Saturday, 29 July 2006

waktu senja manusia malah pergi meninggalkan rumah-rumah mereka


toleransi kontradiksi kombinasi kultural suci meregang-regang susut
menciut tegang merapal nama kota kitab berhala tetangga masa lalu di
belakang massa masa depan di kuil-kuil pemujaan semacam pasar
bertransaksi dengan kudapan roti bawang putih dan secangkir kopi dari
pagi sampai kering matahari tinggi percakapan bukan tanpa perhatian
penjelasan peringatan dari tabu yang berasal dari toleransi kontradiksi
kombinasi kultural suci sementara ditinggalkan untuk berperang sejenak
dari keyakinan yang datang di koran-koran gratis setiap hari sampai
waktu senja manusia malah pergi meninggalkan rumah-rumah mereka yang
tidak lagi terbaca di peta-peta di tanah yang malu dengan kehadiran
urat-urat syaraf yang putus di kemaluan yang melulu kencang melototi
siaran tv keimanan terkini dengan asupan tablet vitamin tak kenal lelah
menginjak harga kontrak gaji buruh sepetak sawah petani tanpa surat
garapan bikin selera makan bertambah cemas tentang keberadaan doa yang
luput dilakoni sendirian saat butuh toleransi kontradiksi kombinasi
kultural suci ditabuhkan tabu tentang siapa dirinya yang oleh angin
jadi sayup buram oleh lembab hujan tak jadi menggayut di
pikiran-pikiran orang-orang yang bergegas di lampu merah tanpa pernah
tahu arah selain rumah dengan penguasa koran dan siaran hiburan
mengangkang beternak anak lampiaskan kemarahan pada ketetapan-ketetapan
yang diluar akal mereka karena tak pernah sempat merenungkan daun yang
menjadi kuning di atap rumah dan rambut yang satu dua memutih dan
tanggal dari akarnya setiap pagi waktu sisiran dengan isteri yang
kecewa karena jatah yang terus berkurang disaat sikap gagah perkasa
bicara politik dan hukum yang sukar dijelaskan awam jadi waham
berkepanjangan di siang bolong keluyuran di kepala-kepala dengan mata
merah tanpa rasa lelah menghitung setiap kemungkinan mimpi-mimpi
disengat matahari yang leluasa menembus ozon yang dicuri di air kemasan
jadi hitam menyebar ke permukaan air tanah yang asin menunggu gunung
pindah ke kota bukan sekadar jalan namun menetap karena rumah-rumah
ditinggalkan para penghuninya yang cari bara kesenangan di luar pikiran
mereka yang sebelumnya tabu diungkapkan kena demam berkesudahan setelah
rock n roll berkumandang tinggi dan kering berahi jadi kram kopi anti
tidur mengambang diatas contekan kepercayaan yang meragukan ketika
diskusi dilanjutkan putus-putus oleh diksi yang kurang lebih dikenal
wajahnya teraba lekukkannya tak tertembus makna dibaliknya yang samar
oleh kelambu pemasaran di lantai lain sebuah rumah bertingkat-tingkat
yang telah kosong sebelum waktu singgah bertamu di depan pintu dengan
gambar anjing dan peringatan atas kebebalan pagar bertemperamen tinggi
menutupi setiap lapis ketakutan pengetahuan tentang ketidaktahuan
orang-orang yang tahu dimana mencari tahu

: di sana ada pintu yang tidak pernah terkunci berisi hasutan yang
lebih pintar dari perang yang tak berkesempatan menengok ke belakang
karena di muka ada kegemilangan yang centang perenang menunggu
tuan-tuan yang dipaksa waktu pergi meninggalkan rumah-rumah mereka saat
senja



widhy|sinau





Thursday, 13 July 2006

PUTAR FILM

Start:     Jul 29, '06 9:00p
End:     Jul 29, '06 11:00p
Location:     Kedai buku Sinau Jakarta, Jl. Bekasi Timur 1, no.32, Jakarta 13350
Love Song For Bobby Long
Film tentang troubardour ini dibintangi oleh Joh Travolta

PoetCorner

Start:     Jul 15, '06 8:00p
End:     Jul 16, '06 1:00a
Location:     Kedai buku Sinau Jakarta, Jl. Bekasi Timur 1, no.32, Jakarta 13350
Meja gunjing akan memilih dan mendistribusikan puisi yang masuk untuk terbitan tahunan PoetCorner

Saturday, 8 July 2006

Sendok Garpu Bebotolan

Hari sudah malam. Burung-burung pun enggan terbang. Sesekali, gemericik
air menyela keheningan. Bulan masih saja bergelantungan di dedahan
pohon waru. Kolam sudah tak penuh ikan, sebab airnya terlalu gelap.
Kelam. Bahkan, sudah terlalu diam bagi dunia gaduh tak berkesudahan.



