Wednesday, 31 October 2007

vanity ve

http://vehandojo.blogdrive.com

a writer's blog

http://clara-ng.blogdrive.com
Cinta adalah titik-titik hujan yang jatuh dari langit. Bunga bermekaran dan kupu-kupu menari-nari di sekelilingnya."

Suparto Brata

http://supartobrata.blogspot.com
ingin duniakan sastra jawa

KINOYSAN

http://kinoysan.multiply.com
Saya penulis profesional dan menggunakan nama pena Kinoysan. Nama asli Ari Wulandari saya gunakan saat menulis buku-buku anak. Saya menulis cerita pendek, cergam, novel, dan skenario. Kadang-kadang saya juga menulis puisi dan menerjemahkan.

KELUARGA PENGARANG

http://keluargapengarang.wordpress.com
Nama saya 'Gola Gong'. Saya bersama istri; Tias Tatanka dan para relawan mengelola pusat belajar bernama "Rumah Dunia" di Komplek Hegar Alam 40, Kampung Ciloang, Serang Banten. Saya penulis novel, skenario, wartawan tanpa surat kabar, dan Pemimpin Redaksi situs www.rumahdunia.net. Sehari-hari saya bekerja di RCTI Jakarta sebagai tim kreatif. Jika ingin membaca saya dalam versi bahasa Inggris, read me at www.golagong.com.

wufi

http://warungfiksi.wordpress.com
Warung Fiksi (Wufi) bergelut di bidang cerita fiksi. Situs ini BUKAN media kritik. Di sini hanya ada analisis apresiatif terhadap dunia perfiksian, informasi yang mendukung peneliti atau penulis fiksi Indonesia, dan cerita-cerita fiksi itu sendiri. Hak cipta setiap cerita dan tulisan terdapat pada penulis secara individu, demikian pula pertanggungjawaban isinya.

TV Lab Communications Indonesia

http://tvlab.blogspot.com

Tuesday, 30 October 2007

Komunitas Utan Kayu

http://www.utankayu.org
Komunitas Utan Kayu (KUK) terdiri dari Teater Utan Kayu, Galeri Lontar, dan Jurnal Kebudayaan Kalam – ketiganya bergerak di lapangan kesenian. Bila diperluas lagi, KUK juga meliputi lembaga-lembaga lain – Institut Studi Arus Informasi, Kantor berita Radio 68-H, dan, kemudian, Jaringan Islam Liberal.

Saturday, 27 October 2007

Common Ground News Service

http://www.commongroundnews.org
Mitra Kemanusiaan (CGNews-MK)
Bagi Hubungan Muslim-Barat yang Saling Asah, Asih, Asuh

Friday, 26 October 2007

silat di pembangunan



Kemiskinan di perdesaan lebih banyak disalah-artikan oleh para pengamat di luar desa. Pandangan orang luar ini terdistorsi oleh berbagai cara pandang. Kebanyakan pengamat salah
dalam menafsirkan  pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga kebanyakan orang desa terpesona dan mengiyakan apapun yang dibawa oleh orang luar. Terutama ide-ide pembangunan itu sendiri. Padahal orang desa kebanyakan tidak nyaman atas dominasi pengetahuan seperti itu. Untuk mengatasi kegagalan komunikasi seperti diatas maka perlu kiranya para pengamat memahami orang desa dengan belajar dari mereka. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyisihkan konsepsi awal dan prasangka (stereotipe), dan proyek besar rasionalisasi di otak kita. Dengan demikian kemiskinan di perdesaaan dapat dipahami sebagai sebuah kenyataan (yang belum tentu sama di setiap wilayah, dan belum tentu miskin!), bukan sebagai sebuah keterbelakangan dan kepapaan (dengan mengkomparasikannya pada kehidupan kota).

Jebakan kemiskinan seperti sebuah siklus antar generasi, yang dimulai dari ketiadaan akses sumberdaya, kerawanan, kelemahan fisik, kemiskinan, isolasi. Walaupun sebagian orang menganggap siklus ini sebagai lingkaran setan, karena sulitnya orang keluar dari jebakan kemiskinan ini, namun ada usaha untuk menterjemahkan siklus ini sebagai hubungan sebab-akibat dari sebuah relasi kekuasaan yang lebih luas dibandingkan persoalan kemiskinan di sebuah desa. Relasi kekuasaan itulah yang menyebabkan
kemiskinan terus betah berlama-lama, dan diwariskan antar generasi, seperti juga kekuasaan yang terus menerus betah di beberapa gelintir kelompok. Dalam bahasa politik-ekonomi terkini relasi kekuasaan seperti ini disebut pemerintahan netocracy. Dalam bahasa purba bisa juga disebut pornocracy mengingat begitu eksplisitnya dekadensi moral yang dipertontonkan para pelayan masyarakat itu. 

Pembangunan fisik seperti yang digembar-gemborkan selama ini memang teramat dibutuhkan untuk melepaskan diri dari keterisolasian.  Namun itupun harus berdasarkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, bukan pemodal yang selama ini menyertai dan mengarahkan konsep-konsep pembangunan. Karena ada tiga jebakan lain yang serta merta selalu ikut dalam setiap pembangunan, yaitu berkurangnya akses masyarakat terhadap sumberdaya, kerawanan kehidupan (pangan, sosial), hegemoni pengetahuan. Ketiga hal ini seperti
yang telah diungkap di paragraf pertama (salah tafsir, salah aksi) adalah pekerjaan rumah yang paling sulit, mengingat pengamat sebagai orang luar hampir selalu salah tafsir. Apalagi jika pembangunan cuma ditekankan pada nuansa politis (dalam bahasa asli indonesia politik =  berebut kuasa), yang cuma bermuara pada jargon dan janji, yang sekarang diwakili oleh jargon pro growth, pro job, dan pro poor.

