Tulisan ini difokuskan pada permasalahan pembentukkan wacana mengenai ruang publik yang dipahami sebagai milik bersama. Ruang publik yang dimaksud adalah wacana tentang jalan dan badan jalan, dimana terdapat segitiga proses yaitu spatial practice, representation of space dan representational space (Levebre, 2001).
Sebagai sebuah ‘tempat budaya’ jalan dan badan jalan terus-menerus mengalami deteritorialisasi, dimana kenormalan akan fungsi dan pernyataan ‘milik bersama’ terus menerus dipertanyakan. Dan dimana bermacam perilaku membaur sambil menegaskan identitasnya.
Kata kunci: trotoar, pedestrian, pkl, dwelling and travelling, spatial practice, representation of space dan representational space.
bunga-bunga kehidupan
tumbuh subur di trotoar
mekar liar dimana-mana
langkah-langkah garang datang
hancurkan wanginya kembang
engkau diam tak berdaya
(bunga trotoar-iwan fals)
Jalan dan Ancaman
Perkembangan kota-kota ditandai dengan dibangunnya prasarana jalan. Catal Huyuk memiliki trotoar untuk pedestrian (pejalan kaki) yang lebar dan nyaman, saat itu para budak merupakan pengangkut barang yang baik, bersaing dengan keledai[i]. Jalan kota pada masa Romawi memiliki pola garis-garis persegi, luas dan diperuntukkan untuk penunggang kuda. Pada masa kemudian jalan-jalan di masa kekuasaan Islam di Eropa berciri radial, memiliki arteri yang simetris yang merasuk sampai ke perumahan, sempit dan berakhir buntu-cul de sac. Menurut Planhol (1959) dalam Chant and David (1999) jalan pada masa itu diperuntukkan cuma untuk aktivitas manusia, bukan kendaraan (kuda dan unta), hal ini disebabkan permukiman yang dibangun pada masa kekuasaan Islam menuntut adanya ruang privat yang besar, menjauhkan ‘yang di dalam rumah (perempuan)’ dari tatapan pejalan. Jalan yang buntu menyiratkan teritorial yang jelas, kebutuhan penghuni. Sementara Bulliet (1975) masih dalam Chant and David (1999) menyatakan berkurangnya kendaraan beroda (chariot) yang ditarik kuda, yang digantikan oleh unta merupakan alasan paling masuk akal untuk melihat hilangnya insentif membangun jalan yang lebar. Sementara bentuk labirin dan jalan buntu memiliki alasan keamanan dan pertahanan[ii].
Jalan pada masa-masa berikutnya (Era Pencerahan) diposisikan sebagai ‘titik berangkat’ untuk mengangkat citra kota-kota di Eropa. Belanda pada masa itu merupakan bangsa yang sangat memperhatikan fungsi jalan, kerapihan, dan citra otoritas. Sukses kepemerintahan di masa ini dinilai dari ‘kondisi dan suasana’ jalan. Jalan-jalan dan trotoar bersih, lebar, menyenangkan, dan menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan individu, walaupun yang paling merasakan kenyamanan pada masa itu adalah the rulling class atau para aristokrat yang memiliki kendaraan (Chant and David, 1999).
Nun jauh disana jalan-jalan modern dibangun pemerintah Belanda di Hinda-Belanda. Tanah Jawa merupakan sebuah tanah dengan bentang alam susu (subur makmur). Keindahan negeri Belanda serta peradabannya dicerna oleh R.A Kartini[iii]:
Jalan-jalan baru di seluruh Jawa dan di seluruh negeri jajahan haruslah terbuat dari kemajuan, dan sejauh jalan itu terbuat dari bahan yang keras dan bersih, tak ada seorangpun yang dapat menghentikan roda-roda itu. Sesuatu yang baru, keras dan bersih, itulah-modernitas jalan. Kebersihan jalanan, dalam logika ini adalah kemurnian zaman, bahkan biasa kita katakan, demokrasi. Karenanya Kartini menulis, ada sejumlah orang di Hindia Belanda, yang meminta agar mereka disapa dengan sebutan-sebutan bangsawan; seringkali, gelar itu bahkan bukan hak mereka...membiarkan dirinya disapa demikian oleh hamba-hamba mereka itu merupakan hal yang lucu dan absurd (Mrazek, 2006).
Jalan-jalan yang pada waktu itu disebutkan oleh Kartini adalah jalan-jalan trem, kereta api. Namun metafora jalan yang dipergunakan,‘modernitas jalan’ adalah suatu impian, demokrasi. Langan (1995) Mrazek (2006) menyatakan bahwa seorang penyair borjuis dan gelandangan bertemu di jalanan umum, mereka berbicara dengan bahasa yang sama hanya sejauh memiliki kebiasaan bersama—Langan menyebutnya sebagai simulasi: sebuah cita-cita etis demokrasi liberal...imajinasi kebebasan: hak-hak individu untuk datang dan pergi tanpa izin dan tanpa harus menjelaskan motif-motif atau urusan mereka.
Pada tahun 1939, terdapat 51.615 mobil di Hindia Belanda, 37.500 ada di Jawa. 7.557 di Batavia, 4.945 di Bandung dan dan 675 misalnya di Jepara-tempat Kartini lahir dan meninggal. Pada tiga bulan pertama tahun 1928, sebagai contoh di Surabaya terjadi 524 kecelakaan, 24% disebabkan oleh mobil, 23% oleh kereta api atau trem, 17% oleh motor. Pengemudi yang mengendarai kendaraan itu adalah 11% orang Eropa, 6% orang Cina dan Arab, dan 83% orang pribumi (Mrazek, 2006).
Sampai pada akhir abad 20, jalan Raya Pos (yang dibangun 1808-1811 dari Anyer sampai Panarukan) yang menginspirasi R.A Kartini merupakan jalan raya kaum ningrat dan diperuntukkan cuma untuk kebutuhan VOC terutama mengangkut gula dan kopi dari pedalaman Jawa. Para pribumi yang paling banyak terlibat kecelakaan adalah para supir bukan majikan. Di Hindia Belanda pribumi ‘minggir’ memberikan jalan untuk kemajuan, mukjizat jalan.
Jalan-jalan besar seperti Jalan Raya Pos memungkinkan terjadinya perubahan ekonomi di sepanjang jalan tersebut. Munculnya permukiman-permukiman di sepanjang Pantai Utara Jawa menyebabkan kota-kota di Jawa disebut sebagai ‘rangkaian kota tak berkesudahan’. Alih fungsi lahan pertanian menjadi pusat permukiman dan pusat niaga terjadi di hampir semua sisi kiri-kanan jalan. Aglomerasi dan konsentrasi kegiatan terjadi hampir disepanjangnya. Sementara jalan-jalan yang masuk ke perdesaan cukup sulit dilalui, padahal jalan-jalan desa merupakan manfaat yang luar biasa, jika terbangun baik, terjadi hubungan-hubungan antara pusat pemasok hasil pertanian dengan pasar. Namun jalan-jalan yang baik di perdesaan juga mengandung bahaya, penguasaan tanah oleh orang kota. Sehingga terjadi kembali ‘pribumi’ yang minggir, Jacoby (1998)[iv] menyatakan bahwa pembangunan jalan desa tidak serta merta mengurangi kemiskinan di desa, namun demikian selain memiliki fungsi ekonomi, jalan desa juga memudahkan pelayanan medis dan pendidikan. Untuk itu cara terbaik untuk meminimalkan konversi lahan disepanjang jalan utama adalah melalui pengendalian tata ruang[v], walau hal ini hampir tidak pernah berhasil, mengingat kapitalisme memandang tanah merupakan komoditas terpenting, Teori Lokasi menyebutkan kedekatan dengan jalan dan pusat pelayanan merupakan pertimbangan utama dalam land rent. Nilai sebuah lokasi ditentukan oleh land rent-nya. Orang berharap pada mukjizat jalan, ingin berada di depan-tepat di depan jalan.
Jalan-jalan sekarang seperti pecah. Pecah dalam kepingan karena rambu-rambu yang disembunyikan untuk kepentingan pungli. Pecah karena tidak mengandung taktilitas yang cukup untuk dinikmati punggungnya. Pecah karena konstruksi yang dibawah standar. Pecah karena ‘arah’ sudah menunjuk ‘tempat’, di jalan (di Jakarta) hidup kita tersita 1-2 jam. Dan hampir tidak menyenangkan. Bagi pengusaha, biaya yang dikeluarkan di sepanjang jalan yang pecah cuma menekan upah buruh, karena jalan di luar kekuasaannya.
