Friday, 2 March 2007

Belenggu

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Armijn Pane
Merasakan Belenggu Armijn Pane

Tokoh dalam kisah:
1. Dokter Sukartono, disapa Tono
2. Sumartini, disapa Tini, istri dokter Sukartono
3. Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati, disapa Yah, teman kecil dokter Sukartono
4. Hartono alias Abdul Syukur, disapa Har, teman sekolah dokter Sukartono sewaktu di Malang
5. Karno, bujang pasangan Tono dan Tini
6. Abdul, supir Tono
7. Pasangan Mangunsucipto dan Tati, paman dan bibi Tini
8. Ibu Rusdio, Nyonya Sutatmo, Nyonya Sumarjo, Aminah

Barisan kata di halaman pertama novel Belenggu begitu kuat membawa imajinasi pembaca ke masa lampau, masa Indonesia masih terbilang bayi. Cara berbahasa yang diajukan Armijn sangat kuat mencitrakan betapa tata bahasa yang dituliskannya sangat berbeda dari tata bahasa Indonesia zaman kini. Misal saja, di paragraph pertama bagian pertama novel, tertulis: Seperti biasa, setibanya di rumah lagi, dokter Sukartono terus saja menghampiri meja kecil, di ruang tengah, dibawah tempat telepon. Bagi saya, perbedaan zaman yang mencolok itu terekam dalam frasa ‘… dokter Sukartono terus saja menghampiri …’
Ketika membaca frasa tersebut, saya merasa ada kejanggalan berpikir. Penyebabnya adalah kata ‘terus.’ Bagi saya pribadi, kalimat yang digunakan Armijn Pane dapat saya kategorikan sebagai tata bahasa Indonesia klasik. Dan dalam tata bahasa Indonesia modern (baca: setelah Ejaan Yang Di-Sempurnakan), kata ‘terus’ diganti dengan kata ‘selalu,’ sehingga frasa tersebut tertulis: ‘… dokter Sukartono selalu saja menghampiri …’ Dugaan saya, di masa Armijn Pane menulis novel Belenggu, bahasa Indonesia belum mengenal kata ‘selalu.
Uniknya, bagi saya, perbedaan tata bahasa antara penulis yang hidup di era tata bahasa Indonesia klasik dengan pembaca yang hidup di era tata bahasa Indonesia modern tidak berdampak negatif. Pembacaan atas naskah Belenggu tidak terganggu, malahan memikat disebabkan ketegangan yang muncul antara tata bahasa Indonesia klasik dengan tata bahasa Indonesia modern. Saya seakan terus terpancing—tentunya disamping menyelami apa yang hendak dikisahkan Armijn Pane—untuk menikmati keindahan tata bahasa Indonesia klasik; dan bagi saya tata bahasa Indonesia klasik itu memang memiliki keistimewaan yang disebabkan kekentalan intonasi dalam setiap kalimat. Berdasarkan pengalaman membaca karya sastra Indonesia dalam tata bahasa Indonesia modern, saya menyimpulkan, unsur intonasi dalam kalimat terasa tak menonjol.
***
Novel Belenggu memulai kisah tentang kehidupan pasangan dokter Sukartono dan Sumartini. Berbicara tentang kehidupan pasangan suami-istri, tampaknya bukanlah kesengajaan bila Armijn Pane mengambil momen merenggangnya hubungan pasangan Tono dan Tini sebagai latar pengisahan. Kehidupan pasangan suami-istri tentulah memiliki banyak alternatif momen pengisahan, antara lain harmonisasi hubungan suami-istri, atau masa penantian kehadiran seorang anak, atau perpisahan akibat kematian salah satu pasangan.
Seluruh pengisahan novel berada dalam ruang ‘hubungan Tono dan Tini yang retak.’ Karena atmosfir yang demikian, Tono dan Tini pun berjalan sendiri-sendiri hingga keduanya sepakat untuk berpisah. Selama rentang waktu menuju keputusan berpisah, ragam konflik pun menerpa kedua tokoh utama kisah Belenggu, serta tokoh-tokoh tambahan lainnya, seperti Hartono, Aminah, Ibu Rusdio, Tati, dan Mangunsucipto.
Di masa-masa renggang dengan Tini, Tono memilih dekat pada Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Sedang Tini, mati-matian bergelut dengan kesepian hingga pertemuannya dengan Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati membuka cakrawala pikirannya untuk segera memutuskan jalan keluar mana yang harus dia ambil untuk lepas dari ruang ‘hubungan Tono dan Tini yang retak.’