Ada kiranya sebuah pepatah Cina, dapat dijadikan perenungan, ’dalam ranah seni tidak ada yang nomer satu, namun dalam ranah bela diri   tidak ada nomer dua’.  Apakah pembangunan itu sebuah pertarungan atau festival bersama yang diselenggarakan masyarakat, untuk
merayakan keberadabannya.

goodweed hunting

foto: kaki petani by pupunk

Thursday, 25 October 2007

tawa

Oleh Ayu Utami

Telah lama saya agak percaya. Puisi Indonesia telah jadi seperti agama. Serius, suci, dan tak suka tawa. Ada satu dua pembaharu, memang. Seperti si Joko atau si Joni.

Tapi sebatas mata memandang, warna dasar cakrawala puisi panggung adalah Rendra dan Tarji. Dan nada dasar puisi halaman adalah Goenawan atau Sapardi. Tak ada yang salah dengan sajaksajak mereka, yang lahir dari sebuah zaman represif yang kasat-mata, yang mengikuti sebuah zaman bergolak. Ialah, ”angkatan 66”, lanjutan ”angkatan 45”—meski saya sangat tak suka memakai istilah angkatan.

Periode itu adalah zaman ketika bahasa dianggap sangat serius. Chairil muncul ketika Bung Karno menaklukkan Indonesia dengan retorika.Rendra dkk lahir ketika kata-kata dianggap senjata—pandangan yang pada pemerintah menghasilkan sensor atas media massa dan pertunjukan puisi.Tak heran—meski saya tak suka konsep angkatan—suasana demikian melahirkan sajak-sajak yang dalam dan tak berjarak dari persoalan.

Apa maksudnya: dalam dan tak berjarak dari persoalan? Kira-kira seperti remaja yang pertama kali jatuh cinta dan patah hati: tak bisa menertawakan diri sendiri. Remaja itu mengira cinta pertama adalah abadi. Dan patah hati adalah akhir dunia.Tak ada yang salah dengan sajak-sajak mereka,sebab sajak-sajak mereka adalah sajak yang kuat.

Tapi ada yang tidak muncul dalam sajaksajak itu, yaitu tawa—sesuatu yang hanya bisa dilakukan jika manusia berhasil menjarakkan diri dari perasaannya. Yang nyaris tak ada pada mereka adalah humor dan ironi. Tentu sajak tak harus berhumor atau berironi.Tapi puisi yang dramatis atau deklamatis—dalam bentuk ekstrimnya: histeris—bukan satu-satunya pilihan. Yang liris dan melankolis juga bukan satu-satunya alternatif.Puisi bisa ironis. Ini,menariknya,belum mengarus utama di Indonesia.

Hanya sedikit sajak Indonesia yang mengadirkan humor dan ironi,di antaranya,ya,sajak si Joko Pinurbo dan Joni Aryadinata.Yang terbanyak adalah yang berdeklamasi.Apalagi kalau dibacakan para selebriti dengan bibir dan tangan bergetar. Saya melihat kontras yang menarik dengan para penyair muda Australia yang sempat saya temui.Saya menonton mereka di dua pesta sastra belakangan ini:Ubud Writers & Readers Festival,25–30 September, serta Bienal Sastra Utan Kayu, akhir Agustus lalu.

Ada tiga penyair Australia yang menakjubkan di atas panggung.Tiga-tiganya memiliki kemiripan: menguasai panggung, bervokal kuat,hafal puisi mereka luar kepala,dan sajak-sajak mereka menghadirkan humor dan ironi. Mereka juga terlibat dalam kelompok musik independen. Mereka bukan dari jenis puisi halaman buku. Mereka adalah jenis yang muncul dalam kompetisi poetry slam, ”bantingan puisi”.

Karya ketiganya termasuk juga dalam antologi dwibahasa Terra yang bulan lalu diluncurkan di Indonesia. Sam Wagan Watson adalah pemuda bertubuh subur berdarah campuran macam-macam.Kulitnya gelap,matanya hijau-coklat. Ia tampil di Bienal Sastra Utan Kayu dengan beberapa potong sajak pendek yang sangat menyentuh. Beberapa kalimatnya menghantui saya.

Ia mempermainkan kesamaan pengucapan ”terror”dan ”terra”.I’m a Frankenstein of a dreamtime, dari puisi yang berkisah tentang politik identitas pemerintah Australia, ia bacakan tidak dengan menghardik, melainkan dengan suara datar, besar seperti tubuhnya. Kita pun tahu ada yang tidak beres di bawah teks. Sean M Whelan hafal setiap kata sajaksajaknya, seperti seorang penyanyi.

Memang ia seorang pemusik dalam kelompok indie di Australia. Saya tanya bagaimana ia bisa menghafal seluruh sajaknya.”Seperti menghapal syair lagu,” katanya. Sajak datang bersama melodi, maka sajak menetap di kepalanya. Yang ketiga adalah Miles Merill,keturunan Afro-Amerika yang lahir di Chicago. Ia bisa membunyikan pelbagai suara. Angin, tekukur, dan entah bunyi apa itu.Pembacaannya selalu membuat penonton tertawa.

