Sunday, 15 June 2014
Wednesday, 4 June 2014
Dari Buku, Ke Ekonomi Hiburan: Mengapa Sebuah Kota Membutuhkan Pusat Perbukuan
532 Tahun Bogor
Sejarah mencatat perkembangan literasi menyumbang kepada
'kemajuan dan peradaban'. Tanpa mengurangi arti penting tradisi lisan, yang
hidup di berbagai suku bangsa di dunia, 'catatan-catatan', bahasa sebagai alat
komunikasi terus menerus berkembang. Dalam rak buku saya, Bogor atau Buitenzorg
ditemukan dalam beberapa buku, Jalan Ke Bogor oleh Klaus G. Johannsen, De
groote postweg atau Jalan Raya Pos oleh Pramoedya Ananta Toer, History of Java oleh SS Raffles, beberapa
novel zaman Pujangga Baru yang menggambarkan Bogor sebagai tempat
peristirahatan, seperti Salah Asuhan oleh Abdoel Moeis dan Sitti Nurbaya oleh
Marah Roesli, Asal-Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden
Saleh oleh Peter Carey, Surat-surat politik Iwan Simatupang, 1964-1966 oleh
Iwan Simatupang, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965 oleh
Rosihan Anwar dan beberapa buku lain, terutama kajian ekonomi tentang perkebunan
dan pertanian.
Usia Bogor di tahun 2014 mencapai 532 tahun. Sebuah usia
yang lebih tua, dari bangsa Amerika. Jauh lebih tua dari Republik Indonesia.
Sebuah peradaban lahir dari sebuah tempat yang sekarang bernama kota Bogor,
akumulasi pengetahuan tentang ekonomi pertanian dan perkebunan yang menjadi
sovenir Bogor untuk Dunia adalah ciri terpenting dari kota ini.
Dengan adanya Institut Pertanian Bogor, kota ini juga
memiliki keunggulan yang sangat khas, sebagai kota pengetahuan. Jauh sebelumnya
peradaban Bogor bisa dilacak keberadaaannya dengan 7 prasasti di Bogor. Dan
beberapa naskah seperti 1. Carita Parahiyangan, 2. Naskah Bujangga Manik, 3.
Carita Ratu Pakuan dan terakhir Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian ditulis
pada abad ke-15 pada daun lontar dan nipah, yang memiliki kesamaan isi dengan
Negarakratagama.
II. Konsumsi Buku
Konon, selama waktu belajar selama 3 tahun di SMA, seorang pelajar di Indonesia rata-rata (diwajibkan) membaca 0.8 buah buku sastra (saja!).
Dibawah ini
adalah ringkasan data buku Indonesia yang dihimpun dari website IKAPI[2].
Menurut Andam Dewi (2010) budaya membaca masyarakat Indonesia terendah
diantara 52 negara di kawasan Asia Timur. Mengacu kepada hasil temuan UNDP,
posisi minat baca Indonesia berada di peringkat 96, sejajar dengan Bahrain,
Malta, dan Suriname. Untuk kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara dengan
peringkat di bawah Indonesia, yakni Kamboja dan Laos. Jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk Indonesia, maka setiap judul hanya dibaca 4-5 orang per tahun.
Jumlah intitusi pendidikan di kota Bogor setingkat SMA/SMK
113 buah dengan pelajar 118.000an[3],
dengan jumlah pengajar 4.084
orang. Sedangkan jumlah perguran tinggi di kota Bogor ada 8 buah, 1 PTN dan 7
PTS. Dengan jumlah pengajar/dosen untuk IPB saja sekitar 1.246 orang. Ini belum
ditambah dengan PTS, dan data dari Kabupaten Bogor, yang pelajarnya juga 'lari'
mencari buku ke kota Bogor.
Dari sisi penawaran, ada ada 1.219 penerbit terdaftar sebagai anggota Ikatan Penerbit
Indonesia (Ikapi). Di antara penerbit itu, 800 tercatat sebagai penerbit aktif. Keseluruhan penerbit
adalah penerbit swasta dan hanya satu penerbit yang tercatat sebagai badan
usaha milik negara (BUMN) yaitu Balai Pustaka. Selain itu, sebagian besar
perguruan tinggi di Indonesia juga menjalankan aktivitas penerbitan (university press) sebagai unit pelaksana
teknis atau juga unit bisnis. Berapakah jumlah penerbit di kota Bogor (dan
kabupaten) yang terdaftar di Ikapi Jawa Barat, 6 penerbit[4]
tanpa mengikutsertakan beberapa penerbit dalam lingkaran akademik di Institut
Pertanian Bogor, sebut saja Crestpent Press dan IPB Press.
