Wednesday, 23 July 2008

KOSMOS DEMOKRASI

Di dalam kosmos, semua partikel hendaknya menyadari keterikatan. Semisal televisi dengan listrik, selanjutnya dengan stasiun televisi, yang kesemuanya bermuara pada mata dan telinga pemirsa, pemilik televisi. Ada pajak yang tak terlihat di dalamnya. Hanya waktu saja yang mengetahui besaran biaya yang digelontorkan masing-masing pihak. Waktu, dalam pengertian kontemporer mengacu pada uang, uang, dan sesekali kalau bisa menyentuh amal. Dan sebenarnya tak perlu heran mengapa bisa begitu. Sebab, makna adalah dunia yang bertumbuh. Makna tidak hanya satu, tunggal dan mutlak. Makna tidak lagi kaku, beku, dan baku. Zaman sekarang, makna bisa saja hadir karena kebetulan, koinsiden. Di dalam ‘kebetulan’, sebab-akibat adalah haram. Maka, ada filsuf dari Perancis yang menyebut kronos sebagai hukum sebab-akibat di dalam ruang-waktu, sedangkan ainos sebagai hukum kebetulan di dalam ruang-waktu. Dan, saya menambahkan dengan sengaja serta semena-mena, ruang-waktu mengacu pada Dei.

 

Vox populi vox Dei. Suara rakyat, suara Tuhan. Sebab zaman punya kebetulan, maka makna selalu berkembang. Kekakuan, kebekuan, dan kebakuan adalah musuh bersama. Mungkin, inilah yang melahirkan gejolak sosial politik massal yang meninggalkan trauma psikologi personal dan komunal (yang sayangnya di kemudian hari hanya dipandang sebagai ‘ongkos sosial-politik’ yang memang sudah menjadi ketentuan sebab-akibat atau kronos) pada tahun 1998 di indonesia. Ternyata Tuhan belum mati. Seharusnya penganut atheis layak bersedih. ‘Kebetulan’ mengantar makna baru bagi Tuhan, Tuhan yang fleksibel, kooperatif, antisipatif, cerdas, licik, peka terhadap perkembangan zaman, lebih bersahabat, supel, interaktif, dan sesekali pun bisa jadi sosok yang tak peduli karena persoalan perasaan, mood.

 

Karena ‘kebetulan’, makna selalu mengalami modifikasi. Bila populi dahulu hanya dikenal sebagai rakyat, istilah abstrak yang hanya diketahui para politikus saja, di zaman sekarang populi bisa berarti pembeli. Istilah kontemporer begini tentunya lebih konkrit dan menyatu dalam kehidupan publik yang memang dari semenjak lahir sudah akrab dengan kata kerja ‘lapar’. Apakah rakyat mengenal lapar? Atau apakah pembeli mengenal lapar?

 

Sebagai pembeli, Dei pun berganti dari Tuhan menjadi Raja. Suara pembeli, suara Raja. Tak ada beda dengan adagium ‘pembeli adalah raja’. Dunia perdagangan mengenal transaksi, yang mengandung benih paradoksal rasa percaya sekaligus kelihaian tipudaya. Sebab, tidak ada produk nomor dua. Maka pembeli berfungsi ganda. Selain sebagai raja yang dipercaya, pembeli pun berfungsi sebagai raja yang diperdaya.

 

Bagi para pedagang, produk adalah keharusan. Kewajiban. Bahkan, kodrat! Menjual pun menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Antara memproduksi dan menawarkan merupakan matarantai tunggal yang harus terlaksana agar kehidupan perindustrian langgeng dan sentosa, terutama bagi para pengusaha dan selanjutnya bagi para pekerja. Tidak ada orang yang mau rugi, entah dia pengusaha atau kelas pekerja.