Saya bilang padanya, ”Mendengar Anda, tak bisa tidak, saya terhibur. Tapi, buat Anda pentingkah puisi menghibur atau membikin tawa?” Ia bercerita.Tapi pendek kata: tentu tidak harus.Tak harus sajak membikin pecah tawa.Yang penting puisi itu menguak. Saya catat bagaimana ia merumuskannya: ”Saya ingin melucuti orang dengan tawa.Setelah ia tak berdaya,baru kita pukul ulu hatinya.” Humor membuat kita terbuka. Setelah itu barulah serangan yang sesungguhnya.(*)

:: pondok arsip jokpin ::

http://www.matarindu.blogspot.com
Puisi Telah Memilihku
Puisi telah memilihku menjadi celah sunyi di antara baris-barisnya yang terang. Dimintanya aku tetap redup dan remang. (2007)

.:: Mengeja Sastra ::.

http://mengejasastra.blogspot.com

Wednesday, 10 October 2007

mengulang kelahiran?

Start:     Nov 1, '07 4:00p
End:     Nov 30, '07 10:00p
Location:     kedai sinau malang
kedai sinau berulang tahun ke-5
acara:
open house selama sebulan penuh: November
1. diskon buku di kedai sinau malang | jakarta | bogor
2. penerimaan naskah puisi dan novel debutan di kedai sinau malang | jakarta | bogor
3. launching stasiun ayat-ayat majalah sastra di kedai sinau jakarta

percakapan selintas menjelang mudik lebaran dalam sebuah dunia, tepatnya di Yahoo Messenger, yang bagiku adalah Yahoo Messiah

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Action & Adventure
ding juga (buzz di alam aslinya)

BUZZ!!!
8:14 PM
selamat malam pak

nt dimana?

di jakarta

di rumahkah?

yap, di rumah. mungkin lebaran ke bogor, hari ke-dua
8:51 PM
mertua ada di bogor

emang di bogornya dimana?

di taman yasmin, rumah abangnya yuyun

aku hari kedua dini hari ke bandung

eh selamat jalan. sampai ketemu benny and mice ya, salam

Aku kayaknya nggak bakalan ketemu mereka. mereka jail. met lebaran pertama bareng keluarga, bareng mertua, bareng keluarga besar

oceh deh. salam juga buat keluarga besar. he he he gak kebayang ada obrolan diantara kita tentang anak dan rumah tangga. live forever or die young (motto dulu) sekarang ...

ha...ha...ha.... dunia tambah tua dan lu pun kebawa tua jadinya. sampai ketemu tgl 18. jaga anak bini.

Lebaran: dari bahasa jawa artinya bertambah lapang. Hati yang bertambah lapang. Dengan cara memaafkan.
Iedul Fitri di daerah Jawa juga dikenal dengan Sugeng Riyadi (pernah punya kawan bernama sama, ia tentu lahir di hari iedul fitri) selamat hari raya. Kenapa hari raya. Karena telah berpuasa. Dengan tujuan memaafkan.
Siapa yang dimaafkan? Bagiku adalah diri sendiri. Diri yang kelewat jumawa. Padahal tempat berkubang salah dan lupa. Puasa yang dilakukan satu bulan penuh adalah untuk melihat lebih dalam tentang interior diri sendiri. Maka puasa sama sekali bukan sebuah tampilan apalagi performance atau pertunjukkan. Puasa juga tidak perlu dijaga. Karena itu tidak berguna. Puasa untuk diri sendiri. Bukan orang lain. Motifnya adalah transenden. Absolut transenden. Vertical unlimit. Dan maaf demikian pula halnya. Dalam keluasan dan kedalaman yang tak berhingga.

Lebaran jangan pula membuat batas baru. Karena batas-batas tersebut sesungguhnya buatan manusia. Selamat!

Selamat merenovasi interior anda. Semoga semakin banyak ruang untuk yang lain disana. Jangan takut sesak atau terdesak. Shalom, Shanty, Salam. Piss kata Slank!





OPERATOR SELULER DAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

OPERATOR SELULER DAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL:
MEMBANGUN KARAKTER OPERATOR SELULER
SEBAGAI AGEN PEMBANGUNAN BANGSA