Secara umum
ritel dalam industri perbukuan dikuasai oleh distributor dan
jaringan toko buku besar. Tiga
aktor besar penerbit, distributor, dan toko buku besar. Dengan pemasaran sistim
konsinyasi penerbit harus rela berbagi 'biaya/keuntungan 50-55%' kepada
distributor. Sedangkan
keterbatasan ruang dalam toko buku menyebabkan 'umur' buku di toko paling lama
3 bulan, dengan asumsi jika penjualan dibawah 10% dari stok buku di gudang
toko, maka buku-buku tersebut harus diretur ke penerbit. Maka penerbit selalu
kelebihan stok buku mereka. Para penerbit mensiasati kelebihan stok ini dengan
melakukan pameran bersama dari kampus ke kampus, perpustakaan daerah, dan even
spesial seperti Hari Buku, Dies Natalis Perguruan Tinggi, Hari Perpustakaan,
dan Hari Besar Agama, atau momentum akhir tahun dan awal tahun ajaran baru.
Gairah pasca reformasi menyebabkan peningkatan jumlah buku
yang terbit di Indonesia, tahun 2007 ada sekitar 5000-10.000 judul buku terbit,
(bandingkan peningkatan dalam angka yang dikeluarkan oleh IKAPI, di tahun 2012
diperkirakan terbit 30.000 judul buku). Angka tersebut sangat kecil kalau
dibandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15. 000 judul buku per tahun
(2007) dan Inggris lebih dari 100.000 judul per tahun (2005), bahkan untuk
negara 'sekelas' Indonesia seperti India, juga menerbitkan kurang lebih 100.000
judul per tahun (2007).
Berdasarkan riset lima tahunan yang dikeluarkan oleh Progress in International Reading Literacy
Study, yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD), menempatkan Indonesia pada
posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian. Indonesia hanya
lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.
Fakta lain perbandingan jumlah buku yang (diwajibkan) dibaca
siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku
yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku,
Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku,
Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0.8 buku (karena hasil
rata-rata nol koma, tidak sampai satu buku)!
III. Ekonomi Hiburan
Ekonomi hiburan singkatnya, menghitung uang yang beredar
dalam sektor hiburan. Buku, selain bisa dimasukkan sebagai hiburan, dalam hal
ini dapat saja dikategorikan sebagai 'hiburan' pengisi waktu luang. Juga dapat
dimasukkan kepada kategori ekonomi kreatif. Ekonomi hiburan memiliki
karakteristik cepat berubah, kompetisi ketat- jika bukan hiper-kompetisi, penekanan
pada kreatifitas, kuat dipengaruhi oleh teknologi.
Ekonomi kreatif berpusat pada sumberdaya manusia menjadi
investasi utama, lewat keahlian dan bakat, yang dapat memberikannya
kesejahteraan (lewat penghasilan) dan penciptaan lapangan kerja, dan
kepemilikan terhadap kekayaan intelektual. Karakter ini berbeda, misalnya jika
ingin dilawankan dengan industri (ekonomi) lainnya seperti industri sumberdaya
alam (ekstraktif), industri budidaya (pertanian massal), yang lebih banyak
menggunakan teknologi dan padat modal.
Salah satu contoh bagaimana ekonomi hiburan bergandengan
dengan ekonomi kreatif adalah dengan bermunculannya klub baca, yang memanggil
penulis buku untuk mendiskusikan bukunya, atau mendiskusikan buku sesuai dengan
kesukaan pembaca terhadap penulis atau buku bacaan (tertentu saja, seperti Ulysses,
Harry Poter atau buku-buku Tolkiens). Antusias dalam klub baca ini lewat
Pramist (penggemar buku Pram) dan Laskar Andreanis, lewat tetralogi Laskar
Pelangi dengan penulis Andrea Hirata, dan Dewi 'Dee' Lestari dengan
Supernova-nya, yang berhasil mengumpulkan dan menjual karyanya lewat
komunitas. Disini para penulis,
adalah pemasar sekaligus agen budaya bagi produk mereka sendiri.
Peran pasar buku atau pusat buku dengan beragam toko buku komunitas
atau toku buku independen (yang tidak tergabung dalam mata rantai ritel toko
tertentu) sangat besar, mempertemukan penulis dan pembaca, dan melayani pasar 'niche', atau relung pasar,
misalnya mahasiswa S2 dan S3, yang membutuhkan buku-buku referensi, buku teks
terjemahan, jurnal, yang kurang laku di ritel besar semacam Gramedia, Kharisma,
Gunung Agung dan toko-toko lainnya yang memiliki kebijakan ketat terhadap 'bottom line' atau buku mana yang paling
untung untuk dijual.