Dari dalam kamar, engkau mendengar, denting. Sepertinya, engkau
berpikir, ada yang mengetuk-ngetukkan sendok garpu ke beragam
bebotolan. Mengetuk bergantian. Berdenting serupa perkusi
gamelan.  



Semua orang sudah tidur. Engkau masih saja memperhatikan beragam
bebotolan. Ada yang langsing, bulat, tegap, kuntet bahkan gepeng. Ada
warna bening, gelap, hijau juga coklat. Semua bebotolan kosong, engkau
perhatikan seksama sambil membayangkan asal mula musik perkusi gamelan.
Engkau pun lalu mengambil sendok garpu. Dan entah dengan cara apa
engkau menggabungkan bayangan makan malam dengan musik perkusi gamelan,
bebotolan mulai berdenting. Denting serupa perkusi gamelan. Denting
magis yang serupa santapan makan malam. Denting yang masuk, merasuk ke
dalam bentangan mimpi semua orang tidur,

hingga terbangun. Semua orang terbangun. Bentangan mimpi tersaput
taring-taring bunyi. Taring yang seakan-akan memangsa bentangan mimpi.
Taring yang seakan berfungsi menyalurkan santapan makan malam bagi
engkau yang sedang larut memainkan musik  perkusi gamelan dengan
rangkaian pergantian sendok garpu mengetuk-ngetuk bebotolan. Semakin
didera taring-taring pada mimpi, semua orang terbangun bergegas
mengaduh. Berteriak, memanjat, meloncat, berjalan, hingga

dengan cara yang entah bagaimana sudah berdiri di depan engkau dengan
wajah muka memerah, otot leher menegang, tangan mengepal, bergetar
seluruh badan dengan mata memejam.



Semua orang sudah tidur. Engkau masih saja memperhatikan pecahan
bebotolan. Engkau masih berpikir, berimajinasi, dengan cara
bagaimanakah bebotolan ini pecah. Lalu, kau menemukan jawab ketika
melihat sendok garpu di kedua tanganmu. Engkau memberanikan diri
menduga, penyebab bebotolan pecah karena ketukan sendok garpu yang
terlampau, terlampau ... asyik menikmati denting bebotolan. Denting
bebotolan yang dengan cara yang entah bagaimana berubah menjadi
taring-taring pencabik bentangan mimpi.

Engkau masih saja memperhatikan pecahan bebotolan, seperti memandang
remah-remah makan malam. Masihkah ada cara membunyikan, memusikkan
pecahan bebotolan menjadi perkusi gamelan? engkau berpikir,
berimajinasi. Sendok garpu bergerak pelan-pelan menuju pecahan
bebotolan yang sudah tampak menjadi remah-remah makan malam. Sendok
garpu bergerak perlahan mengumpulkan pecahan bebotolan, menyendoknya,
menggarpunya, lalu mengangkatnya bersama pecahan bebotolan, dan engkau
memasukkannya ke rongga mulut. Engkau mengunyahnya seakan mendengar
kembali denting-denting bebotolan yang diketuk-ketuk geraham dan gigi
gigi taring. Dan, mata engkau pun terpejam terhanyut dalam bentangan
mimpi bersama sama orang yang terbangun.   



Semua orang sudah tidur, terbangun melihat engkau tertidur dengan
bebunyian yang mendengung di dalam mulut. Semua orang terbangun,
melihat engkau bermimpi sambil memegang sendok garpu di atas pecahan
bebotolan. Semua orang terbangun, lalu mendengar



hari sudah malam. burung burung pun enggan terbang. cuma suara gamelan
samar dan bebotolan samar terdengar, dan dunia gaduh tak berkesudahan
pun tertidur lelap bermimpi memegang denting bebunyian sendok garpu dan
bebotolan.



[Deif Feil]

Wednesday, 5 July 2006

pesta buku jakarta 2006




baca lagi
indonesia...

Mobil Yang Sembahyang




Kebenaran datang di jalan curam menurun, berkelok  dan basah oleh
kabut. Kebetulan bukan dari arah yang lurus. Doa kami adalah tunjukan
kami jalan yang normal. Sejak perjalanan serakah memakan usia kami
tanpa ampun. Dan anomali tertempel di tiap pikiran yang terbersit
tiba-tiba setiap kali akan mendapatkan celaka. Amien. Serempak dalam
perbedaan agama.



