Monday, 7 July 2008

sangkar yang membumbung

ada rumah bersusun-susun
ada rumah tipe L4 (loe lagi loe lagi)
ada rumah yang disebut-sebut bersubsidi
ada rumah diatas gerobak
semua rumah adalah 'rumah' bagi penghuninya, sebuah sangkar yang aman dan nyaman. bagi  beberapa orang sangkar ini dibagi menjadin kamar tidur, kamar mandi i atau WC (Mandi Cuci Kakus) ruang makan, ruang keluarga, ruang tamu, garasi, gudang, teras, dapur dan pekarangan.

bagi tipe L4 semuanya jadi satu ruang, dengan sebuah pembatas 'hordeng'.
dan waktu malam, motor diparkir, kakak membuat pr, emak dan bapak berebut remote untuk acara tv, adik tidur di ayunan yang digantung di langit-langit, jadi satu ruang. menjelang pagi hordeng menjadi sekat karena emak dan bapak berusaha bersuara pelan walau ngos-ngosan.

Kebutuhan rumah susun atau rusun murah atau rumah murah di sejumlah kota besar, terutama di Jakarta, terus meningkat, maksud dari pembangunan rusun murah ini dalam teori lokasi adalah mendekatkan pekerja dengan lokasi kerjanya, sehingga rusun murah ini idealnya dibangun di tengah kota-downtown atau di sekitar lokasi industri. Maksud lainnya adalah menggeser kekumuhan kota secara bertahap.

Dua maksud ini akan berakibat pada (1)  permukiman kumuh secara bertahap mulai ditata, (2) kemacetan kendaraan pada rute ke dan dari Jakarta dapat teratasi, karena kepindahan para pekerja kerah biru dan kerah putih ke pusat kota.

Jika dilihat total kebutuhan rumah di Jakarta rata-rata 30.000 unit per tahun.
Pertumbuhan mobil di Indonesia rata-rata 500.000 unit per tahun. Sebanyak 70 persen di antaranya beroperasi di Jakarta dan sekitarnya. Namun, pertumbuhan jalan tidak mencapai satu persen.

Pemerintah memberikan subsidi kepada pengembang. Pengembang membuat rumah. Setelah itu 'pasar' berdaulat. Pemerintah selesai tugasnya. Pengembang mengambil untung.

Rumah murah L4 (22 meter persegi) disediakan untuk masyarakat berpenghasilan Rp 500.000-Rp. 1.500.000,-. Pengembang diwajibkan memberikan alokasi rumah 30% dari total rumah yang dibangunnya di suatu kawasan.

Rusun murah mulai dari 33 meter persegi  diperuntukkan bagi masyarakat  berpenghasilan  1,5 juta sampai  3 juta.  Bisa jadi lebih dari itu. Menengah ke atas mungkin berpenghasilan antara 3 juta sampai dengan 50 juta. (standar ukmk, pengusaha mikro adalah yang memiliki aset 10 juta, kecil 10-50 juta dan kecil menengah 50-500juta).

Ketika konsep ini ditawarkan ke 'pasar' maka datanglah pembeli-dengan adagium 'property is the best investment'-dan belanjalah para orang kaya (baca: pengasilan 50 juta ke atas untuk memiliki property-ada yang murni spekulan ada yang investasi untuk persiapan anaknya yang  sebentar  lagi  pisah rumah.  Rumah tipe L4 diborong 4 kapling berderetan. Rusun tipe 33 diborong 2 kapling berderetan. 6 bulan kemudian direnovasi. 2 kapling rss untuk rumah inti, 1 kapling untuk garasi, 1 kapling untuk taman dan pengembangan ke depan.

Rumah murah L4 (22 meter persegi) disediakan untuk masyarakat berpenghasilan Rp 500.000-Rp. 1.500.000, dengan mekanisme pasar menjadi 'rumah mewah bersubsidi', para superkaya tidak cukup puas untuk memiliki satu rumah, seperti mereka juga tidak puas dengan satu mobil, mereka juga penentang keras kenaikan harga BBM dan mencari-cari cara untuk mendapatkan BBM bersubsidi sehingga maksud pembangunan rumah menjadi tidak berarti. Seperti subsidi BBM yang gampang diakali.

Penduduk kumuh makin banyak cuma pindah tempat makin jauh dari pusat kota. Mobil makin banyak terparkir di pusat kota dan badan jalan (sebagian rusun bersubsidi memiliki fasilitas parkir yang minim karena asumsi pembelinya adalah orang yang hanya memiliki satu kendaraan atau tidak sama sekali). Kemacetan merajalela karena super kaya tidak super pintar dan terus protes atas pembangunan sistem transportasi massal macam transjakarta atau aturan 3 in one atau aturan lain yang membatasi pemakainan kendaraan pribadi. Pemerintah mensubsidi superkaya dengan membangun jalan, membangun rusun murah, dan berbagai kemudahan  fiskal-seolah-olah hanya mereka yang membayar pajak. Padahal supermiskin juga bayar pajak lewat pajak makanan ringan semisal Chiki  yang mereka beli untuk Balita mereka-atau listrik dan air yang juga tersubsidi oleh supermiskin.

Pemerintah membangun-selesai.
Pasar yang berdaulat.

Apakah mereka berselingkuh cuma Tuan yang tahu (baca menteri perumahan, menteri sosial, dan kesejahteraan rakyat).

Baiknya bagaimana-pemerintah mengontrol pembangunan dan penjualan rumah bersubsidi. Karena kata 'subsidi' tersebut otomatis mereduksi peran pasar (campur tangan pemerintah dalam pasar perumahan). Pemerintah seharusnya juga bertanggung jawab (campur tangan) dari pembangunan sampai dengan penempatan orang-orang (tenant-penghuni) rumah bersubsidi (sulit memang-tapi mungkin).

Nyatanya, gaji Rp. 3 juta sulit untuk mendapatkan apartemen bersubsidi atau rusun bersubsidi yang  1 tahun setelah dibangun bertebaran
spanduk makelar: disewa,  dijual cepat. Dengan harga sedikitnya dua kali lipat.

Hitung punya hitung untuk menjadi orang Jakarta yang bisa memiliki tempat tinggal di Jakarta membutuhkan pemasukan sedikitnya  Rp. 7.5 (3 kali biaya angsuran) jika tidak jangan harap bisa mendapatkan sangkar kecil, nyaman, dan aman.

Jika demikian dapatkan para superkaya pembeli rumah bersubsidi dikenakan sanksi seperti pembeli atau spekulan BBM bersubsidi?

widhy | sinau






No comments:

Post a Comment