Friday, 2 March 2007

DARI BENDERA PARA SUAMI PERTIWI MENUJU KEBIJAKAN IMPOR BERAS DI NEGERI INI


James Bradley:
I finally came to the conclusion that maybe he was right. Maybe there’s no such thing as heroes. Maybe there are just people like my dad. I finally came to understand why they were so uncomfortable being called heroes. Heroes are something we create, something we need. It’s a way for us to understand what is almost incomprehensible, how people could sacrifice so much for us. But for my dad and these men, the risk they took, the wounds they suffered, they did that for their buddies. They maybe have fought for their country, but they died for their friends. For the man in front, for the man beside them. And if we wish to truly honor these men, we should remember them the way they really were, the way my dad remembered them.

Keseluruhan interpretasi atas film garapan Clint Eastwood berpusat pada monolog James Bradley di pengakhiran cerita. James Bradley, putra Jhon ‘Doc’ Bradley tegas menyatakan bahwa ‘kata pahlawan kita ciptakan sebagai jalan untuk memahami apa yang tidak kita mengerti.’ Berangkat dari pengertian seperti yang dituturkan James Bradley, maka kata ‘pahlawan’ pun tak ubahnya seperti metafora. Sebagai konsekuensi dari metafora, maka kata ‘pahlawan’ multi-makna. Melalui film ini, Clint Eastwood mencoba menawarkan redefenisi baru dari kata tersebut melalui bahasa audio-visual selama hampir dua jam.
James Bradley menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada prajurit yang ingin disebut pahlawan. Apabila prajurit berlaga di medan tempur, itu semua dia lakukan demi negaranya. Namun, trophy kematian yang diperoleh prajurit di medan tempur tidaklah ditujukan kepada kejayaan negaranya. Kematian prajurit di medan tempur adalah hadiah kehidupan bagi rekan-rekan yang berada di depan, belakang dan di sampingnya. Para prajurit ada bagi teman mereka. Di medan tempur, itulah sesungguhnya prajurit; mereka ada untuk menyelamatkan rekan sekerja. EVERY SOLDIER STANDS BESIDES A HERO.
Dalam konteks pemikiran James Bradley, seorang prajurit pasti memandang seorang prajurit lainnya sebagai pahlawan bagi dirinya. Pemikiran ini merevisi pandangan awam yang memaknai kata ‘pahlawan’ atau ‘hero’ seperti yang tercantum dalam dalam Cassel’s Dictionary of Word Histories. Dalam kamus tersebut, kata ‘hero’ atau ‘pahlawan’ menempati kelas kata benda dengan makna a person of extraordinary valour, fortitude or enterprise. Bila pemaknaan di dalam kamus tersebut diterima sebagai pemahaman awam, maka kisah pertempuran prajurit Amerika melawan prajurit Jepang di pulau Iwo Jima menjadi redefenisi makna ‘pahlawan.’
Seluruh pengisahan FLAG OF OUR FATHER berpusat pada tiga tokoh utama, yakni Jhon ‘Doc’ Bradley, Rene Gagnon, dan Ira Hayes. Ketiganya mengalami siksaan mental yang berbeda untuk tiap tokoh setelah mereka dinobatkan publik Amerika Serikat sebagai pahlawan. Penobatan itu dikarenakan sebuah foto yang merekam visual tujuh prajurit saat mendirikan bendera Amerika Serikat di puncak pegunungan Iwo Jima. Bagi mereka, penobatan itu adalah kesemuan belaka; dan mereka pada dasarnya tidak merasa sebagai seorang pahlawan, terutama Ira Hayes. Sedang Jhon ‘Doc’ Bradley masih berkutat pada pertanyaan ‘apakah saya layak?’ dan Rene Gagnon sudah tercebur pada emosi ‘ya saya adalah pahlawan.’ Namun, di akhir pengisahan, di masa perang sudah berakhir, segala kebusukan pun terbongkar. Pahlawan adalah predikat semu yang bersifat lekang waktu.
Secara umum, penolakan mereka disebabkan dua hal utama. Pertama, kepalsuan foto. Foto yang sampai ke publik Amerika Serikat sesungguhnya bukanlah foto dari momen pertama pendirian bendera Amerika Serikat di pegunungan Iwo Jima. Foto yang sampai ke publik adalah foto jepretan kedua, foto yang dapat dikatakan foto rekayasa. Pada momen pertama pendirian bendera dipergunakan bendera duplikat yang berukuran lebih kecil. Setelah bendera tersebut berkibar, ketujuh orang tersebut mengganti bendera duplikat dengan bendera asli. Inilah yang sesungguhnya terjadi. Kedua, pemaknaan mereka sendiri atas kata pahlawan, seperti yang dijelaskan James Bradley.
