Rating: | ★★ |
Category: | Other |
Sebelumnya, saya mengajukan permohonan maaf bagi Sidang Pembaca apabila apa yang saya tuliskan menyinggung dan mencederai perasaan batin Sidang Pembaca. Saya tak ada niatan untuk menyinggung apalagi mencederai perasaan Sidang Pembaca. Namun, saya insyaf ada hal-hal yang berada di luar kekuasaan saya, di luar kehendak saya. Ada hal yang tidak saya kehendaki namun terjadi. Inilah sebab mengapa saya terlebih dahulu membuka percakapan dengan mengajukan permohonan maaf, ampunan dari Sidang Pembaca.
Pemberitaan Kyai Pudjo tentang pernikahan dia dengan Ulfa yang berusia 12 tahun, yang akan disusul dengan dua gadis cilik lainnya yang berusia 7 dan 9 tahun, cukup mengagetkan saya. Apalagi setelah membaca argumentasi pembelaan yang mempergunakan dalil-dalil perilaku teladan dari Nabi Muhammad. Perilaku Nabi Muhammad menikahi Aisyah yang ketika itu berumur 7 tahun (padahal tentang umur pasti Aisyah masih diperdebatkan) dipergunakan Kyai Pudjo sebagai argumentasi kelaikan dia menikahi gadis berumur 7 tahun juga.
Dari peristiwa tersebut, saya tak hendak memasuki perdebatan teologis Islam tentang keabsahan pernikahan. Bagi saya yang menarik dibahas adalah sampai sejauh mana perilaku Nabi Muhammad dipandang sebagai perilaku yang benar-benar manusiawi dan perilaku yang memang benar-benar Nabi?
Argumentasi Kyai Pudjo membawa saya pada pengertian: Karena Nabi Muhammad adalah teladan, maka segala perbuatan Nabi layak diikuti. Karena Nabi Muhammad menikahi Aisyah yang berumur 7 tahun, maka perilaku Nabi pun bisa diikuti oleh saya.
Dilacak lebih jauh, pola penalaran Kyai Pudjo tampaknya bersumber dari penalaran silogisme dengan Premis Mayor: Pengikut Nabi adalah orang yang mengikuti perilaku Nabi seutuhnya; Premis Minor: Saya adalah pengikut Nabi; dan Kesimpulan: Saya adalah orang yang mengikuti perilaku Nabi seutuhnya. Yang fatal, menurut saya, dalam penalaran demikian adalah mengandaikan asumsi: saya dan Nabi adalah sama, setara, dan karena itu apa yang dilakukan Nabi bisa saya lakukan.
Mengapa? Asumsi itu menyamakan 'Saya' dengan "Nabi'. Tapi, apakah memang 'saya' sama dengan 'Nabi'? Tentu ada faktor fundamental yang membedakan 'saya' dengan 'Nabi', atau 'manusia biasa' dengan 'Nabi'. Namun, memang keduanya adalah sama, 'manusia biasa' dan 'Nabi', sama-sama manusia. Tetapi, kualitas 'manusia' dari 'manusia biasa' tentu berbeda dengan 'Nabi'.
Kembali pada pokok persoalan, maka yang menjadi pertanyaan sentral yang harus terlebih dahulu dijawab adalah sampai dimana batas-batas perilaku Nabi Muhammad benar-benar merupakan perilaku ke-Nabi-an dan bukan perilaku manusia biasa? Apakah tindakan Nabi Muhammad menikahi Aisyah hidup dalam konteks ke-Nabi-an atau dalam konteks manusia biasa?
Saya pikir, kejernihan menilai mana perilaku Nabi Muhammad yang hidup dalam konteks KeNabian dan mana yang tidak, atau malah semua perilaku Nabi Muhammad berkenaan dengan konteks KeNabian, tentu siapa saja yang telah mendefenisikan dirinya bukan sebagai Nabi perlu mempertimbangkan lebih lanjut apa yang bisa dilakukan dia sebagai manusia biasa dengan tetap berorientasi pada perilaku Nabi.
Tentunya, argumentasi saya bersandar pada tesis: Nabi dan manusia biasa adalah dua entitas yang berbeda. Nabi menerima pewahyuan langsung dari Yang Maha Kuasa, sedangkan manusia biasa menerima wahyu Yang Maha Kuasa dari para Nabi.
Jawaban tentu bakal berbeda apabila diajukan tesis bahwa antara Nabi dan Manusia biasa tidak ada bedanya. Kalau tidak ada bedanya, tentunya, konsekuensi logis, tidak ada yang disebut Nabi, atau tidak ada yang disebut manusia biasa, yang ada hanya satu sebutan, yakni manusia. Namun, bukankah dengan demikian argumentasi pembelaan yang mempergunakan tindakan Nabi Muhammad menikahi Aisyah menjadi hal yang tak masuk akal? Wallahu allam.
Oktober 2008
dvd.tbg