Monday, 7 November 2011

when rico loves erni

Link empat untai gambar bersambung (my friend novry, akhirnya menikah---happily ever after)

Betapa Indah dan Kaya Nusantara

Link

Betapa Indah dan Kaya Nusantara

Betapa Indah dan Kaya Nusantara[i]

Negara Kepulauan Yang Lupa Lautan

Untuk mengembangkan soft power (penduduk Indonesia yang peduli laut) kita secara relatif tidak usah mengeluarkan dana yang besar, bisa mulai dengan mengubah kurikulum sekolah yang mendekatkan generasi mendatang dengan hal ikhwal kemaritiman, agar generasi depan tidak lupa lautan (AB Lapian)

 

 

Nusantara, demikian banyak dongeng tentangnya, sebuah negeri bawah angin (muson Barat dan Timur). Sebuah negeri di Tenggara, yang kemudian menjadi demikian pentingnya, karena ada dua benua di atas dan bawahnya. Nusantara kita adalah sebuah laut yang mempersatukan, laut sebagai ruang depan dimana pantai adalah sebuah tepi yang ramai dan tempat yang asing mengenalkan diri dengan tradisi. Nusantara kita adalah sesuatu yang hibrida, sejak mulanya. Sebuah kekayaan budaya yang bikin iri banyak bangsa.

Ketika sejarah Eropa mencatat adanya kepulauan (archipelago) di sebelah Timur mereka, maka serta merta konstruksi mereka terhadap Nusantara adalah sebuah entitas yang lepas, tidak rekat, walau pada kenyataannya pernah pula dua kerajaan, Sriwijaya dan Majapahit menjadi kekuatan maritim, di ujung Sumatera ada Samudera Pasai yang juga besar sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki angkatan laut yang kuat.

Konstruksi ini sejak jaman kolonial dijadikan alat politik, sejarah Eropa adalah sejarah daratan (kontinen) yang mulai beremansipasi setelah revolusi Prancis. Sejarah daratan ini menjadikan Eropa memiliki karakter dibangun di atas birokrasi yang teramat rapih, dengan militer yang kuat karena rentannya perbatasan oleh serangan lawan.  Karakter Eropa yang lain adalah bangunan rasial sangat kental, sehingga mereka ketika menguasai Nusantarapun menggunakan isu rasial untuk memisahkan masyarakat. Selain masalah rasial, adapula diskriminasi berdasarkan kekayaan. Pada kasus Eropa memang permasalahan feodalisme (tuan tanah dan petani) juga menjadi dasar untuk pemisahan di masyarakat, selanjutnya diterapkan di Nusantara dengan proyek pendidikan yang mementingkan keturunan ningrat dan kelas baru pelayan penguasa kolonial, yaitu birokrasi yang rapih, sebagai kelas amtenaar, berpusat pada Jawa. Dalam perkembangan perdagangan internasional dan khususnya selama periode kolonial Belanda, pulau Jawa menjadi pusat administrasi dan komersial di wilayah Nusantara. Sedangkan pulau-pulau lain disebut “Kepulauan Luar” (The Outer Islands), dan penduduknya banyak ditelantarkan oleh pemerintah pusat kolonial. Identifikasi pusat ini juga berpengaruh pada identifikasi pinggiran, 'Luar Jawa' bukan cuma sebagai sebuah entitas geografis, namun juga sebagai entitas budaya.

Dalam sejarah Nusantara, setidaknya dapat dibaca bahwa dasar pengikat kehidupan bermasyarakat kita di sebagian besar Nusantara berciri komunal, dimana lebih banyak sumberdaya milik bersama (common property resources) yang menjadi alat untuk menciptakan kesejahteraan bersama, tak luput pula ini dipraktekkan untuk mengatur sumberdaya kebaharian di masyarakat pesisir. Konsekuensinya, masyarakat komunal lebih memiliki tradisi kebersamaan atau hidup bersama dengan sejarah, nilai-nilai, dan tradisi bersama.