 

Ketika produk sudah disiapkan, hak membeli ada di tangan pembeli. Anehnya, mengapa produsen berjualan dengan gaya mesianistik. Makna yang sudah mengalami modifikasi dikembalikan kepada makna pra-modifikasi. Politik adalah kewajiban, keharusan, dan kodrat. Kali ini, para pedagang menjadi Tuhan, dan pembeli menjadi hamba. Ibarat televisi yang menyala selama 24 jam di depan penonton setia yang menyimak segala tayangan selama 24 jam pula. Tidak memilih bukan lagi berarti tidak membeli. Tidak memilih sekarang sudah berarti mengingkari kodrat! Bid’ah! Sesat!

 

Ketika Dei masih Tuhan, rakyat bisa saja memilih untuk mematikan televisi atau malah membanting televisi. Kalau sudah memutuskan demikian, Tuhan memang sudah siap merugi (tentunya kalau Tuhan punya pikiran untung-rugi). Tapi, Tuhan lebih senang memilih memadamkan televisi daripada membantingnya. Selanjutnya, Tuhan melakukan pekerjaan lain, misalnya membaca surat atau mendengarkan musik atau membaca buku. Apakah Tuhan rugi? Tentunya, rakyat yang merupakan pembeli punya kesibukan lain. Harapan, bukan hanya klaim dari pedagang. Para pembeli pun punya cerita unik tentang apa yang disebut cita-cita.

 

Telinga menjadi barang antik dalam kehidupan kontemporer. Tak jauh beda dengan mata. Keduanya, telinga dan mata, ornamen dari tubuh mahluk berdaging yang mengandung unsur-unsur supra-jasmani. Dengan melihat dan mendengar, makna bukan lagi tercipta dalam kategori ‘kebetulan’, melainkan sebab-akibat.

 

Selalu ada sejarah di dalam segala sesuatu. Tuhan menjadi pembeli karena ada sebab-akibat. Tuhan menjadi raja, juga karena ada sebab-akibat. Dei dibalik populi, tentunya pula punya latar sebab-akibat. Bisa jadi, makna sejarah harus kembali dipertanyakan. Apakah sejarah bermakna beku, kaku, dan baku, bahkan yang paling berbahaya: bisu. Mungkin demokrasi bisa berjalan lebih elegan dalam kebisuan. Mungkin, demokrasi bisa berjalan lebih mengagumkan di dalam keheningan. Di dalam hening, lebih banyak suara dan mata yang berbicara. Mungkinkah bisu sama dengan putih?

 

 dvd.tbg || 07.2008

 

Disaster Education, Preparedness, Planning and Mitigation Library

http://redcross.tallytown.com/educate.html

Tuesday, 22 July 2008

SUTRA CERITA


Jikalau engkau membaca tulisanku, barangkali engkau merasakan persamaan antara kisah yang aku ceritakan dengan pengalamanmu di alam kenyataan. Alammu yang di sana, yang jauh dari alam aku yang di sini, mungkin alam aku di dalam tulisan yang sedang sedang engkau baca ini. Aku jujur mengatakan, apa yang aku tulis murni hasil pikiran dan perkiraan aku sendiri. Apa yang aku maksud dengan ‘perkiraan’, mungkin itulah yang dikenal dengan orang-orang di alammu sana dengan sebutan imajinasi. Imajinasi, di alammu sana, sangat erat berkaitan dengan kata: kebebasan. Imajinasi adalah kebebasan. Aku pernah mendengar ungkapan begitu, ungkapan yang berasal dari alammu yang di sana. Aku tidak tahu pasti, ‘imajinasi adalah kebebasan’ apakah mengandung kedalaman atau malah kedangkalan. Aku kira, jawabannya ada di alammu sana.

* * *

Aku membayangkan sebuah negara, kehidupan orang banyak serta tipu daya yang bersahaja. Ah, ada pula cita-cita, barangkali upaya mencapai gemah ripah loh jinawi. Kertaraharja. Kaya raya lagi sejahtera. Ibarat gula dalam genangan darah. Orang banyak yang cenderung manut atau menuntut, pasrah dan bersedia untuk tak bicara. Para raja dan jawara menyibak tirai harta yang tak pernah nyata hanya dengan segerombolan kata-kata. Gula.