Sesuatu harus tampak indah. Aku adalah persepsimu adanya. Walaupun
begitu aku tak berubah hakikatnya. Begitulah keindahan. Sejak
ketelanjangan gagal menggagahiku, aku mencelup semua warna jadi kembang
setaman. Sesajian yang setia di agenda kerja. Setiap kali adalah kerja,
karena gerak adalah akar makna.



Bergerak dalam keadaan tetap adalah diam, definisi fisika yang tidak
berguna ketika segala rem tidak berguna. Momentum lebih tepat untuk
mendeskripsikan tubrukan antara takut mati dan percaya tuhan. Momentum
karena rem lepas kendali. Bebas.  Maka satu-satunya jalan adalah
percaya pada supir yang ahli mengemudi. Itupun tergantung jenis mobil,
usia, dan waktu kadaluarsa asuransinya jika kita cinta benda. Mainkan
kopling dan gas dengan berani.



Ajal datang namun kelewat malam. Menginap sekamar bersama, ajal lupa
tugasnya. Warung kopi cantik jadi tempat selingkuh sempurna antara
tugas dan mimpi bawah sadar. Ajal bercerita disinilah ia mengumpulkan
orang-orang yang seiman dengannya. Dalam mabuk kita satu rasa, satu
bahasa, satu kata. Ajal dikeloni semalaman, pagi dibangunkan dupa
kembang setaman. Si pencipta keindahan.



Jalan yang curam menurun, berkelok  dan basah oleh kabut
tanda-tanda rahasia alam. Rahasia yang hampir kita selalu ingin
enyahkan bukan pecahkan. Rahasia yang mengejar-ngejar rasa bersalah.
Pecahkan, pecahkan, pecahkan. Atau biarkan ketidaktahuan sehingga
tanggungjawab mencari tubuh lain. Siapa yang menghuni tubuhmu kecuali
rahasia yang cuma bisa dibuka ajal yang mabuk dan kemalaman di warung
kopi cantik. Pecahkan, pecahkan, pecahkan sebelum ajal dan rahasia
mempertemukan perasaan yang dimabuk dupa kembang setaman, ramuan
keindahan. Mimpi bawah sadar jadi hambar, rahasia dipecahkan, kadang
tersebar sampai jauh, kadang jadi lagu blues, kadang dibiarkan saja
pergi tanpa tiket kembali.



Mobil kami sembahyang tiap pagi. Kami terkena najis. Silahkan percaya,
jalan hidup mobil yang sudah tidak layak secara ekonomi itu benar-benar
dipenuhi keberuntungan. Tuhan mobil yang kebetulan asembling Jepang itu
tidak kami ketahui dengan pasti. Dupa dan aroma kembang setaman seolah
jadi penghubung antara takdir dengan keberuntungan. Dunia kebetulan.
Dunia yang tidak pernah bisa diduga.



Mobil cinta yang akan jadi nostalgia. Tempat perasaan diaduk sejak
teknologi sms jadi tempat kecelakaan setelah kerbau, dan segala
binatang liar jadi gambar di rambu jalan. Sms yang mengaduk hati setiap
penumpang dan supir yang ternyata bermasalah dalam satu atap mobil. Sms
yang tidak akan berhenti, sampai pulsa habis. Sementara mobil mengejar
ajal yang bangun kesiangan dalam kecepatan yang tetap, diam menurut
fisika. Kami sebenarnya saling berdiam walau sms berkejaran dengan ibu
jari dan debaran hati. Please reply...Berempat serempak memohon...



Mobil bergerak cepat di jalan lurus mendatar, ajal berhasil kami lewati. Bye.

Di tempat minum, Walk of Life-Dire Strait mengumandang...

action, emotion, dedication, divotion, walk of life...



widhy | sinau









Saturday, 1 July 2006

pesta buku jakarta 2006

Start:     Jul 1, '06 8:00a
End:     Jul 9, '06 9:00p
Location:     istora senayan jakarta
kedai buku sinau buka siang di stand luar no.5
pelataran istora senayan
1-9 juli 2006

Memang Sepak Bola Bisa Menyebalkan

Pukul 15.00, 30 Juni 2006, aku dan Pak Medi taruhan. Segelas kopi pahit Warung Tegal. Aku memilih Argentina, Pak Medi Jerman.



