
Wednesday, 25 April 2007
Sunday, 22 April 2007
Inersia
‘aku berbuat tak punya kuat’ *
bermilyar tahun cahaya. tulisan tak juga bunyi. cuma ingatan yang
sontak menggerus keseharian kita. abaikan. selalu. abaikan. kebanggaan.
surga. kemenangan. abaikan. berdua dan sejuta lainnya membayar harga
tanpa pernah menghitung biaya.
bermilyar tahun cahaya. kemudian kita bertemu. di matahari yang sama.
di alam mimpi. begitu nyata tuturanmu. dan masa depan itu tempat
berdiam. massa. dan lupa. berjumpa.
kau dan aku. lembam.
SALAH SATU BAIT DALAM PUISI RPD YANG BERJUDUL DILAKNAT KALIAN
diberitahu tentang aku
kutemani kau. lalu.
di bangku taman. hujan peluru berkesudahan.
kita masih sehat. amunisi kita tersisa tiga.
simpan satu. untuk enyahkan dia.
punguti kerikil. suaranya agung diinjak-injak hening.
ambil satu. tahbiskan.
percuma mencari kesamaan. entah.
apalagi semuanya cuma bermusim. aku.
berguguran juga. akhirnya.
lenyap. di bangku taman.
ditemani kau. yang meluruh.
‘membentuk aku’
Friday, 13 April 2007
DEDY MIZWAR, NAGABONAR, MELONCAT DARI LAYAR LALU MASUK KE DALAM NALAR, BERDIAM SEJENAK SAMBIL MENGINGAT SUDAH BERAPA LAMA PENJAJAHAN BERKELANA DI DUA WARNA dalam darah yang tak lagi MERAH
Siapakah Nagabonar? Dialah tokoh rekaan almarhum Asrul Sani, pencopet yang dikarenakan sejarah terpaksa menjadi Jenderal Medan-Lubuk Pakam! Sedang Deddy Mizwar, manusia utuh yang bekerja sebagai aktor, dan kini menjadi sutradara film Nagabonar (Jadi) 2! Dulu, bersama Nurul Arifin yang berperan sebagai Kirana, dia tampil dalam film Nagabonar garapan almarhum Asrul Sani, memerankan tokoh Nagabonar. Sekarang, cerita baru bermulai ditandai dengan kepulangan Bonaga ke kampung halaman untuk membawa ayahnya, Nagabonar, ke
Film yang baik, menurut saya, adalah film yang tak hanya berdiam dalam layar melainkan mampu meloncat ke luar lalu menari-nari di alam nyata, alam keseharian, alam para manusia yang hadir di Bumi dengan suratan tangan yang sudah ditetapkan pula oleh Yang Maha Kuasa. Nagabonar (Jadi) 2 pun demikian. Ia lahir dan sekarang menari-nari di alam nyata bersama jaringan bioskop 21, membawa ketetapan takdir dari penciptanya, almarhum Asrul Sani! Lalu, dimanakah Deddy? Dia ada di depan saya ketika Rendra menerima anugerah Federasi Teater Indonesia pada Januari lalu di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan.
Di Indonesia, rasanya tiada seorang pun yang tak pernah kupingnya mendengar kata ‘Nagabonar.’ Mulai dari Susilo hingga Bambang yang menarik becak di pinggiran
Kini, Nagabonar sudah tua. Deddy Mizwar, apalagi. Beruntung masih ada Tora Sudiro yang sedia menjadi Bonaga, satu-satunya anak Nagabonar yang hidup (empat kakak Bonaga mati setelah lahir!); meski itu harus dibayar dengan kenangan pada Nurul Arifin disebabkan Kirana meninggal dunia usai melahirkan Bonaga. Sedang Belanda, sejak era 40-an sudah sayonara dari khatulistiwa. Selain pangkat Jenderal yang tidak penting, Nagabonar masih punya kebanggaan yang lain, yakni anaknya: Bonaga! Sesungguhnya pula harus diketahui, Bonaga adalah hasil evolusi diftong au. Sebagaimana harimau bisa dibaca jadi harimo, atau pantai dapat dibaca jadi pante, maka Bonaga pun berawal dari Baunaga, lalu lewat teori evolusi ‘yang kuat yang hidup,’ Baunaga pun jadi Bonaga.
Dalam kultur Tapanuli, Bonaga adalah Bo-naga, adalah Bau-naga. Bau-Naga adalah satu-satunya bau yang mampu memualkan lambung hanya dalam hitungan sekedipan mata, dan memiliki radius yang sangat sangat sangat jauh melebihi kemampuan alat pendeteksi reaktor nuklir milik Pentagon yang berada di atas langit kebiruan menemani satelit Bumi yang cuma satu-satunya itu: Bulan, yang bagi Nagabonar adalah Karina, istrinya yang punya cinta melimpah sampai-sampai dia tak sanggup menampungnya. Dan pasti tak ada seorang pun di Bumi ini yang tak tahu dimana bulan berada. Demikianlah Nagabonar dan Bonaga pun semakin mudah berbicara: “Apa kata dunia,” dengan logat khas Deli Serdang; meski Nagabonar hingga tahun 2007 tetap saja buta aksara dan masih tak bisa membaca peta (apalagi peta dunia), sama dengan kemampuan mencopetnya yang tak pernah tumpul dimakan zaman.
