Friday, 2 March 2007

DARI BENDERA PARA SUAMI PERTIWI MENUJU KEBIJAKAN IMPOR BERAS DI NEGERI INI


James Bradley:
I finally came to the conclusion that maybe he was right. Maybe there’s no such thing as heroes. Maybe there are just people like my dad. I finally came to understand why they were so uncomfortable being called heroes. Heroes are something we create, something we need. It’s a way for us to understand what is almost incomprehensible, how people could sacrifice so much for us. But for my dad and these men, the risk they took, the wounds they suffered, they did that for their buddies. They maybe have fought for their country, but they died for their friends. For the man in front, for the man beside them. And if we wish to truly honor these men, we should remember them the way they really were, the way my dad remembered them.

Keseluruhan interpretasi atas film garapan Clint Eastwood berpusat pada monolog James Bradley di pengakhiran cerita. James Bradley, putra Jhon ‘Doc’ Bradley tegas menyatakan bahwa ‘kata pahlawan kita ciptakan sebagai jalan untuk memahami apa yang tidak kita mengerti.’ Berangkat dari pengertian seperti yang dituturkan James Bradley, maka kata ‘pahlawan’ pun tak ubahnya seperti metafora. Sebagai konsekuensi dari metafora, maka kata ‘pahlawan’ multi-makna. Melalui film ini, Clint Eastwood mencoba menawarkan redefenisi baru dari kata tersebut melalui bahasa audio-visual selama hampir dua jam.
James Bradley menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada prajurit yang ingin disebut pahlawan. Apabila prajurit berlaga di medan tempur, itu semua dia lakukan demi negaranya. Namun, trophy kematian yang diperoleh prajurit di medan tempur tidaklah ditujukan kepada kejayaan negaranya. Kematian prajurit di medan tempur adalah hadiah kehidupan bagi rekan-rekan yang berada di depan, belakang dan di sampingnya. Para prajurit ada bagi teman mereka. Di medan tempur, itulah sesungguhnya prajurit; mereka ada untuk menyelamatkan rekan sekerja. EVERY SOLDIER STANDS BESIDES A HERO.
Dalam konteks pemikiran James Bradley, seorang prajurit pasti memandang seorang prajurit lainnya sebagai pahlawan bagi dirinya. Pemikiran ini merevisi pandangan awam yang memaknai kata ‘pahlawan’ atau ‘hero’ seperti yang tercantum dalam dalam Cassel’s Dictionary of Word Histories. Dalam kamus tersebut, kata ‘hero’ atau ‘pahlawan’ menempati kelas kata benda dengan makna a person of extraordinary valour, fortitude or enterprise. Bila pemaknaan di dalam kamus tersebut diterima sebagai pemahaman awam, maka kisah pertempuran prajurit Amerika melawan prajurit Jepang di pulau Iwo Jima menjadi redefenisi makna ‘pahlawan.’
Seluruh pengisahan FLAG OF OUR FATHER berpusat pada tiga tokoh utama, yakni Jhon ‘Doc’ Bradley, Rene Gagnon, dan Ira Hayes. Ketiganya mengalami siksaan mental yang berbeda untuk tiap tokoh setelah mereka dinobatkan publik Amerika Serikat sebagai pahlawan. Penobatan itu dikarenakan sebuah foto yang merekam visual tujuh prajurit saat mendirikan bendera Amerika Serikat di puncak pegunungan Iwo Jima. Bagi mereka, penobatan itu adalah kesemuan belaka; dan mereka pada dasarnya tidak merasa sebagai seorang pahlawan, terutama Ira Hayes. Sedang Jhon ‘Doc’ Bradley masih berkutat pada pertanyaan ‘apakah saya layak?’ dan Rene Gagnon sudah tercebur pada emosi ‘ya saya adalah pahlawan.’ Namun, di akhir pengisahan, di masa perang sudah berakhir, segala kebusukan pun terbongkar. Pahlawan adalah predikat semu yang bersifat lekang waktu.
Secara umum, penolakan mereka disebabkan dua hal utama. Pertama, kepalsuan foto. Foto yang sampai ke publik Amerika Serikat sesungguhnya bukanlah foto dari momen pertama pendirian bendera Amerika Serikat di pegunungan Iwo Jima. Foto yang sampai ke publik adalah foto jepretan kedua, foto yang dapat dikatakan foto rekayasa. Pada momen pertama pendirian bendera dipergunakan bendera duplikat yang berukuran lebih kecil. Setelah bendera tersebut berkibar, ketujuh orang tersebut mengganti bendera duplikat dengan bendera asli. Inilah yang sesungguhnya terjadi. Kedua, pemaknaan mereka sendiri atas kata pahlawan, seperti yang dijelaskan James Bradley.
