Tuesday, 26 September 2006
Hikayat Pithecanthropus di Era Informasi
Suatu ketika, sepasang manusia, lelaki dan perempuan, berjalan
telanjang di sebuah taman. Demikianlah ujar hikayat, yang hingga
sekarang tak bosan dipertanyakan, siapa mereka, taman macam apa, dan
mengapa mereka bisa bertelanjang segala? Tapi, hingga ber-mileu
berlalu, jawaban pasti tak ketemu. Sedang hikayat, hidup selalu.
Satu buku teori menyebutkan, tiga syarat negara. Ada wilayah, ada
penduduk, dan ada pemerintahan. Lalu, bagaimana pula jadinya ketika
negara itu penduduknya mati semua. Atau, kalau mau lebih jelas 200 juta
lebih warga negara indonesia mati semua, apakah negara itu ada? Atau,
bagaimana pula bila muncul gempa bumi pun tsunami dahsyat yang
menghapuskan daratan kepulauan indonesia, apakah negara ada? lalu, dari
mana indonesia dan segala bentuk pemerintahan itu berasal? Kira-kira
begitulah pertanyaan yang muncul usai membaca buku teori yang rasanya
sudah lapuk dan tak berarti itu.
Miles Davis berkata, kira-kira, "Tak perduli aku apa tanggapan orang.
Yang penting, aku nikmati tiap nada yang kumainkan." Lalu, seorang
penyair datang kepada pakar fisika kuantum. "Apakah fisika mengenal
metafora?" tanya penyair pada pakar fisika kuantum. Dia menjawab
sederhana, "Aku cuma tahu, cara menjabarkan reaksi pemecahan uranium di
papan." Lalu, penyair itu bertanya, "Dimana metaforanya?" Pakar fisika
kuantum itu cuma bisa menjawab, "Aku tidak tahu kau mau jawaban apa?"
Tak lama kemudian, perdebatan itu pun muncul sebagai berita utama di
halaman koran kota-kota terkemuka.
Suatu hari, aku dengan temanku berdebat. Atas dasar apa kita
mempercayai sejarah? Aku menjawab: Keterikatan emosional. Temanku
menjawab: Karena hal itu memang benar telah terjadi. "Sekalipun itu
sudah terjadi, tanpa keterikatan emosional, sejarah itu tidak akan
tercatat dan diketahui," jelas aku. "Demikian juga, karena kedekatan
emosional, maka yang salah pun jadi benar. Sejarah jadi hilang. Begitu
'kan maksudmu?" balas temanku tak kalah garang. Setelah puas berucap,
kami pun pulang, tanpa bertanya: Buat apa ada sejarah?
Dan, malam pun tiba. Hikayat kembali dilanjutkan kepada kanak-kanak,
tentang sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, asal mula negara,
kata-kata Miles Davis, juga percakapan penyair dengan pakar fisika
kuantum, hingga akhirnya, semua orang berkata : "Sudah malam. Saatnya
tidur. Besok masih banyak yang harus kalian lakukan."
[Deif-Feil]
Monday, 18 September 2006
Ketika Paus Mulai Vokal, Lumba-lumba Menyelamatkan Konsonan (Gunther Grass Yang Fakta dan Karyanya Yang Fiksi)
Paus:
Iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...IIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIII
IIII
II
I
I
I
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
Paus:
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...AAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAA
AAAAAAA
AAAA
AA
A
A
A
Lumba-lumba:
(ada konsonan yang terlupa, apakah Paus lupa atau sedang luka, kasihan dia)
Masa Depan Indonesia: Integritas atau Ambiguitas (spaduk di organisasi pemuda di Salemba), ada yang bisa bantu menjelaskannya?
Paus (...$A¥A diulang-ulang 1000kali):
IIIIIIIIIIIIiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaAAAA
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiiiiiiiiiiiiiIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Lumba-lumba:
(Maaf, belum kutemukan tafsirnya di Wikipedia, sejak ada aksara sampai
sekarang, Hmmm sedang apa Paus disana, ada apa juga di Indonesia-dimana
pula konsonan?
Hmmm kejutan yang aneh)
Dami N Toda dalam Kompas Minggu (17/09/06) menulis tentang Gunther
Grass yang FAKTA dan karyanya yang FIKSI. Dalam balutan waktu mana
Gunther Grass kini hadir, sebagai seorang mantan prajurit Waffen-SS
atau seorang perenung moral yang Nobel?