Kepada Wulan Guritno, terima kasih karena sudah memerankan Monita. Sama dengan Bonaga, Monita juga hasil evolusi, globalisasinya Thomas L. Friedman. Mau-Nita! Metropolis(!), yang tak lagi membuat para pria susah-susah belajar memainkan gitar dan menantikan malam, lalu duduk sambil bernyanyi di bawah pohon tak jauh dari jendela kamar sang pujaan hati tanda proposal rayuan sudah diajukan tinggal menanti jawaban. Memang, cara itu sudah tak laku lagi disebabkan jendela kamar Bonita saja sudah semakin dekat dengan bulan. Tentu diperlukan JAVA PRODUCTION pimpinan Adri Subono untuk meminjamkan seluruh perangkat konser Madonna yang rencananya, kalau tak ada halangan, bakal digelar tahun ini. Bagi Bonaga sesungguhnya itu tak masalah, apalagi Tora yang sudah pernah meraih Piala Citra lewat Arisan! Tapi, bagi Nagabonar itu tak perlu. Sebagai turunan raja, ia teguh berpegang pada petuah lama: Perempuan adalah Perempuan, ingin sebenang lebih dari lelaki! Monita dan Bonaga dengan benang diantaranya. Demikianlah percintaan di era globalisasi yang biasa berakhir di atas keranjang tidur tidak berlaku bagi duet Bo-Mo, yang sudah serupa dengan duet Romario-Bebeto pada Piala Dunia 1994 di negerinya George Washington. Kisah romantis Monita dan Bonaga hanya berhenti pada shiuman di pipi, kanan dan kiri, bersamaan dengan ditemukannya ketiak ular, suatu hal yang bisa memusingkan Nagabonar. Kitik nipe, demikianlah bahasa Batak Karo menyebut ketiak ular. Tak seorang pun mengetahui dimana ketiak ular berada. Namun apabila ketiak itu ditemukan, maka hewan reptil yang semematikan apa pun pasti takluk di tangan seorang awam. Karena itu, perempuan adalah ular dan lelaki adalah pawang. Bila tak berhati-hati, bisa di ludah dapat berpindah ke dalam darah. Dan darah siapapun juga, entah yang hidup dan yang mati, pasti berwarna merah! Apakah ini yang membuat Nagabonar mencari makam Jenderal Soedirman? Sepertinya: Tolol! Tapi,
apa boleh buat tai kambing bulat-bulat: anak Siti Maemunah dengan begitu bodohnya berteriak agar patung Jenderal Sudirman berhenti menghormat (ke utara), sampai-sampai Nagabonar rela memanjat patung tersebut sambil berharap Sang Jenderal menuruti keinginannya. Sebagaimana patung di mana pun di kolong jagat, Jenderal Soedirman pun takluk pada takdirnya yang ditetapkan hanya untuk menuruti rencana penciptanya. Dan Nagabonar yang tampak tolol tapi bukan bodoh yakin bahwasanya Jenderal Soedirman tidak akan sembarang menghormat! Apalagi bila diingat bahwa Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata adanya di selatan
masih ada satu lagi. Ini hanya sebuah film belaka dengan peran yang tak terlalu memukau. Apalagi Wulan Guritno, Darius Sinathraya, juga Jaja Miharja pun Uli Herdiansyah! Seturut Nagabonar, umurlah yang mendekatkan kita dengan Tuhan. Maka Nagabonar pun belajar mengaji pada Umar, agar tak dimarahi Mamaknya nanti di alam baka.
Musfar Yamin: Amin!!!
Catatan: Tulisan ini masih banyak salah ketik. Karena itu, saya membebaskan sidang pembaca merangkai cetakan yang benar yang sesuai dengan Anda sendiri di dalam benak Anda. Demikian harap maklum sebab ‘Tulisan ini adalah rekayasa belaka. Bila ada kesamaan nama dan cerita dan ketololan, itu hanya soal kebetulan saja alias tak usahlah dilebih-lebihkan.’
Tuesday, 10 April 2007
Monday, 9 April 2007
Sunday, 1 April 2007
pameran buku filsafat
Rating: | ★★ |
Category: | Other |
tapi cukup sebagai pengantar
Diskusi Serial Jumat Malam
Start: | Apr 1, '07 8:00p |
End: | Apr 30, '07 10:00p |
Location: | kedai Sinau | jl. bogor atas 1c Malang 65113 |
Diskusi Serial Rabu Malam
Start: | Apr 1, '07 8:00p |
End: | Apr 30, '07 10:00p |
Location: | kedai buku sinau jl. Bogor Atas 1C Malang 65113 |