Meski film ini berupaya mendefenisikan-ulang kata ‘pahlawan’ beragam campuran bumbu penyedap ditambahkan untuk mengokohkan penceritaan. Latar belakang kisah berupa tema percintaan, pragmatisme Amerika Serikat, kebanggaan orang tua, serta tipu-daya kaum pemodal yang menjanjikan kerja bagi ketiga prajurit, menjadi bumbu penyedap yang berfungsi sebagai latar belakang dari tema utama yang hendak diangkat Clint Eastwood. Tema utama dan tema-tema bumbu berkelindan dalam alur cerita acak, maju-mundur.
Misal, pragmatisme Amerika Serikat. Di film ini dipaparkan betapa pandangan hidup pragmatisme begitu mengakar dalam kultur penguasa Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat kala itu kekurangan dana untuk membiayai perang Iwo Jima. Keberhasilan penancapan tiang bendera di pegunungan Iwo Jima menjadi dasar bagi negara untuk meneruskan perang sekalipun kekurangan dana. Sebagai jalan keluar, negara mengeluarkan menerbitkan surat utang pembiayaan perang ke publik. Foto megah tujuh prajurit yang menancapkan tiang bendera Amerika Serikat menjadi bukti kepada publik bahwa surat utang yang bakal dibeli publik tidak berujung pada kesia-siaan! Amerika menang, itulah yang didengungkan kelompok penguasa untuk mendorong simpati warga agar membeli surat utang pembiayaan perang. Pragmatisme Amerika Serikat itu tidak memperhitungkan berapa jumlah prajurit yang tewas dalam pertempuran Iwo Jima. Kemanusiaan pun luntur dikarenakan motifasi ekonomi belaka. Kekurangan dana perang menjadi alasan pembenar untuk mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui tema ‘sempilan’ ini, tampaknya Clint Eastwood sedang mengkritik kebijakan negaranya yang tega menihilkan variabel nyawa manusia kala mengambil keputusan.
Menengok keseluruhan film Clint Eastwood, lalu menempatkan film tersebut di antara film-film pertempuran lainnya, semisal Rambo dan Full Metal Jacket, FLAGS OF OUR FATHER menawarkan sudut pandang baru. Pada Rambo, superioritas prajurit tempur menjadi tumpuan kisah. Seorang Rambo mampu menghabisi ratusan prajurit musuh. Dalam konteks Rambo, kata ‘pahlawan’ tidak mengalami perubahan makna alias masih sama dengan pengertian awal kata ‘hero’ yang muncul sejak abad ke-16 Masehi. Sedang Full Metal Jacket bersendikan kepedihan perang. Kebersamaan di akademi militer berbuah kepedihan di medan pertempuran Vietnam. Pada dasarnya, kedua film tersebut, Rambo dan Full Metal Jacket, masih membatasi konteks masalah di medan pertempuran. Sedang Clint tidak. Konteks masalah diperluas. Tidak hanya medan pertempuran belaka yang digarap, tetapi juga ruang publik di Amerika Serikat, ruang prifat para orang tua prajurit, ruang prifat para keturunan prajurit, ruang prifat para prajurit (dalam film Full Metal Jacket konteks ini hadir).
Melihat cakupan masalah yang tertampung dalam film FLAGS OF OUR FATHER, semakin menabalkan Clint Eastwood sebagai seniman film yang benar-benar mengetahui bagaimana meramu film hingga dikatakan indah! Film yang indah adalah film yang mengandung kompleksitas pengisahan. Kompleksitas pengisahan itu sendiri merujuk pada kenyataan kehidupan yang dipenuhi ragam kelindan problematika. Mengingat seni adalah replika dari kenyataan, maka seni yang indah pun seharusnya mengadopsi ragam kelindan problematika di kenyataan ke dalam pengisahan, entah cerita pendek, novel, roman, puisi, naskah drama, pun film. Semisal, kebijakan impor beras yang menghasilkan beragam problematika, mulai dari kritik partai oposan serta lembaga swadaya yang menyatakan pemerintah tak punya kebijakan ketahanan pangan nasional, apoloji pemerintah yang menegaskan bahwa kebijakan impor beras perlu dan harus dilakukan untuk mencegah melambungnya harga, lalu merananya pemasok beras di kawasan sentra beras karena kebijakan impor beras yang diikuti dengan operasi pasar pasti menurunkan harga beras di pasr-pasar induk, antrian warga yang berlelah-lelah untuk mendapatkan 20 kilogram beras kualitas III (bahkan ada juga yang tidak dapat meski sudah lama mengantri), lalu para pedagang beras yang ikut mengantri saat operasi pasar berlangsung dan setelah mendapatkan beras tersebut pedagang itu malah menjualnya dengan harga di atas harga operasi pasar, masih ada juga polisi-polisi yang ikut mengawasi operasi pasar, juga keterlambatan merapatnya kapal importir di pelabuhan yang bisa berdampak pada melonjaknya harga beras, ini belum lagi soal keuntungan perusahaan pemenang tender impor beras yang diadakan BULOG. Dan bila kisah impor beras hendak difilmkan, hendaknya beragam problematika tersebut tidak dilupakan agar lahir karya seni yang indah.
