung yang telah disediakan, sejumlah penyair membaca puisi sambil berkeliling menyambangi para buruh itu. Bahkan ada yang mengajak para buruh turut serta dalam atraksi pembacaan puisi.
"Ini pertama kalinya penyair membaca puisi di dalam pabrik, di tengah-tengah buruh yang sedang bekerja," kata Wowok Hesti Prabowo, pendiri KSI, yang punya ide mengadakan pembacaan puisi di pabrik itu. Ide itu lalu disampaikan kepada Direktur PT Jarum Thomas Budhi Santoso. Thomas, yang juga dikenal sebagai penyair, mempersilakan pembacaan puisi itu. Maka puisi pun meraung-raung di pabrik rokok.
MUSTAFA ISMAI
sumber berita
http://www.tempointeraktif.com/hg/budaya/2008/01/23/brk,20080123-116047,id.html
Thursday, 24 January 2008
Friday, 18 January 2008
Nol Kilometer, Placebo, Eutanasia untuk Soeharto, dan Tempe Yang Sekali Tempo Menjadi Makanan Mewah
in money, or in gold and silver; but in what money purchases, and is valuable only for
purchasing. Money, no doubt, makes always a part of the national capital; but it has
already been shown that it generally makes but a small part, and always the most unprofitable part of it. (Adam Smith dalam Albion Small, Adam Smith and Modern Sociology, p 80, Kitchener Book, 2001, First Edition 1907 (Chicago))
Apa saja yang bisa dibeli dengan uang? Atau dapat dinyatakan dengan tanpa tanda tanya. The Beatles mengatakan money can’t buy me love. Senada dengan itu ilmu ekonomi kelembagaan menyimpulkan bahwa sistem pasar memerlukan sufficient minimum amount of love. Merkantilisme awal yang digagas Adam Smith menyatakan kekayaan suatu bangsa tidak bisa tidak diukur dengan jumlah uang, emas dan perak, namun itu adalah sebagian kecil, dan hampir merupakan bagian yang tidak menguntungkan. Modal nasional yang paling kuat menurut Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiment (buku yang lahir sebelum buku babon merkantilisme yang kemudian menjadi kapitalisme An Inquiry Into the Nature and Causes of The Wealth of Nation, 1776) adalah warga negara yang baik. Smith mengatakan pertimbangan kerja bukanlah untung rugi belaka, namun menjadi warga negara negara yang berjuang untuk kesejahteraan masyarakatnya, kesejahteraan bersama, common good. Merkantilisme awal di Eropa mengajak warganya untuk setia dan mengembangkan negara-semangat nasionalisme. Walaupun bentuknya bisa berubah ketika sampai di Hindia Belanda, menjadi imperialisme ekonomi.
Saat itu Indonesia belum ada, tapi eksis. Indonesia eksis dalam semua percakapan yang menurut Sutardji ‘puitis’. Saat itu yang eksis adalah hukum adat, semangat menjadi, ethos, romantik, andai-andai, pengorbanan, perjuangan, adu argumentasi, nalar, taktik dan strategi, komunikasi, transaksi, konsensi, konvensi. Saat itu tahun 1928. Saya menganggapnya Nol Kilometer Yang Nyata.
Saat ini saya duduk di Nol Kilometer Yang Maya. Garis batas sebelah Barat Indonesia yang dimulai dengan tanda sebuah monumen tempat dimana Indonesia bermula. Indonesia ada. Tapi tidak eksis di benak saya. Gawat. Indonesia tidak lagi puitis. Penjagalan, pembantaian, pembohongan publik, korupsi, adu kuasa, tipu muslihat, represi, meminjam istilah Nawaal el Sadawi, Indonesia di Titik Nol. Nol yang bukan awal, tapi nol yang puitis. Nol untuk menggantikan Nihil. Indonesia yang Nihil.
Seluruh kepercayaan di dunia, saya percaya menempatkan cinta kasih sebagai dasar spiritual. Jika kepercayaan ini nihil maka spiritual juga kosong. Sufficient minimum amount of love, mungkin menarik menjadi khotbah nikah jika saya seorang penghulu. Saya bukan. Tapi menarik bagi saya untuk mengatakan bahwa tempe yang sekarang mahal (karena bahan bakunya sebagian besar dari Amerika Serikat, yang memasok lebih dari separuh kebutuhan kedelai dunia) karena bangsa ini kehilangan cinta. Yang menurut Gombloh seperti tahi kucing rasa coklat. Saya sepakat dengan Gombloh dan Adam Smith (repot kan yang beginian ada di khotbah nikah). Tempe yang insyaallah masih genuine Indonesia (masa iya), paten Indonesia, ternyata sejak jaman orde baru mendapatkan bahan baku berupa kedelai dengan gaya bertransaksi tahun 1700an, transaksi kaum merkantilis. Atau mungkin nilai merkantilis tersebut sudah ada sejak tempe diciptakan.