Selanjutnya negara Indonesia kemudian, penerus Nusantara melihat birokrasi negara (Apter, 1987)[1].  dan militer yang kuat sebagai cara untuk memodernkan Indonesia. Birokrasi negara dalam perjalanannya berubah menjadi 'negara' sebuah bentuk authoritarian goverment. Dengan pola pembangunan yang bertumpu pada negara (state lead development), dan pendikotomian antara negara dan masyarakat. Masih dalam Apter (1987) negara-negara poskolonial  masih diwarisi empat tahapan kolonial, yaitu penemuan, birokratisasi, perwakilan, dan pemerintahan yang bertangungjawab. Indonesia pada awal merdeka masih dalam kondisi konsolidasi birokrasi kolonial dan meneruskannya. Dengan birokrasi inilah manusia ditempatkan sebagai objek untuk didisiplinkan, objek yang menurut pada kehendak penguasa.

Dalam masa awal kemerdekaan wacana kedamaian dan nasionalisme berkembang. Hampir seluruh wilayah jajahan mendefinisikan dirinya melalui identitas geografis dengan batas yang pernah dibentuk penjajah. Di lain pihak, perihnya perang dunia kedua membuat Amerika dan Sekutu sebagai pemenang perang memplokamirkan diri sebagai 'perawat kedamaian'. Dan sejak tahun 1951 bantuan untuk 'membangun bangsa' atau nation building lebih banyak mengikut pada sejarah Amerika, yang memiliki cacat bawaan---orang kulit putih Amerika tidak memiliki tradisi panjang di Amerika Utara, para penghuni sebelumnyalah, Indian, yang memiliki sejarah, nilai bersama dan tradisi yang kental. Membangun bangsa bagi orang Amerika adalah membangun 'negara dan ekonomi'. Negara dalam konteks Amerika adalah negara imigran Eropa, dan ekonomi bagi mereka adalah ekonomi imigran Eropa (Fukuyama, 2006)[2]

Indonesia kemudian, dalam sejarahnya mengambil corak penguasa Hindia-Belanda, yang bercorak agraris (karena kepentingan awal mereka adalah tanaman rempah), dimulai dengan birokrasi yang seragam mulai dari desa, sebuah kesatuan terkecil (dalam politik spasial) yang pernah memiliki otonomi, sehingga kolektivitas keluarga seperti Nagari, Huta,  berangsur-angsur hilang, pengaturan sumberdaya milik bersamapun hilang ketika ikatan politik ruang masyarakat diambil alih oleh birokrasi negara, teritorial melulu dilihat sebagai kesatuan administrasi bukan ruang budaya. Berkebalikan, tesis Edward Said (1995) dalam Philpott (2000)[3] mengatakan bahwa orientalisme Amerika dan Eropa Barat menganggap bahwa tradisi dan budaya adalah penghambat utama kemajuan ekonomi dan politik a la Amerika. Sedangkan studi tentang  sukses Asia Timur sebaliknya membuktikan konstruksi tradisi dan budaya menjadi alas bagi sukses industrialisasi.

Ingatan Luput, Batas Yang Pupus

Luas teritorial dan struktur geografi Indonesia dalam beberapa hal merupakan keadaan yang sangat unik. Pertama jarak bentangan wilayah Nusantara dari sebelah Barat sampai ke Timur adalah 1900 km. Tetapi, wilayah daratannya terdiri dari pulau-pulau tidak kurang dari 13.677 pulau-pulau berkisar dari salah satu pulau yang terbesar didunia yaitu pulau Kalimantan dan Papua  sampai kepada pulau-pulau karang kecil dan atol-atol. Ada sebanyak 6.044 pulau-pulau diantaranya diperkirakan dihuni oleh manusia, tetapi hanya sekitar 3.000 pulau yang dihuni oleh penduduk yang bermukim tetap. Luas lahan keseluruhan negara mencapai hampir mencapai 2 juta km2, yang luasnya hampir sama dengan negara Mexico atau sekitar 8 kali negara Inggris atau 4 kali negara Jerman. Laut  yang termasuk kawasan Indonesia meliputi 12 mil mencapai lebih dari 3 juta m2. Jadi, luas lahannya hanya sekitar 37% dari wilayah yuridiksi teritorial Indonesia.

