Monday, 11 June 2012

Lacuo dan 9 Cerpen Pilihan Lain


Buku, Kopi, dan Puisi Bercangkir-cangkir

W.Muttaqien Ahmad


Tema yang diangkat dalam lomba cerpen ini adalah moto Kedai

Sinau. Secara mengejutkan tema tersebut menjadi sesuatu yang sangat

impresif, sebab bukan hanya diksi yang digunakan secara telanjang

mengandung tiga kata yaitu buku, kopi, dan puisi. Namun juga secara

utuh ketiga kata tersebut dirangkai menjadi sebuah ide yang jauh dari

‘keterlibatan Kedai Sinau sebagai sebuah tempat’. Imajinasi secara liar

menjauh dari ide tentang sebuah tempat yang bernama Kedai Sinau atau

yang mirip dengannya, walaupun ada beberapa kisah yang mengisahkan

tentang sebuah kafe atau mengambil setting di sebuah kafe. Namun,

sekali lagi hanya sebagai sebuah setting, bukan ide utama cerita, sebab

itu kumpulan cerpen ini dianggap berhasil mengembangkan gagasan.

Tema ini diangkat berdasarkan tujuan mempromosikan kembali

Kedai Sinau sebagai sebuah ruang yang memberikan layanan literasi bagi

penggemar sastra dan budaya dalam arti luas di kota Malang. Dalam

perjalanannya Kedai Sinau akhirnya menginisiasikan Akademi Sinau,

sebuah perkumpulan pekerja kreatif yang salah satu layanannya adalah

memberikan workshop penulisan kreatif yang bertujuan ‘mengenal

diri’.


Rata-rata cerpen dalam kumpulan ini berkisar 5-10 halaman kertas

ukuran A4 dengan spasi 1,5 dan font 12. Dengan ruang yang terbatas ini

(salah satu syarat lomba adalah panjang cerpen kurang dari 2.500 kata),

maka terbayang tingkat kesulitan menyatukan tema dengan kecerdasan

menjalin cerita. Walaupun sekarang ada istilah ‘fiksi mini’ yang kurang

dari 100 kata per kisah. Namun, dalam lomba cerpen ini tidak ada satu

pesertapun yang mengambil ‘gaya penulisan’ fiksi mini.


Pilihan atas cerpen mana yang lolos seleksi atau tidak dapat dibaca

dalam tulisan Sudibyo di muka, Cerita Pendek yang Memesona.

Setidaknya ada dua kategori yang dijadikan dasar kuratorial (1) Secara

teknik penulisan matang-artinya penulis menguasai teknik penulisan

mulai dari penokohan, plot, setting, dan gaya bahasa. (2) Memberikan

inspirasi bagi pembacanya, terutama pembaca dari kalangan peer groupnya.

Dua kategori di atas inilah yang menjadi penapis dalam kumpulan

cerpen ini.


Lepas dari segala kekurangan dalam setiap cerita (sekali lagi dalam

konteks lomba untuk pemula tidak terlalu penting), perlu (kembali)

ditekankan bahwa ‘wilayah pengarang’ adalah ‘mencipta’. Chairil Anwar

pernah berucap bahwa “mencipta adalah kerja menimbang, memilih,

mengupas, dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sesudah itu

mengumpul satukan/kerja keras menemukan dunia baru kepunyaan

sang penulis itu sendiri” (Chairil Anwar, 1943).


Menulis untuk ‘mengenal diri sendiri’ adalah kerja keras untuk

menulis dengan jujur. Menang bukan segalanya, dalam tradisi pendidikan

yang menjadikan kemenangan adalah segalanya maka muncul budaya

mencontek atau plagiarisme. Di sisi lain ada juga budaya yang lebih

menghargai ketertundukan murid pada sebuah sistem atau stempel ‘anak

baik’ dibandingkan secara inovatif menjelajah impuls ‘anak muda’ untuk

berontak dan menemukan jiwa dan semangat jaman mereka sendiri,

seperti kutipan dalam cerpen Esok, “Hidup di dunia tanpa keberanian,

Ibarat memasuki perpustakaan tetapi tidak bisa membaca.”

Dalam kumpulan ini kita akan sejenak melancong, menjelajah

berbagai imajinasi ‘remaja’ yang sebagian besar memperlihatkan

keriangan, optimisme, dan daya lenting untuk bangkit (kecuali mungkin

cerita dalam Seduhan Yang Berbahasa- yang cenderung noir - pesimis

dalam menerjemahkan ‘pahit’). Lainnya seperti Lacuo, Selaksa, Gadis

Rembulan ‘melampaui pengalaman umur remaja mereka’. Beberapa

cerpen seperti Esok, Secangkir Untuk Yang Tercinta: Ibu, dan Terjerat

Wajah menggambarkan kedekatan penulis dengan dunianya, seperti

usaha untuk mengenal lebih baik orang-tua, memahami konflik antargenerasi,

memahami kawan sebaya, sesuatu yang khas-yang ada di benak

remaja.


Perwatakan yang khas, muncul lewat gaya tutur langsung dan tak

langsung, seperti dalam Intuisi Serpihan Hati tokoh Ratih digambarkan

lewat narasi tokoh Nadia, merupakan contoh gaya tutur yang tak

langsung (showing). Artinya dalam beberapa cerpen, seperti Perihal

Kisah Beraroma Kopi, tokoh-tokoh dalam cerpen berhasil dihidupkan

lewat perantaraan tokoh lainnya. Selain dari kedua cerpen di atas yang

menggunakan metode campuran (telling dan showing), rata-rata metode

bercerita menggunakan metode tuturan langsung dari pengarang (telling).

Ada beberapa cerpen menggunakan metode surat-menyurat dalam

mengungkapkan maksud dan menyampaikan pesan dari tokohnya atau

berbicara kepada masyarakat (publik pembaca) lewat teknik kutipan

(dipisahkan lewat dari cerita atau membuat impresi pada cerita dengan

kalimat yang ditulis miring).


Perwatakan ini penting jika dihubungkan pada potensi kreatif

penulisan selanjutnya, ketika imajinasi semakin bergerak leluasa. Umar

Yunus (1981) menyatakan bahwa kekuatan imajinasi membebaskan

suatu karya dari keterikatannya terhadap suatu peristiwa. Makin rendah

kadar imajinasinya makin dekat hubungannya dengan peristiwa konkrit.

Dalam cerita yang memiliki kadar imajinasi rendah kemungkinan adanya

kesamaan dalam dua karya atau lebih besar sekali. Mungkin, lewat

pernyataan inilah timbul kategori ketiga yang tidak sengaja berperan

dalam penapisan cerpen dalam kumpulan ini, pun ketika sebuah tema

besar yang bukan saja dekat pada sebuah peritiwa dan tempat tertentu

yang dijadikan tema (seperti tema dalam kumpulan ini: buku, kopi, dan

puisi bercangkir-cangkir).


Dengan semakin maraknya perlombaan penulisan puisi atau prosa

di jejaring sosial berbasis virtual, bertumbuhan pula keberanian yang

dibutuhkan untuk menyumbang pada kemajuan sastra. Akademi Sinau

bermaksud menjadikan ajang lomba, yang nantinya didahului oleh

workshop penulisan kreatif untuk membangun semacam infrastruktur

di dalam komunitas khususnya pelajar, sehingga energi kreatif yang

ada dapat menjadi ledakan berantai. Kami ingin memulainya dari usia

dini.


Kedai Sinau, Mei 2012

No comments:

Post a Comment