Tanaman kedelai mulai dijadikan tanaman komersial setelah dibudidayakan di Cina 5000 tahun yang lalu. Disana kedelai merupakan 5 tanaman utama untuk menunjang kesehatan. Kedelai masuk ke Eropa saat awal merkantilisme tahun 1700an, dan masuk ke Amerika pada tahun 1900an. Saya tidak tahu kapan tempe menjadi genuine Indonesia, dengan kedelai asli Indonesia, dan diproduksi oleh Indonesia pribumi (yang mana ya). Yang saya tahu ‘tahu’ asli Cina, juga kudapan kembang tahu. Namun ekonomi institusi dan moral ini tidak berguna jika situasinya seperti ini, dimana individualisasi tinggi, juga dimana transisi ke kapitalisme terkonsolidasi, dan dimana struktur komunitas lemah (Kurtz, M. J. 2000. Understanding Peasant Revolution : from Concept to Theory and Case in Theory and Society (29:93-124)
Ketika Indonsia di Titik Nol, tahi kucing rasa coklat tak ada, jangan bicara masalah ekonomi moral atau kelembagaan, artinya bicaralah dalam bahasa chaos. Mau lebih santai pilih yang oblong.
Menurut mite Yunani Theogony, alam semesta dimulai dari keadaan kekosongan yang disebut Chaos. Bumi muncul dari Chaos. Menurut ilmu pengetahuan modern chaos mempelajari proses yang kompleks dan tidak biasa. Menurut matematikawan chaos mempelajari tentang geometri fraktal dan pola-pola yang terlihat acak, seperti perubahan cuaca dan pasar saham, saya menambahkan kondisi itu dengan konteks ipoleksosbudhankam. Dalam keadaan kosong, kompleks, tidak biasa, tidak normal, acak, dan terfraksi (terbagi-bagi dalam copy-an yang sama). Saya melihat dari Nol Kilometer Yang Maya, untuk refleksi, sebagai berikut.
Saya sedih melihat diri saya tidak bisa memaafkan orang, bapak pembangunan kita (seperti juga Shah Iran yang membangun infrastruktur fisik luar biasa dibawah IMF dan Bank Dunia-menjuluki dirinya Bapak Pembangunan sebelum Ayatullah Khomenei bicara cinta dan jadi revolusi damai pertama yang paling massif di abad ke-20-ini bukan kutipan CNN, BBC atau TV Prancis, atau Metro TV), presiden kedua, Soeharto. Sedih sekali. Saya sudah kehilangan cinta, saya menihilkan apa yang yang pernah dibuat oleh Soeharto, tentu dalam hal kebaikannya. Saya juga bertanya apakah pepatah gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan kebajikan. Begitu saja hilang. Apakah saya merupakan fraksi dari kondisi ipoleksosbudhankam yang ditinggalkan oleh Soeharto, apakah saya bad side dari pembangunan, apakah saya kontra indikasi dari pembangunan, yang seharusnya dilakukan dengan cinta dan kasih sayang. Apakah saya salah memahami orang bernama Soeharto sampai detik hidupnya hampir berakhir. Apakah saya harus mendukung pendapat si A, atau si B, tentang akhir hidup orang yang disebut Soeharto.
Saya sering menyumpahinya agar ia mati, tepatnya meninggalkan dunia kita. Saya tidak tahu persis kajahatan yang dia lakukan kecuali dari bahan bacaan dan analisa kebijakan yang dia buat selama berkuasa yang jelas-jelas membuat sengsara sebagian orang, sebagian besar malah, terutama di luar Jawa. Saya mencoba menalar Soeharto, dan kesimpulannya dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Saya menalarnya, belum pernah sedikitpun menyentuhnya dengan hati, dengan cinta, tahi kucing rasa coklat atau sekarang di gerai cepat saji ada rasa sambal balado. Saya belum pernah sedikitpun memberinya tahi kucing rasa yang dia suka. Sesuai seleranya. Kebencian membungkus saya. Itu menyebabkan saya tidak pernah bisamenjamahnya dengan cara lain.