Selain kepiawaian memahami seni adalah replika kenyataan, Clint Eastwood pun sadar akan fungsi seni, khususnya, film. Selain hiburan, seni pun menyimpan tugas lain, seperti membangun kesadaran baru. Film FLAGS OF OUR FATHER menawarkan kesadaran baru dalam bentuk pendefenisian-ulang makna kata ‘pahlawan.’ Lewat film ini, Clint Eastwood masuk ke dalam file ‘pahlawan’ yang tersimpan dalam benak penonton, lalu memperbaharui rekaman yang tersimpan dalam file tersebut; atau menambah file baru dalam benak penonton. Ketika proses masuknya Clint Eastwood dalam benak penonton, seni pun berfungsi. Kesadaran baru sudah ditawarkan, entah dengan mengubah file yang sudah tersimpan atau menambah file dalam direktori yang sama.
Namun, subjektifitas pribadi saya merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik upaya pendefenisian-ulang makna kata ‘pahlawan.’ Ada kesadaran baru yang ditawarkan Clint Eastwood kepada publik Bumi selain pendefenisian-ulang kata ‘pahlawan,’ yakni Kepalsuan! Inilah yang menjadi sendi utama film tersebut. Kepalsuan itu hadir melalui pemaknaan kata pahlawan, kampanye pengumpulan dana perang, penentuan siapa-siapa sajakah prajurit yang ada di dalam foto, pendirian bendera Amerika Serikat yang dilakukan dua kali (pertama menggunakan bendera duplikat yang dapat diartikan ketakutan Amerika Serikat gagal; kedua bendera asli yang berukuran lebih besar dari bendera duplikat yang bisa diartikan sebagai kejayaan), kecentilan pacar Rene Gagnon, tawaran kerja dari pemilik real estate kepada Rene Gagnon, ketegaran terpaksa Ira Hayes dan Jhon ‘Doc’ Bradley, kesenyapan pegunungan Iwo Jima yang sesungguhnya berisi ratusan bunker persembunyian tentara Jepang, pendirian monument tujuh pahlawan, peringatan hari ‘kemenangan’ Amerika Serikat di Iwo Jima, ironi kehidupan Ira Hayes serta kejujurannya, sebelum ia dipulangkan ke rumah, untuk mengakui bahwa dirinya bukan pahlawan.
Kepalsuan hanya dapat dikalahkan dengan kejujuran. Dan waktulah yang menjadi pembukti. Inilah kesadaran baru yang hendak ditawarkan Clint Eastwood dibalik tawaran pendefenisian-ulang kata ‘pahlawan.’ Pada titik kesadaran baru, penonton pun tersadar, pasti ada sesuatu di dalam segala sesuatu. Semisal, kebijakan impor beras. Apakah benar, kebijakan impor beras ditujukan untuk meredam lonjakan harga? Atau untuk meredam upaya aksi demonstrasi warga menggulingkan pemerintahan yang bakal meledak karena harga beras di ada di langit planet Saturnus? Atau malah kebijakan impor 1 juta ton beras untuk periode 2007 adalah bentuk konsumerisme dari golongan elit negeri? Namun, saya pribadi lebih menitik beratkan dugaan pada motif ekonomi yang tersembunyi dalam kebijakan impor beras. Penalarannya, impor beras adalah persoalan jual beli yang ditujukan untuk mendapatkan keuntungan. Antara harga beli beras impor dari negara pengekspor tentunya memiliki selisih dengan harga jual beras impor saat dilakukan operasi pasar. Andaikan saja selisih harga tersebut Rp25 per-kilogram, maka total keuntungan mencapai Rp25 miliar. Dan marjin keuntungan tersebut mengalir ke kantong pemenang tender impor beras yang diadakan BULOG. Tragisnya, mudah-mudahan tidak benar, pemenang tender impor beras adalah mereka yang masih berada di lingkaran pertama atau kedua dari kekuasaan di negeri ini.
Film FLAGS OF OUR FATHER adalah film metaforis. Bahkan, kebijakan impor beras di negeri ini pun dapat dijelaskan film besutan Clint Eastwood. Tak hanya mendefenisi-ulang kata ‘pahlawan,’ film pertempuran Iwo Jima pun membantu penonton, khususnya saya pribadi, untuk mendefenisi-ulang frase ‘kebijakan impor beras.’ ‘Frasa kebijakan impor beras kita ciptakan sebagai jalan untuk memahami apa yang tidak kita mengerti, mengapa di negeri yang katanya agraris ini beras dapat menjadi barang langka.’

