Monday, 27 October 2008

Contemporary Issues

Rating:★★
Category:Other
Menikahi Dini

Sebelumnya, saya mengajukan permohonan maaf bagi Sidang Pembaca apabila apa yang saya tuliskan menyinggung dan mencederai perasaan batin Sidang Pembaca. Saya tak ada niatan untuk menyinggung apalagi mencederai perasaan Sidang Pembaca. Namun, saya insyaf ada hal-hal yang berada di luar kekuasaan saya, di luar kehendak saya. Ada hal yang tidak saya kehendaki namun terjadi. Inilah sebab mengapa saya terlebih dahulu membuka percakapan dengan mengajukan permohonan maaf, ampunan dari Sidang Pembaca.

Pemberitaan Kyai Pudjo tentang pernikahan dia dengan Ulfa yang berusia 12 tahun, yang akan disusul dengan dua gadis cilik lainnya yang berusia 7 dan 9 tahun, cukup mengagetkan saya. Apalagi setelah membaca argumentasi pembelaan yang mempergunakan dalil-dalil perilaku teladan dari Nabi Muhammad. Perilaku Nabi Muhammad menikahi Aisyah yang ketika itu berumur 7 tahun (padahal tentang umur pasti Aisyah masih diperdebatkan) dipergunakan Kyai Pudjo sebagai argumentasi kelaikan dia menikahi gadis berumur 7 tahun juga.
Dari peristiwa tersebut, saya tak hendak memasuki perdebatan teologis Islam tentang keabsahan pernikahan. Bagi saya yang menarik dibahas adalah sampai sejauh mana perilaku Nabi Muhammad dipandang sebagai perilaku yang benar-benar manusiawi dan perilaku yang memang benar-benar Nabi?
Argumentasi Kyai Pudjo membawa saya pada pengertian: Karena Nabi Muhammad adalah teladan, maka segala perbuatan Nabi layak diikuti. Karena Nabi Muhammad menikahi Aisyah yang berumur 7 tahun, maka perilaku Nabi pun bisa diikuti oleh saya.
Dilacak lebih jauh, pola penalaran Kyai Pudjo tampaknya bersumber dari penalaran silogisme dengan Premis Mayor: Pengikut Nabi adalah orang yang mengikuti perilaku Nabi seutuhnya; Premis Minor: Saya adalah pengikut Nabi; dan Kesimpulan: Saya adalah orang yang mengikuti perilaku Nabi seutuhnya. Yang fatal, menurut saya, dalam penalaran demikian adalah mengandaikan asumsi: saya dan Nabi adalah sama, setara, dan karena itu apa yang dilakukan Nabi bisa saya lakukan.
Mengapa? Asumsi itu menyamakan 'Saya' dengan "Nabi'. Tapi, apakah memang 'saya' sama dengan 'Nabi'? Tentu ada faktor fundamental yang membedakan 'saya' dengan 'Nabi', atau 'manusia biasa' dengan 'Nabi'. Namun, memang keduanya adalah sama, 'manusia biasa' dan 'Nabi', sama-sama manusia. Tetapi, kualitas 'manusia' dari 'manusia biasa' tentu berbeda dengan 'Nabi'.
Kembali pada pokok persoalan, maka yang menjadi pertanyaan sentral yang harus terlebih dahulu dijawab adalah sampai dimana batas-batas perilaku Nabi Muhammad benar-benar merupakan perilaku ke-Nabi-an dan bukan perilaku manusia biasa? Apakah tindakan Nabi Muhammad menikahi Aisyah hidup dalam konteks ke-Nabi-an atau dalam konteks manusia biasa?
Saya pikir, kejernihan menilai mana perilaku Nabi Muhammad yang hidup dalam konteks KeNabian dan mana yang tidak, atau malah semua perilaku Nabi Muhammad berkenaan dengan konteks KeNabian, tentu siapa saja yang telah mendefenisikan dirinya bukan sebagai Nabi perlu mempertimbangkan lebih lanjut apa yang bisa dilakukan dia sebagai manusia biasa dengan tetap berorientasi pada perilaku Nabi.
Tentunya, argumentasi saya bersandar pada tesis: Nabi dan manusia biasa adalah dua entitas yang berbeda. Nabi menerima pewahyuan langsung dari Yang Maha Kuasa, sedangkan manusia biasa menerima wahyu Yang Maha Kuasa dari para Nabi.
Jawaban tentu bakal berbeda apabila diajukan tesis bahwa antara Nabi dan Manusia biasa tidak ada bedanya. Kalau tidak ada bedanya, tentunya, konsekuensi logis, tidak ada yang disebut Nabi, atau tidak ada yang disebut manusia biasa, yang ada hanya satu sebutan, yakni manusia. Namun, bukankah dengan demikian argumentasi pembelaan yang mempergunakan tindakan Nabi Muhammad menikahi Aisyah menjadi hal yang tak masuk akal? Wallahu allam.