Meski film ini berupaya mendefenisikan-ulang kata ‘pahlawan’ beragam campuran bumbu penyedap ditambahkan untuk mengokohkan penceritaan. Latar belakang kisah berupa tema percintaan, pragmatisme Amerika Serikat, kebanggaan orang tua, serta tipu-daya kaum pemodal yang menjanjikan kerja bagi ketiga prajurit, menjadi bumbu penyedap yang berfungsi sebagai latar belakang dari tema utama yang hendak diangkat Clint Eastwood. Tema utama dan tema-tema bumbu berkelindan dalam alur cerita acak, maju-mundur.
Misal, pragmatisme Amerika Serikat. Di film ini dipaparkan betapa pandangan hidup pragmatisme begitu mengakar dalam kultur penguasa Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat kala itu kekurangan dana untuk membiayai perang Iwo Jima. Keberhasilan penancapan tiang bendera di pegunungan Iwo Jima menjadi dasar bagi negara untuk meneruskan perang sekalipun kekurangan dana. Sebagai jalan keluar, negara mengeluarkan menerbitkan surat utang pembiayaan perang ke publik. Foto megah tujuh prajurit yang menancapkan tiang bendera Amerika Serikat menjadi bukti kepada publik bahwa surat utang yang bakal dibeli publik tidak berujung pada kesia-siaan! Amerika menang, itulah yang didengungkan kelompok penguasa untuk mendorong simpati warga agar membeli surat utang pembiayaan perang. Pragmatisme Amerika Serikat itu tidak memperhitungkan berapa jumlah prajurit yang tewas dalam pertempuran Iwo Jima. Kemanusiaan pun luntur dikarenakan motifasi ekonomi belaka. Kekurangan dana perang menjadi alasan pembenar untuk mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui tema ‘sempilan’ ini, tampaknya Clint Eastwood sedang mengkritik kebijakan negaranya yang tega menihilkan variabel nyawa manusia kala mengambil keputusan.
Menengok keseluruhan film Clint Eastwood, lalu menempatkan film tersebut di antara film-film pertempuran lainnya, semisal Rambo dan Full Metal Jacket, FLAGS OF OUR FATHER menawarkan sudut pandang baru. Pada Rambo, superioritas prajurit tempur menjadi tumpuan kisah. Seorang Rambo mampu menghabisi ratusan prajurit musuh. Dalam konteks Rambo, kata ‘pahlawan’ tidak mengalami perubahan makna alias masih sama dengan pengertian awal kata ‘hero’ yang muncul sejak abad ke-16 Masehi. Sedang Full Metal Jacket bersendikan kepedihan perang. Kebersamaan di akademi militer berbuah kepedihan di medan pertempuran Vietnam. Pada dasarnya, kedua film tersebut, Rambo dan Full Metal Jacket, masih membatasi konteks masalah di medan pertempuran. Sedang Clint tidak. Konteks masalah diperluas. Tidak hanya medan pertempuran belaka yang digarap, tetapi juga ruang publik di Amerika Serikat, ruang prifat para orang tua prajurit, ruang prifat para keturunan prajurit, ruang prifat para prajurit (dalam film Full Metal Jacket konteks ini hadir).
Melihat cakupan masalah yang tertampung dalam film FLAGS OF OUR FATHER, semakin menabalkan Clint Eastwood sebagai seniman film yang benar-benar mengetahui bagaimana meramu film hingga dikatakan indah! Film yang indah adalah film yang mengandung kompleksitas pengisahan. Kompleksitas pengisahan itu sendiri merujuk pada kenyataan kehidupan yang dipenuhi ragam kelindan problematika. Mengingat seni adalah replika dari kenyataan, maka seni yang indah pun seharusnya mengadopsi ragam kelindan problematika di kenyataan ke dalam pengisahan, entah cerita pendek, novel, roman, puisi, naskah drama, pun film. Semisal, kebijakan impor beras yang menghasilkan beragam problematika, mulai dari kritik partai oposan serta lembaga swadaya yang menyatakan pemerintah tak punya kebijakan ketahanan pangan nasional, apoloji pemerintah yang menegaskan bahwa kebijakan impor beras perlu dan harus dilakukan untuk mencegah melambungnya harga, lalu merananya pemasok beras di kawasan sentra beras karena kebijakan impor beras yang diikuti dengan operasi pasar pasti menurunkan harga beras di pasr-pasar induk, antrian warga yang berlelah-lelah untuk mendapatkan 20 kilogram beras kualitas III (bahkan ada juga yang tidak dapat meski sudah lama mengantri), lalu para pedagang beras yang ikut mengantri saat operasi pasar berlangsung dan setelah mendapatkan beras tersebut pedagang itu malah menjualnya dengan harga di atas harga operasi pasar, masih ada juga polisi-polisi yang ikut mengawasi operasi pasar, juga keterlambatan merapatnya kapal importir di pelabuhan yang bisa berdampak pada melonjaknya harga beras, ini belum lagi soal keuntungan perusahaan pemenang tender impor beras yang diadakan BULOG. Dan bila kisah impor beras hendak difilmkan, hendaknya beragam problematika tersebut tidak dilupakan agar lahir karya seni yang indah.