Dalam dongengan, suatu ketika adalah kewajaran. Kadangkala, bisa pula menjadi kekurangajaran. Begitulah yang terjadi di negara yang ada dalam bayanganku. Seorang bangsawan muncul menghamburkan gula-gula yang tak pernah diberikan para raja dan jawara. Menggunakan kendaraan angkasa, sang bangsawan menabur gula-gula ke dalam liur orang banyak yang menanti dan berlari-lari di padang rumput penuh debu. Orang banyak adalah dewata yang pasrah menjadi binatang. Makanan adalah gula. Para raja dan jawara hanya sibuk bersuara, menggoda hati para dewata. Ibarat doa yang diselipkan dalam lipatan rupiah.

* * *

Cukup. Aku tidak bisa melanjutkan tulisanku ini. Kalau memang makna lebih berharga dari kata, tentu selebihnya adalah kerja para pembaca. Aku tidak bisa menyelesaikan tulisanku karena aku melihat di dalam matamu ada banyak pertanyaan, bahkan jawaban. Apa yang aku maksud dengan ‘melihat’, itulah yang aku sebut dengan ‘perkiraan’.


dvd.tbg || 2008

Monday, 7 July 2008

Indonesia Property

http://winryproperty.blogspot.com

sangkar yang membumbung

ada rumah bersusun-susun
ada rumah tipe L4 (loe lagi loe lagi)
ada rumah yang disebut-sebut bersubsidi
ada rumah diatas gerobak
semua rumah adalah 'rumah' bagi penghuninya, sebuah sangkar yang aman dan nyaman. bagi  beberapa orang sangkar ini dibagi menjadin kamar tidur, kamar mandi i atau WC (Mandi Cuci Kakus) ruang makan, ruang keluarga, ruang tamu, garasi, gudang, teras, dapur dan pekarangan.

bagi tipe L4 semuanya jadi satu ruang, dengan sebuah pembatas 'hordeng'.
dan waktu malam, motor diparkir, kakak membuat pr, emak dan bapak berebut remote untuk acara tv, adik tidur di ayunan yang digantung di langit-langit, jadi satu ruang. menjelang pagi hordeng menjadi sekat karena emak dan bapak berusaha bersuara pelan walau ngos-ngosan.

Kebutuhan rumah susun atau rusun murah atau rumah murah di sejumlah kota besar, terutama di Jakarta, terus meningkat, maksud dari pembangunan rusun murah ini dalam teori lokasi adalah mendekatkan pekerja dengan lokasi kerjanya, sehingga rusun murah ini idealnya dibangun di tengah kota-downtown atau di sekitar lokasi industri. Maksud lainnya adalah menggeser kekumuhan kota secara bertahap.

Dua maksud ini akan berakibat pada (1)  permukiman kumuh secara bertahap mulai ditata, (2) kemacetan kendaraan pada rute ke dan dari Jakarta dapat teratasi, karena kepindahan para pekerja kerah biru dan kerah putih ke pusat kota.

Jika dilihat total kebutuhan rumah di Jakarta rata-rata 30.000 unit per tahun.
Pertumbuhan mobil di Indonesia rata-rata 500.000 unit per tahun. Sebanyak 70 persen di antaranya beroperasi di Jakarta dan sekitarnya. Namun, pertumbuhan jalan tidak mencapai satu persen.

Pemerintah memberikan subsidi kepada pengembang. Pengembang membuat rumah. Setelah itu 'pasar' berdaulat. Pemerintah selesai tugasnya. Pengembang mengambil untung.

Rumah murah L4 (22 meter persegi) disediakan untuk masyarakat berpenghasilan Rp 500.000-Rp. 1.500.000,-. Pengembang diwajibkan memberikan alokasi rumah 30% dari total rumah yang dibangunnya di suatu kawasan.

