Monday, 24 September 2007

ayat-ayat stasiun

Start:     Sep 27, '07 6:00p
End:     Sep 27, '07 10:00p
Location:     kedaisinau jakarta
sekumpulan puisi jeda

Wednesday, 19 September 2007

Fragmen: Sepulang Menjenguk Titarubi Di Bentara Budaya

 

Sudah malam rupanya. Sambil melihat taman berpohon rindang yang begitu tenang aku dengar Alia bicara di atas lori kereta  Lelaki asal Eropa asyik bercanda dengan teman perempuannya yang berbaju hitam. Rokokku sudah tinggal puntung tewas dalam pijakan sepatu. Silahkan menikmati pameran tunggal Titarubi berbaur dengan gemuruh riuh telapak tangan yang beradu.

HERSTORY. Ah, aku sedang tak ingin mengkritik. Tak ingin pula aku berbual di hadapan instalasi rel keretaapi berjudul Kisah Tanpa Narasi. Alia masih ada dalam telingaku. Dia pun masih ada dalam mataku. Serupa taman berpohon rindang yang begitu tenang serta dua potong bakpau goreng dan sesendok Chinese kung pao. Atau senyum Mas Ipung serta segelas bir kaleng di tangan Redana. Tak maksud aku mencela, sungguh. Tapi jiwa selalu menawarkan garam yang asing. Garam asing yang melahirkan kejut dan takut. Alia, kacamatamu sama indah dengan sepatu kets yang engkau pakai.

Titarubi mengingatkan aku pada kehidupan kota di Inggris yang pernah kudiami hanya beberapa bulan saja. Di sana, para bangsawan begitu senang berkereta kuda di sekitar istana ratu dan raja. Aku hanya bisa iri melihat busana mereka. Paduan kain yang penuh kerumitan. Entahlah, aku rasa mereka memang senang bercanda dengan senjata atau pena. Para lelaki memang senang menulis di atas pakaian yang bukan hanya miliknya sendiri. Sekarang, aku kembali ingat pada ucapan Romo Franz. “Kita bisa mempertanyakan mengapa hanya ada ‘history’. Bagaimana dengan ‘herstory’? Tapi bagaimana pula dengan ‘sejarah’?” Aih Alia, aku memang merasa ada yang kurang dengan ketimuranku. Tapi bukannya ketimuranku tak indah. Sebagaimana maha karya terindah yang engkau tulis dalam hatimu, demikianlah keindahan ketimuran yang ada dalam diriku. Keindahan dan kesempurnaan adalah dua hal yang berbeda. Maafkan aku.

Aku tidak tahu harus memanggil apa padamu. Tita atau Rubi? Mbak Tita atau Mbak Rubi? Ibu Tita atau Ibu Rubi? Aku sangat bodoh karena tak tahu harus memanggil apa padamu. Aku ingin bertanya padamu. Adakah diantara kata-kata yang tadi kusebutkan mampu menampung rasa hormat dan takzimku kepadamu? Titarubi, perempuan kelahiran Bandung pada 15 Desember 1968, terimalah hormat dan takzimku padamu.

Kisah adalah kejadian. Narasi adalah penceritaan suatu kisah. Aku kagum ketika engkau mampu memilih judul Kisah Tanpa Narasi. Kata-kata yang engkau pilih, secara harafiah mampu menerjemahkan diri sendiri. Di dalam batinku, bahkan, kata pilihanmu sudah menjadi metafora dari dirimu yang sangat-sangat personal. Melalui kata-katamu, aku melihat gelisah dan berontak menyala-nyala dalam dirimu. Dua jalan kereta yang saling melintasi satu sama lainnya. Tapi aku tak menemukan rel yang saling tikam di titik temu perlintasan. Aku malah melihat persimpangan. Entahlah. Persimpangan memang tempat yang menakutkan. Tapi, tak jarang pula persimpangan adalah tempat pengalaman. Persimpangan adalah tantangan.

Titarubi, Titarubi. Di dalam mataku masih tersimpan instalasimu. Ada lori keranjang gigan penuh manekin keramik. Tapi, ada pula lori yang kosong. Manekin keramik engkau tumpuk seakan penuh kekesalan. Tak ada manekin yang utuh aku perhatikan. Selalu saja ada cacat. Entah tangannya patah, pinggangnya patah, atau kakinya patah, kepalanya retak, atau malah telinganya sudah rompal. Tumpukan manekin keramik yang menjelma menjadi pemandangan penumpang kereta api kelas ekonomi Jabodetabek, dalam pembahasaan Efix Mulyadi. Tapi aku tak melihat seperti Efix. Aku mendengar. Aku mendengar jerit dari manekin-manekin keramikmu. Rasanya, seperti melihat para arwah menari-nari di taman berpohon rindang yang begitu tenang. Jerit manekin keramikmu membawa pikiranku menerabas waktu. Jerit-jerit dari masa lalu. Jerit-jerit dari masa kini. Jerit-jerit dari masa depan! Jerit, dari, keranjang. Hmm, keranjang.