Selain kepiawaian memahami seni adalah replika kenyataan, Clint Eastwood pun sadar akan fungsi seni, khususnya, film. Selain hiburan, seni pun menyimpan tugas lain, seperti membangun kesadaran baru. Film FLAGS OF OUR FATHER menawarkan kesadaran baru dalam bentuk pendefenisian-ulang makna kata ‘pahlawan.’ Lewat film ini, Clint Eastwood masuk ke dalam file ‘pahlawan’ yang tersimpan dalam benak penonton, lalu memperbaharui rekaman yang tersimpan dalam file tersebut; atau menambah file baru dalam benak penonton. Ketika proses masuknya Clint Eastwood dalam benak penonton, seni pun berfungsi. Kesadaran baru sudah ditawarkan, entah dengan mengubah file yang sudah tersimpan atau menambah file dalam direktori yang sama.
Namun, subjektifitas pribadi saya merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik upaya pendefenisian-ulang makna kata ‘pahlawan.’ Ada kesadaran baru yang ditawarkan Clint Eastwood kepada publik Bumi selain pendefenisian-ulang kata ‘pahlawan,’ yakni Kepalsuan! Inilah yang menjadi sendi utama film tersebut. Kepalsuan itu hadir melalui pemaknaan kata pahlawan, kampanye pengumpulan dana perang, penentuan siapa-siapa sajakah prajurit yang ada di dalam foto, pendirian bendera Amerika Serikat yang dilakukan dua kali (pertama menggunakan bendera duplikat yang dapat diartikan ketakutan Amerika Serikat gagal; kedua bendera asli yang berukuran lebih besar dari bendera duplikat yang bisa diartikan sebagai kejayaan), kecentilan pacar Rene Gagnon, tawaran kerja dari pemilik real estate kepada Rene Gagnon, ketegaran terpaksa Ira Hayes dan Jhon ‘Doc’ Bradley, kesenyapan pegunungan Iwo Jima yang sesungguhnya berisi ratusan bunker persembunyian tentara Jepang, pendirian monument tujuh pahlawan, peringatan hari ‘kemenangan’ Amerika Serikat di Iwo Jima, ironi kehidupan Ira Hayes serta kejujurannya, sebelum ia dipulangkan ke rumah, untuk mengakui bahwa dirinya bukan pahlawan.
Kepalsuan hanya dapat dikalahkan dengan kejujuran. Dan waktulah yang menjadi pembukti. Inilah kesadaran baru yang hendak ditawarkan Clint Eastwood dibalik tawaran pendefenisian-ulang kata ‘pahlawan.’ Pada titik kesadaran baru, penonton pun tersadar, pasti ada sesuatu di dalam segala sesuatu. Semisal, kebijakan impor beras. Apakah benar, kebijakan impor beras ditujukan untuk meredam lonjakan harga? Atau untuk meredam upaya aksi demonstrasi warga menggulingkan pemerintahan yang bakal meledak karena harga beras di ada di langit planet Saturnus? Atau malah kebijakan impor 1 juta ton beras untuk periode 2007 adalah bentuk konsumerisme dari golongan elit negeri? Namun, saya pribadi lebih menitik beratkan dugaan pada motif ekonomi yang tersembunyi dalam kebijakan impor beras. Penalarannya, impor beras adalah persoalan jual beli yang ditujukan untuk mendapatkan keuntungan. Antara harga beli beras impor dari negara pengekspor tentunya memiliki selisih dengan harga jual beras impor saat dilakukan operasi pasar. Andaikan saja selisih harga tersebut Rp25 per-kilogram, maka total keuntungan mencapai Rp25 miliar. Dan marjin keuntungan tersebut mengalir ke kantong pemenang tender impor beras yang diadakan BULOG. Tragisnya, mudah-mudahan tidak benar, pemenang tender impor beras adalah mereka yang masih berada di lingkaran pertama atau kedua dari kekuasaan di negeri ini.
Film FLAGS OF OUR FATHER adalah film metaforis. Bahkan, kebijakan impor beras di negeri ini pun dapat dijelaskan film besutan Clint Eastwood. Tak hanya mendefenisi-ulang kata ‘pahlawan,’ film pertempuran Iwo Jima pun membantu penonton, khususnya saya pribadi, untuk mendefenisi-ulang frase ‘kebijakan impor beras.’ ‘Frasa kebijakan impor beras kita ciptakan sebagai jalan untuk memahami apa yang tidak kita mengerti, mengapa di negeri yang katanya agraris ini beras dapat menjadi barang langka.’