Konstruksi pemikiran negara sebagai pemain utama dan menentukan dalam pembangunan, dan pembangunan yang sentralistik tersebut menyebabkan pembangunan seragam, menghilangkan keragaman budaya dan eko-regional (keragaman sumberdaya lingkungan wilayah, fisik dan biologis).  Di atas dikemukakan bahwa ciri kolektivitas seperti adanya kekayaan bersama, dalam bentuk institusi pengaturan sumberdaya alam seperti Panglima Laot di Aceh yang berbasis adat hilang dari wacana pembangunan, bahkan restorasinyapun teramat sulit dalam masa otonomi daerah. Padahal institusi adat semacam ini sangat banyak di Nusantara, dan merupakan tradisi bagi kehidupan baik di laut, maupun di darat.

Pengkaplingan terhadap hak-hak masyarakat ini, terutama dalam hal  otonomi untuk mengurus sumberdaya komunal mereka memandulkan pengetahuan mereka.  Matinya  kesadaran akan ruang, adalah akibat dari tumbangnya sumberdaya bersama (common property resource), yang dapat mengambil bentuk material dan ide atau pengetahuan. Pada akhirnya masyarakat tumbang perasaan kolektifnya, ini berlangsung sejak jaman penjajahan dan diteruskan lewat modernisasi seperti disebutkan di atas.  Karena kolektivitas hanya bisa dilatih lewat tindakan-tindakan bersama, dimana dalam setiap bentuk tindakan ada nilai-nilai bersama yang dijaga dan direproduksi dari generasi ke generasi.

Studi antar negara oleh Bank Dunia (2000) memperbandingkan keadaan kerusakan sumberdaya alam, dengan mengukur hak-hak politik dan kebebasan sipil dan tingkat melek-huruf (literacy) yang tinggi cenderung untuk mempunyai kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik. Sebaliknya negara-negara yang memperoleh hak-hak politik dan kebebasan sipil minimal serta tingkat melek-huruf yang lebih rendah, cenderung untuk mempunyai kualitas lingkungan hidup yang lebih jelek. Yang dimaksud hak-hak sipil tersebut anatara lain adalah otonomi daerah untuk mengatur dirinya sesuai dengan adat/tradisi mereka, termasuk di dalamnya mengatur pemanfaatan sumberdaya alam mereka.  

Sementara jika dilihat dari sisi teritorial (batas negara) maka, pemusatan atau sentralisasi pembangunan menyebabkan kawasan-kawasan perbatasan baik darat dan laut menjadi bagian paling terbelakang. Dan secara imaji menjadi daerah belakang, padahal posisi geo-politik daerah perbatasan adalah daerah muka.

Secara umum, kondisi kawasan perbatasan berada pada situasi serba memprihatinkan. Penduduk pemukimnya, relatif mempunyai pendidikan rendah, dan minat terhadap pendidikan yang juga relatif rendah, di samping jumlah dan sebaran sarana-prasarana pendidikan yang ada masih sangat terbatas.  Akibatnya orientasi kebangsaan mereka lebih ke negara tetangga. Seperti yang dialami oleh masyarakat Indonesia di perbatasan Malaysia. Kondisi yang sama dialami oleh negara tetangga kita, Timor Leste, di daerah perbatasan mereka dengan Nusa Tenggara Timur, kondisi Indonesia yang lebih baik menyebabkan orang Timor Leste menjadi pelintas batas yang permanen, walaupun faktor kekerabatan merupakan faktor yang sangat erat terkait dengan persoalan 'orientasi kebangsaaan'.

Menurut beberapa ilmuwan sosial ruang negara (state scape) menjadi menyempit, dan pernyataan mengenai batas negara  mengalami kuno. Terutama jika  dihubungkan dengan arus uang, arus perdagangan, ide, bahkan mobiliitas manusia. Pilihan-pilihan warga negara terhadap cara untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik menipiskan ruang negara ini. Sebagai penanda kekuasaan negara, batas negara semakin imajiner.

Lebih dari 25 tahun lalu, Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1984) berargumentasi bahwa memahami ruang atau batas negara di daerah Asia Selatan berimplikasi pada konsep negara tradisonal, bukan negara bangsa modern. Secara kualitatif  menurutnya hal yang paling penting dipahami dalam konteks perbatasan adalah aspek politik lokal dan sejarah lokal masyarakat. Perbatasan, lanjutnya, berkelindan dengan kedua aspek tersebut. Karena Pusat begitu jauh dari jangkauan ide mereka.