[David Tobing]

***
FLAG OF OUR FATHER

Directed by : CLIENT EASTWOOD

Screenplay by: WILLIAM BROYLES, JR and PAUL HAGGIS

Produced by: CLINT EASTWOOD – STEVEN SPIELBERG

Producer : ROBERT LORENZ

Based on the book by JAMES BRADLEY with RON POWERS

Director of Photography : TOM STERN

Production Design by HENRY BUMSTEAD

Edited by JOEL COX, A.C.E.

-TO PHYLLIS and BUMMY-

Costumes Designed by DEBORAH HOPPER

Music by CLINT EASTWOOD

Art Director JACK G. TAYLOR, JR.

CAST
Jhon ‘Doc’ Bradley RYAN PHILLIPPE
Rene Gagnon JESSE BRADFORD
Ira Hayes ADAM BEACH
Keyes Beech JHON BENJAMIN HICKEY
Bud Gurber JHON SLATTERY
Mike Strank BARRY PEPPER
Ralph ‘Iggy’ Ignatowski JAMIE BELL
Hank Hansen PAUL WALKER
Colonel Chandler Johnson ROBERT PATRICK
Captain Severance NEAL McDONOUGH
Pauline Harnois MELANIE LYNSKEY
James Bradley TOM McCARTHY
Commandant Vandegrift CHRIS BAUER
Belle Block JUDITH IVEY
Madeline Evelley MYRA TURLEY
Franklin Sousley JOSEPH CROSS
Harlon Block BENJAMIN WALKER
Lindberg ALENSSANDRO MASTROBUONO
Lundsford SCOTT REEVES
Gust STARK SANDS
Jhon Bradley GEORGE GRIZZARD

A/P Wide World Photos. & Iwo Jima Photograph Taken by JOE ROSENTHAL

Seven War Loan Painting by C.C. BEALL

Film location : IWO JIMA, JAPAN, ICELAND and UNITED STATES OF AMERICA

This film is based on actual historical events. Dialogue and certain events and characters contained the film were created for the purpose of dramatization.