Setiap pagi adalah rutinitas yang menjemukan. Dan dimulailah segala bentuk kecemasan. Kecemasan pertama adalah ketakutan untuk datang terlambat. Itu sebelum berangkat dan keluar dari rumah. Kecemasan kedua adalah menunggu alat transportasi, di trotoar yang jika di musim hujan seperti berdiri di sawah, karena bekas galian kabel yang tak dirapihkan. Jika memakai bus kota kita mesti memilih bis yang tidak terlalu sepi. Karena terkadang gerombolan perampok [bukan pencopet atau penjambret] p-e-r-a-m-p-o-k …bisa sampai sembilan orang menguasai isi bus. Bagi perempuan ada kecemasan lain, ia harus siap menerima kecemasan untuk tidak diremas payudaranya atau digesek-gesekkan punggung dan pantatnya oleh lelaki yang berahi selama perjalanan. Kecemasan baru bagi remaja lelaki apalagi yang imut adalah kaum pedopilia, gagah dan tampan, flamboyan, atau feminim bak seorang banci secara telaten meremas-remas alat kelamin. Kecemasan ketiga adalah ketika bus sedang berjalan. Jika keadaan macet masih lumayan aman. Jika jalanan lapang maka sang supir akan ugal-ugalan mengaduk isi perut yang belum sempat sarapan. Belum lagi kemungkinan bus belum sampai ditujuan namun penumpang diturunkan--karena penumpang (setoran) kurang. Kecemasan keempat ketika turun dari bus kota. Seringkali penumpang diturunkan di tengah jalan. Diturunkan di tepi jalan saja harus ekstra hati-hati agar tidak tersambar predator baru bernama sepeda motor. Kecemasan kelima adalah kini, berdiri di trotoar, seperti berdiri di tengah jalan. Bagi yang membawa kendaraan pribadi kecemasan datang dari rambu yang tidak jelas, polisi yang mengais rejeki dari kesalahan pengemudi, pungli yang dilakukan petugas berseragam dan pak ogah. Dan tentu saja Jakarta akrab juga dengan kelompok Kapak Merah Di Jakarta, jalan-jalan menjadi tempat kejadian perkara, lokasi dimana sebab kematian menempati ranking ketiga... (Muttaqien, 2006).
Jane Jacob (1961) melihat jalan sebagai sebuah arena balet, dimana masing-masing-masing orang membuat koreografi sendiri. New York di waktu pagi bagi dia merupakan puisi, memandang orang yang penuh harap, bergegas membuka toko, kafe, kedai koran, dan ratusan orang dari berbagai bangsa memenuhi trotoar dengan gerakan yang terpola. Di jalan-jalan kota New york tak ada eksploitasi, tak ada kecemasan. Semua seperti perayaan.[vi]
New York, bukanlah Jakarta. Di Jakarta perilaku orang seperti serba kebetulan. Ketidakacuhan yang menjadi ciri Jakarta bukan sebuah ciri sebuah kota yang mengaku kosmopolit. Di jalan dan tempat publik New York yang dipandang sebagai pragmatis dan individualis, orang tak ragu menolong orang, menegur orang jika mengganggu ketertiban umum, melaporkan sesuatu yang membahayakan orang banyak, dan memberi kesempatan pertama pada kaum difabel dan lansia. Di jalan-jalan dan tempat publik di Jakarta (dan kota besar lainnya) orang-orang tidak pernah bisa menghargai perempuan dan anak-anak--apalagi difabel dan lansia, memberi pertolongan malah dicurigai, di jalan selalu menerabas dan menyerobot--dan inilah ‘konsep pragmatis’ orang Jakarta. Kita mengenal balet, namun tarian jalanan Jakarta lebih mirip Kuda Lumping, orang-orang seperti kesurupan.
Pedestrian
Studi empiris menyebutkan fungsi-fungsi dari ruang publik akan optimal jika memiliki karakteristik sebagai berikut (1) Memiliki tingkat kemudahan akses dari ruang publik ke jalan-jalan yang mengelilinginya. (2) Kepadatan dari pergerakan orang-orang di jalan-jalan sekitarnya. (3) Memiliki trotoar untuk pejalan (pedestrian) yang memungkinkan mereka berhenti sesaat. (4) Memperkirakan durasi berhenti sesaat dengan laju para pejalan. Ruang publik yang hidup lebih sering berhubungan dengan tingkat pergerakan yang tinggi di jalan-jalan yang mengelilinginya (5) Orientasi pada kenyamanan, selain itu orang akan betah berlama-lama di jalan jika mengalami pengalaman ruang yang indah. (6) Memperkirakan kehadiran ritel dan sarana istirahat. Adanya ritel, menyebabkan orang ‘ruang publik’ menjadi hidup. Kehadiran ‘para pengguna’ ruang publik merupakan ‘ciri kehidupan’ ruang publik. (7) Keteduhan sebuah kota yang sehat memberikan udara bersih untuk warganya. kanopi pohon, selain memberikan keteduhan bagi yang dibawahnya, juga sebuah produsen udara.
Setiap pulang dari luar negeri, begitu meninggalkan bandara saya harus segera meninggalkan jalan tol menuju rumah saya—itulah pertemuan saya kembali dengan Jakarta. Dan Jakarta di pinggiran itu bukanlah Jakarta yang selalu terdapat dalam ‘impian daerah’ tentang Jakarta. Apalagi kalau pulangnya malam.
Di tenda kaki lima manapun di Jakarta, warunb nasi uduk selalu penuh, bukan oleh orang miskin yang hanyan mamapu beli nasi bungkus, melainkan justru oleh pendukung kosmopolitanisme yang mencitrakan dirinya melalui merk mobil, parfum, potongan rambut, baju tali yang memamerkan bahu dan punggung secara mempesona. (Ajidarma, 2004).
Seno Gumira Ajidarma agaknya tak berbeda dengan Siegfried Kracauer[vii] ia menggambarkan Jakarta bukan hanya landmark, bukan hanya fisik. Jakarta menurutnya rapuh. Jika Jakarta adalah impian tentang kemajuan menurut Seno “kemajuan itu adalah sesuatu yang mengorbankan, bukan saja karena segala kelebihan kita, selalu berarti pengambilan jatah yang termiskinkan dalam persaingan, ketika berebutan kue ekonomi, tapi juga betapa bagi yang kaya maupun miskin jiwanya telah menjadi begitu rudin—itulah Homo Jakartaensis”. Sedangkan Kracauer menyatakan bahwa, “Spatial image are the dreams of society. Wherever the hieroglyphics of any spatial image are deciphered, there are the basis of reality represents itself”’. Kracauer mengatakan hal ini dalam wacana New Berlin dimana manusia mempercayai diri mereka dicitrakan oleh perwajahan kota. Jika demikian Homo Jakartaensis atau orang-orang Jakarta merupakan landmark sendiri, sebuah identitas, yang terus berubah, berlapis-lapis.
Gambaran Benjamin mengenai tokoh ‘flaneur’[viii] menunjukkan urbanitas yang spenuhnya hampir tidak pernah dialami dalam urbanitas Jakarta: pejalan kaki yang menikmati ‘jalan-jalan’ dengan lamban di di dalam arkade. Di jaman kolonial dikatakan orang berjalan-jalan di sore hari, bahkan dengan piyama. Pasar Baru dulu adalah suatu arkade terbuka dan bahkan elit, karena hanya di situ dijual barang-barang mewah: senjata berburu, alat olahraga kelas atas, tekstil dan lain-lain. Sekarang tidak lagi. Di Jakarta orang hanya berada di kaki lima untuk kegiatan-kegiatan sesaat yang penuh tujuan utiliter: menunggu kendaraan umum, atau menuju ke tempat tertentu dari tempat parkir[ix]. Pedestrian bukanlah sesuatu yang anonim. Di beberapa negara baik di Eropa, Amerika Utara dan Singapura, dan New Zealand pengembangan budaya trotoar terus diperkenalkan, bahkan ada asosiasi yang terkait dengan para pejalan (pedestrian) dan asosiasi yang melakukan advokasi untuk para difable (orang cacad) untuk bisa mandiri ketika jalan-jalan di trotoar.
Penjaja
Para pedagang kaki lima[x] (PKL) merupakan salah satu bentuk sektor ekonomi informal, yang aktivitas kegiatannya merupakan usaha yang dapat dijumpai pada hampir semua kegiatan kehidupan kita sehari-hari, terutama terdapat di pusat-pusat perkotaan maupun perdesaan. Dalam desain kota PKL memiliki manfaat karena menyediakan kebutuhan yang tepat ketika berhenti sesaat. Walau demikian PKL sering tidak dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan para perencana wilayah dan kota, sehingga sering menimbulkan kesan yang semrawut. Hal ini disebabkan oleh karena karakteristik usaha yang dimiliki oleh PKL mempunyai sifat-sifat yang khas. Karakteristik khas tersebut diantaranya ialah sangat mudahnya untuk memasuki sektor informal dan khususnya PKL tersebut karena kemudahan memasuki sektor yang disebabkan karena tidak dibutuhkan kualitas keterampilan yang tinggi dan biaya-biaya transaksi (transaction costs) yang sangat rendah. Biaya-biaya transaksi yang dimaksud berupa biaya-biaya dan waktu negosiasi, informasi, mendapatkan izin, kontrak, monitoring dan enforcement kontrak yang sangat rendah. Walaupun data lain menyebutkan hal yang berbeda.