Dalam Tambiah (1976), Wolters (1982), Errington (1989) dalam Carsten (1998)[4] dinyatakan bahwa sejarah  kebijakan pembentukkan negara ditentukan dari Pusat bukan dari daerah. Sehingga pendefinisian mengenai batas juga menjadi batas 'relasi kekuasaan (power) ideologis ' dibandingkan sebuah bentuk 'negara bangsa modern'. Konsekuensi mendefinisikan batas berdasarkan ideologi kekuasaan menyebabkan pendekatan pembangunan diarahkan melalui pendekatan keamanan bukan kesejahteraan. Padahal simbol-simbol kekuasaan sangat rapuh jika dihubungkan dengan sejarah berdirinya negara bangsa Indonesia.

Berdasarkan UU No. 43/2008 tentang Wilayah Negara, cakupan wilayah kawasan perbatasan negara didefinisikan sebagai bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan perbatasan berada di Kecamatan. Dengan demikian, kawasan perbatasan darat meliputi kecamatan-kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah darat. Adapun kawasan perbatasan laut, selain meliputi wilayah perairan laut teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang berbatasan dengan negara tetangga, juga termasuk kecamatan-kecamatan perbatasan laut yang memiliki keterkaitan fungsional dan nilai strategi bagi pengelolaan kawasan perbatasan laut. Dalam kawasan perbatasan laut menurut penelitian yang dilakukan oleh lembaga Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W)-Institut Pertanian Bogor (2007) ada beberapa karakteristik permasalahan, sebagai berikut.

1.    Wilayah perbatasan yang berupa laut dan pulau-pulau kecil yang berpenghuni. Implikasinya (1) mengakibatkan pembangunan infrastruktur menjadi mahal dan tidak efisien, dan (2) aktivitas ekonomi tersegregasi ke dalam satuan-satuan kecil sehingga tidak mampu mencapai skala ekonomi yang mencukupi.  Penyediaan infrastruktur yang mahal tidak seimbang dengan intensitas pemanfaatannya mengingat komunitas masyarakat pulau yang terpencar, bahkan ada beberapa pulau yang tidak berpenghuni.  Karena itu untuk mempertahankan kualitas infrastruktur yang telah dibangun memerlukan subsidi terus menerus.  Sementara itu aktivitas ekonomi yang tersegregasi ke dalam satuan-satuan kecil mengakibatkan aktivitas ekonomi wilayah menjadi sulit untuk berkembang.  Lokasi-lokasi ini terutama terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Maluku Utara, dan Maluku. 

2.    Wilayah perbatasan yang berupa laut dan pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni. Implikasinya (1) maraknya berbagai aktivitas ilegal dan (2) meningkatnya ancaman terhadap kedaulatan wilayah Indonesia. Kawasan perbatasan yang berupa pulau-pulau kecil dan terisolasi seringkali dijadikan lokasi dari berbagai aktivitas ilegal seperti penyelundupan, perdagangan narkoba, perdagangan senjata, human trafficking, aktivitas teroris dan sebagainya. Berbagai aktivitas ini tentunya akan mengganggu kelangsungan perekonomian, merusak moralitas bangsa, dan merendahkan citra Indonesia di mata internasional.  Hal ini terutama terjadi di wilayah perbatasan di Provinsi NAD, Provinsi Sulawesi Utara, sebagian Provinsi Riau (Pulau Natuna), sebagian Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku. Di wilayah-wilayah ini, pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan posisinya sangat terpencil (remote) baik dilihat dari Indonesia maupun dilihat dari negara tetangga.  Belum lagi rata-rata di wilayah ini permasalahan penetapan tata batas masih belum jelas. Lemahnya pengawasan baik dari Indonesia maupun negara-negara tetangga mengakibatkan berkembangnya berbagai kegiatan ilegal seperti telah disebutkan sebelumnya. Kawasan perbatasan yang sama sekali tidak termonitor juga akan membahayakan pertahanan dan keamanan bangsa terutama dengan maraknya berbagai aktivitas konflik dan terorisme saat ini.  Penyelundupan senjata, satelit mata-mata asing dan sebagainya menjadi permasalah yang harus diwaspadai.  Hal ini terjadi di seluruh kawasan perbatasan di seluruh Indonesia. Lokasi-lokasi ini antara lain terdapat di Provinsi NAD, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua.