Tujuh jam kemudian, tepatnya setelah 18 menit pertama pertandingan
Jerman-Argentina bermula, rasanya ke-warga-negara-an aku pun berubah.
Aku bukan lagi Indonesia, negara berbendera dua warna saja, merah
putih. Warna aku lebih variatif, biru muda, putih, bermotif garis, juga
lengkap dengan bagian tengah bendera terisi lingkaran yang menyerupai
matahari berwarna kuning. Lalu, rambut aku pun serasa kembali memanjang
melihat Juan Pablo Sorin menggelandang bola dan tubuhnya. Lantas, aku
pun berubah rasa menjadi sahabat paling dekat Riquelme; bahkan aku juga
turut menanggung beban yang dipanggul penyerang depan, Hernan Crespo.
Lantas,

selama lebih dari setengah jam aku merasa hidup bersama lawan yang
paling jelas. Lawan yang lebih menakutkan dari setan! Tentunya, kalau
setan itu memang ada. Lawan yang berjumlah tak jelas. Kadang sangat
sedikit, kadang berubah menjadi banyak. Semua tergantung kecerdasan.
Apakah Ballack bisa bekerja sama dengan Lahm menjadikan umpang crossing
bagi kepala penyerang panjang Klose? Untungnya, Jerman malam itu, di
episode pertama, bermain lemah. Ayala, Gonzales, Rodriguez dan Tevez
memang bermain cemerlang, meski kedudukan masih tetap seperti awal si
kulit bundar di tendang dari titik tengah lapangan Berlin, Jerman.
Lalu,



aku menikmati segelas kopi pahit, menyalakan rokok, menanti babak kedua
sembari menertawakan dua mahluk pengisi layar kaca yang berkebangsaan
Indonesia, mencoba mencari kira kemanakah arah pengakhiran
pertandingan. Tapi, cuma satu hal saja yang aku ingat, saat lelaki
pembawa acara, aku lebih suka menyebutnya pengembara acara, bertanya :
Apakah yang harus Jerman lakukan di babak kedua? Lantas diam sejenak;
bersambung : Juga Argentina. Ronni Pattinasarani berkata, entah apa aku
lupa sebab aku sedang nikmat-nikmatnya membaca cover buku Filsafat
Taqwa, Keyakinan Membebaskan Kaum Yang Sesat; entah karangan siapa
pula, aku rasa ini hanyalah imajinasi saja. Dan,



lapangan Berlin seakan memancarkan sinar. Lelaki tua berambut usia
senja mengenakan setelan jas biru sudah tampak unjuk-tampang di layar
televisi kaca. Juergen Klinsmann, lelaki parlente berkemeja lengan
panjang celana standard warna hitam sudah siap tegang, pun ambil bagian
nampang di layar televisi kaca Akira. Dari ruang pengganti, dua puluh
dua pemain berlari, keluar dari liang menuju lapangan pertarungan.
Permainan pun mulai!

Bola sudah bergulir dari titik tenang lapangan. Kegelisahan pun
menanjak seiring ke-warga-negara-an biru putih bergaris-garis makin
melekat di dalam benak hingga jiwa. Semakin waktu bertambah, semakin
mudah untuk menertawakan segala kebodohan pejuang Aria. Kegagalan umpan
yang kerap terjadi karena ganggu tarian Tanggo, makin membuat aku
serasa di atas angin sambil berkata : Ah, beginikah namanya berada di
atas angin? Ya, semua berlangsung lancar tanpa hambatan hingga di
menjelang menit ke-empat episode dua, saat Riquelme mengambil sepak
pojok pertama episode dua. Dan, waktu pun melangkah seiring putaran
bola yang mengudara pun pemain yang sudah tidak lagi berjejak di tanah
sampai kepala Roberto Ayala mengubah hukum alam arah dan laju bola
hingga terpaksa terhenti di dalam mistar jala sang penjaga gawang
Jerman Jens Lehmann. Itulah menit ke-49! 1 Argentina 0 Jerman. Gol!!!
Aku tertawa lega langsung menghina para pemuda berbendera merah kuning
hitam bergambar elang. Hingga,