Selama masa ‘pengasingan’ ke Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati, Tono memang sempat bergelut dengan pikirannya sendiri. Apakah yang harus dia lakukan terhadap Tini. Tetapi, Tono tidak menemukan jawaban. Padahal, bila ditelisik lebih jauh, itu semua dikarenakan keengganan Tono mengambil putusan, bertahan dengan Tini atau berpisah untuk selamanya. Akibatnya, Tono pun selalu berada dalam kondisi ‘status quo’ yang ia bangun sendiri atas pertimbangan ‘apa kata orang.’ Di mata orang sekitar, pasangan Tono dan Tini harmonis, serasi. Namun, itu hanya terjadi di masa-masa awal pernikahan. Memasuki masa renggang, opini orang sekitar pun sudah beralih pada pasangan Tono dan Tini kering kerontang. Betapa sindiran-sindiran Aminah—pada dasarnya Aminah memang memiliki kecemburuan kepada Tini dikarenakan kelebihan Tini yang tak dia punyai—kuat menggambarkan perubahan opini orang sekitar pasangan Tono dan Tini.
Seiring dengan waktu, keretakan pun semakin tak terbendung. Tini gerah. Apalagi dia sudah mendengar soal Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati yang dia ketahui dari Minah; dan Minah mengetahui soal tersebut dari Abdul, supir dokter Sukartono yang sering mengantar sang majikan ke rumah Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Berbekal sekarung kegeraman, Tini pun menyambangi rumah Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Tampaknya, kedatangan Tini didasarkan pada motifasi ingin mengutuhkan kembali hubungan dirinya dengan Tono, suaminya. Padahal, sejak perjumpaannya dengan Hartono alias Abdul Syukur, teman sekolah Tono di Malang, yang tidak diketahui Tono membuat keinginan untuk berpisah dengan suaminya semakin baja. Hartono merupakan mantan pacar Tini. Sayangnya, keputusan gagal berbuah dikarenakan penolakan dari Hartono. Menyadari Tini adalah istri sahabatnya, Hartono pun undur diri dan kembali menghilang, serupa dengan peristiwa menghilangnya dia dari hadapan Tini sebelum memutuskan menikah dengan dokter Sukartono.
Berbekal ide emansipasi, konflik rumah tangga Tono dan Tini pun dipecahkan. Keenganan Tono mengambil keputusan dikarenakan ketakutannya berhadapan dengan opini orang sekitar atau ‘apa kata orang’ dipecahkan Tini. Maskulinitas pun berpindah ke Tini dikarenakan keberaniannya mengambil keputusan. Awalnya, Tono terkaget. Ada perasaan tak rela berpisah muncul di dalam batinnya dan pikirannya. Namun, dikarenakan harapan yang ditawarkan Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati, yakni cinta, Tono pun memampukan diri menerima keputusan Tini. Tragisnya, ketika putusan sudah ditetapkan, Tono malah tak bersua Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Bersamaan dengan kepergian Tini dari kehidupan Tono, Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati pun pergi. Tono hidup dalam ironi, sedang Tini hidup dalam kesukaan. Dan Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati tetap menjalani hidupnya yang seakan sudah ditetapkan tangan takdir berjalan getir. Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati sempat menjadi istri simpanan seorang birokrat zaman penjajahan, pun menjadi penghuni Tanjung Priok (saya memaknainya sebagai lonte).
***
Menurut saya, Belenggu pada dasarnya hendak berbicara soal keputusan. Setiap manusia harus mengambil keputusan untuk membebaskan diri dari suatu masalah yang membelenggu. Namun, harus pula diingat bahwa pengambilan keputusan untuk bebas dari belenggu tidak menjadi membatasi kehadiran belenggu dalam perjalanan hidup seorang. Belenggu selalu saja hadir dalam kehidupan seorang, dan biasanya di dalam kondisi demikian seorang lebih suka memikirkan masa-masa lampau, masa-masa kejayaan, masa-masa kebahagiaan.