Titarubi, Titarubi, Titarubi. Keranjang. Hmm, siapakah kini yang tak mengenal benda itu? Siapakah kini yang tak lepas dari benda itu? Siapakah pencipta benda itu. Aku menjadi teringat ketika mengambil mata kuliah kebudayaan kontemporer. Keranjang adalah simbol dari budaya belanja manusia metropolitan. Sedang belanja adalah simbol dari psikologis kekuatan materi. Ada engkau ingin mempersamakan kekuatan materi dengan tuhan? Aku lagi tak ingin bertaruh. Biarkan aku hanya mendekatkan siapa pada manusia. Aih Alia, semoga saja aku tak salah. Ada karpet merah yang mengalasi jalan kereta api. Adakah itu darahku, darahmu, atau malah darah semua manusia? Seperti fitrah kereta di atas rel: selalu berjalan. Sedang Kisah Tanpa Narasi mengingatkan: mungkin manusia tak butuh kereta, tak butuh keranjang; meski persimpangan tak bisa dipunahkan.

Titarubi, Titarubi, Titarubi, Titarubi. Aku duga, engkau tak bakal melupakan THE SILENT SOUND OF WAR, LINDUNGI AKU DARI KEINGINANMU, I WISH I HAD A RIVER, HERSTORY ABOUT FOOT: DI BAWAH KAKIMU BUNGA-BUNGA SUDAH MATI, SELAPUT, VAGINA BROCADE, HERSTORY ON WHITE: BAJU YANG KAU PINTAL TERLALU BERAT BAGIKU, BAYANG-BAYANG MAHA KECIL #2, HERSTORY ABOUT FINGER, BAYANG-BAYANG MAHA KECIL, yang sudah menyatu di dalam Kisah Tanpa Narasi.

Alia, inilah kiranya kekurangan dari ketimuranku. Mungkin ada baiknya—mudah-mudahan apa yang aku sebutkan bukanlah bualan terhebat yang pernah aku ucapkan—tajuk pameran tunggal Titarubi bertajuk HERSTORY digubah menjadi HERSTORY: Kisah Tanpa Narasi. Maafkan aku Alia. Maafkan aku Titarubi. Ini semua karena aku hanya ingin memaknai apa itu HERSTORY.

 

[Deif-Feil]

Monday, 17 September 2007

dhia antar satir

frase ketakterhinggaan

teruntuk:
yang terlahir dan yang mati
yang berani dan yang takut
yang tampak dan yang tersembunyi


sebelum # 1
sajak ini belum dimulai
batas-batas baru disisihkan
kini dituai dini hari
tandanya menangis

#1
cahaya-cahaya dipancarkan oleh seorang pemberani yang menutupi dirinya dari kelemahan-kelemahan jiwa. cahaya-cahaya dipancarkan oleh seorang pemberani yang berperang melawan dirinya yang manusia. cahaya-cahaya dipancarkan oleh kealpaan yang diberikan kata maaf. berkilo meter tahun cahaya menuju kepadamu. dalam satu malam hadir sebuah penghiburan. yang lebih dekat dengan ajal dan lebih nyata dari kehidupan. cahaya-cahaya memenuhi janjinya. juga peperangan yang sesungguhnya. mengenali. lalu. menyingkap. nyawa. tanda-tanda. raga. cahaya-cahaya mengantar titik-titik pertemuan. mata. hati. ditempat yang begitu dekat. lebih singkat dari perjalanan cahaya. lebih pekat dari jalurnya. lebih indah dari jejaknya. lebih purba dari pengalamannya. cahaya-cahaya dan pejuang-pejuang. menutupi dirinya dengan zirah yang bermartabat. kemilaunya cuma terlihat diakhir peperangan. diantara keyakinan dan keterasingan.