Latar Belakang
    Dalam khasanah ilmu sosial, dikenal konsep agen sosial. Yang dimaksud dengan ‘agen sosial’ itu ialah individu atau kelompok sosial yang sadar akan interaksi dirinya dengan dunia sosialnya, dan kemudian secara sadar bertindak secara tertentu agar konsekuensi yang diinginkannya bisa tercipta. Konsep ‘agen sosial’ ini dihadirkan sebagai pembeda dari individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang tak sadar dan tak memahami kaitan antara tindakannya dengan konsekuensinya terhadap dunia sosial. Golongan yang kedua ini tak sadar betapa setiap tindakannya senantiasa memiliki dampak atau konsekuensi terhadap dunia sosialnya, dan dengan demikian tak sadar akan kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial yang tertentu. Karena lupa akan kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial itu, maka kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial menjadi tak berkembang, menjadi kerdil. Sementara ‘agen sosial’, karena sadar akan kemampuannya untuk turut mempengaruhi berlangsungnya proses sosial, maka secara sadar pula dia akan terus-menerus mengembangkan kemampuannya untuk bisa semakin efektif membentuk dunia sosial seperti yang diinginkannya. Karena kemampuan yang semakin efektif itu selalu menciptakan karakter diri yang kuat, maka otomatis ‘agen sosial’ selalu punya karakter pribadi dan kerja yang kuat. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa yang maju selalu terdiri atas individu-individu maupun lembaga-lembaga yang punya karakter kuat. Termasuk lembaga-lembaga usahanya. Karakter yang kuat ini menjadikan bangsa-bangsa yang maju bisa tumbuh menjadi bangsa yang digerakkan oleh sedemikian berlimpah agen-agen sosial yang terus-menerus secara sinergis membangun dunia sosialnya. Mereka sadar bahwa keruntuhan sosial-ekonomi masyarakat adalah juga keruntuhan sosial-ekonomi seluruh bagian di dalamnya, termasuk unsur dunia usaha. Sebaliknya, kemajuan sosial-ekonomi masyarakat akan juga berarti kemajuan dari seluruh bagiannya, termasuk dunia usaha. Tak ada dunia usaha yang bisa lestari berdiri jika daya beli masyarakatnya terus merosot.
    Hukum sosial yang sama juga berlaku di seluruh dunia. Bangsa yang besar selalu berisikan agen-agen sosial yang dinamis dan sinergis, sementara bangsa-bangsa yang terbelakang selalu berisikan individu dan kelompok sosial yang saling parasit dan menghambat satu sama lain. Pertanyaannya ialah: termasuk bangsa yang manakah bangsa Indonesia?
    Dalam proses pembangunan sekian lama, tak bisa diingkari masih ada  persoalan pembangunan di negeri ini. Di antaranya ialah masih adanya daerah-daerah tertinggal, yang jika dibandingkan dengan dinamika kehidupan kota-kota besar, seolah-olah tertinggal sekian puluh tahun jaraknya. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) sendiri menggunakan enam kriteria untuk mengukur ketertinggalan suatu daerah (kabupaten) dengan daerah lain, yaitu kondisi ekonomi, sosial masyarakat, infrastruktur, keuangan, pemerintahan, dan geografis wilayah. Dari kriteria tersebut digunakan indikator-indikator kemiskinan, indeks pembangunan manusia, infrastruktur, celah fiskal, aksesibilitas, dan karakteristik wilayah. Berdasarkan kriteria dan indikator di atas, KPDT menetapkan 199 kabupaten yang tergolong tertinggal di 31 provinsi. Penyebaran daerah tertinggal terutama masih di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebanyak 123 kabupaten (62%), Sumatra 58 kabupaten (29%), dan Jawa Bali 18 kabupaten (9%).
    Aspek infrastruktur sendiri meliputi di antaranya ketersediaan jalan, alat komunikasi, pasar, listrik, perbankan dan sebagainya. Dengan kata lain, daerah-daerah tertinggal adalah daerah yang menghadapi permasalahan di bidang ketersediaan infrastruktur. Salah satu infrastruktur yang vital bagi dinamika pembangunan ekonomi di daerah tentu saja ialah jaringan telekomunikasi. Jika hubungan komunikasi antara daerah tersebut dengan daerah lain begitu sulit, bagaimana mungkin pengusaha-pengusaha dari luar daerah akan tertarik untuk berbisnis di daerah tersebut? Selain itu, jika hubungan komunikasi begitu sulit, bagaimana mungkin wawasan dan aktivitas masyarakat di daerah tersebut akan bisa dinamis dan berkembang?
    Di era dimana aktivitas ekonomi telah begitu menyatukan berbagai ruang dan waktu, daerah-daerah tertinggal seperti ketinggalan kereta. Hanya tergagap dan menjadi penonton pasif dari arus ekonomi yang luas. Berharap menunggu tetesan kue ekonomi. Situasi ini tentu tak sehat bagi kemajuan ekonomi bangsa secara keseluruhan. Kesenjangan yang begitu besar akan mudah melahirkan begitu banyak problem sosial dan ekonomi. Bahkan politik dan keamanan. Karena itu, sudah saatnya situasi ini diubah.
    Membangun ketersediaan jaringan telekomunikasi merupakan salah satu kerja yang bisa dilakukan untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal. Di sinilah peran operator seluler sebagai penyedia jasa layanan komunikasi seluler sangat vital. Tulisan ini akan membahas secara garis besar strategi apa yang bisa dilakukan oleh operator seluler dalam perannya sebagai agen sosial dalam pembangunan bangsa, terutama dalam hal percepatan pembangunan daerah tertinggal. Selain strategi, juga dirumuskan filosofi apa yang mungkin bisa diadopsi oleh operator seluler dalam menjalankan perannya sebagai agen pembangunan bangsa.    