***

Belenggu

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Armijn Pane
Merasakan Belenggu Armijn Pane

Tokoh dalam kisah:
1. Dokter Sukartono, disapa Tono
2. Sumartini, disapa Tini, istri dokter Sukartono
3. Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati, disapa Yah, teman kecil dokter Sukartono
4. Hartono alias Abdul Syukur, disapa Har, teman sekolah dokter Sukartono sewaktu di Malang
5. Karno, bujang pasangan Tono dan Tini
6. Abdul, supir Tono
7. Pasangan Mangunsucipto dan Tati, paman dan bibi Tini
8. Ibu Rusdio, Nyonya Sutatmo, Nyonya Sumarjo, Aminah

Barisan kata di halaman pertama novel Belenggu begitu kuat membawa imajinasi pembaca ke masa lampau, masa Indonesia masih terbilang bayi. Cara berbahasa yang diajukan Armijn sangat kuat mencitrakan betapa tata bahasa yang dituliskannya sangat berbeda dari tata bahasa Indonesia zaman kini. Misal saja, di paragraph pertama bagian pertama novel, tertulis: Seperti biasa, setibanya di rumah lagi, dokter Sukartono terus saja menghampiri meja kecil, di ruang tengah, dibawah tempat telepon. Bagi saya, perbedaan zaman yang mencolok itu terekam dalam frasa ‘… dokter Sukartono terus saja menghampiri …’
Ketika membaca frasa tersebut, saya merasa ada kejanggalan berpikir. Penyebabnya adalah kata ‘terus.’ Bagi saya pribadi, kalimat yang digunakan Armijn Pane dapat saya kategorikan sebagai tata bahasa Indonesia klasik. Dan dalam tata bahasa Indonesia modern (baca: setelah Ejaan Yang Di-Sempurnakan), kata ‘terus’ diganti dengan kata ‘selalu,’ sehingga frasa tersebut tertulis: ‘… dokter Sukartono selalu saja menghampiri …’ Dugaan saya, di masa Armijn Pane menulis novel Belenggu, bahasa Indonesia belum mengenal kata ‘selalu.
Uniknya, bagi saya, perbedaan tata bahasa antara penulis yang hidup di era tata bahasa Indonesia klasik dengan pembaca yang hidup di era tata bahasa Indonesia modern tidak berdampak negatif. Pembacaan atas naskah Belenggu tidak terganggu, malahan memikat disebabkan ketegangan yang muncul antara tata bahasa Indonesia klasik dengan tata bahasa Indonesia modern. Saya seakan terus terpancing—tentunya disamping menyelami apa yang hendak dikisahkan Armijn Pane—untuk menikmati keindahan tata bahasa Indonesia klasik; dan bagi saya tata bahasa Indonesia klasik itu memang memiliki keistimewaan yang disebabkan kekentalan intonasi dalam setiap kalimat. Berdasarkan pengalaman membaca karya sastra Indonesia dalam tata bahasa Indonesia modern, saya menyimpulkan, unsur intonasi dalam kalimat terasa tak menonjol.
***
Novel Belenggu memulai kisah tentang kehidupan pasangan dokter Sukartono dan Sumartini. Berbicara tentang kehidupan pasangan suami-istri, tampaknya bukanlah kesengajaan bila Armijn Pane mengambil momen merenggangnya hubungan pasangan Tono dan Tini sebagai latar pengisahan. Kehidupan pasangan suami-istri tentulah memiliki banyak alternatif momen pengisahan, antara lain harmonisasi hubungan suami-istri, atau masa penantian kehadiran seorang anak, atau perpisahan akibat kematian salah satu pasangan.
Seluruh pengisahan novel berada dalam ruang ‘hubungan Tono dan Tini yang retak.’ Karena atmosfir yang demikian, Tono dan Tini pun berjalan sendiri-sendiri hingga keduanya sepakat untuk berpisah. Selama rentang waktu menuju keputusan berpisah, ragam konflik pun menerpa kedua tokoh utama kisah Belenggu, serta tokoh-tokoh tambahan lainnya, seperti Hartono, Aminah, Ibu Rusdio, Tati, dan Mangunsucipto.