Rusun murah mulai dari 33 meter persegi  diperuntukkan bagi masyarakat  berpenghasilan  1,5 juta sampai  3 juta.  Bisa jadi lebih dari itu. Menengah ke atas mungkin berpenghasilan antara 3 juta sampai dengan 50 juta. (standar ukmk, pengusaha mikro adalah yang memiliki aset 10 juta, kecil 10-50 juta dan kecil menengah 50-500juta).

Ketika konsep ini ditawarkan ke 'pasar' maka datanglah pembeli-dengan adagium 'property is the best investment'-dan belanjalah para orang kaya (baca: pengasilan 50 juta ke atas untuk memiliki property-ada yang murni spekulan ada yang investasi untuk persiapan anaknya yang  sebentar  lagi  pisah rumah.  Rumah tipe L4 diborong 4 kapling berderetan. Rusun tipe 33 diborong 2 kapling berderetan. 6 bulan kemudian direnovasi. 2 kapling rss untuk rumah inti, 1 kapling untuk garasi, 1 kapling untuk taman dan pengembangan ke depan.

Rumah murah L4 (22 meter persegi) disediakan untuk masyarakat berpenghasilan Rp 500.000-Rp. 1.500.000, dengan mekanisme pasar menjadi 'rumah mewah bersubsidi', para superkaya tidak cukup puas untuk memiliki satu rumah, seperti mereka juga tidak puas dengan satu mobil, mereka juga penentang keras kenaikan harga BBM dan mencari-cari cara untuk mendapatkan BBM bersubsidi sehingga maksud pembangunan rumah menjadi tidak berarti. Seperti subsidi BBM yang gampang diakali.

Penduduk kumuh makin banyak cuma pindah tempat makin jauh dari pusat kota. Mobil makin banyak terparkir di pusat kota dan badan jalan (sebagian rusun bersubsidi memiliki fasilitas parkir yang minim karena asumsi pembelinya adalah orang yang hanya memiliki satu kendaraan atau tidak sama sekali). Kemacetan merajalela karena super kaya tidak super pintar dan terus protes atas pembangunan sistem transportasi massal macam transjakarta atau aturan 3 in one atau aturan lain yang membatasi pemakainan kendaraan pribadi. Pemerintah mensubsidi superkaya dengan membangun jalan, membangun rusun murah, dan berbagai kemudahan  fiskal-seolah-olah hanya mereka yang membayar pajak. Padahal supermiskin juga bayar pajak lewat pajak makanan ringan semisal Chiki  yang mereka beli untuk Balita mereka-atau listrik dan air yang juga tersubsidi oleh supermiskin.

Pemerintah membangun-selesai.
Pasar yang berdaulat.

Apakah mereka berselingkuh cuma Tuan yang tahu (baca menteri perumahan, menteri sosial, dan kesejahteraan rakyat).

Baiknya bagaimana-pemerintah mengontrol pembangunan dan penjualan rumah bersubsidi. Karena kata 'subsidi' tersebut otomatis mereduksi peran pasar (campur tangan pemerintah dalam pasar perumahan). Pemerintah seharusnya juga bertanggung jawab (campur tangan) dari pembangunan sampai dengan penempatan orang-orang (tenant-penghuni) rumah bersubsidi (sulit memang-tapi mungkin).

Nyatanya, gaji Rp. 3 juta sulit untuk mendapatkan apartemen bersubsidi atau rusun bersubsidi yang  1 tahun setelah dibangun bertebaran
spanduk makelar: disewa,  dijual cepat. Dengan harga sedikitnya dua kali lipat.

Hitung punya hitung untuk menjadi orang Jakarta yang bisa memiliki tempat tinggal di Jakarta membutuhkan pemasukan sedikitnya  Rp. 7.5 (3 kali biaya angsuran) jika tidak jangan harap bisa mendapatkan sangkar kecil, nyaman, dan aman.

Jika demikian dapatkan para superkaya pembeli rumah bersubsidi dikenakan sanksi seperti pembeli atau spekulan BBM bersubsidi?

widhy | sinau