Filosofi dan Strategi Operator Seluler dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal    
    “Bambang Riyadhi Oemar, Ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), mengatakan sampai akhir Maret 2007 pengguna ponsel di Indonesia telah mencapai 75 juta. Hal ini, ujarnya, adalah peningkatan dari perhitungan terakhir di 2006 yang mencapai 70 juta,” demikian isi berita di situs Detikinet.com Rabu 27 Juni 2007. Jumlah itu sungguh luar biasa besar. Apa yang bisa kita tangkap dari besarnya jumlah pengguna ponsel itu, terutama jika dikaitkan dengan proses pembangunan ekonomi bangsa, dan terutama dengan proses pembangunan daerah tertinggal?
    Dalam iklim ekonomi yang sedemikian cepat dan dinamis ini, penggunaan sarana komunikasi yang memungkinkan orang saling berhubungan secara cepat dan mobile sungguh amat vital. Telepon seluler bukan saja memungkinkan orang untuk bisa berkomunikasi secara cepat dan mobile, namun juga bisa terus-menerus memonitor, bahkan mengontrol usahanya dari manapun dan kapan pun. Ruang kantor dan waktu kerja tiba-tiba saja meluas. Tak terbatas dinding gedung kantor maupun jam kerja kantor. Kekuatan yang dimiliki oleh penggunaan telepon seluler sungguh mengagumkan, sehingga siapapun yang berusaha berbisnis dengan meninggalkan telepon seluler akan dengan perlahan atau cepat akan kalah bersaing dengan pesaing-pesaingnya yang menggunakan fasilitas telepon seluler. Mengapa? Karena orang semakin tak sabar untuk menunggu. Orang semakin membutuhkan layanan yang cepat dan mungkin setiap saat. Bisnis berbasis kantor dan jam kerja yang konvensional, kini telah bergeser ke arah bisnis berbasis komunikasi yang mobile dan 24 jam. Meski ini tidak berarti bahwa bisnis berbasis kantor dan jam kerja kemudian akan lenyap, namun kekuatan bisnis saat ini tidaklah terutama terletak pada kestatisannya, namun pada kedinamisannya. Pada unsur mobile dan layanan tiada hentinya. Mereka yang mengandalkan kekuatannya pada kantor dan jam kerja, akan dengan segera kalah bersaing merebut konsumen-konsumen baru, dan bahkan mungkin akan ditinggalkan oleh konsumen-konsumen lamanya jika tak segera memutakhirkan basis kerjanya. Inilah dampak budaya berbisnis yang diciptakan oleh telepon seluler. Sebuah dampak yang bukan hanya mengubah budaya kerja, namun juga menentukan nasib sebuah usaha.
    Dengan memahami dampak teknologi terhadap budaya bisnis dan konsekuensi ekonominya, maka kita akan bisa memahami mengapa daerah tertinggal yang tidak memiliki ketersediaan fasilitas komunikasi seluler sungguh merana ekonominya. Bahkan, usaha-usaha yang sejak lama berdiri pun bisa runtuh dengan cepat saat gagal mengintegrasikan diri dengan budaya bisnis yang baru, yang berbasis komunikasi seluler.       
    Ada 75 juta pengguna ponsel di negeri ini. Anggap saja 1%-nya adalah pebisnis, jadi ada sekitar 7,5 juta pebisnis yang menjalankan usahanya berbasis komunikasi seluler. Namun, bagaimana dengan sekian banyak pengusaha lain, terutama di daerah-daerah yang masih belum tersedia fasilitas komunikasi selulernya, atau setidaknya fasilitas komunikasi selulernya masih buruk kualitasnya? Kekalahan maupun ketakberkembangnya bisnis dan ekonomi di daerah-daerah tertinggal bisa dikatakan merupakan konsekuensi salah satunya dari ketiadaan fasilitas komunikasi seluler yang memadai.
    Dalam konteks inilah, peran operator seluler sungguh amat penting. Peran operator seluler sesungguhnya tidaklah sekedar pasif dalam artian hanya sekedar memberikan jasa layanan komunikasi seluler kepada pengguna telepon seluler, namun juga bersifat aktif-konstruktif karena seperti yang telah dijelaskan di atas, teknologi seluler telah turut mengubah budaya bisnis dan nasib ekonomi yang ada. Kemampuan operator seluler untuk turut membentuk budaya bisnis yang mobile itulah yang sungguh bernilai. Pembangunan ekonomi daerah tertinggal tak akan berhasil manakala budaya bisnis yang ada tak adaptif dengan kompleksitas dan dinamika bisnis lokal, regional bahkan global. Hanya ketika budaya bisnis berubah mengikuti irama dunia bisnis yang lebih luas, ada harapan cerah bahwa suatu daerah akan dengan cepat terintegrasi dengan arus ekonomi dan bisnis yang lebih luas dan dengan demikian mampu mencapai taraf kemakmuran dan kesejahteraan seperti yang dicitakan. Peran konstruktif dalam membangun budaya bisnis inilah yang dimiliki oleh operator seluler, dan kemampuan konstruktif ini pula yang patut menjadi filosofi dasar dari operator seluler dalam turut membangun daerah tertinggal.