Oktober 2008

dvd.tbg

Sunday, 26 October 2008

MUHAMMAD YUNUS

MUHAMMAD YUNUS:

“[Poverty-free world] would be a world that we could all be proud to live in.”

 

… freedom is freedom from poverty.

Gayatri Spivak

 

 

JUDUL artikel ini berasal dari halaman terakhir, halaman 262, buku “Banker For The Poor” karangan Muhammad Yunus terbitan PublicAffairs, Amerika Serikat, pada tahun 2003. Kutipan aslinya: “That would be a world that we could all be proud to live in.” “That” mengacu pada cita-cita Muhammad Yunus, Poverty-free World, Bumi tanpa Kemiskinan.

            Saya tidak tahu pasti, apakah ada penelitian atau perhitungan ekonomi yang berupaya menjawab berapa besar sebenarnya uang yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan di dunia? Lantas, apakah jumlah uang tersebut lebih besar atau lebih kecil dari jumlah uang yang beredar di dunia? Atau, apakah jumlah uang tersebut lebih besar atau lebih kecil dari harta global di dunia ini? Apa yang saya maksudkan dengan ‘harta global’ adalah jumlah total uang, yang beredar dan tak beredar, dari seluruh negara yang ada di Bumi.

            Bisa saja pertanyaan imajinatif yang saya lontarkan punya makna mengada-ngada. Justru pertanyaan imajinatif saya lahir dari fakta aktual yang dialami Muhammad Yunus pada tahun 1976. Ketika itu, Muhammad Yunus, pengajar di Departemen Ekonomi Univesitas Chittaggong, menerima laporan dari muridnya Maimuna Begum. Laporan tersebut memuat data jumlah uang pinjaman yang dibutuhkan oleh 42 jiwa warga perkampungan Jobra di Banglades sebagai modal untuk membuka usaha mandiri. Membaca data yang dikumpulkan Maimuna dalam tempo satu minggu, Yunus kaget: “Ya Tuhan, ya Tuhan. Segala derita mereka hanya karena uang yang tak lebih dari 27 dollar (My God, my God. All this misery in the all these families all for of the lack of twenty-seven dollar!)!”

“Mereka” yang dimaksud dalam konteks percakapan Yunus dengan Maimuna adalah perempuan dari keluarga miskin yang membutuhkan modal awal untuk memulai usaha mandiri membuat kursi bambu sederhana dengan jalan meminjam uang ke para lintah darat (tentunya dengan bunga yang tinggi). “Derita” yang dimaksud dalam konteks percakapan Yunus dengan Maimuna adalah segala dampak negatif yang dialami para perempuan pengrajin kursi bambu sederhana akibat pilihan meminjam uang dari lintah darat. Pinjaman yang berasal dari lintah darat tentunya bukanlah pinjaman yang menyehatkan, melainkan menyakitkan sekaligus menjerat. Sekali masuk, barangkali hanya kematian saja yang bisa membebaskan. “27 dollar” dalam konteks percakapan Yunus dengan Maemunah mengacu pada jumlah total uang pinjaman “mereka”.

            Kembali berimajinasi, andaikanlah 27 dollar yang dimaksud dalam konteks peristiwa tadi berlangsung dalam kurs 1 dollar = Rp10.000. Maka, jumlah total dana pinjaman yang dibutuhkan 42 jiwa di perkampungan Jobra, Banglades, kurang dari Rp270 ribu. Dan apabila imajinasi kembali diliarkan, saya pikir tak ada kelirunya bila membayangkan jumlah uang tersebut nyaris mendekati dana kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ditetapkan pemerintah Indonesia, dana Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dana BLT yang dibagikan setiap tiga bulan sekali berjumlah Rp300 ribu. Aih, imajinasi memang benar-benar mengejutkan.