[David Tobing]

***
FLAG OF OUR FATHER

Directed by : CLIENT EASTWOOD

Screenplay by: WILLIAM BROYLES, JR and PAUL HAGGIS

Produced by: CLINT EASTWOOD – STEVEN SPIELBERG

Producer : ROBERT LORENZ

Based on the book by JAMES BRADLEY with RON POWERS

Director of Photography : TOM STERN

Production Design by HENRY BUMSTEAD

Edited by JOEL COX, A.C.E.

-TO PHYLLIS and BUMMY-

Costumes Designed by DEBORAH HOPPER

Music by CLINT EASTWOOD

Art Director JACK G. TAYLOR, JR.

CAST
Jhon ‘Doc’ Bradley RYAN PHILLIPPE
Rene Gagnon JESSE BRADFORD
Ira Hayes ADAM BEACH
Keyes Beech JHON BENJAMIN HICKEY
Bud Gurber JHON SLATTERY
Mike Strank BARRY PEPPER
Ralph ‘Iggy’ Ignatowski JAMIE BELL
Hank Hansen PAUL WALKER
Colonel Chandler Johnson ROBERT PATRICK
Captain Severance NEAL McDONOUGH
Pauline Harnois MELANIE LYNSKEY
James Bradley TOM McCARTHY
Commandant Vandegrift CHRIS BAUER
Belle Block JUDITH IVEY
Madeline Evelley MYRA TURLEY
Franklin Sousley JOSEPH CROSS
Harlon Block BENJAMIN WALKER
Lindberg ALENSSANDRO MASTROBUONO
Lundsford SCOTT REEVES
Gust STARK SANDS
Jhon Bradley GEORGE GRIZZARD

A/P Wide World Photos. & Iwo Jima Photograph Taken by JOE ROSENTHAL

Seven War Loan Painting by C.C. BEALL

Film location : IWO JIMA, JAPAN, ICELAND and UNITED STATES OF AMERICA

This film is based on actual historical events. Dialogue and certain events and characters contained the film were created for the purpose of dramatization.

***

No comments:

Post a Comment