Friday, 26 October 2007

silat di pembangunan



Kemiskinan di perdesaan lebih banyak disalah-artikan oleh para pengamat di luar desa. Pandangan orang luar ini terdistorsi oleh berbagai cara pandang. Kebanyakan pengamat salah
dalam menafsirkan  pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga kebanyakan orang desa terpesona dan mengiyakan apapun yang dibawa oleh orang luar. Terutama ide-ide pembangunan itu sendiri. Padahal orang desa kebanyakan tidak nyaman atas dominasi pengetahuan seperti itu. Untuk mengatasi kegagalan komunikasi seperti diatas maka perlu kiranya para pengamat memahami orang desa dengan belajar dari mereka. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyisihkan konsepsi awal dan prasangka (stereotipe), dan proyek besar rasionalisasi di otak kita. Dengan demikian kemiskinan di perdesaaan dapat dipahami sebagai sebuah kenyataan (yang belum tentu sama di setiap wilayah, dan belum tentu miskin!), bukan sebagai sebuah keterbelakangan dan kepapaan (dengan mengkomparasikannya pada kehidupan kota).

Jebakan kemiskinan seperti sebuah siklus antar generasi, yang dimulai dari ketiadaan akses sumberdaya, kerawanan, kelemahan fisik, kemiskinan, isolasi. Walaupun sebagian orang menganggap siklus ini sebagai lingkaran setan, karena sulitnya orang keluar dari jebakan kemiskinan ini, namun ada usaha untuk menterjemahkan siklus ini sebagai hubungan sebab-akibat dari sebuah relasi kekuasaan yang lebih luas dibandingkan persoalan kemiskinan di sebuah desa. Relasi kekuasaan itulah yang menyebabkan
kemiskinan terus betah berlama-lama, dan diwariskan antar generasi, seperti juga kekuasaan yang terus menerus betah di beberapa gelintir kelompok. Dalam bahasa politik-ekonomi terkini relasi kekuasaan seperti ini disebut pemerintahan netocracy. Dalam bahasa purba bisa juga disebut pornocracy mengingat begitu eksplisitnya dekadensi moral yang dipertontonkan para pelayan masyarakat itu. 

Pembangunan fisik seperti yang digembar-gemborkan selama ini memang teramat dibutuhkan untuk melepaskan diri dari keterisolasian.  Namun itupun harus berdasarkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, bukan pemodal yang selama ini menyertai dan mengarahkan konsep-konsep pembangunan. Karena ada tiga jebakan lain yang serta merta selalu ikut dalam setiap pembangunan, yaitu berkurangnya akses masyarakat terhadap sumberdaya, kerawanan kehidupan (pangan, sosial), hegemoni pengetahuan. Ketiga hal ini seperti
yang telah diungkap di paragraf pertama (salah tafsir, salah aksi) adalah pekerjaan rumah yang paling sulit, mengingat pengamat sebagai orang luar hampir selalu salah tafsir. Apalagi jika pembangunan cuma ditekankan pada nuansa politis (dalam bahasa asli indonesia politik =  berebut kuasa), yang cuma bermuara pada jargon dan janji, yang sekarang diwakili oleh jargon pro growth, pro job, dan pro poor.

Ada kiranya sebuah pepatah Cina, dapat dijadikan perenungan, ’dalam ranah seni tidak ada yang nomer satu, namun dalam ranah bela diri   tidak ada nomer dua’.  Apakah pembangunan itu sebuah pertarungan atau festival bersama yang diselenggarakan masyarakat, untuk
merayakan keberadabannya.

goodweed hunting

foto: kaki petani by pupunk

1 comment:

  1. Pendekatan pembangunan sangat materialistik. Sebagai ukuran, tentu saja materialistik bisa dipergunakan. Tapi, apakah ukuran itu hanya materialistik? Berusaha mendekati ukuran dengan variabel psikologis pun tak mudah pula. Sebab ornamen interior psikologis bergelut pada libido dan ketakutan (kalau tak salah gaya psikologi Freudian).
    Dalam masyarakat kontemporer sekarang ini, menurut saya, sangat sulit meraih universalitas kesejahteraan ideal yang berlaku bagi seluruh mahluk di jagat raya. Padahal, gagasan pembangunan justru menuju pada idealisasi peradaban. Paradoks. Kontemporer selalu menghasilkan gugatan atas yang mapan. Saya menduga ada korelasi dengan promosi demokrasi sebagai instrumen ideal pembentuk masyarakat yang ideal pula. Tapi, tampaknya demokrasi yang ujung-ujungnya beradu pada konsep menang-kalah ala silat dengan indikator dominasi jumlah pun tak ada akhirnya. Pada akhirnya, legalitas memang punya kekuatan lebih (Strong) tapi belum tentu punya kekuasaan lebih (Power). Jadi, ada beda antara kekuatan dan kekuasaan. Dalam perspektif Eropa, hanya muncul istilah power, yang bisa dijadikan kekuasaan dan kekuatan. Nah, kalau saya dengan dengan perangkat 'sok-tau' membedakan dua hal tersebut. Legalitas yang dihasilkan demokrasi punya kekuatan tapi tak punya kekuasaan. Singkatnya, peradaban yang dibangun masa dalam perspektif kekuatan, bukan kekuasaan. Kekuatan hanya mampu menekan/represif, tapi tidak bisa mematikan. Sedang kekuasaan, bisa mematikan.

    ReplyDelete