            Terlepas dari pengandaian imajinatif tadi, apa yang dialami Yunus dan diceritakan dalam “Banker For The Poor” merefleksikan bahwa kemiskinan bisa punah dari muka Bumi. Meski tidak terlampau akurat, saya mencoba menghadirkan perhitungan deduktif untuk menganalisa probabilitas memunahkan kemiskinan. Diperkirakan jumlah penduduk Bumi saat ini mencapai 6 miliar jiwa. Dan bila diandaikan seluruhnya adalah orang miskin, dengan asumsi setiap 42 jiwa membutuhkan dana 27 dollar, maka jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan mencapai 3,8 triliun dollar. Lantas, kira-kira, apakah harta dunia mencapai angka tersebut? Kalau harta dunia tidak mencapai angka tersebut, tampaknya umat manusia di Bumi memang, mau tak mau, harus menerima kemiskinan sebagai kodrat Bumi. Tapi, kalau memang harta dunia melampaui angka tersebut, maka kemiskinan bisa saja berasal dari limbah perilaku manusia. Maka wajarlah muncul pepatah, “Bumi yang kita huni mampu memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak dapat memuaskan nafsu serakah dari hanya satu orang manusia.”

Oktober 2008

dvd.tbg

Monday, 13 October 2008

Saya Dihilangkan


Saya ingin berangkat dari pernyataan tegas bahwa self and others tergantung pada nilai dari sebuah konsep kebudayaan (artinya ia dapat berarti pengetahuan bersama atau pengetahuan yang disosialisasikan), dan sebagai sebuah konsep kebudayaan perlu penghindaran bahwa self and others adalah sesuatu yang given (saya belum membaca Sen- Dalam Identitas dan Kekerasan) namun jika yang dimaksud Identitas dalam Sen sebagai Ilusi Takdir, saya sepakat-identitas adalah suatu yang bukan Takdir. 

Sehingga, pertama, diri adalah selalu sebuah konstruksi, tidak pernah alamiah atau menemukan entitasnya sendiri, walaupun cuma sebagai sebuah kemunculan. Artinya  tak penting untuk bisa berpikir a la Descartes, kolonialisasi kontemporer telah mendisiplinkan tubuh dan pikiran hanya sebatas ‘citraan’- bukan mewakili yang hakikat. Artinya kekerasan bukan cuma  bersifat fisik, juga identitas. Ia dirawat dan diturunkan, sederhananya mengalami pelembagaan. Celakanya, konstruksi identitas (sebagai wujud terpenting bagi kemanusiaan) juga melalui pelembagaan-salah satunya kolonialisasi-menempatkan Saya sebagai obyek subordinat.

Kedua, proses dalam penciptaan diri melalui oposisi  selalu mensertakan kekerasan atau mengabaikan yang lain. Ini mungkin yang dimaksud Sen jika dilihat dari judul bukunya, penciptaan yang Lain sesungguhnya ‘pencarian’ self/diri. Namun dalam kebopengan dan segala hipokrisi ‘yang Lain’ selalu menjadi oposisi bagi ‘diri’. Sehingga pilihan kata kebiadaban adalah niscaya atau berakar dari identitas, bisa jadi merupakan keberadaban adalah niscaya atau berakar dari identitas. Saya lebih percaya bahwa fitrahnya yang lahir dari manusia adalah nafsu kemanusiaannya (keberadaban) sehingga, nafsu kebinatangannya (kebiadaban) adalah anomali, bukan turunan apalagi sebuah keniscayaan. Tergelincirnya manusia dalam perilaku binatang adalah ketololan jika bukan sebuah penyimpangan.