    Selama ini secara sadar atau tak sadar, sengaja atau tak sengaja, operator seluler telah turut membantu kemajuan proses pembangunan budaya bisnis yang baru di negeri ini. Bahkan, operator-operator seluler juga telah menunjukkan kepeduliannya pada pembangunan masyarakat lewat program-program corporate social responsibility (CSR). Hanya saja, program-program CSR itu seringkali terkesan lebih bersifat kuratif sebagai penyeimbang dari aktivitas bisnis perusahaan. Dengan kata lain, seolah-olah ada dua aktivitas yang punya tujuan masing-masing. Satunya bertujuan mencari laba, sementara yang lain untuk membagikan sebagian laba tersebut. Meski hal tersebut patut dipuji, namun sesungguhnya antara CSR dan aktivitas bisnis tak perlu dipahami sebagai sesuatu yang berjalan di lajurnya masing-masing jika kita memahami kekuatan konstruktif yang dimiliki oleh operator-operator seluler dalam membangun budaya bisnis dan ekonomi bangsa. Manakala filosofi “Turut Membangun Budaya Bisnis dan Ekonomi Bangsa Ke Arah Kemajuannya” telah disadari dan diadopsi, maka tak akan ada kesan keterpisahan di antara aktivitas mencari laba dan aktivitas sosial. Filosofi tersebut memahami bahwa pencarian laba yang benar ialah yang turut membangun kemajuan dan kekuatan bisnis dan ekonomi bangsa yang hebat, dan sekaligus pembangunan sosial hanya akan bisa dicapai secara sejati lewat profesionalisme usaha dan kerja.
    Filosofi itu pula yang ada baiknya menjadi filosofi operator seluler dalam turut membangun percepatan kemajuan daerah tertinggal. Dengan filosofi tersebut, operator seluler akan bisa melihat bahwa aktivitasnya turut membangun daerah tertinggal sesungguhnya bukan merupakan aktivitas kuratif, namun merupakan investasi. Tentu dengan syarat bahwa pihak operator seluler paham bahwa jika kehidupan bisnis dan ekonomi di daerah tertinggal tersebut berkembang, maka siapa pula yang akan menikmati pertambahan pelanggan bisnis baru? Investasi yang dijalankan dengan strategi yang benar, niscaya akan menghasilkan buah bagi penanamnya.
    Bagaimana strateginya?
    Secara sederhana, strateginya meliputi 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Strategi penyediaan dan penyempurnaan BTS. Strategi ini jelas bersifat teknis, namun amat penting demi kepuasan dan kenyamanan pelanggan di daerah tertinggal. Bagaimana mungkin pelanggan akan senang jika setiap kali sinyal yang didapatnya putus-putus? Menciptakan pelanggan yang loyal memang penting, namun lebih penting lagi untuk menciptakan pelanggan yang advokatif. Pelanggan yang loyal barangkali memang puas, namun cukup sekedar puas. Sementara pelanggan yang advokatif bukan hanya puas, namun menyebarluaskan kepuasannya itu ke sekelilingnya, dan dengan demikian turut mempromosikan operator seluler yang dianggapnya memuaskan. Pelanggan advokatif ini akan tercipta manakala kualitas hubungan seluler yang didapatnya begitu unggul sehingga mendorongnya ingin orang lain mengikuti jejaknya menggunakan operator seluler yang sama. Penyediaan dan penyempurnaan BTS merupakan salah satu cara terbaik untuk menciptakan pelanggan-pelanggan yang advokatif. Jadi, dengan strategi pertama ini, pelanggan punya insentif untuk mengadopsi budaya bisnis baru, di sisi lain operator seluler bisa menjaring pelanggan-pelanggan baru, yang seiring dengan kemajuan ekonomi daerah, akan semakin membesar jumlahnya. Kedua pihak sama-sama senang.
2. Strategi pengayaan layanan pelanggan. Pelanggan advokatif juga bisa diciptakan dengan cara penyediaan layanan pelanggan yang bermutu dan simpatik. Sikap responsif dan komunikatif, apalagi terhadap kebutuhan kalangan pebisnis dari daerah-daerah tertinggal, sungguh amat bernilai artinya guna menciptakan pelanggan yang advokatif. Usulan, kritik maupun pengaduan dari pelanggan haruslah menjadi alat evaluasi yang berguna untuk semakin menyempurnakan diri menjadi perusahaan yang lebih efektif dan komunikatif. Sikap komunikatif dan bersahabat ini akan bisa menjadi insentif lain bagi pelanggan untuk semakin mantap berbisnis dengan mengandalkan kepercayaan dukungan dari pihak operator seluler.  
3. Strategi pembangunan kemasyarakatan. Karena membangun budaya bisnis dan ekonomi daerah tertinggal itu bukan saja harus diarahkan pada kalangan pengusaha saja, namun pada seluruh lapisan masyarakat sebagai bagian dari mata rantai ekonomi, maka strategi pembangunan kemasyarakatan sangatlah penting juga artinya. Budaya bisnis dan ekonomi yang maju didasarkan pada kualitas-kualitas kecerdasan dan kreativitas. Karena itulah, pihak operator seluler juga perlu turut serta berpartisipasi membangun tradisi berprestasi dan kreatif dari seluruh lapisan masyarakat di daerah tertinggal, terutama kalangan generasi muda. Ketika kualitas kecerdasan dan kreativitas masyarakat daerah berkembang, kualitas kecerdasan dan kreatif itu juga akan merembes ke dalam aktivitas berekonomi mereka, termasuk dalam aktivitas konsumsi. Ketika aktivitas berekonomi semakin cerdas dan kreatif, maka aktivitas itu akan berlangsung dinamis dan progresif. Kebutuhan-kebutuhan baru akan muncul. Agar kebutuhan-kebutuhan baru ini bisa terpenuhi, maka dibutuhkan alat komunikasi untuk bisa berhubungan dengan peyedia-penyedia kebutuhan baru tersebut. Komunikasi seluler jelas jadi pilihan utamanya karena sifatnya yang mobile dan praktis. Jadi, secara tak langsung muncullah kebutuhan komunikasi baru di masyarakat daerah tertinggal. Lagi-lagi, baik pihak masyarakat daerah tertinggal maupun pihak operator seluler senang.        