Pedagang kaki lima di Jakarta menolak dituding sebagai pedagang liar (informal). Ketua Umum Asosiasi PKL Indonesia DKI Jakarta, Hoiza Siregar, mengatakan, sebanyak 150.000 PKL di Jakarta, potensi besar yang disia-siakan. Pertumbuhan PKL juga dipangkas dengan banyaknya pungutan liar serta penggusuran.
"Kalau benar PKL (pedagang kaki lima) liar, kami tidak akan pernah diminta membayar iuran keamanan, kebersihan, dan listrik. Dalam satu hari, rata-rata setiap pedagang lapak membayar Rp 1.000-Rp 6.000. Totalnya bisa mencapai Rp 900 juta per hari atau hampir Rp 1 miliar mengalir masuk entah ke mana," kata Hoiza Siregar
Pernyataannya itu diperkuat fakta di lapangan, seperti di kawasan PKL di Jalan Kebon Jati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Safrudin Hajat (46), pedagang buah segar, mengaku setiap hari harus membayar uang keamanan dan kebersihan Rp 4.500.
"Setiap hari, setidaknya ada dua orang yang berkeliling meminta uang ke semua pedagang. Ada yang pakai seragam, ada juga yang tidak. Kalau saya, rata-rata bayar Rp 4.500 karena pakai tenda, agak permanen. Kalau yang hanya bawa barang dagangan dan digelar di jalanan, biasanya disuruh bayar Rp 1.000-Rp 2.000," kata Safrudin.
Menurut Safrudin, lokasi para pedagang sudah ditata rapi di pinggir jalan dengan luas lapak nyaris sama, sekitar 1 x 1 meter atau 1,5 x 2 meter.
Demi mempertahankan lokasi lapaknya, setiap bulan para pedagang terkadang dimintai uang ekstra. Kalau tidak, lokasi lapak bisa dijual ke pedagang lain seharga ratusan ribu rupiah hingga Rp 2 juta. (Sumber: The Ecosoc News Monitor, 1 Juli 2008).[xi]
Menurut perkiraan, sektor informal ini termasuk PKL merupakan sekitar 25 - 45% dari penyerapan tenagakerja di negara-negara berkembang. Keadaan itu dapat menyebabkan terjadinya bias dari sudut perhitungan tingkat penyerapan tenagakerja dan atau tingkat pengangguran serta tingkat pendapatan nasional[xii].
Motivasi lain dari kegiatan sektor informal dan khususnya PKL adalah untuk menghindari pajak-pajak yang dikenakan kepada perusahaan formal. Disamping tidak sedikit dari kegiatan PKL ini yang berhubungan dengan kegiatan yang usaha bersifat ilegal, seperti sebagai penampung dan penjual barang-barang hasil curian (dop mobil dan aksesoris kendaraan lainnya), bahkan tidak jarang ada yang berkaitan dengan tindak kejahatan para preman yang beroperasi di kawasan perkotaan. Pajak bagi PKL adalah restribusi, penghasilan negara di luar pajak.
Masih dalam Anwar (2001) kegiatan PKL dan sektor informal lain seringkali tumbuh sejalan dengan kegiatan sektor-sektor formal lain yang dapat membangkitkan penghasilan (income earning) di suatu daerah atau kawasan kota maupun dalam kaitannya dengan pengembangan ekonomi lokal (local economic development). Pertumbuhan ekonomi lokal ini menjadi penting guna meningkatkan ketahanan ekonomi masyarakat yang biasanya tumbuh dengan memanfaatkan sumber-sumberdaya lokal yang terdapat di daerahnya sendiri. Pada gilirannya, kegiatan ekonomi lokal seperti ini akan memberikan dampak multiplier kepada pengembangan ekonomi lokal dari suatu komunitas, sehingga pembangunan ekonomi komunitas menjadi semakain meningkat. Lokasi-lokasi dari komunitas yang dapat membangkitkan sektor informal dan khususnya kegiatan PKL tersebut adalah kebanyakan beroperasi didekat pusat-pusat kota.
Komunitas selalu berhubungan dengan perasaan lokalitas dan isu teritorial. Sulitnya menata PKL juga disebabkan oleh apa yang disebut Harvey (2001)[xiii] sebagai ‘militant particularist’, yaitu setiap pergerakan politik (tanpa memperdulikan skala geografis) memiliki asal-usul dalam membangun ideologi gerakan mereka berdasarkan visi politik tertentu yang menjadi bagian dari individu tertentu dalam tempat tertentu dan waktu yang tertentu. Menyatunya isu PKL dengan komunitas permukiman dimana para pedagang tersebut juga merupakan bagian dari komunitas tersebut yang juga bagian dari permasalahan ‘perasaan senasib’ (menghadapi himpitan ekonomi) menjadikan isu PKL merupakan isu yang lebih besar dari sekadar ‘merusak keindahan dan mengganggu orang jalan’. Widhyanto M, (2005)[xiv], menyebutkan isu PKL dipandang warga Jakarta sebagai membawa permasalahan turunan seperti (1) Penumpukan sampah, (2) Lingkungan kurang indah, (3) Penyempitan badan jalan, (4) Kemacetan lalu lintas (5) Keresahan masyarakat.
Dalam penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa warga (komunitas permukiman di sekitar PKL) secara timbal-balik melakukan negosiasi dan reafirmasi terhadap PKL secara terus-menerus. Dan PKL membentuk organisasi tersendiri untuk mengurus kepentingan politiknya di tingkat yang lebih luas. Penyelesaian persoalan PKL lebih banyak melibatkan peran pemerintah, dibandingkan inisiatif warga untuk menyelesaikannya secara swadaya. Hal ini diungkap oleh hampir sebagian partisipan, dimana PKL menjadi permasalahan di wilayahnya. Warga tidak memiliki kewenangan untuk mengatur PKL. Sebagian besar warga memilih penegakan peraturan yang berarti menggusur PKL menjadi pilihan untuk mengatasi masalah PKL, hal ini juga berkaitan dengan kenyataan di sebagaian besar wilayah yang dijadikan oleh lahan PKL tidak berhubungan dengan wilayah setempat (merupakan jalan atau bahu jalan), atau para PKL tersebut bukan warga setempat, ini berarti keberadaan PKL tersebut tidak berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan warga setempat. Warga pada akhirnya juga membentuk gugus tugas untuk berhubungan dengan PKL. Biasanya jika warga tidak memiliki tingkat kepedulian yang cukup terhadap wilayahnya dan organisasi di tingkat akar rumput tidak jalan maka struktur pemerintahan yang lebih tinggi menugaskan pada kepala lingkungan (RT/RW) dan Kepala Kelurahan untuk membantu petugas Trantib Kecamatan dalam penggusuran PKL.
Pertahanan di Trotoar
menggelar aneka barang
menggelar mimpi yang panjang
kaki lima menggelar resah
di emperan toko besar
koar mulutmu berkobar
kaki lima makin menjalar
(Bunga Trotoar, Iwan Fals)
Pola-pola praktek penggunaan trotoar di Indonesia meminjam istilah Ruth Benedict dalam Rosenblatt (2004)[xv] memiliki hubungan dengan cara pandang manusia yang mempraktekannya, sehingga praktek kebudayaan bukanlah sesuatu yang acak dari kebiasaan yang senantiasa berubah, namun lebih sebagai keragaman dan kesepakatan sosial.
Benny Poerbatanoe[xvi] mengatakan beralihnya fungsi trotoar disebabkan oleh budaya masyarakat timur, yang mengganggap trotoar bisa digunakan seenaknya tanpa memikirkan pejalan kaki, pengguna jalan lain. Para perancang juga melupakan budaya masyarakat kita pada saat merancang pengembangan wilayah perkotaan. Banyak perancang yang tidak memikirkan di mana sektor informal harus diberi tempat. Permasalahan PKL di kota-kota di Indonesia hampir sama. Trotoar dibangun tanpa memperhatikan masalah kebersamaan dengan sektor informal.
Dalam bahasa ekonomi jalan merupakan barang publik, artinya barang memiliki ciri non-exludable dan non-rivalness yang artinya tidak dimungkinkannya mencegah individu manapun mengkonsumsi barang tersebut. Non-exludable memperlihatkan tingkat eksklusifitas pemakaian dan non-rivalness memperlihatkan tingkat persaingannya. Jika pemerintah menyediakan barang publik maka pembiayaannya diambil dari pajak. Oleh karena itu dalam negara yang maju demokrasinya, peneguhan hak-hak warga berkenaan dengan pengambilan pajak oleh pemerintah, kegagalan pemerintah dalam menyediakan barang publik yang memadai dapat menimbulkan ‘pemogokan’ dalam membayar pajak. Dalam konteks penanganan PKL biasanya pemerintah akan berdalih melindungi para pembayar pajak, sehingga penggusuran terjadi. Sedangkan secara budaya, jalan di Indonesia selain dimaknai sebagai barang publik juga dimaknai sebagai ‘open accsess’, artinya setiap orang dapat mengakses jalan dan trotoar sesuai dengan kepentingannya. Jalan bergeser dari sebuah pemisah moda transportasi, antara pejalan kaki dan pengendara bermesin (dulu kuda atau onta) menjadi sejenis barang yang dapat diperjual-belikan, sehingga prinsip non-exludable dan non-rivalness bergeser dari memakai jalan untuk transportasi menjadi tempat berdagang, tempat menyelenggarakan pesta, jalan dapat ditutup dan dibuka seenaknya oleh warga, jalan setiap inchinya memiliki harga: sebuah lapak. Cara pandang inilah yang dominan dimiliki oleh sebagian orang di Indonesia.