Lebih jauh persoalan buku terkait dalam persoalan literasi
secara luas, yaitu kebiasaan manusia untuk berhubungan lewat bahasa tulis. Baik
aktivitas menulis buku atau karya ilmiah, surat menyurat, membaca bahan kuliah,
membaca untuk hiburan, membaca majalah atau koran, mengirim imel dan
seterusnya. Hal ini termasuk dalam melek baca-tulis.
IV. Pusat Buku
Indonesia secara
keseluruhan dianggap belum memiliki ruang publik yang nyaman. Ruang publik yang
ada (nyaman) disediakan oleh swasta (dimana nilai-nilai dari kualitas
kepublikan dapat diatur dan dipasang sesuai dengan pengetahuan pemilik), kecuali di beberapa bagian kota. Kota-kota
di Indonesia juga tidak masuk ke dalam kota yang memiliki pelayanan yang cukup untuk berkembangnya
industri kreatif, yang diantaranya ritel-ritel buku, ritel/kios baca umum,
kios/ritel musik dan lain sebagainya. Adanya beberapa kota seperti Bandung yang
memiliki banyak tempat yang memanjakan pekerja kreatif dapat dijadikan contoh.
Dalam kasus lain
misalnya, studi antar negara oleh Bank Dunia (2000) memperbandingkan
keadaan kerusakan sumberdaya alam, dengan mengukur hak-hak politik dan
kebebasan sipil dan tingkat melek-huruf (literacy)
yang tinggi cenderung untuk mempunyai kualitas sumberdaya alam dan lingkungan
hidup yang lebih baik. Sebaliknya negara-negara yang memperoleh hak-hak politik
dan kebebasan sipil minimal serta tingkat melek-huruf yang lebih rendah,
cenderung untuk mempunyai kualitas lingkungan hidup yang lebih jelek. Yang
dimaksud hak-hak sipil tersebut anatara lain adalah otonomi daerah untuk
mengatur dirinya sesuai dengan adat/tradisi mereka. Angka melek huruf membantu
masyarakat untuk mengerti peraturan dan ikut serta dalam merumuskannya. Disini
ada hubungan timbal-balik antara perilaku warga kota dengan tingkat literasi,
terutama literasi budaya, bukan sekadar melek-huruf.
Disisi lain, ada wacana ruang publik (sebagai tempat/place) menjadi beban pemerintah, yang
artinya 'pengeluaran negara' atau 'cost
center' dilawankan (vs) dagang-komersial. Sederhananya, jika pemerintah
daerah menyediakan tempat/lokasi untuk 'pasar buku' apakah hitungannya rugi?
Jika ruang publik tersebut, misalkan dalam satu lokasi 500 m2, 40%nya diperuntukkan untuk fungsi
publik, apakah desain fungsi, peruntukkan dan pemanfaatannya memang tidak bisa
mendukung 'perdagangan'?
Ada juga kebutuhan akan ruang budaya (sebagai ruang/space) sebagai ruang yang terbentuk oleh
berbagai praktek, aktivitas , dan nilai-nilai layak dipromosikan sebagai ruang kemajemukan. Dan buku dapat
menjadi 'kendaraan' untuk memediasi permasalahan/tantangan komersialisasi ruang (publik) yang
semakin masif, disatukan oleh kenyataan bahwa industri buku atau orang-orang
yang terlibat dalam industri buku adalah orang -orang kreatif[5]
yang dampak multiplier-nya meluas kepada industri hiburan. Sebab merayakan
buku, misalnya, akan melibatkan banyak pekerja kreatif lain.
V. Sister City dan Bogor
Menuju Smart City
Pasar di kota Bogor, memiliki sejarah sendiri. Awal
terbentuknya pasar terjadi secara alamiah, namun sebagai sebuah kota modern pasar dikonstruksi sesuai
dengan nilai tempat dan aksesibilitas penggunanya. Pasar dibentuk, tidak lagi
bersifat alamiah. Ada tema-tema utama dalam pasar, yang bisa jadi memiliki nilai sejarah atau
berhubungan dengan sejarah sebelumnya. Ada juga pasr-pasar modern yang dibentuk
untuk melayani kebutuhan masyarakat yang terus berkembang teknologinya,
misalnya untuk kasus Bogor, Pasar Plaza Jambu Dua yang didominasi oleh
penjualan piranti komunikasi dan komputer.
Arah kota Bogor menuju 'smart city' yang melayani kapital
intelektual dan kapital budaya penghuninya membutuhkan infrastruktur teknologi
komunikasi informasi yang memadai, hanya dengan demikian kompetisi dapat
dimenangkan, karena pembeda penting adalah bobot teknologi komunikasi dan
informasi dalam pelayanan publik dan pemenuhan terhadap kebutuhan warga yang
bergerak ke arah industri kreatif.
