Monday, 13 October 2008
Saya Dihilangkan
Saya ingin berangkat dari pernyataan tegas bahwa self and others tergantung pada nilai dari sebuah konsep kebudayaan (artinya ia dapat berarti pengetahuan bersama atau pengetahuan yang disosialisasikan), dan sebagai sebuah konsep kebudayaan perlu penghindaran bahwa self and others adalah sesuatu yang given (saya belum membaca Sen- Dalam Identitas dan Kekerasan) namun jika yang dimaksud Identitas dalam Sen sebagai Ilusi Takdir, saya sepakat-identitas adalah suatu yang bukan Takdir.
Sehingga, pertama, diri adalah selalu sebuah konstruksi, tidak pernah alamiah atau menemukan entitasnya sendiri, walaupun cuma sebagai sebuah kemunculan. Artinya tak penting untuk bisa berpikir a la Descartes, kolonialisasi kontemporer telah mendisiplinkan tubuh dan pikiran hanya sebatas ‘citraan’- bukan mewakili yang hakikat. Artinya kekerasan bukan cuma bersifat fisik, juga identitas. Ia dirawat dan diturunkan, sederhananya mengalami pelembagaan. Celakanya, konstruksi identitas (sebagai wujud terpenting bagi kemanusiaan) juga melalui pelembagaan-salah satunya kolonialisasi-menempatkan Saya sebagai obyek subordinat.
Kedua, proses dalam penciptaan diri melalui oposisi selalu mensertakan kekerasan atau mengabaikan yang lain. Ini mungkin yang dimaksud Sen jika dilihat dari judul bukunya, penciptaan yang Lain sesungguhnya ‘pencarian’ self/diri. Namun dalam kebopengan dan segala hipokrisi ‘yang Lain’ selalu menjadi oposisi bagi ‘diri’. Sehingga pilihan kata kebiadaban adalah niscaya atau berakar dari identitas, bisa jadi merupakan keberadaban adalah niscaya atau berakar dari identitas. Saya lebih percaya bahwa fitrahnya yang lahir dari manusia adalah nafsu kemanusiaannya (keberadaban) sehingga, nafsu kebinatangannya (kebiadaban) adalah anomali, bukan turunan apalagi sebuah keniscayaan. Tergelincirnya manusia dalam perilaku binatang adalah ketololan jika bukan sebuah penyimpangan.
Membuat kemungkinan ‘dan damai di bumi’ adalah menyertakan ‘yang Lain’ dengan membiarkan ‘let other speak’, sehingga diskursus Identitas merujuk Bourdieu (1977) adalah dibangun berdasarkan penyelesaian permasalahan kontrakdiksi, salah-paham, dan salah-menilai, salah-mengenali. Atau dalam Foucouldian adalah memeriksa pembentukan diskursus (wacana), berdasarkan kepentingan, aparatus dan teknologi dibelakangnya, sehingga sebagai sebuah strategi (politik) kebudayaan diskursus ‘benturan peradaban’ memerlukan pemeriksaan yang lebih intens. Dari sini maka dapat dilihat tesis Huntington perlu diperiksa kesalahannya, bukan kebenarannya. Karena sebagai ‘wacana’ tentu saja ia benar, artinya sanggup dilahirkan, berkembang dan berbiak, namun sebagai hakikat atau ‘truth’ perlu dilihat, jangan-jangan kolonialisasi ‘yang Lain’ sedang dilakukan Huntington lewat diskursusnya.
Saya Dihilangkan tentu bisa, bahkan kemunculan Saya yang cuma sesekali dan jauh dari jangkauan indera orang macam Huntington adalah niscaya. Saya tidak akan pernah bisa menghilangkan Saya, ini niscaya. Namun apakah Saya selalu bisa menghadirkan Saya dalam dunia yang sama, waktu sejarah yang sama, jawabannya belum tentu. Apakah Saya bisa berbicara atas nama Saya, jawabanya juga belum tentu bisa. Saya Dihilangkan adalah horor kemanusiaan, dan biasanya penghilangan Saya berdasarkan ‘atas nama peradaban yang lebih baik’. Rasionalitas paling tolol, mungkin, berusaha menghilangkan yang Lain dalam diri Saya, atau memurnikan Saya dari yang Lain.