Pola pikir ini jika dilihat dari resistensi PKL merupakan perlawanan atau dimotivasi oleh respons masyarakat golongan lemah terhadap ketidakadilan dan ketidakmerataan (inequality) pada kesempatan dan akses terhadap sumber-sumberdaya ekonomi, sebagai akibat dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan salah-arah (misleading policies). Ketimpangan pembangunan desa-kota dan kemiskinan di desa menyebabkan urbanisasi berlebih, pembangunan yang tidak merata menyebabkan distribusi kesejahteraan tidak merata. Kesejahteraan tersebut bukan saja menyangkut penyediaan pangan, sandang dan papan yang cukup, namun juga jaminan untuk dapat mewariskan kesejahteraan bagi generasi berikutnya. Desa-desa tidak memiliki jaminan seperti itu, konsep pembangunan yang mengacu pada pusat-periferi menyebabkan periferi atau pinggiran menunggu terlalu lama untuk memiliki sarana-sarana setara kota. Urbanisasi dalam hal kebudayaan tidak terjadi di perdesaaan—proses menjadi kota. Jika kota diasumsikan sebagai sebuah konsep kemajuan.
Pola yang seragam tersebut yang merupakan manifestasi dari pandangan hidup individu atau kelompok, masyarakat membutuhkan pengenalan terhadap agen-agen yang bersaing dalam memberikan pemaknaan terhadap ‘jalan’, sebagai sebuah spatial practice, representation of space dan representational spaces. Levebre (2001)[xvii] menyatakan bahwa spatial practice (praktek spasial) merupakan mencakup kegiatan produksi dan reproduksi dan lokasi tertentu dan karakter wilayah dari pembentukkan sosial. Praktek spasial ini menjamin keberlanjutan dan tingkat kohesi sosial. Dalam konteks ruang sosial dan anggota di dalamnya maka kohesi sosial ini berimplikasi pada tingkat kemampuan dan tingkat keragaan (kemampuan mencapai hasil). Sedangkan representation of space (representasi ruang), berkaitan dengan hubungan-hubungan produksi dan penugasan terkait hubungan tersebut, dan sebagai hasil dari mengetahui, memberi tanda dan menggerakkan hubungan tersebut. Representasi ruang merupakan ruang yang dikonsepkan oleh subyeknya. Ruang ini merupakan ruang yang dapat dibaca oleh anggotanya lewat sistem tanda. Representational space mengandung simbolisme yang kompleks, terkadang ditandai, kadang tidak, ruang ini terkait dengan bawah sadar dari kehidupan sosial. Ruang ini merupakan ruang yang dihuni. Jika dilihat dari sisi psikoanalisa maka ketiga ruang tersebut dapat diwakili dengan kata persepsi, mengerti, dan mengalami (perceived-spatial practice, conceived- representation of space, lived- representational spaces). Cara kita berpikir (representation of space) akan mempengaruhi kondisi ruang, pembentukkannya. Kita akan mengisi ruang tersebut dari apa yang kita pikirkan. Hal ini dipengaruhi secara langsung oleh pengetahuan, juga ideologi. Sedangkan representational spaces dipengaruhi oleh memori masa kecil, impian, simbol dan citra bawaan (uterine). Representational space ini yang terkadang mengabaikan spatial practice (realitas), mendobraknya.
Jika berjalan, berdagang dan bekerja adalah sebuah social practice maka jalan dan trotoar itu sendiri merupakan representational spaces. Representation of space mengarahkan cara berjalan, berdagang, dan bekerja. Jika dilihat dari agen dalam praktek spasial ini maka ditemukan ada sekitar 9 agen yaitu[xviii]: [1] PKL, [2] Koordinator, [3] Preman. [4] Trantib Kecamatan, [5] Trantib Kelurahan, [6] Aparatur RW [dan Hansipnya], [7] Pemilik Toko, [8] Dinas Pertamanan, [9] Dinas Trantib. Kesembilan agen inilah yang teridentifikasi dalam perencanaan wilayah di kelurahan Rawa Bunga, Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur.
Gambaran triadik perceived-spatial practice, conceived- representation of space, lived- representational spaces dari para agen ini dapat digambarkan sebagai berikut:
1. PKL
Pedagang kaki lima dibagi menjadi:
a. PKL yang menjadi warga kelurahan setempat-menetap.
b. PKL yang bukan warga kelurahan setempat-menetap ([memiliki identitas kipem-kartu identitas penduduk musiman).
c. PKL musiman, adalah PKL yang berjaulan pada musim-musim tertentu, seperti tukang durian atau persitiwa tertentu, misalnya menjelang Hari Raya .
d. PKL gusuran dari tempat lain (sementara, mereka berusaha mendapatkan ruang di antara pedagang lain].
PKL juga mengenal shift (giliran) untuk pembagian usaha. Sepetak tempat di bahu jalan dibagi menurut waktu. Pagi hari untuk usaha pakaian, kelontong, mainan dan lain-lain. Pada sore dan malam hari untuk makanan dan buah-buahan. PKL yang menetap biasanya ditagih oleh RW setempat-melalui koordinator, PKL ini dianggap sebagai bagian dari komunitas permukiman yang berdekatan, ketika ekonomi komunitas dianggap berhubungan dengan keberadaaan PKL artinya secara agregat PKL menghasilkan pemasukan bagi pemerintahan setempat, lewat penerimaan bukan pajak. Ekonomi komunitas juga berhubungan dengan rendahnya tingkat pengangguran di komunitas tersebut. PKL walaupun bersifat informal, namun dicatat oleh petugas kependudukan sebagai sebuah bentuk lapangan kerja, sebuah profesi.
PKL musiman dan gusuran biasanya dijaga dan ditagih oleh preman. karena bukan bagian dari komunitas maka hak untuk memberikan tempat kepada pedagang dimiliki oleh kuasa preman, yang bertugas mengendalikan pemanfaatan ruang jalan dan trotoar. Baik PKL yang menetap, musiman, dan gusuran mereka dianggap sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial oleh Negara.
2. Koordinator
Koordinator merupakan pelaku terdekat PKL, koordinator biasanya dari kalangan PKL, baik dari warga setempat ataupun bukan dari warga setempat. Pemilihan koordinator biasanya merujuk pada mayoritas suku asal para pedagang atau warga setempat . Koordinator bertanggung jawab langsung pada aktivitas keseharian PKL, termasuk aktivitas dan jadwal penertiban. Koordinator mengelola pungutan dari PKL untuk dibagi ke pihak terkait. Koordinator PKL biasanya mengetahui adanya jadwal penertiban PKL. Dan sebagai pusat informasi jual-beli lapak-lapak PKL.
3. Preman
Preman biasanya lahir ketika terjadi perebutan kekuasaan untuk menjadi koordinator PKL, preman juga terkait dengan pengelolaan parkir yang juga memakai lahan yang sama. Preman juga lahir dari para pengangguran di wilayah para PKL itu berada. Tapi preman jenis ini musiman. Preman yang statusnya permanen biasanya backing PKL yang berasal satu suku dari PKL yang bersangkutan. Preman ini biasanya yang memproduksi kekuasaan/pengetahuan atas pedagang PKL, preman ini juga yang memperluas wilayah penguasaan PKL atas lahan publik ataupun privat. Preman ini juga yang biasanya membawa sampingan seperti berjudi disela-sela kesibukannya mengawasi PKL dan pada malam hari menjadi backing pelacur disekitar Jatinegara.
4. Trantib Kecamatan
Trantib kecamatan memiliki pekerjaan rutin mengambil jatah dari koordinator dan preman. Trantib kecamatan juga yang membocorkan jadwal penggusuran. Trantib kecamatan memiliki pekerjaan untuk menggusur PKL pada saat yang sudah ditentukan dan diketahui bersama. Biasanya pada saat penggusuran di wilayah Rawa Bunga, PKL mengungsi sejenak, masuk ke jalan-jalan permukiman, menunggu sampai para Trantib meninggalkan lokasi usaha mereka.
