Friday, 31 August 2007

Masalah Tidak Tahu dan Masalah Yang Saya Mau

Saya memang tak bisalah ekonomi. Hitungan marjin, suplai sama dimand buat kepala pusing tujuh keliling. Belum lagi perhitungan harga rata-rata, harga optimum dan segala macam suku bunga interest yang buat otak kelimpungan. Saya cuma tahu, uang Rp10 ribu bisa beli Marloboro Lights sebungkus sama geretan merk Tokai.

Saya memang bukan birokrat. Saya tidak tahu apa itu administrasi pemerintahan, apa itu prosedur, apa itu golongan IV B, apa itu jabatan, apa itu kebijakan. Saya juga bukan orang politik yang sering bicara soal kemakmuran, kesejahteraan, keselamatan, kemaslahatan, dan segala ke- ke- ke- ke- lainnya yang membuat saya ter ke-ke-ke-ke-ke-keh-keh-keh.

Saya juga bukan presiden yang ngerti rapat kabinet, rapat terbatas, pidato kenegaraan, berempati sama rakyat. Saya juga bukan menteri yang punya staf ahli yang bisa memberikan sekian ratus alternatif pilihan dengan sekian ratus pula varian pelaksanaan berbeda yang kesemuanya tergantung berapa banyak dana tersedia yang bisa dipergunakan untuk membiayai pilihan keputusan (jangan terlalu sulit membaca kalimat ini. Intinya, menteri itu punya ahli yang bisa memberikan masukan dan keluaran, titik.).

Saya juga bukan Amerika yang selalu mengumandangkan demokrasi dan hak asazi. Saya pun tidak tahu apakah Air Force One itu memang ada atau rekayasa belaka. Saya pun tak tahu apakah di Amerika sana juga ada benda cair yang dinamakan minyak tanah. Saya pun tak tahu apakah disana ada pula yang memasak pakai kayu bakar. Saya sungguh tidak tahu.

Saya juga bukan teknokrat yang ngerti cara buat senjata serta amunisi, buat pesawat, buat kapal selam, buat pesawat antariksa, buat reaktor nuklir, buat pulpen yang bisa menulis di dalam air, buat komputer yang tebalnya seperti sehelai kertas.

Saya cuma tahu, 1 September 2007 harga elpiji 50 kilogram Rp320 ribu. Sedang gas elpiji 12 kilogram Rp55 ribu. Dan saya tahu, harga gas elpiji per-kilogram sesungguhnya bagi saya adalah Rp4.600.

Monday, 27 August 2007

suatu ketika, sesering itu kudengar

semua harus diselesaikan
‘siapa takut ombak, jangan berumah di tepi laut’

kala menghilang batu-batu menghitam
angin cuma bisa bertemu bayang-bayang
senjata bertemu rencong di ujung sumbu kemarahan
lantas suara-suara marah meriah memerih berkelindan
ke tepi para bocah mensunyikan tuhan

tuhan itu warna-warni sinis
pakar yang menetakkan damai
lewat perantara dan perang
sementara tahun-tahun terkuak
para bocah bercerita tentang orang tua

cerita tentang kapak menancap pohon
dan perjalanan satu hari adalah masa depan
ketika hutan masih diam dan laut belum mengamuk
anak lelaki menjaga perawan
saat perang diceritakan lewat hikayat

peristiwa-peristiwa bercerita tentang hakikat
dan hidup mulai dinyatakan
tuhan itu seperti dongengan
bergerak erotik membosankan
segala aturan hilang gerak

para bocah takut keluar rumah
gadis tak suci anak laki-laki berdarah
hutan berseru dalam timbunan lumpur
mengubur permata dengan batu-batu
dan laut perlahan mengakumulasikan dendam

yang alim yang ulama mulai mengatakan
ketika tuhan bertemu tuhan
lahirlah tidak

semua harus diselesaikan
‘jika takut pada kematian, jangan bicara tentang masa depan’

para bocah jadi amunisi
laki-laki dan perempuan berjalan di depan
orang tua menulis kembali hakikat perang
nyanyian para penyair
bagai pedang di negeri seberang

sepetak demi sepetak tanah terambil kembali
hutan menyemai kini
kehijauan rimbun hati
batu-batu hitam kebenaran
dikikis angin musim cerah

cahaya-cahaya dibawa ombak
yang tiba-tiba pasang bergunung
tuhan yang berselancar
menjadi peluru menjadi pemburu
satu-satu hidup tersisa hanya laut

dan hikayat perang berhenti dituliskan
jika kiamat maka tuhan itu benar adanya
40 hari kebenaran menggigil
menahan kabar dari langit
sambil mengguncang tubuh yang terjaga

awan-awan matahari arak-arakan tubuh
ditimbun tanah merah berlapis keyakinan
sekeping-sekeping mulai membara
membungkus kesombongan yang mati
menyerah pada garis hidup

semua harus diselesaikan
‘cuma kehidupan yang melahirkan kematian’

rencana-rencana yang mulai merayap
keraguan kawan seperjalanan mulai menyergap
jeda dahsyat dari ombak yang tiba-tiba pasang
melenyap seperti waktu senja
kembali malam merekam misterinya terkelam

Calang, Aceh Jaya

Friday, 10 August 2007

Achilles Last Stand

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Classic Rock
Artist:led zeppelin
It was an April morning when they told us we should go.
As I turned to you, you smiled at me; how could we say no?
Whoa, the fun to have! To live the dreams we always had.
Whoa, the songs to sing! When we at last return again.

Swept New York with a glancing kiss to those who claim they know
Below the streets that steam and hiss, the devil's in his home.
Whoa, to sail away! Sandy lands and other days.
Whoa, to touch the dream! That hides inside and is never seen, yeah.

Into the sun of south and north at last the birds have flown.
The shackles of commitment fell in pieces on the ground.
Whoa, to ride the wind! To tread the air above the din.
Whoa, to laugh aloud! Dancing high above the crowd.

Seek the man whose pointing hand the giant step unfolds.
With guidance from the curving path that churns up into stone!
If one bell should ring, celebration for a king.
So fast the heart should beat, as proud the head with heavy feet, yeah.

[Solo]

Days went by when you and I made an eternal summer's glow
As far away and distant, our mutual time to grow.
Whoa, the sweet refrain! It soothes the soul and calms the pain.
Oh, Albion remains! Sleeping now to rise again.

Wandering the wanderings. What place to rest the search?
Where the mighty arms of Atlas hold the heavens from the earth!
Where the mighty arms of Atlas hold the heavens from the earth!
From the earth!

I know the way, know the way, know the way, know the way.
I know the way, know the way, know the way, know the way.

Where the mighty arms of Atlas hold the heavens from the earth!