'let other speak' mungkinkah? Edward Said, menyebutnya sebagai proses pewacanaan kaum Oksidentalis dalam melihat fenomena kebudayaan kontemporer yang kental dengan pengaruh agama dan bahasa. Saya lengket dengan kekerasan, terutama kekerasan pemikiran. Sebagai korban, mungkin salah satu yang mengalami Stockholm Syndrome. Jatuh cinta dan beranak-pinak.
widhy | sinau
Labels:
antropuserectus
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Widhy: "...namun jika yang dimaksud Identitas dalam Sen sebagai Ilusi Takdir, saya sepakat-identitas adalah suatu yang bukan Takdir."
ReplyDeleteKomentar: Sejauh pembacaan saya, Sen memang memandang 'Identitas sebagai Ilusi Takdir'. Namun, tidak bisa dikatakan sepenuhnya demikian kesimpulan Sen. Sebab, menurut saya 'Identitas sebagai Ilusi Takdir' apabila 'Identitas menyatu dengan Kekerasan'. Dalam formulasi Logika: Identity and Violence: The Illusion of Destiny. Variabel 'dan' dalam 'Identity and Violence' diperhitungkan juga untuk menentukan status 'Destiny' apakah 'Ilusi' atau 'Sejati'.
Memang, sejauh saya membaca Sen, ada paradoks di dalam pemikiran Sen. Saat membaca buku tersebut, suatu saat saya merasa Sen atheis, tetapi di saat yang lain, Sen hadir sebagai Theis. Memang Sen menyatakan dirinya 'Atheis' sekaligus penganut 'Hinduism'. Dari analisa demikian, saya melihat 'The Illusion of Destiny', bila dipandang dari sisi pemikiran 'Atheism', maka Destiny itu adalah Ilusi. Namun, apa bila 'The Illusion of Destiny' dipandang dari sisi pemikiran 'Hinduism', maka Destiny bisa 1)Ilusi ("Identity and Violence: The Illusion of Destiny), bisa 2)Asli (Identity and Charity: The Destiny). Sulitnya pula, Sen tidak terlampau banyak menjelaskan persoalan ke-Asli-an Takdir dalam bukunya. Meski begitu, Sen tidak menolak Takdir, Tuhan, Agama, yang dipercaya masyarakat.
Diluar problematisasi tafsir saya atas Sen, dasar manusia memiliki Identitas adalah rasionalitas. Identitas bagi Sen tidak tunggal, melainkan plural. Manusia selalu berhadapan dengan Identitas yang plural, tidak tunggal mutlak. Ketunggalan Identitas selalu bersifat temporal. Mengapa? Karena manusia pada dasarnya rasional, dan rasionalitas mengandaikan adanya kebebasan memilih (dari macam-macam pilihan identitas, identitas manakah yang harus saya pergunakan, identitas mana yang saya pilih), maka Identitas adalah pilihan personal dan temporal. Barangkali, ini dampak dari paham-paham ekonomi Sen yang dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Identitas yang ideal menurut Sen lahir dari Rasionalitas. Identitas yang bersumber dari rasionalitas inilah, yang menurut saya melahirkan: Identity and Charity: The Destiny of Human.
Selain itu, patut pula diperhitungkan bahwa 'Identity and Violence: The Illusion of Destiny' adalah kritik Sen terhadap Samuel Huntington terkait 'Benturan Antar Peradaban'. Tesis Huntington: benturan antar peradaban adalah keniscayaan, itulah yang ditentang Sen. Sen memproblematisasikan kategori peradaban yang dibakukan Huntington. Kalau saya tak keliru, Ignas Kleden pun memproblematisasikan kategori 'timur' dan 'barat' yang dirumuskan Huntington. Dalam pembacaan antar-tekstual, "Destiny" dalam 'The Illusion of Destiny' dapat dianggap sebagai 'Timur' atau 'Barat'. Inilah yang selanjutnya mengalir ke dalam 'Identitas' yang selanjutnya berbaur (baca: dan) dengan 'Violence'.
Dari pemilahan 'Timur' dan 'Barat' memang persoalan "Saya Dihilangkan" muncul. 'Barat' menghilangkan atau me-Barat-kan 'Timur', 'Saya yang Timur dihilangkan oleh Saya yang Barat'; dan selanjutnya 'Timur' menghilangkan atau me-Timur-kan 'Barat', Saya yang Barat dihilangkan oleh Saya yang Timur. Subordinasi pun terjadi. Kekerasan pun terjadi. Dari sudut pandang begini, "Destiny" bagi Sen memang menyediakan peluang penajaman yang luar biasa.
Tabik.
dvd.tbg