Di masa-masa renggang dengan Tini, Tono memilih dekat pada Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Sedang Tini, mati-matian bergelut dengan kesepian hingga pertemuannya dengan Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati membuka cakrawala pikirannya untuk segera memutuskan jalan keluar mana yang harus dia ambil untuk lepas dari ruang ‘hubungan Tono dan Tini yang retak.’
Selama masa ‘pengasingan’ ke Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati, Tono memang sempat bergelut dengan pikirannya sendiri. Apakah yang harus dia lakukan terhadap Tini. Tetapi, Tono tidak menemukan jawaban. Padahal, bila ditelisik lebih jauh, itu semua dikarenakan keengganan Tono mengambil putusan, bertahan dengan Tini atau berpisah untuk selamanya. Akibatnya, Tono pun selalu berada dalam kondisi ‘status quo’ yang ia bangun sendiri atas pertimbangan ‘apa kata orang.’ Di mata orang sekitar, pasangan Tono dan Tini harmonis, serasi. Namun, itu hanya terjadi di masa-masa awal pernikahan. Memasuki masa renggang, opini orang sekitar pun sudah beralih pada pasangan Tono dan Tini kering kerontang. Betapa sindiran-sindiran Aminah—pada dasarnya Aminah memang memiliki kecemburuan kepada Tini dikarenakan kelebihan Tini yang tak dia punyai—kuat menggambarkan perubahan opini orang sekitar pasangan Tono dan Tini.
Seiring dengan waktu, keretakan pun semakin tak terbendung. Tini gerah. Apalagi dia sudah mendengar soal Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati yang dia ketahui dari Minah; dan Minah mengetahui soal tersebut dari Abdul, supir dokter Sukartono yang sering mengantar sang majikan ke rumah Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Berbekal sekarung kegeraman, Tini pun menyambangi rumah Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Tampaknya, kedatangan Tini didasarkan pada motifasi ingin mengutuhkan kembali hubungan dirinya dengan Tono, suaminya. Padahal, sejak perjumpaannya dengan Hartono alias Abdul Syukur, teman sekolah Tono di Malang, yang tidak diketahui Tono membuat keinginan untuk berpisah dengan suaminya semakin baja. Hartono merupakan mantan pacar Tini. Sayangnya, keputusan gagal berbuah dikarenakan penolakan dari Hartono. Menyadari Tini adalah istri sahabatnya, Hartono pun undur diri dan kembali menghilang, serupa dengan peristiwa menghilangnya dia dari hadapan Tini sebelum memutuskan menikah dengan dokter Sukartono.
Berbekal ide emansipasi, konflik rumah tangga Tono dan Tini pun dipecahkan. Keenganan Tono mengambil keputusan dikarenakan ketakutannya berhadapan dengan opini orang sekitar atau ‘apa kata orang’ dipecahkan Tini. Maskulinitas pun berpindah ke Tini dikarenakan keberaniannya mengambil keputusan. Awalnya, Tono terkaget. Ada perasaan tak rela berpisah muncul di dalam batinnya dan pikirannya. Namun, dikarenakan harapan yang ditawarkan Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati, yakni cinta, Tono pun memampukan diri menerima keputusan Tini. Tragisnya, ketika putusan sudah ditetapkan, Tono malah tak bersua Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Bersamaan dengan kepergian Tini dari kehidupan Tono, Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati pun pergi. Tono hidup dalam ironi, sedang Tini hidup dalam kesukaan. Dan Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati tetap menjalani hidupnya yang seakan sudah ditetapkan tangan takdir berjalan getir. Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati sempat menjadi istri simpanan seorang birokrat zaman penjajahan, pun menjadi penghuni Tanjung Priok (saya memaknainya sebagai lonte).