Menemui Kembali Nusantara

di pantai pulau kelapa
 semua nelayan tiba
 di rumah yang bahagia (Koes Plus, Larut Senja, Pop Melayu Vol. 2, 1974)

 

Nusantara yang kita kenal lewat lagu Koes Ploes adalah Nusantara yang diidealkan, Nusantara yang kaya. Lagu Jiwa Nusantara (dalam album Selalu di Hatiku, 1975) misalnya kaya akan semangat perlawanan, 'Aku dicaci aku dimaki/Ku tak tahan lagi,  ku tak tahan ku begini/ Sinar mataku api/Rentang tanganku besi/ Langkah kakiku pasti/Daya pikirku suci/.http://multiply.com/Aku jiwa muda aku jiwa Nusantara.

Sebaliknya dalam lagu Tradisi (Album Koes Plus, Volume 7, 1973 ) kita akan melihat Koes Ploes melihat tradisi sebagai sesuatu yang perlu dikritisi. Simaklah, Kali ini ku tidak akan bersedih hati/Dan kau akan mengerti mengerti/Kali ini kubuang musik yang lewat ini/Dan kan kulempar tradisi yang mati/Kutak dapat merasakan/Hidup yang penuh tantangan/Atau hanya kesempatan/Hari ini segalanya/Esok hari pengharapan/Lainnya hanya impian/Kali ini/Kudapatkan filsafat sendiri/Bukan filsafat tradisi yang mati.

Rendra (1983)[5] melihat tradisi dengan batas-batas relatif. Ia tidak boleh dijadikan absolut, dalam pengertian permanen, tidak berubah. Jika tradisi dibekukan maka ia akan merugikan pertumbuhan pribadi dan kemanusiaan. Oleh karena itu tradisi harus diberontak, dicairkan, dan diberi perkembangan baru.

Berangkat dari Koes Ploes dan Rendra, maka permasalahan Nusantara bukan sesuatu yang bisa dilihat menjadi sebuah ketetapan, termasuk urusan-urusan geo-politik. Kasus pemisahan Timor Timur dan menjadi negara independen Timor Leste adalah sebuah momen untuk memperhatikan kembali pendekatan kita dalam memandang sebuah kesatuan.

Penulis sejak bencana Tsunami, 2004, mulai memperhatikan permasalahan Panglima Laot di Aceh, Lembaga diatas, disebut: Lembaga Hukum Adat Laut, yang berpusat di Banda Aceh, meskipun lembaga ini telah lama dihormati masyarakat tetapi baru diakui sejak tahun 1972 oleh nelayan dengan dikoordi­nasikan oleh Dinas Perikanan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Walaupun pada kenyataannya Daerah Istimewa Aceh ini menerapkan hukum adat mereka secara penuh setelah perjanjian Helsinki tahun 2005. Sebelumnya program-program pembangunan pesisir di Aceh dilakukan seragam, sama dengan program-program lain di bagian Indonesia lainnya. Dan betapa berbedanya nuansa pembangunan yang dilakukan pasca tsunami, dimana legitimasi adat dapat memperlancar proses-proses rekonsiliasi, baik rekonsiliasi konflik antara Republik Indonesia dengan separatisme, maupun konflik pada proyek pembangunan pasca tsunami yang menyebabkan sebagian besar pesisir Aceh membangun dari awal. Catatan dari momentum ini memperlihatkan bahwa hak-hak sipil, budaya, dan ekonomi jika diteguhkan akan membawa pada kesetimbangan, antara tradisi dan pembangunan fisik dan pertumbuhan ekonomi yang selama ini dijadikan kendaraan bagi modernisasi Indonesia.