setelah #1
sajak ini baru saja dimulai
batas-batas ditegaskan
kini tandanya menangis
memandang yang tak hingga

terberi:
yang berbatas dan tak berbatas
yang berpendar dan yang kusam
yang asal dan yang bermuasal

bebatuan, pasir dan buih

hanya bukit-bukit percakapan yang tidak bisa bertambah tinggi. rasa ampang kopi nomer satu. dan seseorang atau lebih tepatnya sebuah suku yang keras, terhampar dan semakin  misteri. dengan rupa malam, pesisir ini semakin gelap. menyembunyikan yang seharusnya terkatakan. seperti dulu. ketika perang masih berkecamuk. ketika orang dicor dalam tong. dipisahkan raganya 200 km dari kepala. semuara dengan darah tentara yang baru dilatih, menyewakan nyawa untuk tujuan mulia negara.  yang tidak serupa dengan wajah manusia. memiliki kepala-kepala yang sangat panjang, begitu panjang. sepanjang masa pancaroba. sebuah musim dimana air melimpah namun tenggorokan kerontang. minyak bergalon namun tubuh-tubuh bersisik. rumah-rumah terbangun namun tidak ada yang merasa betah. sebuah musim dimana orang-orang menyimpan suara dalam pita-pita memori terabyte. dan mengharuskan mereka berbusana yang menutupi sisik-sisik mereka. dan bekerja untuk keluarga besar dalam rumah-rumah di sebuah kompleks yang dijaga keamanannya. dari suara, pakaian, tamu dan para undangan yang berkunjung. memotret keindahan wajah berkerudung. dari wajah-wajah yang menua dengan cepat dalam pancaroba yang teramat lama. dan tangan-tangan mungil yang mengais ingatan dari ledakan dan jerit yang tertahan. terekam kuat di bebatuan, pasir dan buih. di pinggiran gelas ingatan disisakan. dipinggiran itu semua berawal. tempat perjumpaan dengan bebatuan gunung. semua dihempaskan dari pinggir ke gunung. dalam hitungan manusia. berlari, meloncat, memanjat. dalam harapan manusia. semua berubah. menjadi bebatuan, pasir dan buih. tersisa cuma negara yang bukan manusia. yang tidak berbuat apapun. kecuali berisik. mengendap-ngendap namun sangat berisik. sampai manusia dari tempat yang jauh berdatangan, memunguti ingatan-ingatan. tubuh-tubuh yang kehilangan sisik, rumah-rumah menjadi abadi. dan suara-suara seperti rasa kangen yang begitu lama membatu di gunung mulai mencair.  suara-suara melaut di samudera. berkeliling ke semua arah. pancaroba berangsur ingsut. perlahan. percakapan demi percakapan landai dan tenang. gelas-gelas mulai berdenting. pecah oleh kesibukan. wajah-wajah berkerudung mulai tersenyum. anak-anak bermain sampai malam di pelataran. kedai dan hari pasar mulai penuh. negara hilang, yang ada manusia-manusia. bangsa-bangsa. suku-suku. sampai suatu ketika. sesuatu bernama pilkada. menggemakan kembali cerita dari bebatuan, pasir dan buih. negara kembali dihadirkan. begitu cepat. menggeser cerita tentang bencana. pancaroba kedua mulai bermusim. negara mengambil tempatnya yang begitu sempurna. mengubah bebatuan. menjadi arca. serupa dengan tugu peringatan. dan orang-orang kembali bersisik. jika bukan arca. seperti ikan. laut pasang tidak mampu menggarami mereka. begitu ampang. dan mereka bergerak begitu tergesa. nyata dan tergesa. juga berisik. sangat berisik. negara tidak lagi bergerilya. di perbukitan percakapan tidak lagi menarik. hanya suara-suara angin. dan perempuan dibalik kerudung  bertambah tua oleh beban hidup. yang hanya menyisakan harapan pada bebatuan, pasir dan buih. beberapa diantaranya seperti berharap laut kembali lagi membawa kenangan mereka. kenangan saudaranya yang bukan negara. dimana semua manusia bersisik. atau laut menjemput mereka. karena cuma samudera yang bisa melahap negara. dan kedamaian bersemayam di sana.

calang, 16 September 2007

Sunday, 9 September 2007

TITIKNOL Project

http://titiknol.com
TITIKNOL Project adalah sebuah proyek pribadi TS Pinang, seorang pecinta puisi yang lebih suka bermain dengan medium website internet. Semula TITIKNOL Project dimaukan untuk dokumentasi naskah-naskah tulisan TSP sendiri sebelum akhirnya berkembang dengan proyek-proyek lainnya yang dikerjakan secara amatir, secara pecinta.

Selamat Datang Kekasih :: TANDABACA.COM

http://tandabaca.com
dunia menulis kreatif

ayat-ayat stasiun: luka hutan hujan




sekumpulan puisi jeda

graphic: by drik hen