Dalam mistis yang berkembang di Indonesia sakratul maut yang demikian panjang menandakan sebuah penghukuman, semacam early purgatory, dimana si dying man, harus diikhlaskan atas kesalahannya, diampunkan atas dosanya. Mistis Islam dan pra Islam di Jawa dapat menjawab apa yang dialami Soeharto sekarang. Penderitaan sakratul maut adalah tanda-tanda hidup yang pernah dilakoni-dengan menyengsarakan yang lain. Jika bukan Soeharto misalnya, Ahmad Albar dan Liem Sio Liong yang keturunan (btw, di sebagian daerah di Indonesia kalangan Arab dibenci secara rasial seperti sebagian orang membenci keturunan Cina) atau Roy Marten yang pribumi pasti orang langsung membuka aibnya, tuh kan suka begini, begitu, bla, bla, bleb seh...Padahal keluarga si dying man wajib mengatakan ke publik (di ajaran Islam), tentang hal ihwal utang piutang, dan masyarakat atau komunitas sekitarnya membantu mendoakan agar Tuhan mengampuni dosanya, bukan nyinyir mempermasalahkan aibnya, seperti pepatah kuno diatas. Kebajikannyalah yang diomongkan. Namun dalam upacara kematian yang pernah saya datangi selalu, tepatnya 98% orang sekitar membicarakan kadar kejahatannya dan sebab-sebab kematian, proses kematian. Semakin sulit semakin mistis. Ada beberapa kematian yang saya kunjungi yang membicarakan kebajikan seseorang, sekitar 2%, kebajikan diperbincangkan bahkan sampai tingkat yang hiperbolik-adi manusia. Taruhannya, adalah sialan juga tetangga dan kawan-kawan kita memperlakukan kita ketika kita mati. Sebab kematian paling utama adalah kehidupan, artinya taruhan itu akan membuat nyaman ketika kita bisa berdamai dengan kehidupan, apakah kita memperlakukan tetangga dan kawan secara sialan. Bagaimana dengan Soeharto (nyambung neh dengan Bagaimana Tentang Leonardo).
Saya khawatir sekali dengan pemberitaan di koran-koran. bagaimana Soeharto dipaksakan untuk hidup, dengan segala upaya medis. Secara moral keluarga Soeharto sangat yakin dengan perlakuan medis yang dilakukan untuk Soeharto, dan itu dibenarkan dan baik. Sangat manusiawi. Yang saya khawatirkan ada dua, pertama kata ‘dipaksakan hidup’ membuat segala usaha yang dilakukan dokter adalah plasebo, sebuah efek yang pura-pura. Dimana usaha dokter adalah memberikan sugesti bahwa yang diberikan adalah obat yang manjur, yang dapat menghentikan sakit. Kedua, dipaksakan hidup, akan mencapai sebuah titik--dokter menyerah, segala mesin dicabut dari tubuh, perlahan otak dan jantung, serta paru-paru tidak lagi bekerja, dan secara medis dinyatakan tidak lagi memiliki kehidupan. Jika demikian, sampai titik ini yang saya sebut sebagai Kilometer Nol Yang Sebenarnya, apakah bukan kebalikannya dari usaha pertama-yang tidak kenal menyerah. Kebalikannya yaitu eutanasia.
Ada ungkapan poetic justice, sebuah keadaan atau situasi dimana seseorang bertemu takdirnya yang terlihat bersesuaian dengan polah tingkah masa lalunya, baik takdir baik (berupa penghargaan) atau takdir buruk (berupa hukuman). Keadilan yang puitis ini sangat cocok untuk menggambarkan situasi sakratul maut Soeharto yang seperti ditunda-tunda, sampai ada kesepakatan ‘nasional’ bahwa Soeharto butuh cinta, karena dia pernah menihilkannya ketika berkuasa. Maka dengan segenap perasaan romantik saya memilih kata cinta dalam kamus kematian ini. Hentikan saja penderitaan Soeharto, cabut segala mesin dari tubuhnya, dan biarkan ia kembali ke awal. Telanjang. Kembali ke Nol Kilometer.
Tindakan ini jika tidak bisa dikatakan eutanasia maka bisa dikatakan sebagai palliative care, yang biasanya dilakukan dokter untuk mengatasi stadium akhir dari suatu penyakit atau kesakitan. Para pendukung tindakan palliative care, ini membedakan antara eutanasia dengan palliative care, dimana tindakan palliative care ini tidak dimaksudkan untuk mengakhiri hidup pasien secara langsung. Namun merawatnya dan membuatnya nyaman, dengan memberitahukan bahwa kematian adalah hal yang teramat biasa. Padanan dari palliative care adalah hospice care, perawatan rumahan, ‘rumah, hommy’ dimana tidak ada bising wartawan dan demonstran. Yang ada cuma keluarga dan kroni yang mencintainya. Inilah tahi kucing selera Soeharto, bukan rumah sakit yang serba steril dari penjenguk yang diinginkan dan tidak oleh orang terdekatnya. Maka, mulailah perjalanan Nol Kilometer Sebenarnya untuk Soeharto, karena dunia cuma tempat singgah.
Sufficient minimum amount of love, hal yang sangat menarik untuk diamalkan. Sedikit saja. Asal ada cinta. Di titik Nol Kilometer yang Maya saya berhadapan-hadapan dengan Nol Kilometer Yang Nyata dan Nol Kilometer Yang Sebenarnya.
Ternyata di aras ilmiah ukuran terbukti bukanlah segalanya. Apalagi jika diperbandingkan dengan semesta. Bapak pembangunan, pembangunan fisik, rasialisme, kekuatan bersenjata-benteng marinir dan brigade mobil, ribuan milisi yang menyamar rakyat, rumah mewah, pernah tumpul dan tidak berarti-dalam delapan menit. Dua ratus ribu manusia-berangkat ke alam baka-titik Nol Kilometer Yang Sebenarnya, hanya dengan goyangan dan air .