Berkaca pada kasus ini, tradisi penentuan seorang Panglima Laot misalnya, dipilih oleh masyarakat nelayan yang diwakili oleh para pawang.  Di zaman dahulu jabatan Panglima Laot adalah turun temurun, yang bila keturunannya  tidak ada maka dicari keluarga terdekatnya. Namun saat ini semua orang boleh menjadi Panglima Laot asal memenuhi syarat tertentu, dan  pengangkatannya berdasarkan pemilihan secara musyawarah.[6]

Panglima Laot menguasai kawasan teluk, sehingga bisa jadi wilayah kerja mereka meliputi beberapa kecamatan (dalam sistem administrasi negara). Panglima Laot ialah orang yang mengkoordinasikan satu atau lebih daerah perikanan, dulu tugas mereka sebagai berikut:

1.    mengawasi dan memelihara pelaksanaan hukum adat laut

2.    mengatur tata cara penangkapan ikan

3.    menyelaesaikan berbagai pertikaian yang terjadi dalam hubungannya dengan penangkapan ikan di laut.

4.    menyelenggarakan upacara adat laut, kecelakaan di laut, gotong royong dan masalah-masalah sosial lainnya.

5.    menjaga/mengawasi ekosistem laut secara keseluruhan.

6.    merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerin­tah dan Panglima Laot lainnya.

7.    menjadi penghubung antara kesatuan adat (bahkan dengan otoritas negara lain) jika ada pelanggaran batas penangkapan.

Terkait dengan tradisi usang, kiranya bisa dilihat apakah aturan main Panglima Laot ini dapat disebut usang. Permasalahan lingkungan yang muncul semisal perubahan ekosistem pesisir, akhirnya dapat menjadi agenda masyarakat (walaupun sebelumnya masyarakat tidak pernah mengenal istilah-istilah perubahan iklim), sehingga program penanaman bakau, konservasi terumbu karang, pembuatan area penangkapan dan perlindungan sesungguhnya sejalan dengan ruh tradisi dimana masyarakat tersebut bertempat. Masyarakat mencairkan tradisi mereka melihat kembali apakah dapat menyatu dengan ide-ide yang datang kemudian.

Kerusakan sumber-sumberdaya hayati dan non-hayati pada pesisir, pulau-pulau kecil, dan sekitarnya, sama kasusnya seperti oleh konsesi HPH, serta konsesi pertambangan  di Indonesia, sebab kerusakan bukanlah semata-mata oleh hanya faktor-faktor fisik dan non-fisik yang bekerja di tingkatan mikro lokal (perilaku sosial ekonomi) individual semata-mata, namun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di level makro nasional.  Kebijakan pembangunan makro tersebut yang menyebabkan perubahan masif pada kerusakan sumberdaya alam di Indonesia. Anwar (2002)[7] menjelaskan keadaan yang sama, bahwa sentralisme politik-ekonomilah faktor pemicu kerusakan alam, kemiskinan, dan benih separatisme.

Penutup: Ode Bagi Laut

Di sini

Mengepung pulau-pulau.

Di sanalah laut.

Tapi apakah laut?

Dialah yang senantiasa mengalir.

Menyebut ya,

Lalu tidak,

Lalu tidak lagi,

Dan tidak,

Menyebut ya,

Dalam warna biru

dalam percik

amuk ombak,

lalu menyebut tidak,

dan sekali lagi tidak.

Ia yang tak bisa diam.

Ia yang gugup gagap

Namaku adalah laut/... (Ode Bagi Laut, Pablo Neruda dikutip dari Hasan Asphani)

 

Menjadi negara maritim yang kuat adalah menjadi diri sendiri. Kutipan di awal tulisan dari AB Lapian menunjuk pada sebuah usaha untuk menggali kembali  konsep diri (Self), jika dihubungkan dengan studi pos-kolonial maka konsep ini bisa diajak berjalan-jalan untuk memahami kegagalan membangun lewat setralisme politik dan ekonomi, dan membangun lewat pendekatan keamanan. Konsep diri sebagai berbangsa bisa dibedah lewat konsep differance-nya Derrida[8]. Jika perbedaan (difference) adalah membuat makna, persepsi dan kognisi dimungkinkan, maka differance adalah membuat perbedaan itu menjadi mungkin. Differance adalah sesuatu yang jauh-sebelum, sehingga tidak dapat dialami dan hadir, karena pengalaman dan kehadiran hadir dalam perbedaan. Jika perbedaan sudah hadir maka differance-pun hadir, differance menjadi penundaan makna. Yang Lain terkait dengan ‘penundaan’ to defer’, untuk ditunda, sementara, tidak termasuk dalam ‘ruang’ yang sama. Jika perbedaan itu nyata hadir maka yang Lain (Others) hadir, dan terus berubah, jika yang Diri (Self) juga berubah. Sehingga identitas Diri dan Liyan mutually exclusive.

