Friday, 9 May 2008

Mengadu Sajak Binhad dengan Mesin Ketik

Mestinya Binhad Nurrohmad berterimakasih pada komputer. Karena nilai lebih komputer itu tidak dijumpai pada mesin ketik. Seandainya penyair Binhad menggunakan mesin ketik untuk sajak-sajaknya, bisa dibayangkan bagaimana dia harus menyediakan banyak waktu hanya untuk sebuah judul saja. Tanpa kehadiran komputer, dia takkan berani membilangkan puisinya ‘rata kanan’ dan puisi kalian ‘rata kiri’. Diakui memang posisi teknologi itu, mesin ketik juga demikian, sebagai media penunjang untuk terwujudnya kepentingan manusia agar dapat terlaksana. Bertolak dari antologi pertamanya (Kuda Ranjang) perbincangan ini bermula. Sebab berdirinya konstelasi penulisan sajaknya mestilah dihadapi dengan benar. Disamping menyinggung kediriannya maupun penawaran nilai yang terkandung di dalamnya.

Konstelasi itu bermula ditemukan secara tersirat tatkala si penyair pernah mondok di sebuah pesantren. Dalam dunia pesantren individu santri sudah seharusnya menguasai pembacaan maupun penulisan aksara arab. Karena dunia sudah mengetahui bahwa aksara arab atau arab melayu mestilah dimulaikan tulis dari kanan ke kiri pada lembaran kertas secara horisontal, maka berlaku pulalah pola penulisan yang demikian pada media lain di luar itu. Jika aksara tersebut ditulis dengan cara kebalikannya, siapakah yang menjamin bahwa hal itu bisa dilakukan? Kenaan pada pembicaraan ini siratannya adalah pemanfaatan teknis penulisan terhadap sebuah karya sajak. Aksara arab atau arab melayu sangat berbeda dengan aksara latin, begitupun terhadap cara penulisannya. Bahasa Indonesia merupakan salah satu contoh yang dekat dengan karakter dari aksara latin, berikut penulisannya.

Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional. Menjadi nasional karena bahasa tersebut secara konvensi yang mempersatukan komunikasi antar suku bangsa di kepulauan nusantara. Posisi bahasa tersebut begitu penting peranannya, dengan tidak menampik posisi bahasa lokal yang ada, para penyair di negeri ini menjadikannya sebagai media untuk menyatakan posisi dan pandangan terhadap suatu persoalan dalam karya sajak. Namun mempertemukannya dengan konstelasi penulisan sajak Binhad atas tempelannya dengan dunia santri, secara jelas memperlihatkan suatu hasil yang tidak memberikan suatu apa. Pengadopsian karakter aksara arab atau arab melayu dengan “Buakn sekedar kredo”-nya tidak juga menimbulkan lebihan arti. Hal itu tercermin dalam sajaknya yang berjudul “Berak” (hal.17) di antologi tersebut. Kalau diokonfrontasikan secara fisik sajak-sajaknya dengan sajak Sutardji Calzoum Bahri, Ibrahim Sattah, dan Ikranegara (ketiganya tidak berangkat dari landasan yang sama), jejak mereka yang tertangkap merupakan suatu penggalian bentuk terhadap kandungan isi. Karena kandungan isi adalah suatu tujuan, maka bentuk adalah kendaraan (transportasi) yang siap mengantarkannya ke sana. Terhadap sajak Binhad, walaupun dibalikkan menjadi rata kiri tidak menegaskan perubahan apa pun. Poin tersebut menjadi sikap pembicaraan ini yang pertama.

Hal lainnya adalah kedirian. Sang penyair mestinya jelas di setiap posisi persoalan apa pun itu. Aspek pengkaryaan suatu karya seni tetap membutuhkan kedirian dari si senimannya. Setiap persentuhan individu dengan kenyataan menimbulkan sebuah jejak dalam memorinya. Jejak tersebut membuka peluang arti tersendiri. Dengan melewati proses itu kemunculan sebuah nilai menjadi niscaya. Konfrontasi nilai dalam kenyataan dengan nilai yang terbentuk pada personal menjadi resiko yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bila demikian, kedirian si penyair pada aspek pengkaryaan menjadi kuat terasa. Persinggungannya dengan sajak Binhad ditilik dari pembahasan tadi, kedirian sang penyair hanya sampai sebatas jejak. Meskipun berpeluang memunculkan sebuah nilai, namun nilai itu terasa gagu. Gagu yang diakibatkan pada pengambilan resiko untuk berkonfrontasi ke luar, bukan ke dalam. ‘… / di mana kini kucari kecut keringat senggama / dan hitam jembutmu dulu?’ (sajak Akar, hal.116). Atau dapat juga disimak pada sajak “Alienasi” halaman 124, ‘… seperti arus dan percaya: mungkin tak singkat, kelak isyarat lain tertinggal di sebutir pasir.’ Di situ jelas tertangkap, di setiap sajak-sajak Binhad cuma ada aspek pembuktian tema belaka saja. Kedirian penyair tidak menjejak pada pembuktian tersebut.

Kalau diumpamakan, sebuah sajak itu laksana dua belah tangan yang terbuka. Dia tidak menampik ada posisi lain di luar dirinya untuk mengarahkan tempat padanya. Dia bertamu ke rumah-diri pembaca. Dan pembaca memerlukan suatu perkakas untuk menjamu tamunya. Tanpa perkakas, seorang pembaca bukanlah tuan rumah yang baik. Karena sajak mengandung suatu peristiwa dialog diri terhadap keruhanian selaku manusia, maka dengan menggunakan perkakas itulah di pembaca mungkin memberikan kejelasan nilai cakrawala tersebut, meskipun beragam penilaian itu. Satu hal yang ditekankan di sini ialah bila suatu perkakas telah mampu memberi kejelasan, bersamaan dengan itu pula perkakas lainnya dapat menggugurkan kejelasan itu. Saat peristiwa itu berlangsung sedikit demi sedikit, hijab dari dialog diri sang penyair akan tersingkap juga.

Pandangan sastra seorang Binhad dituntut dari sajak-sajaknya. Maka tak heran bila antologi Kuda Ranjang-nya serasa terseok-seok mengejar penyairnya untuk memperkosanya sekali lagi.

Sastra adalah sesuatu; dan sesuatu itu tidak menghamba pada siapa pun, terutama pada penulisnya; karena sastra menjadi sebelum sastra dituliskan. Keadaannya tidak pada nilai penawaran atau lebihan arti. Sesuatu yang labil, meloncat-loncat, dunia kaki yang memiliki kehendak untuk kesana-kemari. Kediriannya membikin antara. Dan kecenderungannya membuka kemungkinan untuk diletakkan di mana suka.

Penyair Binhad mesti berterimakasih pada komputer. Karena kelebihan komputer tidak ditemukan pada mesin ketik. Mengutip seorang teman, ‘predikat menjadi penyair bukanlah hasil dari lekatan suatu lembaga, institusi, kritikus dan semacamnya. Namun dilahirkan dari sajak itu sendiri.’ Saya sepakat dengan pernyataan itu, tapi dengan tambahan sedikit syarat pribadi dari saya. Wassalam.


Pondok Gede, 2008  


Wildan

No comments:

Post a Comment