Bencanakah jika sufficient minimum amount of love tidak termaknai lagi. Dua ratus juta-an rakyat Indonesia diambangnya, jika Soeharto tidak ada. Soeharto akan tetap eksis, sampai kita mengatakannya tidak perlu. Biarkan ia sendirian memulai langkah selanjutnya. Secara kolektif Nol Kilometer Yang Nyata patut dimaknai ulang. Berpuisilah kembali. Jangan mau nihil. Money can’t buy me love.
widhy | sinau
Note:
disarankan membaca artikel ini sambil mendengarkan lagu If I Fell-The Beatles atau cover versionnya-Maroon 5, sambil membayangkan duduk diatas bukit sambil mengahadap samudera. Bah, apa yang tidak mungkin!
eu·tha·na·sia n
the act or practice of killing somebody who has an incurable illness or injury, or allowing or assisting that person to die.
Encarta® World English Dictionary © 1999 Microsoft Corporation. All rights reserved. Developed for Microsoft by Bloomsbury Publishing Plc.
eu·tha·na·sia n
Euthanasia, pronounced YOO thuh NAY zhuh, is the practice of painlessly ending the lives of people who have incurable, painful, or distressing diseases or handicaps. It may occur when incurably ill people ask their physician-or a friend or relative-to put them to death or to allow them to die. It may also occur when ill people ask others to help them commit suicide. Euthanasia is sometimes called mercy killing.
The World Book 2005 Multimedia Encyclopedia, developed by Software MacKiev Company
Eutanasia
Tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005)
Many people oppose active euthanasia, such as the injection of a lethal drug, because it requires one person to deliberately kill another. Fewer people oppose passive euthanasia-the withdrawal of life-sustaining medical treatment-for patients who request it. Belgium and the Netherlands are the only countries that have legalized active euthanasia, and in those countries the practice is legal only under certain conditions.
Clinical ethics evaluates the morality of decisions about medical care made by or with patients and their families. Problems of clinical ethics include deciding whether or not to remove life-sustaining treatment, making medical decisions for a newborn with severe mental retardation or an unconscious person, and dealing with requests for euthanasia from patients or their families.
Some people feel that hopelessly ill patients should have the right not only to refuse treatment but also to request physician-assisted suicide. In this type of active euthanasia, a doctor helps a patient by providing the means to die painlessly and with dignity. In the United States, physician-assisted suicide is legal only in Oregon.
Palliative care differs from physician-assisted suicide or euthanasia (helping or allowing people to die). It is not intended to be the direct cause of death. Supporters of palliative care believe that many terminally ill patients ask to die because they suffer from untreated pain, undiagnosed depression, despair, or social isolation. Medical studies have shown that dying patients often do not receive adequate treatment for pain and depression. )
placebo
A placebo is a "dummy treatment" that appears similar to the active treatment but lacks a key element, such as the effective ingredient in a pill.
The World Book 2005 Multimedia Encyclopedia, developed by Software MacKiev Company
Tuesday, 15 January 2008
PENTAS TEKSTUAL KOMA PADA PANGGUNG kenapa LEONARDO?
Sebuah hari yang beruntung. Dan, tak ada mangga yang jatuh di musim hujan daerah tropis planet Bumi. “Tak ada yang penting dalam paragraph ini.”
Sebelum mengapresiasi pementasan Teater Koma yang ke-112 di Grha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki pada 11 Januari 2008, saya lebih berminat, untuk pertamakalinya, mengungkai ketertarikan saya pada soal mengapa ‘kenapa LEONARDO?’ dipilih menjadi transliterasi judul naskah ‘What About Leonardo?’ karya penulis Slovenia Evald Flisar.
Saya sadar, transliterasi ‘What About Leonardo?’ menjadi ‘kenapa LEONARDO?’ adalah keputusan otonom Rangga Riantiarno selaku penerjemah. Bicara soal keputusan, berarti bicara soal adanya pilihan. Bertemu dengan situasi fragmental ‘adanya pilihan’, rasanya kesadaran saya tak mampu menembus pengalaman batin-subjektif Rangga Riantiarno (ada baiknya, untuk efesiensi penulisan Rangga Riantiarno cukup ditulis Rangga untuk seterusnya). Saya tidak bisa mengetahui dengan pasti apa kira-kira alternatif kalimat tak lengkap yang ditemukan Rangga Riantiarno untuk mentransliterasikan ‘What About Leonardo?’. Karena saya tak mampu mengetahui dengan pasti apa yang ada di dalam kesadaran Ratna Riantiarno, instrumen spekulatif yang sudah tertanam di dalam benak saya mulai unjuk diri.