5. Trantib Kelurahan
Trantib kelurahan mendukung pekerjaan Trantib Kecamatan dalam hal penggusuran pada waktu yang telah ditentukan. Trantib kelurahan tidak memainkan peran yang signifikan dalam penggusuran dan penertiban PKL. Trantib kelurahan bertugas menjaga wilayahnya dan mencoba menertibkan lokasi dari tindak kriminalitas, dan hal-hal yang menyangkut ketertiban umum lainnya. Melalui peraturan yang baru, kelurahan diperkenankan menertibkan PKL, namun penertiban yang dalam tata ruang merupakan fungsi pengendalian terhadap pemanfaatan ruang dilaksanakan sebagai memberikan kesempatan kepada PKL untuk memanfaatkan ruang-ruang publik dan privat yang memiliki rent land yang tinggi atau strategis. Kesempatan tersebut dalam masa krisis merupakan sebuah kebaikan, memberikan kesempatan berusaha kepada yang membutuhkannya.
6. Aparatur RW [dan Hansipnya]
Aparatur RW biasanya diajak berembuk ketika ada permasalahan PKL di wilayahnya. Ada RW yang memang mendapat penghasilan tambahan dari kegiatan PKL ada juga RW yang sama sekali tidak perduli terhadap keberadaan PKL dan menganggap itu diluar kewenangannya. Ketidakpedulian ini tidaklah mencirikan bahwa aparatur RW tidak mengetahui peraturan (kode) atau salah memahaminya, namun mereka memiliki pertimbangan lain seperti menghindari konflik dengan koordinator atau preman yang juga merupakan anggota komunitasnya atau secara sadar mendukung keberadaan PKL tersebut untuk kepentingan pribadinya.
7. Pemilik Toko
Pemilik toko di wilayah Rawa Bunga merupakan korban disamping pejalan kaki dan warga pada umumnya. Pemilik toko dirugikan ketika lahan parkir yang menjadi milik pelanggan digunakan oleh PKL siang dan malam. Disamping itu toko terhalang oleh tenda PKL. Ketidaknyaman akibat semerawutnya PKL juga menjadi halangan para pelanggan toko untuk berbelanja. Pemilik toko sering diposisikan sebagai orang yang lebih beruntung, the have, dan dihadap-hadapkan kepada kaum lemah yang tidak beruntung, kaum miskin kota. Pemilik toko walaupun membayar pajak, mulai dari reklame yang ia pajang sebagai penanda toko ataupun pajak penghasilan namun seringkali tidak memiliki posisi tawar dalam kasus-kasus PKL, sebagai korban bahkan mereka sering tidak diajak berunding dalam permasalahan PKL.
8. Dinas Pertamanan
Dinas pertamanan mengelola ruang terbuka hijau, dan banyak oknum dari dinas pertamanan yang melakukan pungli kepada PKL dengan kompensasi membiarkan mereka sementara untuk menguasai ruang terbuka hijau. Dalam pengelolaaan jalan dan trotoar biasanya Dinas Pertamanan mengurus batas jalan yang ditumbuhi pepohonan peneduh. Dan trotoar yang berfungsi sebagai koridor antar tempat sering diganggu oleh pot-pot besar milik Dinas Pertamanan atau PKK kelurahan sebagai sebuah usaha preventif untuk menghalau PKL dari trotoar, namun proses menghalau PKL ini berdampak langsung pada pengguna jalan lain yang juga terhalau oleh pot-pot besar ini.
9. Dinas Trantib
Pada waktu-waktu tertentu trantib melakukan koordinasi dengan dinas pertamanan dan trantib kecamatan untuk menggusur PKL. PKL yang telah membuat komitmen dengan pihak lain sama sekali tidak memiliki posisi tawar untuk menagih janji-janji pihak-pihak diatas. Dinas Trantib ini biasanya bekerja secara aksiden, bahkan tergantung pada kemauan politik di tingkat Kota, Provinsi bahkan pemerintah Pusat. Kemauan politik walikota mempengaruhi secara langsung penanggulangan masalah PKL, demikian juga kebijakan pemerintah provinsi. Keberpihakan dan pengendalian ruang yang ‘angin-anginan’ ini menyebabkan permasalahan PKL terus menjadi tak terselesaikan. Dalam hubungannya dengan pemerintah Pusat, seperti di akhir 2008 ini, kebijakan Kapolri untuk memberantas premanisme berdampak langsung pada PKL yang dianggap memiliki potensi untuk menyuburkan keberadaan premanisme tersebut.
Dinas Trantib, Trantib kecamatan dan Trantib kelurahan memiliki tugas menjaga ketertiban lingkungan yang merupakan tugas utama mereka, sering menghadapkan mereka pada situasi yang tidak menyenangkan. Kemunculan mereka terkadang teatrikal, mengingat masing-masing dari mereka memiliki ‘dosa’ terhadap PKL. Teatrikal karena mereka seolah-olah berhasil membawa ketertiban dengan menertibkan PKL yang diajak ‘ngobrol’ sampai atasan mereka berlalu dari hadapan mereka saat terjadinya penertiban. Drama ‘Tom and Jerry’ ini menyebabkan Dinas Trantib, Trantib Kecamatan dan Trantib Kelurahan ini dijadikan ‘satu identitas’dengan preman dan koordinator oleh pemiliki toko, berseragam dan tidak berseragam.
Pihak-pihak lain yang tidak disebutkan secara tegas adalah pengguna jalan secara umum, Dinas lain atau perusahaan yang terkait, terkadang memiliki utilitas di bawah permukaan trotoar, seperti PT. Telkom, PT Palyja Thames-Jaya, PT Gas Negara yang seringkali membongkar trotoar untuk perbaikan utilitasnya dan membiarkannya terbengkalai usai perbaikan.
Berpergian ketika berdiam dan
diam ketika berpergian
ada seribu satu alasan untuk meninggalkan rumah/ :Padang terbuka di kaki langit dan laut biru/Saatnya tiba menghapus resah dan masa lalu/ :Menghapus kota dari peta hidupmu. Saatnya tiba/ Melupakan kota, batas-batas dan jadi warga dunia!/ Tak ada kota, katamu, bumilah tempat tinggalku/.http://kedaisinau.multiply.com/ Sampai pada suatu saat, di suatu tempat di tanah asing/ .http://kedaisinau.multiply.com/ Kaupun mengaduh dan mengerti kata rindu/.http://kedaisinau.multiply.com/negeri-negeri sudah kehilangan batasnya dan langit/ Dibentangkan bagi semua sayap, bagi semua harap/...Kota bukan sekadar jalan, pohon atau gedung-gedung/Di tiap tikungan tertulis kisah, lorong kenangan/Terbuka ke segala arah /.http://kedaisinau.multiply.com/ Kota bukan sekadar alun-alun, sungai atau jembatan/.http://kedaisinau.multiply.com/Kota telah memberimu sebentuk wajah dan sebuah nama (Bandung, Saini KM)
Olwig (1997)[xix] dalam penelitiannya mengenai deteritorialized world dimana terdapat hubungan antara yang global dan lokal, kesalingterhubungan antara tempat tertentu dengan tempat lainnya, dan pengaruh dunia di luar dunia ‘millitan particularism’. Arjun Appadurai (1991)[xx] mengatakan dunia sekarang merupakan dunia yang tidak lagi memiliki teritorial, batas-batas dilucuti, “in which money, commodities, and persons unendingly chase each others around the world” maka wajarlah jika persoalan PKL di Indonesia sedkit banyak mirip dengan permasalahan PKL di negara yang memiliki ‘sejarah pembangunan’[xxi] yang sama dengan Indonesia, seperti di negara-negara Amerika Latin dan Selatan, negara-negara Afrika Utara, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Sebagian pendukung keberadaan PKL menganggap secara ekonomi PKL memiliki hak-hak ekonomi sebagai bagian dari hak azasi manusia. Hak-hak tersebut dimiliki oleh seluruh warga negara, sehingga sepanjang seseorang lahir di Indonesia dan memiliki kewarganegaraan Indonesia, ia dapat berusaha dimanapun ia suka, dan tidak dapat diusir dari setiap sudut teritori Indonesia. Sebuah kota tidak dapat ditutup begitu saja, seperti Jakarta yang mensyaratkan kepemilikan identitas warga kota Jakarta untuk kemudahan, bahkan syarat berusaha. Sudut pandang ini benar. Artinya, memang tugas negara adalah menjamin kelayakan hidup dan memberikan pekerjaan bagi seluruh angggotanya. Keberadaan sektor informal merupakan buah dari strategi pembangunan yang dilakukan.[xxii] Pedagang Kaki Lima sebagai sebuah informalitas tak bisa tidak merupakan kenyataan sosial, ia dapat terjamah oleh konsep ilmu pengetahuan sosial dan disentuh oleh pengalaman dalam proses menjadi kota. Artinya informalitas dalam segala macam bentuknya sangatlah dekat dengan keseharian masyarakat Indonesia. Kusumawijaya (2004) menggambarkan informalitas sebagai berikut.