Roberto Abbondanzieri pun diganti di menit tujuh puluh satu. Melihat
pengganti dia yang berambut panjang, aku pun tidak yakin; sekalipun ia
berkostum sama merah. Aku gelisah. Leonardo Franco bukanlah manusia
yang tepat menjaga gawang; sebab sepengingatan aku tiap penjaga gawang
berambut panjang adalah bukan penjaga gawang! Atau dengan kata lain :
Tidak ada satu pun penjaga gawang berambut panjang. Mungkin,
pengecualian saja bagi Rene Higuita, kiper Kolombia. Lainnya, tidak!
Usai penggantian itu, kegelisahanku semakin menggelora. Klinsmann
memasukkan darah segar Oliver Neuville. Ke-Argentina-an aku pun makin
mendidih, sejak Pekerman mengganti pengumpan bola ke kepala Ayala
dengan Esteban Cambiasso. Aku merasa diriku bermetamorphosis. Bukan
lagi diatas angin. Apalagi sejak kualitas David Odonkor mulai terasa.
Sejenak,

aku merasa hatiku berubah menjadi jala, lengkap dengan mistar dan
penjaga. Sepuluh pemain berseragam biru lantas menjelma menjadi sel-sel
darah yang sedang menghadang laju penyakit kuman. Bahkan bola bundar
pun aku rasa semakin kerap berubah tampang saat memasuki kawasan
pertahanan. Oh, Tuhan! Aku berharap, Argentina tetap menang. Kacau.
Sekacau ritme permainan Tanggo, jiwa aku kacau. Kegelisahanku memuncak
saat bola meloncati ubun-ubun kepala Podolski lalu sampai ke kening
Miroslav Klose, yang akhirnya menciptakan apa yang disebut dengan menit
80, suatu sebutan yang menjadi sangat berharga hari itu bagi seluruh
warga Kanselir Merkel. Gol! Dan, aku tertunduk,



melihat waktu sudah mencapai tengah malam.



Tiga puluh menit tambahan jantung aku makin berdebar. Hanya satu yang
bisa menyelamatkan aku saat itu : Bola kembali bersarang di gawang
Jerman.  Bila hal itu terjadi, seluruh sel-sel darah aku kembali
berjalan normal dalam pembuluh, demikian juga dengan segala penat
syarat-syaraf aku akan lenyap mengetahui gawang Panser bergetar. Tapi,
semakin aku berharap, semakin aku ketakutan melihat Odonkor dan Ballack
yang rasanya sudah menjadi monster menyeramkan! Belum lagi ditambahkan
dengan Lahm, singkatnya aku melihat mereka sudah tidak lagi mengenakan
kostum putih. Tapi, hitam! Hitam, sangat hitam. Hingga, pertarungan
usai, berlanjut ke titik adu pinalti.

Ah, sudahlah. Leonardo Franco memang bukan penjaga gawang. Lehmann
menyeramkan. Dan, tak ada yang patut diceritakan. Argentina kalah,
Jerman merayakan kemenangan. Sejenak,



darah aku berhenti mengalir. Kepedihan pun aku rasakan. Aku akhirnya
mengerti, mengapa Esteban Cambiasso menitikkan air mata. Aku pun
memahami mengapa Roberto Ayala kehilangan gairah untuk beranjak tegak.
Juga aku paham mengapa Sorin harus tetap merangkul sahabat yang sudah
kehilangan daya bertahan. Aku juga paham mengapa ratusan ribu penduduk
kota Buenos Aires bahkan jutaan warga Negara Perak menyatu dalam
kesedihan. Bahkan, aku juga menyatu dalam ketercengangan suporter
Argentina yang memenuhi Olympiastadion. Seluruh mengharu-biru. Di
tengah kesesakan emosi pilu, aku mencoba



mengangkat segelas kopi, lalu meneguknya. Pahit! Bersamaan dengan itu,
aku pun bersyukur, betapa sepak bola begitu membantu aku untuk
mendapatkan ke-warga-negara-an baru, meski hanya berlangsung sementara
waktu. Dari pukul pukul 10 malam hingga jam 1-an. Aku pun tersadar,
sepak bola juga menyadarkan aku bahwa aku adalah warga negara penduduk
berbendera merah putih, Indonesia. Memang, pada kenyataannya aku tidak
memiliki dasar untuk menjadi larut dalam tangisan Argentina. Siapa
mereka disana, aku hanya tahu tak seberapa. Siapa aku disini, mereka
pun tak tahu begitu banyak. Cuma satu. Cuma satu memang yang menjadi
dasar aku larut dalam tangisan penuh haru-biru :



Pukul 15.00, 30 Juni 2006, aku dan Pak Medi taruhan. Segelas kopi pahit Warung Tegal. Aku memilih Argentina, Pak Medi Jerman.



tiba-tiba aku tersentak saat meraih kembali ke-warganegara-an Indonesia
di usai pertandingan sepak bola. Ada satu kalimat terpajang : Memang
Sepak Bola Bisa Menyebalkan!!!



[Deif-Feil]