Secara spasial pendekatan Derrida bisa ditempatkan dalam pembangunan wilayah di Indonesia, bahwa ada perbedaan dalam ruang ketika bicara Indonesia. Ada ruang desa/kota, laut/darat, pulau kecil dan pesisir/daratan  walaupun dikotomi semacam ini bukan suatu hal yang kaku, namun butuh pembedaan dalam melayani ruang-ruang tersebut. Pembedaan tersebut senyatanya mengikuti 1. kondisi sosiologis, 2. kondisi alam yang terberikan. Sehingga dibutuhkan bukan sekadar infrastruktur untuk mengekspolitasi alam demi kemajuan, namun juga pengetahuan, emansipasi masyarakat (hal ini ditempatkan di awal, emansipasi bukan tujuan, sehingga proses partisipasi yang dijalankan bukan pada tingkatan prosedural, namun untuk meningkatkan kesimbangan antara berbagai pihak yang ingin menikmati sumberdaya wilayah). 

Determinan yang terpenting adalah yang Lain. Kasus sentralisme pembangunan seperti di Aceh atau Papua (yang sering dijadikan isu separatis) sesungguhnya sama seperti kasus pembangunan masyarakat lain di Indonesia.  Dalam tataran visi dan strateginya lebih banyak mengalami distorsi filosofis, yang sudah diwacanakan banyak orang, merayakan perbedaan, Bhineka Tunggal Ika. Unsur ketunggalan merupakan unsur yang dijadikan terpenting. Padahal ketunggalan tersebut ‘mematikan’ perbedaan. Persatuan yang dimaknai penyeragaman-tunggal inilah yang akhirnya, menjerumuskan bangsa ini seperti yang disinyalir –meminjam - Giddens[9], sebagai ketidaksiapan dalam menghadapi risiko-risiko, ketidaksiapan tersebut terutama pada persoalan trust dimana masing-masing suku bangsa, yang komunal, ethno, seharusnya dipercaya untuk membangun kedaulatannya sendiri-dalam pengertian-harga diri sebagai identitas yang berbeda (termasuk dalam melakukan reproduksi dan melahirkan kembali strategi budaya sendiri, misalnya menjadi nelayan). Sebuah tradisi, misalnya di Jepang bukan hanya menjadi masa lalu, namun juga menjadi sesuatu yang berarti kini-disini. Nelayan bagi nelayan tempatan di Jepang adalah jalan menuju sejahtera, dan lembaga pendidikanpun melakukan inovasi pada teknologi penangkapan yang bisa membantu nelayan mengkhidmati jalan kesejahteraannya, inilah strategi budaya yang tidak menyeragamkan, sebagian besar bangsa Jepang bergerak di industri manufaktur, namun sektor pertanian, peternakan, dan kelautan tidak pernah absen untuk dimodernkan). 

Karena bagaimanapun berbangsa merujuk Anderson (1984)[10] adalah ‘mengimajinasikan’ kebersamaan, dan jika meminjam istilah Derrida di atas sebagai ‘menunda’ proses ‘kebersamaan berbangsa’ jika perbedaan telah hadir menurut proses differance ini maka kebersamaan niscaya hadir. Sehingga Ika ada karena Bhinneka, mutually exclusive, jika bhinneka dibunuh maka artinya bunuh diri. Meletakkan ketidakpercayaan sebagai refleksi dari menjauhi bahaya perpecahan sesungguhnya  adalah menolak yang Lain. Sehingga ketika pembangunan dilakukan ia menjadi suatu hal yang dianggap universal dalam konteks kebangsaan, dan menolak yang partikular-kepentingan suku bangsa-suku bangsa, masyarakat yang memiliki bio-region, kebutuhan politik, material, dan institusi yang berbeda, ini yang kemudian disebut sebagai scriptural development, dimana  pembangunan dengan tetek-bengek metafora yang canggih tidak dimengerti oleh masyarakat, kebutuhan dan keutuhan masyarakat sebagai suatu identitas tidak diakomodir, lepas dari teks, karena desain pembangunan tersebut bukan diciptakan untuk merayakan perbedaan.