Penutup
    Tentu saja, kenyataan tak semudah dan seindah gagasan. Namun, membangun daerah tertinggal sekaligus meletakkan dasar kelestarian bisnis perusahaan operator seluler bukanlah suatu hal yang tak mungkin diwujudkan. Keduanya bahkan harus selalu berjalan sinergis satu sama lain. Perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju telah lama memahami hal ini dengan membangun masyarakat dan bangsanya, lantas mengapa kita tak mulai meneladaninya?

Eko Prasetyo Dharmawan

Friday, 5 October 2007

NOTULENSI FRAGMEN DOKUMENTA 12 DARI GOETHE

 

Enin     : Bode, seniman yang juga penggagas Dokumenta merumuskan Dokumenta sebagai exhibition without form.

 

FX Harsono    : Ada tiga landasan kuratorial (leiftmotifs) Dokumenta 12, 1) Apakah modernitas adalah masa lalu kita?, 2) Apakah masih ada keutamaan hidup setelah hedonisme mendominasi tata nilai kehidupan? Dimanakah seni dalam soal ini?, 3) Apakah pendidikan seni dan estetika sudah mampu memecahkan segala permasalahan dalam kehidupan kita?

 

FX Harsono    : Setelah mengunjungi pameran Dokumenta 12, pertanyaan itu malah tak terjawab, atau bisa dibilang malah terlupa.

 

Enin     : 1) Modernitas memang ada disekitar kita. Permadani, karya seniman permadani, memasukkan modernitas dalam karyanya. Karya permadani yang biasanya berisi hiasan ornament geometrik berubah menjadi lukisan taman. Memang, di pameran Dokumenta tak ada bentuk. Instalasi Relax Only Ghost yang digabung dengan permadani menggambarkan keterpecahan konsep dalam satu ruang pameran. Bahkan, karya lukis abad renaisans pun digabungkan dengan kanvas lukis era modern. 2) Hedonisme lahir dari demokrasi yang membawa kebebasan dan kemanusiaan sebagai nilai paling dasar. 3) Formulasi sederhana pertanyaan itu adalah: apakah demokrasi sebagai sistem nilai masih relevan? Bukankah hedonisme yang merupakan anak kandung demokrasi menampilkan sisi buruknya? Kira-kira begitulah.

 

FX Harsono    : Memang tak mudah.

 

David Tobing : Bode sebagai penggagas memang cerdas. Exhibition without border! Aku pikir Bode sadar, bentuk dan isi tak bisa dilepas hidup sendiri-sendiri. Setiap seniman pastilah tahu pergulatannya tak lepas dari bentuk dan isi. Dominasi sejarah seni didominasi sejarah perubahan bentuk. Aku pikir inilah yang dasar pikiran Bode, seorang seniman yang kehidupan kreatifitasnya tak bisa pisah dari upaya pengolahan abstraksi-kesadaran (baca: isi) menjadi produk (baca: bentuk). 1) Modernitas memang masih mendefenisikan dirinya. Tak seperti tradisional yang sudah mapan sebagai nilai dan sedang asik-asiknya digugat sistem nilai peradaban kini semisal post-moderisme, feminisme dan lainnya. Bicara ‘Jawa’ sudah masuk konteks tradisional. Sedang ngomong ‘Indonesia’ belum tentu dianggap modern pun ketinggalan zaman. Tradisional dan modern, ternyata nilai yang dilekatkan manusia pada suatu hal. Dan perlu diingat, pelekatan nilai tradisional atau modern pada suatu hal tidaklah berarti menyatakan suatu hal tersebut baik atau buruk. Tradisional dan modern sebagai nilai memang tidak berhubungan langsung dengan baik atau buruk yang juga merupakan sistem nilai. Karena itu, setelah suatu hal diberi nilai (dalam bahasa kecaman bisa juga dikatakan: pelabelan/stereotip) tradisional atau modern, suatu hal tersebut masih harus menjalani serangkaian perenungan lagi yang mengakibat subjek perenung dengan penuh kesadaran dan keikhlasan memberi nilai baik atau buruk. 2) Enin bilang : pertanyaan aslinya dari landasan kuratorial kedua adalah apakah yang dimaksud dengan kehidupan sederhana? Ini sesungguhnya pertanyaan yang tradisional. Cara berpikir tradisional, contohnya Jawa, sangat lekat dengan masalah itu. Irup mampir ngombe misalnya merupakan representasi dari konsep kesederhanaan yang luas luar biasa. Konsep semacam itu tentunya tak mengenal istilah ‘menguasai alam’. Sejak zaman pencerahan hadir di Bumi dengan keagungan rasionalitasnya, manusia memandang alam sudah tak lagi sebagai kekuatan besar yang tak terkendalikan. Laku sub-ordinasi alam terhadap manusia hilang. Manusia adalah super-ordinat alam. Manusia bisa berbuat sesuka apa saja pada alam. [Aku merasa bule-bule di luar sana malah tak mengerti apa itu tradisional. Bentuk konkrit tradisional di tanah bule-bule sana tak ada, tak seperti di Indonesia, bila kita masuk ke Yogyakarta masih bisa melihat orang pakai blangkon dan berkebaya jalan-jalan di Malioboro. Bahkan saya pernah jumpa nenek tua berbusana kebaya menjadi sales promotion girl di salah satu pusat perbelanjaan di Malioboro. Nenek itu berdiri di pintu masuk toko! Konkritisasi tradisional tidak ditemukan di tanah bule-bule. Karena itu, bule-bule pun merumuskan pertanyaan: apakah hidup sederhana, yang lahir sebagai antitesis dari norma hedonisme yang marak menyala di tanah bule-bule.] 3) Enin ngomong apakah demokrasi bisa menawarkan sistem nilai ideal? Tentunya, belum tentu! Tapi sebelum aku jabarkan penjelasan terkait problem begitu, aku terpikat pada proposisi implisit penyetaraan demokrasi dengan sistem nilai. Penyetaraan itu berarti memandang demokrasi sebagai kebudayaan, tepatnya produk kebudayaan. Ini luar biasa! Demokrasi sebagai kebudayaan menawarkan dua hal utama, kemanusiaan dan kebebasan. Padahal bila dilihat secara politis belaka, demokrasi tak lain dari pertarungan merebut kekuasaan yang dilengkapi dengan segala macam prosedur seperti pemilihan umum. Aku berpikir, memang demokrasi sebagai sistem nilai bagi peradaban kini masih menghadapi ujian. Misal saja di Myanmar. Junta yang mundur-mundur meski rakyat sudah unjuk rasa mati-mati [bahkan biksu sebagai pengusung nilai-nilai keagamaan pun turun tangan untuk membantu demokasi hidup membangun sistem nilai demokrasi sendiri]. Memang, ada juga yang menyangkut-pautkan India, Cina, dan satu negara lainnya yang aku lupa dalam persoalan pelik gejolak Myanmar. Pendekatan pemikiran dengan melihat tiga negara tersebut justru menimbulkan konflik sendiri di dalam pengembangan demokrasi. Lewat tiga negara, persoalan Myanmar jatuh pada ekonomi. Artinya, ada sistem nilai lain dalam kehidupan yang harus diperhatikan. Sebenarnya, lewat pengejawantahan ini, persoalannya bukanlah lagi demokrasi sebagai sistem nilai masih layak atau tidak, melainkan: bagaimana sesungguhnya menata keselarasan antar segala macam nilai yang ada, demokrasi, ekonomi, agama, Ketuhanan, bahkan militerisme. Produk sampingan lain dari penjabaran pemikiran yang bertolak dari gejolak Myanmar mengarahkan saya pada kesimpulan: demokrasi bukanlah pertanda beradabnya suatu bangsa. Kecuali Cina, penganut komunisme yang berarti otoriter, India dan negara satunya tak angkat suara memecahkan kebuntuan gejolak Myanmar. Padahal sistem pemerintahan di India memilih demokrasi sebagai sistemnya. Ada perwakilan rakyat, ada eksekutif dan ada pula yudikatif. Petanda ini membawa saya pada dugaan bahwa demokrasi masih sebatas pertarungan kekuasaan. Demokrasi belum menjadi kebudayaan. Kemanusiaan dan kebebasan yang menjadi inti terdalam demokrasi tidak mengalir di dalam pembuluh darah di dua negara itu.      