Saya pikir, Rangga paham benar apa yang sedang dia hadapi. Lewat pendekatan harafiah, dan saya yakin, pendekatan harafiah ini merupakan metode pertama yang dipakai Rangga untuk menerjemahkan judul naskah Evald Flisar. Pendekatan harafiah atas teks ‘What About Leonardo?’ dalam proses transliterasi ke dalam bahasa Indonesia bakal menghasilkan ‘Apa Tentang Leonardo?’ Meneliti hasil terjemahan harafiah yang seperti itu, benak spekulatif saya mengembara pada isi kepala Rangga. Saya pikir, dengan kemampuan Rangga menerjemahkan utuh naskah ‘What About Leonardo?’ menjadi penanda bagi saya bahwasanya Rangga punya cetak biru tata-bahasa Inggris di dalam kepala dia. Penanda itulah yang menjadi bukti bagi saya Rangga pasti tak memikirkan ‘Apa Tentang Leonardo?’ sebagai transliterasi ‘What About Leonardo?’ dengan pendekatan harafiah. Keberadaan cetak biru tata-bahasa Inggris di dalam kepala Rangga pasti menyebabkan dia lebih mengartikan ‘What About Leonardo?’ menjadi ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ sebagai transliterasi bahasa menggunakan pendekatan harafiah.
“Lalu mengapa ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ berubah menjadi ‘kenapa LEONARDO?’” Deviasi inilah sebenarnya yang menjadi sebab ketertarikan saya untuk terlebih dahulu mengungkai persoalan keputusan transliterasi judul ‘What About Leonardo?’ menjadi ‘kenapa LEONARDO?’ Bagi saya, maaf bila saya terlampau berlebihan, deviasi begini merupakan persoalan serius yang mengandalkan instrumen kesadaran sebagai garda terdepan dalam pengambilan keputusan. Implikasinya, tentu saja Rangga tidak sedang bermain-main dalam memutuskan ‘kenapa LEONARDO?’ menjadi transliterasi ‘What About Leonardo?’
Mencermati kalimat tak lengkap ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ dan ‘What About Leonardo?’ menghasilkan sebentuk situasi tertentu dalam imajinasi saya. Kedua bentuk kalimat, yang bisa saja saya sebut sebagai preposisi dengan seenak saya, menghadirkan situasi percakapan antara dua orang, andaikan saja si penutur adalah Heppi dan si penerima tutur adalah Bobbi. Dan apa yang menjadi isi percakapan antara Heppi-Bobbi itu ternyata menyangkut orang ke-tiga tunggal, yakni Leonardo. Persoalannya, situasi yang dihadirkan melalui kalimat tak lengkap ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ dan ‘What About Leonardo?’ hanya memungkinkan saya untuk mengeksiskan pelaku percakapan saja, yakni Heppi dan Bobbi; sedang Leonardo itu sendiri belum tentu eksis. Belum tentu eksis bisa bermakna, Leonardo itu eksis dalam percakapan atau Leonardo itu ada dalam percakapan. Tentulah pembaca yang cerdas-cerdas mengetahui apa perbedaan eksis dan ada. Bila tidak, maka teramat susahlah saya mendedahkan sederet penjelasan-penjelasan yang terbilang kadaluarsa dan nyaris mendekati sia-sia. “Aku mengerti, meski tidak terlalu paham. Dan aku kira kau pun sebenarnya tak juga paham benar apa yang kau maksud dengan eksis dan apa yang kau maksud dengan ada.” Mendengar jawaban yang demikian, legalah hati saya, dan jawaban yang demikian memberikan enerji baru kepada saya untuk melanjutkan penjelasan yang, saya pastikan, tak berujung sia-sia.
Di halaman 110 naskah ‘kenapa LEONARDO?’, Rangga menerjemahkan ‘suatu kalimat’ yang diucapkan Dasilva—saya menggunakan frase ‘suatu kalimat’ dikarenakan saya tidak mengetahui kalimat apa sebenarnya yang ada di dalam naskah asli ‘What About Leonardo?’ yang diterjemahkan Rangga—menjadi ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ Melalui halaman 110 inilah situasi imajinatif yang dihadirkan judul ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ dan ‘What About Leonardo?’ pun menjadi jelas. Ternyata, hanya Heppi dan Bobbi saja yang eksis dalam situasi imajinatif tersebut; sedang Leonardo ada tapi tidak eksis! “Dan pada dasarnya, kau pun tak perlulah jauh-jauh menjelaskan hal demikian. Pemaknaan orang ke-tiga tunggal yang kau sebutkan sebenarnya sudah menjadi pembuktian bahwa orang ke-tiga itu tidak eksis melainkan ada.” Hmmm, tampaknya Anda benar, dan harus saya akui saya terlampau melebih-lebihkan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas. Apa yang saya lakukan ini bertentangan dengan pistol analisa Ockham. Karena itu, saya mengizinkan Anda untuk menganggap paragraph tidak ada sama sekali. “Tak perlu pakai ‘sama sekali’, itu pun sebenarnya sudah tidak ada. Apakah masih ada superlatif dari tidak ada?” Anda benar! Untuk ke depan dan seterusnya, saya harus lebih berhati-hati menggunakan kata-kata. Tapi, saya hendak memohon perizinan dari Anda, apakah saya bisa melanjutkan penjelasan? “Terserah kau. Paragraph ini kan sudah aku anggap tidak ada. Apakah jawabanku masih ada gunanya bila paragraph ini sudah tidak ada?”