Sejauh mana sejarah menjadi fakta dan tulisan sejarah yang jadi karya
fiksi di Indonesia yang katanya negara totaliter [itu dulu, sekarang
negara partikelir-cari di Wikipedia Humor) karya fiksi merupakan
ujaran-ajaran yang mengandung kebenaran sejarah, dan masa lalu membunuh
masa depan, bukan karena aktualitasnya namun karena ujaran-ajaran,
tokoh-dan penokohan, selalu ragu-ragu di mata para pemeluk teguh-fiksi
apa yang dia baca sehingga jadi fakta begitu rupa. Kata kawan di kedai
nalar ternyata terbatas! Menalar fiksi apalagi. Lantas apa kaitan
transedensi pernyataan ‘Kehormatanku berati Setia (pada Hitler)motto
waffen-SS, Hidup Mulia atau Mati Sahid (Hamas-Palestina), Pada Tuhan
Aku Percaya (uang dollar Amerika-Indonesia gagal melakukan copycatnya
di lembaran uang), Avoda Ivrit (bekerja sendiri jangan upah orang untuk
melakukannya-Slogan Israel ketika menjejak kaki pertama kali ke tanah
Palestina).
Masa lalu membunuh masa depan. Waktu bekerja untuk siapa saat ini. Juga
Tuhan yang katanya cuma satu berbeda nama. Masa depan kemudian
kerasukan masa lalu-yang disebut keabadian, ada dimana-perenungan: pada
kemuliaan, kerja keras, kesetiaan, kepercayaan, atau biarkan bergeming
bingung layaknya Bhinneka Tunggal Ika. Mungkin kita butuh baca fiksi
lebih banyak lagi, temukan nada vokal yang sumbang pendapat (bukan
pendapat sumbang) tanpa harus kehilangan konsonan.
widhy | sinau
Friday, 1 September 2006
Demokrasi, Pisau Galileo dan Kepergian Pluto
Negara itu tidak ada gunanya meskipun engkau berkata: Sesekali, kita pun perlu bertanya kepada Yang Maha Kuasa, dimanakah selayaknya Pluto kita letakkan. Jadi, buat apa ada demokrasi, dan mengapa pula tidak ada politisi yang pernah mati bunuh diri? Karena itu : The Beatles=Liverpool=Inggris, Soneta=Rhoma Irama=Indonesia, The Doors=Jim Morrison=Amerika, Bob Marley=Reggae=Jamaica. Negara masih berguna! Tapi, perlu juga dibentuk fens klub. Tidak usah ada partai kalau begitu. Ada atau tidak ada itu tidak masalah.
Sekali waktu, pernah aku bercakap dengan seseorang diantara seorang yang berjalan dari masa ke masa di depan emperan toko di kaki lima sangatlah ramai sekali orang-orang berseliweran: Mau kemana? Dia cuma melihat dan berkata: Biarkan saja.
Di saat engkau berjalan di planet-planet, lalu berjalan diantara galaksi-galaksi, maka dimanakah aku engkau temui? Bukankah engkau akan bertemu aku di depan emperan toko tempat orang berlalu-lalang, tapi tak pernah mengetahui kemana demokrasi itu pergi. Jadi, kalau engkau hendak berbelanja, harus pergi pagi-pagi sekali, agar bebas memilih. Kalau pemilu dilakukan pukul 09.00, maka di waktu subuh, hasil perhitungan berapa biaya yang dikeluarkan sudah diketahui. Tak perlu bawa uang yang banyak, cuma seperlunya saja. Jangan terlalu banyak pula berdoa ketika berjalan-jalan di galaksi, sebab asteroid yang melayang itu seperti bajaj. Kadang berbelok atas perintah abang pengemudi. Setelahnya, engkau pun terjatuh, melihat aku membeli dua ekor ikan yang menjadi korban ranjau darat.
Seperti Galileo yang mencari aku, dia menemukan wujud pasti dalam ketakpastian. Karena dunia ini adalah probabilitas, eksperimen selalu terjadi. Kalau memang tepat guna, tak ada salah. Kalau tidak tepat, maka ada yang bunuh diri, ada juga yang melarikan diri. Masalahnya, semua itu perlu dibuktikan. Kalau pun tidak berbukti, jangan salah tanggap. Probabilitas itu nantinya menjadi suatu kepastian bahwa pergerakan acak asteroid itu tergantung kemacetan yang terjadi. Makanya, diperlukan beribu-ribu jalur busway untuk mengatasi keterlambatan jam kerja. Jadi, buat apa membeli mobil?
Sesekali, buatlah satu puisi. Meski cuma satu-dua baris dengan satu-dua kata, itu tidak jadi soal.
Note: Ini tulisan sesat!
[Deif-Feil]