 

Notulen : Ada juga yang mempermasalahkan kok tidak ada satu pun seniman Indonesia di ajang Dokumenta 12. Informasi saja, Dokumenta 12 menghadirkan 500 karya lebih dari 122 seniman di seantero muka Bumi. Seorang yang ada disamping saya berkata, pertanyaan seperti punya kecenderungan narsis. Tiba-tiba muka seorang yang berkata pada saya pucat pasi. “Narsis. Narsis. Ra-sis!” kata dia mendesis di telinga saya. Dia bilang, narsis punya kedekatan emosional dengan rasis lewat pertanyaan ‘kok tidak ada satu pun seniman Indonesia di ajang dunia Dokumenta?’ “Ra-sis-so-nal-lis-me.” Dia mendesis seperti ular di telinga saya. “Nas-sis-si-o-nal-lisme.” Itulah desisan terakhir yang dia di telinga saya. Dia diam sejenak sambil memijat-mijat keningnya, memukul-mukul tengkuk dan ubun-ubun kepala, menunduk bahkan sampai mengantuk-ngantukkan kepala ke tembok batu. “Apakah rasis juga seperti demokrasi? Sama-sama kebudayaan?” katanya di depan muka saya. Saya pun melihat pesawat supersonic, Sputnik, Challengger, Apollo, Pertamina, Petroleum, Menara Eiffel, Monas, The Thinker, Guernica, M-16, rudal Patriot, Jupiter, sarung tinju, televisi, telepon genggam, satelit Palapa, Telkomsel, CNN, Nike, blangkon, merah, pemilu 2009, laser, bom atom, Einstein, gravitasi, emas, kereta api, asap knalpot, jalan aspal, harimau, lampu merah, undang-undang, joglo, Menara BNI ’46, menhir, Pulau Paskah, huruf paku, Piramida, senat, Plato, situs internet, konferensi pers Presiden, bendera, baju mini, sepatu karet, kolam renang, pohon pinus, Gunung Kelud, gempa bumi, tsunami, sumbangan kemanusiaan, kecelakaan lalu lintas, kamar jenazah, Hotel Sultan, White House, Paus Johanes Paulus II, Chairil Anwar, Lelaki Tua dan Laut, Samudera Hindia, kuburan Jeruk Purut, Tongging, Bali, Piala Dunia, Fransesco Totti, gitar elektrik, gambus, B.B King, This Is England, Catfish Blues, boneka kayu, kapak batu, rumah panggung, perahu, kapal selam, kuda nil, mammoth, piano, garpu tala, piring makan, lampu hias, kemeja, serbet, kaos kaki, Phitecantropus, filantropi, api, es, bir Bintang, kecoak, ladam kuda, cermin, di muka dia.     

 

[DeiF-FeiL]