Keberadaan kalimat ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ yang diucapkan Dasilva dalam halaman 110 naskah ‘kenapa LEONARDO?’ menjadi bukti bahwasanya Rangga selaku penerjemah pun berpikiran transliterasi yang layak atas ‘What About Leonardo?’ adalah ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ Tapi, kenapa muncul ‘kenapa LEONARDO?’ Antara ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ dengan ‘kenapa LEONARDO?’ tentu menghasilkan sensasi yang berbeda. Penyebab munculnya perbedaan sensasi terhadap kedua kalimat tak lengkap tersebut dikarenakan kedua kalimat tersebut pada dasarnya memang menghadirkan situasi imajinatif yang berbeda. ‘Bagaimana dengan Leonardo?’, dalam perspektif bahasa Indonesia mewujudkan situasi memilih antara yang-bukan Leonardo dengan Leonardo. Sedang ‘kenapa LEONARDO?’ menghadirkan 1) situasi perenungan untuk mencari jawaban, sebangun dengan ‘kenapa MAKAN?’, atau 2) situasi pencarian landasan argumentatif alias pembenaran-positif atas suatu pilihan yang sudah diputuskan, kira-kira sebangun dengan ‘kenapa [harus] MAKAN?’ Bila [harus] diletakkan di antara ‘kenapa’ dengan ‘LEONARDO?’, maka kalimat yang dihasilkan menjadi ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ “Sepertinya kau cuma bermain kata-kata. Tak ada yang bermakna.” Aku hanya bertanya, apakah kalimat-kalimat ‘kenapa LEONARDO?’, ‘kenapa MAKAN?’, ‘kenapa [harus] MAKAN?’, dan ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ tidak memberikan suatu sensasi yang berbeda-beda dan yang mirip-mirip? ‘kenapa LEONARDO?’ dan ‘kenapa MAKAN?’ menghadirkan sensasi yang mirip-mirip. Pembuktiannya, melalui jawaban yang diberikan, bila kalimat tersebut dianggap sebagai kalimat tanya. ‘kenapa LEONARDO?’ dijawab ‘lapar’; dan ‘kenapa MAKAN?’ dijawab ‘lapar’. Sedang kalimat ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ dan ‘kenapa [harus] MAKAN?’ menghadirkan sensasi yang beda. Pembuktian yang diberlakukan atas kalimat ‘kenapa LEONARDO?’ dan ‘kenapa MAKAN?’ tidak berlaku dalam kasus ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ dan ‘kenapa [harus] MAKAN?’ Dan saya tidak harus memberikan penjelasan lebih lanjut atas kebingungan yang terjadi di dalam benak Anda. Saya menyediakan ruang bagi kreatifitas Anda untuk memberlakukan segala macam kepentingan atas pelik soal yang diterbitkan ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ dan ‘kenapa [harus] MAKAN?’
Kontras pemaknaan pun semakin nyata apabila kalimat ‘kenapa [harus] LEONARDO?’ disandingkan dengan ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ yang sama-sama berangkat dari satu referen, yakni ‘What About Leonardo?’ Kehadiran kontras pemaknaan yang demikian inilah yang memberanikan saya untuk semakin spekulatif dalam beranalisa. Rangga mengejar efisiensi kata! ‘kenapa LEONARDO?’ lebih singkat dibandingkan ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ Pengejaran atas efisiensi kata, yang saya duga ini berangkat dari pola-pola pemikiran bahwa judul itu sebaiknya singkat namun padat namun bisa menampung tema yang bakal diusung cerita, berdampak pada pengurangan esensi yang ada didalam ‘What About Leonardo?’ Sampai disini, saya mohon maaf kepada Rangga untuk mencegah munculnya kesalahpahaman. Sebab, bagaimanapun juga saya menyadari bahwa kerja tranliterasi bukan kerja yang mudah, gampang, dan serampangan. Dan Rangga sudah melakukan kerja tranliterasi yang sulit, rumit, dan teliti. Kehadiran halaman 110 yang memuat kalimat ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ yang diucapkan Dasilva menjadi bukti kuat bahwasanya Rangga sadar; Rangga sadar bahwa ‘What About Leonardo?’ adalah ‘Bagaimana dengan Leonardo?’ Penyimpangan transliterasi judul ‘What About Leonardo?’ menjadi ‘kenapa LEONARDO?’ tegas saya nyatakan bukan kesalahan! Sebab, pertanggungjawaban utama pemilihan transliterasi judul ‘What About Leonardo?’ menjadi ‘kenapa LEONARDO?’ beralaskan prinsip efisiensi kata dalam menggarap judul.* (Sedikit tambahan, transliterasi judul yang saya anggap salah itu terjadi ketika buku ‘Identity and Violence: The Illusion of Destiny’-nya Amartya Sen diterjemahkan menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas’ yang diterbitkan Marjin Kiri pada 2007.)