Setiap tokoh dalam novel Belenggu memiliki persoalan sendiri. Ada yang bersifat sambil lalu seperti Aminah atau Mangunsucipto atau Hartono atau Ibu Rusdio. Sesuai dengan konteks pengisahan yang berpusat pada tokoh Tono dan Tini, Aminah atau Mangunsucipto atau Hartono atau Ibu Rusdio hanyalah orang-orang yang menonton tanpa memiliki kekuasaan untuk memerintahkan Tono atau pun Tini mengambil keputusan yang mereka kehendaki. Sedang sosok Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati, dalam tafsir saya, merupakan sosok yang terlibat langsung, sosok yang ikut menjerumuskan diri dalam konflik Tono dan Tini. Dikarenakan posisi tersebut, Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati pun memiliki kekuatan, bukan kekuasaan, untuk mendorong Tono dan Tini mengarahkan keputusan kepada apa yang dia kehendaki. Dan ternyata, semua berjalan sesuai ingin Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Tampaknya, Armijn Pane hendak mengajukan tesis: seorang harus mengambil putusan atas pilihannya pribadi, bukan campur tangan orang lain! Pada dasarnya, saya menduga, Armijn Pane pun tak setuju dengan seorang yang bersikap seperti Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Namun, dalam kehidupan nyata sosok seperti Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati ada dalam kehidupan. Karena itu, Rohaya alias Nyonya Eni alias Siti Hayati dengan segala konsep yang ada di dalamnya hadir di dalam novel Belenggu.
***
Membaca Belenggu membangkitkan kekaguman tersendiri bagi saya. Kagum betapa seorang Armijn Pane, di mata saya, setara dengan James Joyce, tentunya dengan beragam catatan, semisal tema kisah dan gaya. Naskah yang dia sajikan begitu memukau. Perdebatan batin yang ada dalam diri tiap tokoh Belenggu, bagi saya, serupa dengan perdebatan batin yang hadir dalam diri tokoh Stephen Dedalus.
Menurut pemikiran saya, novel Belenggu yang ditulis Armijn Pane hendak menampung ide eksistensialis. Tampaknya, masa-masa kehidupan Armijn Pane pun dipenuhi semangat eksistensialis berpusat di Eropa, dengan tokohnya antara lain Soren Kierkegaard, Jean Paul Sartre, dan Albert Camus. Namun, Armijn Pane tak seutuhnya menjatuhkan diri dalam persoalan filsafat tersebut. Ia lebih condong pada pilihan, yang saya sebut, memaknai kehidupan, mengindra pergolakan zaman. Dan berbekal tata bahasa Indonesia klasik, Armijn Pane saya kategorikan berhasil menyampaikan soal tersebut, sekaligus membuktikan bahwa bahasa Indonesia, khususnya tata bahasa Indonesia klasik, mampu menghasilkan karya sastra yang bermutu.
Apa yang dilakoni Armijn Pane memberi pelajaran menarik. Sebab patutlah disadari bahwa kebermutuan suatu karya tidak ditentukan oleh bahasa yang dipergunakan, melainkan berpusat pada tawaran kisah yang bakal dirasakan pembaca. Demikianlah, membaca pun menjadi kerja merasakan! Merasakan kehadiran tokoh, hingga merasakan keadaan zaman ketika kisah dituliskan.

[David Tobing]

2 comments:

  1. Salam kenal Mas. Menurut saya Armijn Pane bahkan layak disandingkan dengan Milan Kundera dengan romannya The Unbearable Lightness of Being, atau yang lebih klasik lagi Leo Tolstoy dengan Anna Karenina. Saya baca Belenggu jaman nakal-nakalnya SMA, jadi bacanya agak melayang-layang intoxicated ihihihi

    ReplyDelete
  2. Salam kenal Mas. Tergantung dari mana kita melihatnya Mas. Armijn Pane bisa sebanding dengan Milan Kundera, Leo Tolstoy, atau malah sesungguhnya Armijn Pane adalah Armijn Pane itu sendiri.

    ReplyDelete