Informalitas secara umum dikaitkan dengan ‘sektor informal’ yang diasumsikan berpenghasilan rendah. Padahal pegusaha warung tegal yang sebagian informal itu banyak yang berpenghasilan tinggi. Padahal, dalam bentuk-bentuk tersendiri, gejala informalitas dalam budaya berkota ini sangat kuat juga pada golongan yang secara tradisional digolongkan berpenghasilan menengah ke atas. Perhatikanlah apa yang mereka lakukan di Jakarta: membangun kamar tambahan atau perluasan dapur melewati Garis Sempadan Bangunan, membangun pagar menjorok ke luar (ke jalan) melewati batas lahannya, membuat jalan masuk ke garasi (driveway) menimpa jalan umum, mengubah rumahnya menjadi tempat bermacam usaha tanpa ijin, membuang sampah seenaknya, membuang karcis tol 5 meter dari gerbangnya, dan seterusnya. Sebagian dari informalitas ini dilakukan dengan sadar, sebagian lagi secara tidak sadar karena tidak mengetahui benar beda kehidupan/budaya kota dan kehidupan/budaya kampung (Kusumawijaya, 2004).
Informalitas tersebut mengundang terjadinya migrasi, akomodasi dan deteritorialisasi ruang perkotaan. Wajah kampung gaya (rejeki) kota merupakan lawakan khas orang Jakarta. ‘Millitan particularism’seperti yang dimaksud oleh Harvey (2001) merujuk pula pada spatial practice yang dilakukan oleh dua kebudayaan yang berbeda. Di rumah kontrakan menggunakan kebiasaan tempat asalnya, di tempat kerja- kadang di ruang publik menggunakan kebiasaaan barunya, sesuai dengan identitas kota. Berganti identitas, bahasa, merupakan hal yang alamiah dalam masyarakat. Kebudayaan kota dibangun dari realitas ini, kebudayaan yang melanglang dari sebuah tempat ke tempat lainnya, saling mempengaruhi, travelling culture. James Clifford (1992) dalam Olwig (1997) menyarankan dalam situasi sekarang dimana dunia menyatu dan batas-batas meluruh, kebudayaan dapat dilihat sebagai sebuah tempat berdiam dan berpergian. Ia juga mengusulkan penggunaan istilah “travelling in dwelling” dan “dwelling in travelling”, sebuah ekspresi perubahan yang sukar untuk dilihat bentuknya secara fisik, bepergian ketika berdiam dan diam ketika berpergian.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa alasan berpergian dan migrasi adalah 40% (10 orang) beralasan meninggalkan daerah asal merupakan pengaruh dari ajakan teman/keluarga, 3 orang (12 %) keinginan mencari pengalaman di kota, keinginan untuk mencari kerja yakni sebesar 36% (9 orang), dan iseng-iseng karena jenuh di daerah asalnya 3 orang (12 %)[xxiii]. Masih dalam Anwar (2001), disebutkan bahwa mayoritas, yakni 36,00 % PKL berangkat bersama teman-teman mereka. Menyusul kemudian sebesar 32,00 % berangkat bersama keluarga. Pola keberangkatan bersama keluarga ini biasanya bermula ketika seorang PKL yang sudah lebih dahulu bermukim di kota membawa kerabatnya ke kota. Dalam kasus PKL di Bogor ini, hal ini terjadi (terutama) pada saat hari-hari besar agama seperti bulan puasa dan tahun baru, dimana sebagian PKL yang pulang kampung membawa kerabat-kerabat atau teman desa mereka ke Bogor. Kejadian yang sama juga terjadi ketika Hari Raya Idul Fitri, dimana PKL yang sedang kembali mudik membawa kerabat-kerabatnya ke Jakarta. Untuk mengantisipasi membanjirnya PKL baru di Jakarta, pada tahun 70-an pernah dibuat kebijakan pintu tertutup bagi pendatang baru. Dalam konteks ini, tekanan sentrifugal terhadap PKL yang ada di kota membentuk jaringan sosial yang memungkinkan mengalirnya PKL baru dari daerah yang sama. Belakangan, kebijakan pintu tertutup ini bermetamorfosa menjadi Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) yang beroperasi di pintu masuk Jakarta, terminal antar kota dan stasiun kereta api, juga di kantong-kantong permukiman yang paling banyak kaum migran menetap. Bagi pendatang yang tidak memiliki kartu tanda pengenal domisili DKI Jakarta langsung dipulangkan ke tempat asalnya.
Realitas kekerabatan dan ikatan komunal dalam masyarakat marjinal perkotaan pada dasarnya terjadi karena beberapa alasan praktis. Sebagai migran, pada dasarnya massa komunitas marjinal perkotaan adalah masa desa yang tinggal di kota. Antara desa dan kota adalah dua komunitas yang secara sosiologis kontras. Ketika para migran dari desa menginjakkan kaki ke kota, yang dihadapi adalah masyarakat heterogenitas, kontras sekali dengan di desanya yang homogen, interaksi sosialnya demikian intens, hangat dan sangat bersifat personal. Faktor inilah yang merupakan salah satu sebab mengapa mereka tidak memiliki keberanian bermigrasi dengan cara “terjun bebas” masuk ke tengah-tengah gemuruhnya kota sendirian, sebaliknya menapaki jalan ke kota dengan mengikuti patronnya (Imam B. A., 2001)[xxiv]
Dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa para PKL memiliki kemampuan adaptasi yang kuat di dalam lingkungan barunya, modal sosial dan modal kultural yang kuat, dijaga dan dirawat menyebabkan PKL dapat mereproduksi ruangnya sendiri. Bagi kota, walaupun ‘teori involusi’ tidak secara tepat dapat diaplikasikan dalam kasus ini daya dukung lingkungannya terus menurun, kualitas ruang, amplop ruang terus tergerus.[xxv] Sementara bagi PKL permasalahan ini belum menjadi pertimbangan mereka. Selain jalan, wilayah permukiman juga mengalami penurunan kualitas ruang, hal ini disebabkan ketidakacuhan PKL di tempat barunya untuk menjaga bersama tempat baru mereka, secara kasat kekumuhan dan ketidaktertiban ini sering dimaknai dengan kemiskinan, walaupun pada kenyataannya belum tentu demikian. Okupansi lahan publik dan privat di wilayah permukiman menandakan kemampuan para migran ini memproduksi dan mereproduksi unit ekonominya sendiri secara swadaya. Meminjam istilah Giddens[xxvi]bahwa aturan (rule) merupakan bagian dari kemampuan untuk mengetahui dan dasar dari tindakan. Jika setiap tindakan mereka merupakan bagian dari sosial maka diperlukan sumberdaya sosial untuk mencapai hasil. Giddens, melihat bahwa kekuasaan bukanlah sebuah sumberdaya. Pemakaian sumberdaya seketika menghasilkan kekuasaaan. PKL menggunakan sumberdayanya untuk memenuhi kepentingannya, berinteraksi, dan akhirnya melalui pembiasaaan (routinization) dan pemosisian (regionalization) para PKL mampu mempertahankan eksistensinya. Pemosisian ini memungkinkan PKL mereproduksi hubungan-hubungan yang lintas waktu dan tempat. Namun pemosisian membutuhkan tempat tetap (representational space) untuk menghadirkan interaksi tersebut, kebutuhan akan tempat yang tetap ini bagi para PKL bukan cuma mempertahankan rezeki, namun juga mempertahankan relasi (kepercayaan) yang merupakan motif tak sadar dari setiap tindakan. Sedangkan rutinisasi (pembiasaan) membutuhkan interaksi yang menerus, memainkan peran dan memahami situasi. Baik rutinisasi dan pemosisian keduanya memproduksi dan mereproduksi kepercayaan (trust) sebagai basis interaksi, yang bermuara pada kata konsensus. Jalan dan badan jalan juga merujuk pada frasa “masa depan”, “semua diciptakan sama”, dan “kita”.
Heterogenitas kota yang sangat tinggi dan adanya gaya hidup yang individualistis serta hubungan sosialnya yang cenderung organic, memaksa mereka untuk mempertahankan dan membangun hubungan sosial dengan kawan-kawan sedesa. Di antara mereka yang sedesa itu sering saling mengunjungi dan menjadi jauh lebih akrab daripada ketika di desa dulu. Hubungan-hubungan tadi biasanya berkembang menjadi sebuah organisasi ekonomi, semacam arisan. Ada pula yang dibentuk berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan di desanya. Meskipun demikian, pada umumnya jenis-jenis perkumpulan terakhir itu di dalamnya juga diselenggarakan kegiatan semacam arisan.
Paling tidak ada tiga fungsi organisasi atau perkumpulan-perkumpulan semacam ini. Pertama, kegiatan arisan dimaksudkan sebagai cara untuk melakukan investasi dari keuntungan usahanya (walau tidak produktif). Cara investasi tadi digemari tidak saja karena lembaga arisan memiliki fungsi ekonomi dan sosial yang memang dekat dengan nilai-nilai yang hidup di kalangan mereka, tetapi juga karena mereka tidak memiliki akses pada sector formal. Dalam hal ini adalah perbankkan, karena sifat informal mereka. Kedua, perkumpulan-perkumpulan tadi berfungsi untuk menyangga marjinalitas posisi sosial mereka di kota, sekaligus untuk mempertahankan identitas kulturalnya, serta sebagai tempat untuk menghirup kehangatan hubungan sosial dengan warga sedesa. Ketiga, perkumpulan itu berfungsi untuk menyangga subsistensi ekonomi mereka di kota (Imam B. A., 2001).