Membuat kemungkinan ‘dan damai di bumi’ adalah menyertakan ‘yang Lain’ dengan membiarkan ‘let other speak’, sehingga diskursus Identitas merujuk  Bourdieu (1977) adalah dibangun berdasarkan penyelesaian permasalahan kontrakdiksi, salah-paham, dan salah-menilai, salah-mengenali. Atau dalam Foucouldian adalah memeriksa pembentukan diskursus (wacana), berdasarkan kepentingan, aparatus dan teknologi dibelakangnya, sehingga sebagai sebuah strategi (politik) kebudayaan diskursus ‘benturan peradaban’ memerlukan pemeriksaan yang lebih intens. Dari sini maka dapat dilihat tesis Huntington perlu diperiksa kesalahannya, bukan kebenarannya. Karena sebagai ‘wacana’ tentu saja ia benar, artinya sanggup dilahirkan, berkembang dan berbiak, namun sebagai hakikat atau ‘truth’ perlu dilihat, jangan-jangan kolonialisasi ‘yang Lain’ sedang dilakukan Huntington lewat diskursusnya.

Saya Dihilangkan tentu bisa, bahkan kemunculan Saya yang cuma sesekali dan jauh dari jangkauan indera orang macam Huntington adalah niscaya. Saya tidak akan pernah bisa menghilangkan Saya, ini niscaya. Namun apakah Saya selalu bisa menghadirkan Saya dalam dunia yang sama, waktu sejarah yang sama, jawabannya belum tentu. Apakah Saya bisa berbicara atas nama Saya, jawabanya juga belum tentu bisa. Saya Dihilangkan adalah horor kemanusiaan, dan biasanya penghilangan Saya berdasarkan ‘atas nama peradaban yang lebih baik’. Rasionalitas paling tolol, mungkin, berusaha menghilangkan yang Lain dalam diri Saya, atau memurnikan Saya dari yang Lain.

'let other speak' mungkinkah? Edward Said, menyebutnya sebagai proses pewacanaan kaum Oksidentalis dalam melihat fenomena kebudayaan kontemporer yang kental dengan pengaruh  agama dan bahasa. Saya lengket dengan kekerasan, terutama kekerasan pemikiran. Sebagai korban, mungkin salah satu yang mengalami Stockholm Syndrome. Jatuh cinta dan beranak-pinak.



widhy | sinau

Tuesday, 7 October 2008

CITY OF SEN

Menyingkap Bentala Visi Amartya Kumar Sen Dalam Identitas dan Kekerasan*

Sejak peristiwa tragis 11 September 2001, peledakan menara kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat, yang diperkirakan merenggut 2.800 nyawa manusia, sepertinya horor peradaban kontemporer bisa diringkus dalam satu kata: Identitas. Dengan identitas, personal/komunal/global mampu memformulasikan suatu laku kekerasan untuk menghancurkan orang-orang lain yang berada di luar identitas-nya. Penalaran demikian melahirkan konklusi: Kebiadaban berakar pada Identitas! dan Identitas ada pada personal/komunal/global!

Bila konklusi ‘kebiadaban berakar pada identitas’, tampaknya salah satu solusi menjawab horor peradaban kontemporer adalah menghilangkan identitas. Lantas, muncul pertanyaan apakah itu mungkin? Apakah mungkin bagi manusia, personal/komunal/global, hidup tanpa adanya identitas? Kalau mungkin, bagaimana pula cara personal/komunal/global mengenali dirinya sendiri? Atau malah, personal/komunal/global memang tak perlu mengenali dirinya sendiri? Fenomena pertanyaan demikian bisa memunculkan pertanyaan lain pada level ‘metafisika’. Kalau memang ‘Saya adalah Saya’ tidak diperbolehkan atau tidak boleh ada atau tidak ada, lalu dengan cara apa saya harus mendefenisikan diri? Mungkinkah saya menghilangkan saya?

Bila diteliti lebih lanjut, formulasi pertanyaan ‘metafisika’ “mungkinkah saya menghilangkan saya” selaras dengan metode skeptisisme yang dilakoni filsuf Perancis RenĂ© Descartes pada abad 17 Al Masih. Bila segala hal saya ragukan, maka saya yang meragukan adalah satu-satunya keniscayaan! Bila saya yang meragukan adalah satu-satunya keniscayaan, maka saya tidak mungkin tidak ada. Cogito ergo sum. Saya berpikir, maka saya ada. Maka, ‘saya menghilangkan saya’ cuma bisa terjadi bila saya tidak berpikir. Bersandar pada penalaran Descartes, pertanyaan “mungkinkah saya menghilangkan saya” pun terjawab. Ketika saya bertanya (berpikir) “mungkinkah saya menghilangkan saya”, maka seketika jawabannya pun muncul: saya tidak mungkin menghilangkan saya!