Keberlanjutan kota dengan visi smart city atau dikenal dengan digital
city, intellegent city adalah memberinya kemungkinan lebih besar bagi meluasnya partisipasi publik untuk
mengontrol kepemerintahan, ikut serta dalam memengaruhi kebijakan, dan terlibat dalam program yang dibuat
oleh kota, karena infrastruktur
teknologi komunikasi informasi yang baik meningkatkan kesetaraan, dan menghapus
batas-batas status sosial, seperti tingkat pendidikan, perbedaan mata
pencaharian, asal-usul etnik, dan lain sebagainya mengarah pada kota kosmopolitan
sesungguhnya, kota multikultur yang memiliki kedekatan di antara warganya.
Kota multikultur ini bisa dilihat dari bagaimana 'sister city' kota Bogor, yaitu Shenzen
di China dan St Lois di Amerika Serikat. Kedua kota ini memiliki beberapa
kesamaan dengan kota Bogor, dari
sisi Shenzen kesamaan yang mungkin didapat adalah populasi masyarakat yang
memiliki tingkat pendidikan di atas S1 banyak, di Shenzen sekitar 20% lulusan
Phd. di China bekerja di kota Shenzen. Shenzen juga merupakan bagian dari
megapolitan Guangzou, seperti Bogor dengan Jakarta.
Sedangkan St. Lois di bagian pinggirnya adalah kota pelajar,
dimana berbagai etnis dan kultur bertemu dan bertukar gagasan. St. Lois juga
telah menjadi kota yang efisien dengan penggunaan teknologi digital. Di pusat
kota perusahaan berbasis teknologi informasi berkembang pesat, artinya industri
kreatif yang menggunakan kapital intelektual menjadi pengferak utama sektor
ekonomi.
Yang menarik adalah bagaimana infrastrukur budaya dibentuk
dan berkembang, toko-toko buku dan ruang publik diberikan fasilitasi dan
diberdayakan dengan baik di kedua kota kembaran kota Bogor. Bahkan di Shenzen pusat ekonomi kreatif dalam bentuk buku,
digital, dijadikan destinasi utama, dengan hadirnya Shenzen Book City. Dan, St.
Lois, adalah surga bagi penggila buku, mulai dengan kehadiran toko buku bekas
yang menjamur sampai pada toko buku sewa untuk mahasiswa berkantong tipis.
Gambar 1. Shenzen Book City, pusat buku kota Shenzen
Dalam menuju
sebagai 'kota pintar', 'kota digital', kota pengetahuan', kedua kota kembar
Bogor tidak serta merta menghapus 'budaya kertas' karena sebagian dari
masyarakat tetap memilih buku sebagai bagian dari kesibukkannya. Terutama, jika
konsumsi buku, sebenarnya sangat tinggi, jika tempatnya disediakan dan dirawat
oleh pemerintah dan masyarakat. Sebagai perbandingan, misalnya, kita dapat
melihat dari koleksi perpustakaan kota, dari jumlah dan kualitasnya, apakah
sudah menuju pada smart city, knowledge
city.
Saya yakin, Bogor bisa!
Gambar 2. Toko buku independen di St. Lois
Gambar 3. Toko Buku Kampus di UWSL
[1] Oleh:
Widhyanto Muttaqien: pedagang buku di Kedai Sinau, penggiat literasi di Akademi
Sinau. Akademi Sinau, adalah gerakan literasi dan melek budaya.
[2]http://ikapi.org/news/detail/industry-info/24/informasi-industri-buku-indonesia.html
diunduh tanggal 12 Mei 2014
[4] http://ikapijabar.com/anggota/
diakses 3 Juni 2014
[5] Industri buku merupakan industri kreatif, mulai dari
penulis, editor, desain sampul buku (yang melibatkan fotografer, pelukis, dan
desainer grafis), desain layout isi (yang melibatkan desainer grafis,
typhografis), dan percetakan. Dalam penjualan sekarang ada manejemen (seperti
manajemen artis, yang biasanya disediakan penerbit), ada juga yang melibatkan
tenaga IT bila buku tersebut disertai tutorial atau melibatkan seniman
bila diinterpretasikan dalam bentuk
karya seni lain seperti puisi atau lagu, ada acara peluncuran buku yang
melibatkan artis/seniman lain yang berkolaborasi dalam even tersebut, ada toko
buku, ada klub baca buku yang semuanya memerlukan ruang interaksi.
Subscribe to:
Posts (Atom)