Indonesia adalah mosaik perbedaan, berawal dari Nusantara, negeri di bawah dua angin, tempat rempah-rempah diperebutkan, terserak sumberdaya budaya yang beragam, swa-kelola. Identitas budaya bagi seluruh rakyat Indonesia perlu untuk merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Apter, David. E. 1987. Politik Modernisasi. Penerbit Gramedia.

[2] Fukuyama, Francis (editors). 2006. Nation-Building and the Failure of Institutional Memory: dalam Nation-building : beyond Afghanistan and Iraq. John Hopkins University Press.

[3] Philpott, Simon. 2000. Meruntuhkan Indonesia:  Politik Poskolonial dan Otoritarianisme  Penerbit LKiS.

[4] Carsten, Janet. Borders, Boundaries, Tradition And State On The Malaysian Periphery Dalam "Border Identities: Nation And State At International Frontiers": Edited By Thomas M. Wilson And Hastings Donnan, Published By The Press Syndicate Of The University Of Cambridge, 1998.

[5] Rendra. 1983. Mempertimbangkan tradisi. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

[6] Pawang ialah seorang yang memimpin sebuah perahu/boat yang mengerti segala tata cara penangkapan ikan di laut. Oleh karena itu para pawanglah yang menentukan siapa menjadi Panglima Laot di sesuatu daerah.

[7] Anwar, Affendi. 2002. Dalam  Seminar Peluang Investasi Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Direktorat Jendral  Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Hotel Indonesia, 10 Oktober, 2002. Diajdikan rujukan bahan kuliah pada Sekolah Pasca Sarjana Perencanaan Wilayah dan Perdesaan-IPB Bogor. Tidak dipublikasikan.

 

[8] Derrida, Jaques. 1982. Margin of Philosophy. Chicago University Press.

 

[9] Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Stanford University Press.

 

[10] Anderson, Bennedict. 2001.  Imagined Community. Pustaka Pelajar.

 

 



[i] Widhyanto Muttaqien Ahmad, Penulis adalah pedagang buku, peneliti lepas, tinggal di Bogor.

resep #27 Kopi Peristiwa

Rating:★★★★
Category:Other
di kedai ada vietkong yang bertugas menyaring kopi. menemani anakmuda yang rajin berdiskusi. sepotong roti dibagi duabelas kemudian diiris tujuh hari. itu untuk keperluan revolusi hari ini. bukan, anarkhi kata sebagian lagi sambil tertawa

sepotong roti berselai teori dimasak setengah matang. dengan mayo dari Paris yang dibeli di supermarket Cina. semuanya bermerek hibrida asalusulnya. sepotong roti untuk keperluan revolusi disajikan setiap malam. menunggu kegentingan yang bukan dari kantong

namun malammalam tak kunjung hamil. anakanak muda sekarang mungkin lebih memilih masturbasi. dengan malam yang begitu genit dan menggairahkan. mereka tak kunjung menggenapkannya. memperkosa malam butuh dana

sepotong roti berselai teori mengajarkan mereka mimpi. yang basah di popok yang ditempeli A coret sebagai sebuah fungsi. dan meluncurlah serapah tentang nilai tukar dan pelembagaan. vietkong yang menyaring kopi empat jam menunggu. bertambahnya cangkir berikut kesimpulannya

'permisi, terimaksih untuk malam ini dan secangkir kopi
rotinya enak sekali, apakah harganya bisa diturunkan'
A coret dan A keong sekarang tidak bisa dibedakan
keduanya gagal mencipta luka--adakah tempat yang begitu setia, sekaligus steril

di kedai malam berselimut bunyibunyian. bijibiji kopi menantang daun telinga untuk sekadar membaca 'asal dengan pikiran terbuka'. disini masih ada harapan untuk menelan semua kenyataan. bahasa kalian, bahasa malumalu. secangkir kopi tidak pernah cukup membangunkanmu

aku pesan secangkir kenyataan yang paling pahit. kuregang bersama nyawa. sampai teguk penghabisan peritiwa seperti ini tidak perlu kuberi nama