Pada paragraph terakhir ini, kelancangan dan keberanian saya semakin menggila. ‘What About Leonardo?’, menurut saya, bisa ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia, tanpa meninggalkan esensi, menjadi 1) mungkin LEONARDO? atau 2) mungkinkah LEONARDO?
Januari 2007
dvd.tbg
Catatan: Saya, David Tobing, bertanggungjawab atas seluruh isi tulisan ini. Dan, tak sedikit pun ada niatan saya untuk meremehkan Rangga Riantiarno melalui tulisan ini. Apabila ada pihak yang menafsirkan demikian, kesalahan bukan pada saya; melainkan pada pihak penafsir. Sebab, tulisan ini bukan murni emosional pribadi atawa ketidaksukaan saya pada Rangga Riantiarno. Saya bahkan tidak mengenal siapa itu Rangga Riantiarno dan, saya pun yakin Rangga Riantiarno juga tak mengenal saya. Sekali lagi, tak ada seujung rambut pun niatan saya untuk meremehkan RANGGA RIANTIARNO!!!
*: Ada alternatif lain yang menyebabkan 'What About Leonardo?' ditransliterasikan menjadi 'kenapa LEONARDO?' untuk mendapatkan efek ketegasan! selain kesingkatan. ("Apa neh kesingkatan?" dvd.tbg: Iye , ye. Apaan ye kesingkatan? Embuh....")
Friday, 11 January 2008
LEKSIKON KRITIS DI MASA KRISIS
Negara : Banyolan terbesar yang pernah ditemukan Homosapiens.
Hukum: Kulit pisang yang ditebar sembarang di jalanan. Hanya orang-orang yang mengetahui letak kulit pisang itulah yang bisa menghindar agar tidak terpeleset, dan kepala membentur tembok.
Jasa: Komoditi ekonomi yang dijual para politikus kepada
Tolol: Kebaikan yang muncul dari ketidaksadaran.
Akal: Dunia maya tempat orang gila bersemayam dan hidup tentram.
Penyakit: Candu yang bisa dibeli di mana saja, termasuk di rumah sakit.
Pengacara: Penyedia jasa tolol yang berasal dari akal serta penyakitan di dalam suatu negara hukum.
Presiden: Sahabat anak-anak, musuh orang dewasa.
Penonton: Orang cerdas yang diam dan diam dan diam.
Dewan Perwakilan Rakyat: Industri percetakan khusus masa depan yang tak punya unit quality control.
Adil: Hak Tuhan yang sudah diambil alih oleh Homosapiens yang berpikir bahwa pengambilalihan hak Tuhan tersebut bakal memperingan kerja Tuhan.
Benar: Kemampuan untuk tidur sepanjang masa, mulai dari lahir hingga kiamat.
Rakyat: Sekelompok orang yang tak pernah merasa rugi, selalu baik hati, dan tak pernah mengeluh. Biasanya, sekelompok orang ini bisa diketahui dari busana yang dipakai. Kaum lelaki dari sekelompok orang ini selalu mengenakan jas dan melekatkan pin di dada kiri dan suka sekali dipotret. Kaum perempuan dari sekelompok orang ini selalu mengenakan blazer, kalau tidak gaun, dengan tata rias wajah yang melimpah ruah ditambah dengan parfum seharga lebih dari Rp60 juta.
Karangan bunga: simbol bahagia, sering dipergunakan dalam acara-acara menyambut kematian seseorang.
VVIP: Ruang perpustakaan bagi akal yang jarang dipergunakan buat baca buku.
Pengawal: Orang yang menyimpan senjata dalam mulutnya, dan karena itu dia lebih banyak diam.
Pemilu: Ajang bunuh-bunuhan yang dilegalkan manusia.
Kekuasaan: Tokoh fiktif yang sering sekali menjadi korban dalam percakapan antar rakyat berakal di ruang VVIP dengan ditemani banyak sekali pengawal. Biasanya, tokoh fiktif ini hadir ketika rakyat berakal hendak memperbincangkan perluasan bisnis Dewan Perwakilan Rakyat untuk memproduksi televisi, Hakim, Jaksa, dan Presiden.
Kematian: Satu-satunya hak manusia yang tidak dimiliki Tuhan, dan karena itu manusia pun berhak memanjan-manjangkan umur dikarenakan ilmu pengetahuan sudah memberikan peluang bagi manusia itu sendiri untuk memperpanjang umur melalui keberadaan institusi dokter.