Kita
Robert Aunger (1999)[xxvii] menyatakan bahwa apa yang membuat kebudayan manusia itu unik adalah, kemampuannya untuk mengakumulasi pengetahuan melalui generasi ke generasi dengan kata lain kebudayaan mengalami transmisi. Secara teknis transmisi inilah yang menggerakkan kebudayaan sebagai sebuah konsep menjadi sebuah representasi publik. Mekanisme transmisi juga yang membuat sistem kepercayaan direplikasikan, melalui proses imitasi atau komunikasi. Dari sini kita bisa berangkat untuk melihat kembali kebudayaan trotoar kita, kebudayaan ‘jalanan’, sejauh-mana konsensus dibuat, diteguhkan. Siapa yang paling diuntungkan. dan bagaimanakah sesungguhnya penyangkalan dilakukan terhadapnya. Karena persoalan konsensus bukan cuma permasalahan ‘ada’ namun juga pada persoalan ‘bagaimana’ konsensus itu dibuat. Heiddegger menyebutnya being in the world, manusia dan dunia seperti siput dengan rumahnya. Dengan demikian sejarah tiap-tiap manusia/individu/aku akan memberikan nuansa pada ‘kita’-kau dan aku.
Konsep menjadi ‘kita’ dalam internal PKL adalah dengan menyatukan diri pada dunia ‘kaki lima’, hal ini tidaklah mudah, mengingat para PKL harus bersaing dengan ‘pendahulu’ mereka, gangguan preman, dan pengusiran oleh PKL lain (yang mungkin telah membuat konsensus dengan petugas Trantib untuk tidak membawa teman dan menjaga agar wilayah tersebut memiliki populasi PKL yang tetap). Peran pendahulu sangat penting untuk proses keberlanjutan ‘organisasi’ PKL.
Masalah lain yang juga sangat rumit dihadapi PKL ketika sudah tinggal di kota adalah sulitnya memperoleh kerja. lapangan kerja semakin sukar ketika persediaannya sangat terbatas. Sementara disisi lain, barisan cadangan angkatan kerja baik dari desa maupun dari kota jumlahnya sangat banyak. Konsekuensinya, perjuangan memperoleh pekerjaan penuh rintangan. Demikian juga liku-liku memperoleh kerja PKL sektor informal ini, tidak semudah membalik telapak tangan. Meski sektor informal tidak pernah menetapkan persyaratan formal dan modal besar namun untuk memperolehnya tidak selamanya mudah.
Peran teman yang lebih dulu merantau dan keluarga dekat sangat besar peranannya terhadap jenis jualan yang akan dijual PKL pemula yang akan memulai langkah berjualan di kota Bogor. Besarnya teman dan keluarga ini masing-masingnya mencapai 56,00 % dan 28,00 %. Sedangkan peran majikan 2%. Biasanya sebelum mereka betul-betul mandiri (berdiri sendiri dan tidak ituk sama lainnya) mereka harus belajar dulu/magang dulu dengan PKL yang lebih senior/lebih dulu jualan (dalam hal ini bisa keluarga, teman, majikan). Sehingga apa yang dijual PKL pemula merupakan patron dari jualan PKL di tempat dia magang. Apabila PKL di tempat dia magang adalah temannya yang berjualan sepatu, maka nantinya setelah mereka mengetahui dari mana sumber sepatu tersebut, berapa harga jualnya, bagaimana pola penjualannya dan sebagainya, maka setelah mereka mampu dalam arti kata pendanaan dan ada loksi/tempat jualan yang biasanya tidak jauh dari tempat dia magang, maka dia akan melepaskan diri dengan temannya tersebut dan mulai berdiri sendiri (Anwar et.al,.. 2001).
Konsep menjadi ‘kita’ dengan pengguna jalan lain dan pemilik toko nampaknya lebih panjang, mengingat proses ‘othering’ tidak hanya dilakukan oleh pengguna lain namun proses itu juga oleh digunakan oleh PKL untuk strategi bertahan.
Agus, 40, warga Kecamatan Tegalsari mengaku sangsi kalau program jalan pedestrian akan membuat para pejalan kaki nyaman.
“Di Surabaya ini apa ada yang namanya pejalan kaki nyaman. Meski trotoar di lebarkan berapa meterpun dan ditengahnya diberi taman segala, pasti ada saja yang menyalahgunakan,” ujar Agus.
Hal itu, kata Agus tak lepas dari mentalitas dan pandangan pragmatis masyarakat yang memilih jalan pintas memanfaatkan fasilitas umum untuk kepentingan yang tidak sesuai fungsi aslinya.
“Paling-paling yang memanfaatkan jalan pedestrian itu nanti hanya PKL. Makanya kalau niatannya mau membuat nyaman, tolong pemkot membuktikan komitmennya setelah pedestrian jadi,” tandas Agus.
Lain halnya Sa`i Wijaya, 55. Warga Genteng Sidomukti yang berjualan topi di Jl Tunjungan sejak 1970-an ini mengaku tidak masalah jika untuk membangun pedestrian, PKL yang ada di sepanjang Jl Tunjungan di tertibkan. “Tapi syaratnya pemkot harus mencarikan tempat baru bagi kami untuk berjualan,” jelasnya. Sa`i Wijaya tak mau, hanya karena pedestrian, pemkot malah menambah jumlah kemiskinan warga kota.
Untuk itulah, Muhammad, 32, warga Kelurahan Plemahan Tegalsari dengan tegas menolak untuk dipindah meski di trotoar tempatnya berjualan di Jl Embong Malang terkena program jalan pedestrian. “Saya jualan disini untuk cari makan. Makanya meski ada program pedestrian atau program apa pun, saya tetap akan jualan disini,” tandasnya (Sumber: jho/st7/st24/Mujib Anwar, Koran Surya).
Realisme yang dibawa Aunger (1999) menyiratkan bahwa jika kontestasi menimbulkan percakapan, dialog yang emansipatoris, yang paling nyata adalah menerjemahkan tindakan emansipatoris, sehingga masyarakat dapat hidup dalam keragaman budaya. Bagi Putnam (1993)[xxviii] yang menyelidiki permasalahan modal sosial di komunitas dengan studi kasus Italia, menilai ada kontradiksi pola dalam pembangunan ekonomi di Italia. Untuk warga yang sejahtera, komunitas diterjemahkan sebagai katup pengaman dan perluasan privelese yang telah diperoleh. Sementara bagi golongan miskin komunitas diterjemahkan sebagai ‘mengendalikan kekumuhan mereka’. Strategi pembangunan seperti ini juga jangan-jangan yang ingin diterapkan dalam kebudayaan jalan dan trotoar, ‘there is nothing more unequal than the equal treatment of unequals’.
bagai jutaan srigala
menyerbu kota besar
tempat asal adalah NERAKA!
tolong beritahu aku
bagaimana caranya
nasib tak pernah berpihak
(Bunga Trotoar, Iwan Fals)
widhy | sinau
Catatan
[i] Chant, Colin and Goodman, David. 1999. Pre Industrial Cities and Technologies. Open Society-Routledge.
[ii] Rumah pada masa ini merupakan rumah besar dengan lapangan (plaza) di tengah dan kandang unta/kuda di dalamnya. Biasanya satu rumah berisi beberapa keluarga (kerabat dekat) dan beberapa generasi (3-4 generasi ).
[iii] Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land. Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Yayasan Obor Indonesia.
[iv] Jacoby , Hanan G. 1998. Access to Markets and the Benefits of Rural Roads: A Nonparametric Approach. Development Research Group, The World Bank, 1818 H Street N.W., Washington DC20433.
[v] Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan pula melalui perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur dan diterbitkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi adminstratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda. Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif tersebut, antara lain, dapat berupa keringanan pajak, pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur), pemberian kompensasi, kemudahan prosedur perizinan, dan pemberian penghargaan.
Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, dan/atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, yang antara lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan penyediaan prasarana dan sarana, serta pengenaan kompensasi dan penalti.
Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang, dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Dalam Undang-Undang ini pengenaan sanksi tidak hanya diberikan kepada pemanfaat ruang yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan pemanfaatan ruang, tetapi dikenakan pula kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin pemanrencana tata ruang (Sumber: Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang)
[vi] Jacobs, Jane. The Death and Life of The Great American Cities. Vintage.
[vii] Nicolai, Bernd. 2000. The Symphony of Metropolis: Berlin as Newlin in The Twentieth Century. dalam The Modern city Revisited: edited by Thomas Decker. Spon Press.