Berpijak pada tesis prinsip rasionalitas Descartes, muncul jawaban: saya tidak bisa menghilangkan saya. Saya adalah kepastian-pertama. Kalau begitu, saya dan identitas adalah keniscayaan. Lantas, bagaimana dengan konklusi ‘kebiadaban berakar pada identitas’? Kalau memang saya dan identitas adalah keniscayaan, maka ‘kebiadaban’ yang berakar pada identitas pun bisa berhakikat niscaya. Benarkah demikian? Jika memang benar demikian, sangat tepat sekali bila dikatakan “horor peradaban kontemporer bisa diringkus dalam satu kata: Identitas”. Dan semenjak identitas adalah keniscayaan bagi personal/komunal/global, maka segala laku kekerasan adalah kewajaran dalam sejarah peradaban manusia, mulai dari masa lalu hingga masa menjelang. Atau dengan kata lain, hanya ketololanlah yang memampukan manusia untuk berharap pada suatu masa perdamaian mewujud di planet Bumi. Karena itu, manusia pun menjadi mahluk paling tragis. Di satu sisi manusia memiliki harapan akan adanya perdamaian (dengan konsekuensi melakukan kerja perwujudan perdamaian yang dipandu cahaya pengharapan), sedang di sisi lain manusia wajib berhadapan dengan keniscayaan untuk menghancurkan, membantai, dan memusnahkan manusia yang lain. Maka, yang disebut manusia adalah campuran dari rasionalitas tolol dengan rasionalitas horor.

Namun, benarkah hakikat kebiadaban pun adalah keniscayaan? Ada baiknya kita kembali meneliti konklusi ‘kebiadaban berakar pada identitas’. Jika identitas adalah keniscayaan, apakah memang kebiadaban juga keniscayaan? Jika kebiadaban pun ternyata adalah keniscayaan, tak bisa dipungkiri lagi manusia memang mahluk yang paling menderita di semesta jagat raya. Manusia harus ikhlas menerima kodrat sebagai mahluk tolol sekaligus horor. Tetapi, bagaimana bila kebiadaban bukan keniscayaan? Kebiadaban bukan keniscayaan mengandung pemaknaan bahwasanya kebiadaban adalah probabilitas, kemungkinan. Seturut dengan metode skeptisisme yang dilakoni Descartes, bisa dilakukan pengujian hipotetik lewat pengajuan pertanyaan: mungkinkah kebiadaban dihilangkan? Jawaban yang muncul adalah bisa ya, bisa pula tidak. Antara kebiadaban dan saya merupakan dua hal yang terpisah (namun terikat secara metafisis); saya pasti ada, kebiadaban belum pasti ada. Maka, menjadi teranglah bahwasanya hakikat dari kebiadaban bukanlah keniscayaan, melainkan probabilitas, potensialitas.

Kebiadaban bisa ada, bisa pula tidak; dan ada atau tidak adanya kebiadaban sangat bergantung pada identitas yang beresensikan keniscayaan. Di sini, Amartya Kumar Sen, lewat bukunya yang bertajuk ‘Identity and Violence: The Illusion of Destiny’ menyibak tabir kemungkinan yang terkandung di dalam keniscayaan-identitas untuk menihilkan kekerasan, kebiadaban manusia yang satu terhadap manusia yang lain; sekaligus memampuskan klaim ‘horor peradaban kontemporer bisa diringkus dalam satu kata: Identitas’. Dan itulah cita-cita CITY OF SEN—barangkali bisa menggelincir jadi CITIZEN—sebuah tatanan dunia baru bagi peradaban manusia. Tatanan dunia yang membebaskan manusia untuk memilih dan menetapkan identitas, tanpa harus menghadirkan teror kekerasan bagi manusia lain di semesta jagat raya.

2008

* Identitas dan Kekerasan, fragmen dari judul buku Amartya Kumar Sen ‘Identity and Violence: The Illusion of Destiny’, yang dialihbahasakan ke dalam bahasa indonesia menjadi ‘Kekerasan dan Ilusi Identitas’.

dvd.tbg