Monday, 17 September 2007

bebatuan, pasir dan buih

hanya bukit-bukit percakapan yang tidak bisa bertambah tinggi. rasa ampang kopi nomer satu. dan seseorang atau lebih tepatnya sebuah suku yang keras, terhampar dan semakin  misteri. dengan rupa malam, pesisir ini semakin gelap. menyembunyikan yang seharusnya terkatakan. seperti dulu. ketika perang masih berkecamuk. ketika orang dicor dalam tong. dipisahkan raganya 200 km dari kepala. semuara dengan darah tentara yang baru dilatih, menyewakan nyawa untuk tujuan mulia negara.  yang tidak serupa dengan wajah manusia. memiliki kepala-kepala yang sangat panjang, begitu panjang. sepanjang masa pancaroba. sebuah musim dimana air melimpah namun tenggorokan kerontang. minyak bergalon namun tubuh-tubuh bersisik. rumah-rumah terbangun namun tidak ada yang merasa betah. sebuah musim dimana orang-orang menyimpan suara dalam pita-pita memori terabyte. dan mengharuskan mereka berbusana yang menutupi sisik-sisik mereka. dan bekerja untuk keluarga besar dalam rumah-rumah di sebuah kompleks yang dijaga keamanannya. dari suara, pakaian, tamu dan para undangan yang berkunjung. memotret keindahan wajah berkerudung. dari wajah-wajah yang menua dengan cepat dalam pancaroba yang teramat lama. dan tangan-tangan mungil yang mengais ingatan dari ledakan dan jerit yang tertahan. terekam kuat di bebatuan, pasir dan buih. di pinggiran gelas ingatan disisakan. dipinggiran itu semua berawal. tempat perjumpaan dengan bebatuan gunung. semua dihempaskan dari pinggir ke gunung. dalam hitungan manusia. berlari, meloncat, memanjat. dalam harapan manusia. semua berubah. menjadi bebatuan, pasir dan buih. tersisa cuma negara yang bukan manusia. yang tidak berbuat apapun. kecuali berisik. mengendap-ngendap namun sangat berisik. sampai manusia dari tempat yang jauh berdatangan, memunguti ingatan-ingatan. tubuh-tubuh yang kehilangan sisik, rumah-rumah menjadi abadi. dan suara-suara seperti rasa kangen yang begitu lama membatu di gunung mulai mencair.  suara-suara melaut di samudera. berkeliling ke semua arah. pancaroba berangsur ingsut. perlahan. percakapan demi percakapan landai dan tenang. gelas-gelas mulai berdenting. pecah oleh kesibukan. wajah-wajah berkerudung mulai tersenyum. anak-anak bermain sampai malam di pelataran. kedai dan hari pasar mulai penuh. negara hilang, yang ada manusia-manusia. bangsa-bangsa. suku-suku. sampai suatu ketika. sesuatu bernama pilkada. menggemakan kembali cerita dari bebatuan, pasir dan buih. negara kembali dihadirkan. begitu cepat. menggeser cerita tentang bencana. pancaroba kedua mulai bermusim. negara mengambil tempatnya yang begitu sempurna. mengubah bebatuan. menjadi arca. serupa dengan tugu peringatan. dan orang-orang kembali bersisik. jika bukan arca. seperti ikan. laut pasang tidak mampu menggarami mereka. begitu ampang. dan mereka bergerak begitu tergesa. nyata dan tergesa. juga berisik. sangat berisik. negara tidak lagi bergerilya. di perbukitan percakapan tidak lagi menarik. hanya suara-suara angin. dan perempuan dibalik kerudung  bertambah tua oleh beban hidup. yang hanya menyisakan harapan pada bebatuan, pasir dan buih. beberapa diantaranya seperti berharap laut kembali lagi membawa kenangan mereka. kenangan saudaranya yang bukan negara. dimana semua manusia bersisik. atau laut menjemput mereka. karena cuma samudera yang bisa melahap negara. dan kedamaian bersemayam di sana.

calang, 16 September 2007

No comments:

Post a Comment