[viii] Ia menggambarkan flanerie, kegiatan seorang flaneur, sebagai basis dari pusat perbelanjaan modern, department-store, mall, dan keseluruhan ekonomi dan masyarakat konsumerisme yang merangkakan kehidupan abad ke-20. Seorang flaneur terutama sekali merasa betah di dalam dua tipe bentang-kota, yaitu arkade dan bulevar. Keduanya secara mengagumkan dirancang untuk berbelanja, untuk melakukan 'transaksi', untuk petualangan cinta, 'mejeng' dan pertemuan-pertemuan (Kusumawijaya, 2004).
[ix] Kusumawijaya, Marco. 2004. Jakarta Metropolis: Tunggang Langgang. Penerbit Gagas Media.
[x] Pedagang kaki lima itu ada berhubungan dengan dua kaki si abang tukang jualan, dua roda gerobaknya, dan kaki kelimanya adalah cagak yang dipasang si abang kalau lagi mangkal, untuk memastikan beban gerobak tertopang seimbang, dan gerobaknya tidak lari menggelinding.
Akan tetapi kemungkinan besar istilah itu datang dari perencanaan kota akhir abad silam hingga permulaan abad ini. Bangunan rumah toko yang berbatasan langsung dengan jalan (GSB/garis sepadan bangunan), di kawasan perdagangan tengah kota biasanya merupakan bangunan bertingkat dua atau lebih. Rupanya dulu, bagian depan dari tingkat dasar rumah toko itu, serambi yang lebarnya sekitar lima kaki, wajib dijadikan suatu lajur di mana pejalan kaki dapat melintas.
[xi] The Ecosoc News Monitor, 1 Juli 2008.
[xii] Anwar, Affendi. 2001. Makalah disajikan pada Pertemuan Meja Bundar (Round Table Meeting) dalam rangka penangulangan Pengangguran di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta 18 September, 2001.
[xiii] Harvey, David. 2001. Space of Capital: Toward Critical Geography. Routledge.
[xiv] Muttaqien, Widhyanto. (2005). Kota Kolektif. Laporan Akhir Peneltian Aksi (tidak dipublikasikan). Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemda Provinsi DKI Jakarta-P4W LPPM IPB.
[xv] Rosenblatt, Daniel. 2004. An Anthropology Made Safe for Culture: Patterns of Practice and Politics of Difference in Ruth Bennedict. American Anthropologist. Sept 2004.
[xvi] Poerbatanoe, Benny. 2008. Budaya Indonesia Belum Memahami Trotoar. Kompas On Line. 16 Februari 2008.
[xvii] Levebre, Henry. 2001 (reprinted). The Production of Space. Blackwell.
[xviii] Muttaqien, Widhyanto, Andit, Abdurahman dan Baehaqie, Ahmad. 2002. Mendobrak Kebiasaan: Belajar Bertatakrama dalam Pembangunan di Kelurahan Rawa Bunga. Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemda Provinsi DKI Jakarta-Program Perencanaan Wilayah dan Perdesaan Sekolah pasca Sarjana IPB.
[xix] Olwig, Karen F. (1997) ”Cultural sites: sustaining a home in a deterritorialized world,” dalam Kirsten Hastrup & Karen F.Olwig, eds. Siting Culture. The shifting anthropological object. London & New York: Routledge. Hal.17-38.
[xx] Appadurai, Ajun (1991) ”Global Ethnoscapes: Notes and Queries for a Transnational Anthropology,” dalam Richard G. Fox, ed. Recapturing Anthropology. Working in the Present. Sante Fe, New Mexico: School of American Research Press. Hal.191-210.
[xxi] Teori Growth Pole ini sebenarnya telah menjadi teori yang kurang populer di kalangan ahli-ahli pembangunan wilayah, tetapi karena kekurangan dalam asumsinya (tidak memperhitungkan keadaan kontekstual masyarakat), maka ketika diterapkan menjadi kurang efektif, malah menimbulkan disparitas antar wilayah. Namun disisi lain pada saat itu, teori inilah yang paling populer dan sering dilaksanakan dalam proses pembangunan, hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaannya lebih mudah dan hasilnya lebih cepat dapat terlihat. Wilayah-wilayah yang ditunjuk oleh pemerintah menjadi pusat pertumbuhan, telah berkembang dengan cepat dan signifikan. Namun sebenarnya kondisi ini tidak menjamin keberlanjutan (sustainability) pembangunan wilayah karena timbul keadaan disparitas baru dan interaksi yang terbentuk antara pusat wilayah dengan hinterland perdesaan pada akhirnya akan kembali saling memperlemah.
Dominasi teori pusat-pusat pertumbuhan (Growth Pole) yang lebih menekankan pada pentingnya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru untuk membangun suatu wilayah disamping dominannya strategi-strategi pembangunan dari sisi pasokan (supply) untuk sektor manufaktur. Pada umumnya pusat-pusat pertumbuhan baru ini memang dapat memicu pertumbuhan dan berkembang dengan pesat, namun dengan struktur keterkaitan spatial dimana wilayah hinterland - nya akan cenderung mengalami nasib yang sama, yaitu mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Dengan demikian, pada akhirnya akan tetap terjadi kesenjangan-kesenjangan yang baru di kawasan-kawasan yang dibangun, karena tidak disertai dengan pembangunan sosial yang memadai. Kebijakan di atas, tentunya tidak akan menyelesaikan masalah karena disparitas antar wilayah tetap terjadi (dalam Anwar, Affendi. 2005. Kritik Atas Kebijakan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. P4W Press-IPB).
[xxii] Migrasi penduduk merupakan fenomena umum yang mencerminkan keterkaitan antar wilayah, termasuk keterkaitan desa-kota. Migrasi dari perdesaan ke kota merupakan fenomena yang jamak berlangsung baik di negara-negara yang sedang berkembang maupun negara yang sudah maju sekalipun. Proses migrasi dari perdesaan ke perkotaan di negara-negara industri maju di Eropa mencapai puncaknya ketika Eropa tengah mengalami revolusi industri. Industrialisasi yang berlangsung di perkotaan menyerap tenaga kerja dari perdesaan melalui mekanisme migrasi dari desa ke kota. Di masa puncak revolusi industri Eropa di Abad 19, aliran migrasi dari perdesaan bahkan tidak cukup memenuhi kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor industri perkotaan sehingga migrasi ke kota-kota industri juga berlangsung dari negara-negara jajahannya (seperti India dan Pakistan untuk Inggris dan negara-negara Afrika Utara untuk Perancis).
Fenomena migrasi adalah bentuk respon dari masyarakat karena adanya perbedaan ekspektasi meningkatkan kesejahteraan dirinya. Dengan kata lain, migrasi desa-kota akan terus berlangsung sepanjang adanya kesenjangan perkembangan desa-kota. Kesenjangan atau polarisasi desa kota yang semakin melebar di banyak negara-negara yang sedang berkembang memperderas arus proses migrasi penduduk (speed up processes) berlebihan dari perdesaan ke perkotaan. Namun akibat konsentrasi pertumbuhan yang secara spasial hanya terbatas di kota-kota metropolitan utama saja, kapasitas kota menampung dan menyediakan lapangan kerja, fasilitas, dan berbagai bentuk pelayanan menjadi sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kota-kota besar tujuan migrasi mengalami over-urbanization, yakni proses urbanisasi dengan laju melebihi kapasitas kota menampungnya. Akibatnya perkotaan banyak mengalami penyakit-penyakit urbanisasi (kongesti, pencemaran hebat, permukiman kumuh, keadaan sanitasi yang buruk, menurunnya kesehatan, kriminalitas) dan pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat kawasan perkotaan (dalam Rustiadi, Ernan. (2006) ”Urban Linkage: Strategi Pengembangan Keterkaitan Desa-Kota:,” dalam Ernan. Setiahadi, & Muttaqien, eds. Kawasan Agropolitan: Strategi Pengembangan Kawasan Desa-Kota. Crestpent Press, Bogor, 2006.
[xxiii] Anwar, Affendi. et.al,. 2001. Penelitian PKL di Kota Bogor. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pasca Sarjana IPB.
[xxiv] Abdulah, Imam Baehaqie. 2001. GALANG KEKUATAN, RAPATKAN BARISAN: Panduan Pemberdayaan Masyarakat Marjinal Perkotaan. Modul Pelatihan. tidak dipublikasikan.
[xxv] Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang (koefisien dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan bangunan), penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ketentuan lain yang dibutuhkan, antara lain, adalah ketentuan pemanfaatan ruang yang terkait dengan keselamatan penerbangan, pembangunan pemancar alat komunikasi, dan pembangunan jaringan listrik tegangan tinggi (Sumber: Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang).
[xxvi] Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration. Oxford.
[xxvii] Aunger, Robert (1999) “Culture as Consensus: Against Idealism/Contra Consensus,” Current Anthropology 40(Supplement): S93-S101.
[xxviii] Putnam, Robert. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy, Princenton.