***
Menurut saya, Belenggu pada dasarnya hendak berbicara soal keputusan. Setiap manusia harus mengambil keputusan untuk membebaskan diri dari suatu masalah yang membelenggu. Namun, harus pula diingat bahwa pengambilan keputusan untuk bebas dari belenggu tidak menjadi membatasi kehadiran belenggu dalam perjalanan hidup seorang. Belenggu selalu saja hadir dalam kehidupan seorang, dan biasanya di dalam kondisi demikian seorang lebih suka memikirkan masa-masa lampau, masa-masa kejayaan, masa-masa kebahagiaan.
Setiap tokoh dalam novel Belenggu memiliki persoalan sendiri. Ada yang bersifat sambil lalu seperti Aminah atau Mangunsucipto atau Hartono atau Ibu Rusdio. Sesuai dengan konteks pengisahan yang berpusat pada tokoh Tono dan Tini, Aminah atau Mangunsucipto atau Hartono atau Ibu Rusdio hanyalah orang-orang yang menonton tanpa memiliki kekuasaan untuk memerintahkan Tono atau pun Tini mengambil keputusan yang mereka kehendaki. Sedang sosok Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati, dalam tafsir saya, merupakan sosok yang terlibat langsung, sosok yang ikut menjerumuskan diri dalam konflik Tono dan Tini. Dikarenakan posisi tersebut, Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati pun memiliki kekuatan, bukan kekuasaan, untuk mendorong Tono dan Tini mengarahkan keputusan kepada apa yang dia kehendaki. Dan ternyata, semua berjalan sesuai ingin Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Tampaknya, Armijn Pane hendak mengajukan tesis: seorang harus mengambil putusan atas pilihannya pribadi, bukan campur tangan orang lain! Pada dasarnya, saya menduga, Armijn Pane pun tak setuju dengan seorang yang bersikap seperti Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati. Namun, dalam kehidupan nyata sosok seperti Rohayah alias Nyonya Eni alias Siti Hayati ada dalam kehidupan. Karena itu, Rohaya alias Nyonya Eni alias Siti Hayati dengan segala konsep yang ada di dalamnya hadir di dalam novel Belenggu.
***
Membaca Belenggu membangkitkan kekaguman tersendiri bagi saya. Kagum betapa seorang Armijn Pane, di mata saya, setara dengan James Joyce, tentunya dengan beragam catatan, semisal tema kisah dan gaya. Naskah yang dia sajikan begitu memukau. Perdebatan batin yang ada dalam diri tiap tokoh Belenggu, bagi saya, serupa dengan perdebatan batin yang hadir dalam diri tokoh Stephen Dedalus.
Menurut pemikiran saya, novel Belenggu yang ditulis Armijn Pane hendak menampung ide eksistensialis. Tampaknya, masa-masa kehidupan Armijn Pane pun dipenuhi semangat eksistensialis berpusat di Eropa, dengan tokohnya antara lain Soren Kierkegaard, Jean Paul Sartre, dan Albert Camus. Namun, Armijn Pane tak seutuhnya menjatuhkan diri dalam persoalan filsafat tersebut. Ia lebih condong pada pilihan, yang saya sebut, memaknai kehidupan, mengindra pergolakan zaman. Dan berbekal tata bahasa Indonesia klasik, Armijn Pane saya kategorikan berhasil menyampaikan soal tersebut, sekaligus membuktikan bahwa bahasa Indonesia, khususnya tata bahasa Indonesia klasik, mampu menghasilkan karya sastra yang bermutu.
Apa yang dilakoni Armijn Pane memberi pelajaran menarik. Sebab patutlah disadari bahwa kebermutuan suatu karya tidak ditentukan oleh bahasa yang dipergunakan, melainkan berpusat pada tawaran kisah yang bakal dirasakan pembaca. Demikianlah, membaca pun menjadi kerja merasakan! Merasakan kehadiran tokoh, hingga merasakan keadaan zaman ketika kisah dituliskan.

[David Tobing]