Dokter: Ahli mekanik atas nyawa manusia yang dilakukan dengan mencangkokkan komoditi teknologi renik ke organ tubuh vital seseorang hingga seseorang itu mampu bernafas tanpa menyadari apakah dia sudah bernafas. Dokter, kadang kala dipergunakan sebagai sinisme untuk menyatakan tukang tipu, montir, dan bandar candu, yang punya etika.
Mimpi: Doa yang muncul ketika manusia tidur. Sebagaimana Ora et Labora, maka Mimpi dan Kerja juga ada!
Kerja: Hanya dengan jalan ini saja mimpi terwujud, dan sebaiknya ketika melakukan hal ini negara, hukum, jasa, tolol, akal, penyakit, pengacara, presiden, hakim, jaksa, penonton, televisi, Dewan Perwakilan Rakyat, adil, benar, rakyat, karangan bunga, VVIP, pengawal, pemilu, kekuasaan, kematian, dan dokter dilupakan!
Januari 2007
Catatan:
- Leksikon Kritis Di Masa Kritis ini masih bisa ditambahkan lagi hingga mencapai ketebalan melebihi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-Tiga terbitan Balai Pustaka. Apabila dari pembaca ada yang berminat menambahkan silahkan. Tapi, untuk penentuan mana yang boleh masuk dalam Leksikon Kritis Di Masa Kritis sepenuhnya berada dalam tanggung jawab saya.
- Tidak ada kata-kata di dalam 1 yang berasal dari Leksikon Kritis Di Masa Krisis
Monday, 7 January 2008
LAUNCHING Komik REMAJA Indonesia
Start: | Jan 15, '08 1:00p |
Location: | Kedai Sinau Malang |
Tuesday, 1 January 2008
biennale jogja 2007
Start: | Dec 28, '07 10:00p |
End: | Jan 28, '08 5:00p |
Location: | Yogyakarta |
Venue :
TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA
Jl. Sriwedani no. 1
Yogyakarta 55225
Email: biennalejogja2007@gmail.com
Blog: biennalejogja2007.multiply.com
Website:www. biennalejogja.com
Forum Penulis Kota Malang
Kami adalah komunitas penulis di kota Malang, Jawa Timur. Indonesia. Kami memberdayakan para penulis kota Malang sehingga terhimpun dalam suatu wadah komunitas penulis dengan mengupas segala potensi dan kemampuan.
Di situs ini kamu akan menemukan banyak hal hasil rangkuman kegiatan FPKM yang dihimpun oleh teman-teman FPKM
Kamu juga bisa memberikan komentarmu tentang situs ini atau tentang FPKM dengan mengisi buku tamu
urbanimation
Start: | Jan 14, '08 12:00a |
End: | Jan 20, '08 5:00p |
Location: | d.a. Dewan Kesenian Jakarta |
Selamat Datang di Pesta Animasi Indonesia - Urbanimation!
URBANIMATION, pesta untuk seluruh penikmat dan pelaku animasi Indonesia, akan diselenggarakan pada tanggal 14 - 20 Januari 2008 di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Program yang digagas oleh Komite Film Dewan Kesenian Jakarta sebagai agenda tahunan ini diharapkan dapat menjadi barometer seni dan industri animasi Indonesia.
urbanimation

Selamat Datang di Pesta Animasi Indonesia - Urbanimation!
URBANIMATION, pesta untuk seluruh penikmat dan pelaku animasi Indonesia, akan diselenggarakan pada tanggal 14 - 20 Januari 2008 di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Program yang digagas oleh Komite Film Dewan Kesenian Jakarta sebagai agenda tahunan ini diharapkan dapat menjadi barometer seni dan industri animasi Indonesia.
URBANIMATION merupakan rangkaian acara dengan mata acara utama:
*
Animation Festival. Kompetisi film animasi yang diikuti oleh animator, baik studio mau pun perseorangan, dari dalam negeri.
*
Film Screening. Pemutaran film-film animasi terbaik dari dalam dan luar negeri.
*
Animation Exhibition. Pameran animasi yang diikuti oleh studio animasi, kursus, production-house, advertising agency, serta pihak-pihak lain yang terkait dengan industri animasi.
*
Seminar dan diskusi. Mengungkap dunia animasi dipandu oleh pembicara dari dalam dan luar negeri.
*
Workshop. Lokakarya singkat pembuatan animasi.
*
Cosplay. Kompetisi costume play.
*
Pagelaran Wayang Kulit. Wayang kulit sebagai elemen dasar animasi.
aspiRation Global Warming #3
Start: | Jan 6, '08 09:00a |
Location: | Gedung KNPI, Jl. Kawi Malang |
jam 09.00 wib till drop
Urb!
URBANIMATION, pesta untuk seluruh penikmat dan pelaku animasi Indonesia, akan diselenggarakan pada tanggal 14 - 20 Januari 2008 di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Program yang digagas oleh Komite Film Dewan Kesenian Jakarta sebagai agenda tahunan ini diharapkan dapat menjadi barometer seni dan industri animasi Indonesia.