Buku, Kopi, dan Puisi Bercangkir-cangkir
W.Muttaqien Ahmad
Tema yang diangkat dalam lomba cerpen ini adalah moto Kedai
Sinau. Secara mengejutkan tema tersebut menjadi sesuatu yang sangat
impresif, sebab bukan hanya diksi yang digunakan secara telanjang
mengandung tiga kata yaitu buku, kopi, dan puisi. Namun juga secara
utuh ketiga kata tersebut dirangkai menjadi sebuah ide yang jauh dari
‘keterlibatan Kedai Sinau sebagai sebuah tempat’. Imajinasi secara liar
menjauh dari ide tentang sebuah tempat yang bernama Kedai Sinau atau
yang mirip dengannya, walaupun ada beberapa kisah yang mengisahkan
tentang sebuah kafe atau mengambil setting di sebuah kafe. Namun,
sekali lagi hanya sebagai sebuah setting, bukan ide utama cerita, sebab
itu kumpulan cerpen ini dianggap berhasil mengembangkan gagasan.
Tema ini diangkat berdasarkan tujuan mempromosikan kembali
Kedai Sinau sebagai sebuah ruang yang memberikan layanan literasi bagi
penggemar sastra dan budaya dalam arti luas di kota Malang. Dalam
perjalanannya Kedai Sinau akhirnya menginisiasikan Akademi Sinau,
sebuah perkumpulan pekerja kreatif yang salah satu layanannya adalah
memberikan workshop penulisan kreatif yang bertujuan ‘mengenal
diri’.
Rata-rata cerpen dalam kumpulan ini berkisar 5-10 halaman kertas
ukuran A4 dengan spasi 1,5 dan font 12. Dengan ruang yang terbatas ini
(salah satu syarat lomba adalah panjang cerpen kurang dari 2.500 kata),
maka terbayang tingkat kesulitan menyatukan tema dengan kecerdasan
menjalin cerita. Walaupun sekarang ada istilah ‘fiksi mini’ yang kurang
dari 100 kata per kisah. Namun, dalam lomba cerpen ini tidak ada satu
pesertapun yang mengambil ‘gaya penulisan’ fiksi mini.
Pilihan atas cerpen mana yang lolos seleksi atau tidak dapat dibaca
dalam tulisan Sudibyo di muka, Cerita Pendek yang Memesona.
Setidaknya ada dua kategori yang dijadikan dasar kuratorial (1) Secara
teknik penulisan matang-artinya penulis menguasai teknik penulisan
mulai dari penokohan, plot, setting, dan gaya bahasa. (2) Memberikan
inspirasi bagi pembacanya, terutama pembaca dari kalangan peer groupnya.
Dua kategori di atas inilah yang menjadi penapis dalam kumpulan
cerpen ini.
Lepas dari segala kekurangan dalam setiap cerita (sekali lagi dalam
konteks lomba untuk pemula tidak terlalu penting), perlu (kembali)
ditekankan bahwa ‘wilayah pengarang’ adalah ‘mencipta’. Chairil Anwar
pernah berucap bahwa “mencipta adalah kerja menimbang, memilih,
mengupas, dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sesudah itu
mengumpul satukan/kerja keras menemukan dunia baru kepunyaan
sang penulis itu sendiri” (Chairil Anwar, 1943).
Menulis untuk ‘mengenal diri sendiri’ adalah kerja keras untuk
menulis dengan jujur. Menang bukan segalanya, dalam tradisi pendidikan
yang menjadikan kemenangan adalah segalanya maka muncul budaya
mencontek atau plagiarisme. Di sisi lain ada juga budaya yang lebih
menghargai ketertundukan murid pada sebuah sistem atau stempel ‘anak
baik’ dibandingkan secara inovatif menjelajah impuls ‘anak muda’ untuk
berontak dan menemukan jiwa dan semangat jaman mereka sendiri,
seperti kutipan dalam cerpen Esok, “Hidup di dunia tanpa keberanian,
Ibarat memasuki perpustakaan tetapi tidak bisa membaca.”
Dalam kumpulan ini kita akan sejenak melancong, menjelajah
berbagai imajinasi ‘remaja’ yang sebagian besar memperlihatkan
keriangan, optimisme, dan daya lenting untuk bangkit (kecuali mungkin
cerita dalam Seduhan Yang Berbahasa- yang cenderung noir - pesimis
dalam menerjemahkan ‘pahit’). Lainnya seperti Lacuo, Selaksa, Gadis
Rembulan ‘melampaui pengalaman umur remaja mereka’. Beberapa
cerpen seperti Esok, Secangkir Untuk Yang Tercinta: Ibu, dan Terjerat
Wajah menggambarkan kedekatan penulis dengan dunianya, seperti
usaha untuk mengenal lebih baik orang-tua, memahami konflik antargenerasi,
memahami kawan sebaya, sesuatu yang khas-yang ada di benak
remaja.
Perwatakan yang khas, muncul lewat gaya tutur langsung dan tak
langsung, seperti dalam Intuisi Serpihan Hati tokoh Ratih digambarkan
lewat narasi tokoh Nadia, merupakan contoh gaya tutur yang tak
langsung (showing). Artinya dalam beberapa cerpen, seperti Perihal
Kisah Beraroma Kopi, tokoh-tokoh dalam cerpen berhasil dihidupkan
lewat perantaraan tokoh lainnya. Selain dari kedua cerpen di atas yang
menggunakan metode campuran (telling dan showing), rata-rata metode
bercerita menggunakan metode tuturan langsung dari pengarang (telling).
Ada beberapa cerpen menggunakan metode surat-menyurat dalam
mengungkapkan maksud dan menyampaikan pesan dari tokohnya atau
berbicara kepada masyarakat (publik pembaca) lewat teknik kutipan
(dipisahkan lewat dari cerita atau membuat impresi pada cerita dengan
kalimat yang ditulis miring).
Perwatakan ini penting jika dihubungkan pada potensi kreatif
penulisan selanjutnya, ketika imajinasi semakin bergerak leluasa. Umar
Yunus (1981) menyatakan bahwa kekuatan imajinasi membebaskan
suatu karya dari keterikatannya terhadap suatu peristiwa. Makin rendah
kadar imajinasinya makin dekat hubungannya dengan peristiwa konkrit.
Dalam cerita yang memiliki kadar imajinasi rendah kemungkinan adanya
kesamaan dalam dua karya atau lebih besar sekali. Mungkin, lewat
pernyataan inilah timbul kategori ketiga yang tidak sengaja berperan
dalam penapisan cerpen dalam kumpulan ini, pun ketika sebuah tema
besar yang bukan saja dekat pada sebuah peritiwa dan tempat tertentu
yang dijadikan tema (seperti tema dalam kumpulan ini: buku, kopi, dan
puisi bercangkir-cangkir).
Dengan semakin maraknya perlombaan penulisan puisi atau prosa
di jejaring sosial berbasis virtual, bertumbuhan pula keberanian yang
dibutuhkan untuk menyumbang pada kemajuan sastra. Akademi Sinau
bermaksud menjadikan ajang lomba, yang nantinya didahului oleh
workshop penulisan kreatif untuk membangun semacam infrastruktur
di dalam komunitas khususnya pelajar, sehingga energi kreatif yang
ada dapat menjadi ledakan berantai. Kami ingin memulainya dari usia
dini.
Kedai Sinau, Mei 2012
No comments:
Post a Comment